Loading...
Logo TinLit
Read Story - Loveless
MENU
About Us  

Endoskopi lambung, atau sering juga disebut gastroskopi, adalah prosedur medis untuk memeriksa kondisi bagian dalam lambung dengan memasukkan alat berupa tabung fleksibel yang dilengkapi kamera di ujungnya (endoskop) melalui mulut.

Sepanjang jalan, sepulang dari rumah sakit, gue menggulir laman pencarian, berusaha nyari tau serangkaian pemeriksaan yang harus gue lakukan nanti. Jujur, gue takut. Di usia delapan belas tahun gue harus melakukan banyak pemeriksaan, bahkan nyari tau kemungkinan terburuk dari kondisi gue yang seperti ini. Selama itu juga gue berusaha menenangkan diri, meskipun gue berharap Ibu yang melakukan itu. Gue butuh ditenangkan dan diyakinkan kalau semuanya pasti baik-baik aja. Gue juga seorang anak, kalau lupa. Tapi, sekali lagi ... manusia nggak cocok dijadikan sandaran, gue gampang kecewa soalnya.

Sebelum ke klinik, gue mampir beli donat madu. Makanan yang nggak murah-murah banget, tapi nggak bikin gue sampai jual ginjal juga. Manusia gula itu pasti senang banget. Iya, Lala pasti senang. Dia suka banget manis, dan gue udah ngasih peringatan. Jangan sampe makanan manis yang dia konsumsi hampir setiap hari itu bikin hidupnya jadi pahit di kemudian hari. Tadinya gue mau langsung pulang, istirahat, tapi takut Ibu marah karena gue bolos kerja. Akhirnya, gue memutuskan buat ke klinik.

Pas sampe, dia kelihatan lagi sibuk banget ngerjain resep. Mana resepnya racikan. Dia kaget, tapi langsung ngasih kode biar gue nggak ganggu, takut fokusnya pecah. Jadi, gue cuma diam. Kalau ada yang beli, gue tetap bantuin biar dia fokus sama resep aja. Padahal, sebentar lagi poli tutup, tapi pasien masih lumayan banyak. Untung gue ke sini.

"Nggak ada yang harus habis, ya, Bu. Kalau misal udah nggak ada gejala, boleh di-stop obatnya," tutup gadis itu setelah selesai menjelaskan obat terakhir.

Dia mendesah pelan begitu selesai dan langsung nyamperin gue. "Gila, giliran sendiri ujiannya emang ada-ada aja."

"Sorry, ya, La."

Lala cuma senyum.

"Buat lo," kata gue sambil ngasih satu kotak donat madu.

Matanya berbinar cuma karena satu kotak donat yang gue kasih. Padahal, gue tau dia mampu beli sama toko-tokonya. Tapi, dia selalu menghargai pemberian orang lain, sekecil apa pun itu.

"Makasih, Nu. Tumben banget. Sogokan apa, nih?"

Spontan gue ketawa. "Tanda terima kasih karena lo udah baik. Udah gantiin gue hari ini, ngasih ide kerjaan, dan promosiin akun gue. Orderan gue jadi rame gara-gara lo."

Sekali lagi dia senyum. "Oh iya, udah ke rumah sakitnya? Gimana kata dokter? Kok lo malah ke sini, sih, sekarang? Bukannya pulang istirahat."

"Belum ada hasilnya. Gue disuruh endoskopi, cek darah, sama CT-scan. Tapi, dikasih obat, sih."

Lala mengulurkan tangannya minta gue memperlihatkan obat-obatan yang gue dapat. Satu obat sirup buat melapisi mukosa lambung, satu obat buat mual muntah, dan satu lagi obat PPI.

Setelah fokus sama obat-obatan yang gue kasih, Lala langsung berbalik menatap gue. "Nu? Kok sampe harus periksa ini itu, sih? Emang keluhannya apa?"

"Ya keluhan lambung."

"Ya gue tau, tapi maksudnya apa? Gue perasaan nggak pernah sampe kayak gitu, deh."

Awalnya gue ragu buat bilang, tapi sejauh ini ... cuma Lala satu-satunya orang yang bisa dimintai tolong kalau gue kenapa-kenapa. "Muntah darah. Yang bikin gue kaget cuma itu. Selebihnya, gejala yang normal gue rasain bertahun-tahun."

"Kenapa baru periksa sekarang? Kenapa nggak dari dulu sebelum gejalanya memburuk?"

Gue menunduk sambil mainin jari. Bibir gue juga senyum, tapi nggak tau kenapa hati gue perih. "Karena ...." Sekali lagi gue ragu, takut dianggap berlebihan. "Karena baru sekarang gue ngerasa takut mati, La. Ibu sama Icel gimana kalau tiba-tiba gue mati? Mereka bergantung banget sama gue. Makanya gue periksa. Jadi, kalau ternyata umur gue pendek, masih ada waktu buat nego. Boleh nggak, sih, kalau gue minta kesempatan hidup gue diperpanjang sedikit?" lanjut gue sambil ketawa.

Tiba-tiba aja Lala buang muka. Gue kaget dong. Jangan-jangan dia beneran risi dengar gue ngeluh. Tapi, nggak lama setelah itu gue dengar Lala terisak. Iya, dia nangis lagi. Situasinya jadi canggung. Gue nggak tau harus ngapain, sampe akhirnya gue memberanikan diri mengusap punggung tangannya, terus minta maaf.

"La, sorry, ya, gue bikin lo nangis berkali-kali. Gue nggak akan cerita apa pun lagi. Gue akhirnya ngerti kenapa cerita negatif besar pengaruhnya buat orang yang dengar. Lo nggak pantas merasakan semua perasaan itu. Lo terlalu baik."

"Nu, gue malah senang karena lo mau cerita. Keberadaan gue jadi ada artinya di muka bumi, bukan kayak tempelan kulkas doang."

Matanya masih basah, tapi dia ketawa, berusaha terlihat baik-baik aja.

"Nu, bikin orang jadi bermanfaat dapat pahala lho."

"Iya lumayan, ya, La, buat bekal di akhirat."

Lala malah nangis kencang banget dan bikin gue panik. Gue refleks nyomot bibirnya pake telunjuk sama ibu jari biar dia diam. Takut banget dikira ngapa-ngapain. 

"Elo, tuh, ya, gue udah berusaha baik-baik aja, malah digituin. Ini hati, Nu, bukan batu bata," semburnya setelah bibirnya gue lepas.

Sumpah, mukanya lucu banget pas bilang gitu. "Iya, iya, sorry. Tapi, kenapa lo nangis?"

"Hah?" Dia langsung diam, planga-plongo gitu kayak orang bingung. Kayak lagi berusaha mempertanyakan ke dirinya sendiri apa yang barusan gue pertanyakan.

Gue nggak bermaksud bersikap jahat dengan mempertanyakan hal itu, tapi aneh aja. Bahkan, Ibu sama Selly nggak pernah nangisin gue sampe segitunya. Cuma Alisa yang kayak gitu pas gue dirawat karena tipes. Masuk akal, kan, kalau gue bingung sekarang?

"Anu ... gue nggak tau. Cadangan air mata gue banyak kali makanya tumpah-tumpah. Gue, kan, emang banyak minum."

Kali ini gue tertawa. "Lo bukan unta. Lagian, unta nyimpen cadangan airnya di punuk, masa lo di mata."

"Ya bisa aja. Siapa tau setiap gue minum, tuh, langsung diserap kantung air mata."

"Ngaco, ah."

"Gue serius, Nu. Kalau ada apa-apa bilang, ya. Anggap aja kita temenan mulai dari sekarang. Gimana?" tanyanya sambil mengacungkan kelingkingnya di depan gue.

Gue senyum, dan menyambut kelingking kecil gadis itu. "Tapi, kalau cerita-cerita gue berpengaruh terhadap mood lo bahkan hidup lo, lo bilang, ya, La. Biar gue nggak melakukan itu lagi. Gue takut banget membebani atau bahkan mengacaukan hidup orang lain. Lo nggak pantas mendapatkan itu. Lo berhak hidup sebahagia mungkin."

Cewek itu nggak bilang apa-apa, dia cuma ngangguk sebagai bentuk persetujuan.

"Lo pulang sana," katanya. 

"Lo sampai jam dua belas aja, La. Jadi, gue lima jam nanti gantinya."

"Tanggung, Nu. Lagian gue disuruh nunggu sampai jam tiga sore. Si Tuan Putri telat katanya."

"Ke mana lagi dia?"

"Katanya disuruh Bu Ola ngambil barang. Nggak tau barang apaan. Narkoba kali."

"Hus! Mulut lo."

Dia cuma cengengesan. "Udah, mending lo pulang. Bisa tidur, kan, kalau di rumah."

"Gue tidur di belakang aja kalau gitu, ya. Nunggu sampe jam pulang kerja. Gue nggak bilang sama Ibu soalnya bolos kerja. Dimakan donatnya, jangan lupa."

"Makasih, Nu."

***

Ternyata gue tidur terlalu lama. Yang harusnya jam 14.00 udah pulang, gue malah baru pulang dua jam setelahnya. Selly udah ada, tapi nggak mau ngomong sama sekali. Cantika juga ada, dan kelihatan sibuk sendiri mindahin barang dari mobil ke gudang. Tumben banget, kan? Entah karena kardusnya kecil atau gimana, tapi dia nggak minta bantuan gue sama sekali. Padahal, menyangkut hal-hal kayak gitu, dia biasanya tegas banget bilang itu kerjaan cowok.

Beberapa kali gue melirik Selly. Dia lagi ngobrol sama dan biasa aja, nggak kayak pas lihat gue. Makanya gue tenang. Gue bisa titipin dia sama Lala. Sebenarnya, gue nggak tega ninggalin Selly sama Cantika, tapi lagi-lagi gue demam dan menggigil. Gue butuh istirahat biar besok badan ini bisa dipaksa buat kerja lagi.

Sayangnya, begitu sampe rumah, gue nggak bisa lanjut tidur. Ada orderan yang masuk. Lumayan, buat kover cetak dan permintaannya juga nggak aneh-aneh. Gue bisa menyelesaikan sketsanya hari ini, kalau orangnya bersedia, gue bisa lanjut besok. Gue ambil tablet dan mulai menggambar.

Ibu udah pulang, tapi diemin gue sama kayak Selly. Nggak harus mengalami untuk membuktikan kalau atasan gue nggak baik, kan? Gue harus bisa membuktikan itu buat bikin mereka percaya dan mau berdamai sama gue.

Selain beli donat buat Lala, gue juga beli buat Ibu sama Selly, tapi terakhir gue keluar kamar donatnya belum disentuh sama sekali. Akhirnya, gue memutuskan buat fokus kerja. Masalah donat, dimakan alhamdulillah, nggak juga bukan masalah.

Beruntungnya, dalam beberapa jam, sketsa itu berhasil gue buat. Gue langsung kirim sketsanya ke customer, berharap dia langsung mengiakan tanpa revisi. Mata gue soalnya mulai berbayang. Belum lagi nyeri sama mual yang usil banget dari gue mulai mengerjakan. Nyeri sama mual masih ada, tapi mending banget dibanding kemarin. Namanya juga berobat, kan? Semua pasti bertahap, termasuk pemulihannya.

Saya

Selamat malam, Kak. Maaf mengganggu waktunya. Ini sketsa untuk cover buku Kakak. Jika ada revisi, boleh di-list, ya, Kak sebelum masuk pewarnaan.

Nggak ada balasan. Udah malam juga, sih. Jadi, gue memutuskan buat tidur. Sayangnya, belum sempat gue menutup mata, terdengar suara bantingan pintu. Gue kaget dan refleks bangun. Kalau itu Selly, keterlaluan. Apa lagi yang bikin dia sampai semarah itu? Atau jangan-jangan Cantika bikin dia kesal?

Walaupun tenaga gue nyaris nol, gue keluar kamar, dan mengetuk pintu kamar dia. Mau nggak mau harus dibicarain lagi. Dia nggak akan pernah ngerti kalau nggak gue jelasin dengan detail.

"Cel, buka pintunya. Mas mau ngomong sama kamu."

Ibu yang baru aja dari dapur, cuma menatap gue sekilas, sebelum akhirnya masuk kamar.

Gue nggak mau kalah kali ini. Gue gedor pintu kamarnya terus menerus sampe dia muak dan akhirnya mau buka pintu. Selly keluar dengan mata sembap.

"Kenapa kamu? Ngobrol sini, jangan kayak anak kecil."

Terpaksa bersikap lebih keras karena hal kayak gini nggak bisa dibiarin. Bisa kebawa sampe dia dewasa. Dia juga mungkin melakukan hal itu ke orang lain, dan gue jamin orang lain nggak akan bisa memaklumi itu.

"Ngomong yang jelas kalau ada apa-apa."

"Mas senang, kan, kalau keluarga kita gini-gini aja? Mas senang kalau keluarga kita selalu direndahkan orang? Mas senang kalau kita nggak maju-maju."

Ke mana pembicaraannya mengarah, gue tau. Gue menghela napas panjang, berusaha menekan rasa mual yang semakin nggak tau diri. "Cantika ngomong apa?" tanya gue to the point. Gue tau dia bisa jadi penyebab kemarahan Selly yang meledak-ledak.

"Dia bilang angkatanku udah nggak dapat STRTTK. Aku nggak akan ada gunanya setelah lulus. Dia aja yang punya STRTTK tetap kuliah, aku yang pasti nggak dapat malah nggak punya rencana apa-apa. Jangan ambil farmasi kalau miskin katanya."

Gue akui mulut Cantika keterlaluan kali ini. Dia boleh bersikap semaunya sama gue, tapi dia nggak bisa menyentuh keluarga gue sedikit pun, apalagi sampai berani menyakiti mereka terang-terangan.

"Mas, nggak bilang kamu nggak boleh kuliah. Mas cuma bilang jangan terima bantuan apa pun dari Pak Taufik. Mas bakal berusaha keras cari uang buat kamu. Kita masih punya banyak waktu."

"Mustahil. Gaji Mas aja cuma berapa? Sok mau kuliahin aku. Lagian kenapa, sih, aku nggak boleh terima kebaikan atasan Mas? Cuma dengan cara itu aku bisa kuliah dan nggak merepotkan siapa-siapa karena aku yang bayar setelah kerja nanti."

"Kamu pikir bayaran yang dia minta dalam bentuk uang? Buat apa? Dia kaya. Dia punya segalanya. Kamu pikir dia sebaik itu mau kasih pinjaman ratusan juta tanpa bunga bahkan kamu bisa bayar sesuai kemampuan kamu? Kamu pintar, kan? Pikirin omongan Mas baik-baik. Kamu bakal berterima kasih sama Mas kalau suatu hari tau seburuk apa dia, dan kamu pasti menyesal seumur hidup kalau menyepelekan ucapan Mas sekarang."

Selly cuma diam. Anak itu nggak bantah lagi, walaupun terlihat jelas nggak puas sama jawaban gue. Dia bukan tipe orang yang akan langsung percaya, jadi pasti memilih nyari tau lebih dulu. Jadi, gue memberi kebebasan untuk yang satu itu. Dia pemikir, jadi harusnya apa yang gue bilang barusan bisa dia pertimbangkan.

"Mas mohon jangan kayak gini lagi. Banting pintu, bahkan bersikap kurang ajar. Mas bukan satu-satunya manusia yang ada di hidup kamu, kalau itu bukan Mas, bisa pasangan kamu suatu hari nanti, mereka belum tentu bisa menerima kamu yang seperti ini. Jadi, tolong benahi diri kamu. Mas bukan orang baik, tapi Mas tau adik Mas bisa hidup lebih baik suatu hari nanti kalau bisa bersikap baik dari hari ini."

Setelah itu, gue memutuskan untuk kembali ke kamar. Bukan nggak mau ngobrol lebih banyak sama Selly, tapi capek. Padahal, gue nggak ngapa-ngapain, tapi gue merasa seperti menghabiskan tenaga buat lari belasan kilometer.

How do you feel about this chapter?

1 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (36)
  • raninurh

    sering terjadi :)

    Comment on chapter Chapter 3 - Dorongan atau peringatan?
  • raninurh

    selly lu tobat kata gua tuh nanti kakak lu jadi ubi baru nyesel

    Comment on chapter Chapter 2 - Menyentuh batasnya
  • raninurh

    semnagat anak pertama kuat kuat pundaknya

    Comment on chapter Chapter 1 - Mati sejak lama
  • serelan

    Toxic semua orang² di sekitaran Wisnu ini... keluarganya, lingkungan kerjanya... hebat banget Wisnu bisa tahan...gendok asli pengen banget banting semuanya satu²..

    Comment on chapter Chapter 3 - Dorongan atau peringatan?
  • serelan

    Capek banget liat hidupnya Wisnu... ditekan sana sini, di tempat kerja, bahkan sama keluarganya juga. Padahal sumber penghasilan keluarga banyaknya dari dia harusnya diperlakukan lebih baik lah sama keluarganya. Hidup tuh sesuai kemampuannya aja gak sih harusnya. Jangan selalu pengen maksain buat terlihat wah klo memang blm mampu. Kesel banget sama Selly.

    Comment on chapter Chapter 2 - Menyentuh batasnya
  • serelan

    Bantu jadi tulang punggung sih wajar² aja.. tapi gak harus kya gitu juga sikap ibunya.. agak keterlaluan sih itu.. dikasih pengertian demi kebaikan malah d katain durhaka dikiranya gak mau bantuin ibunya lagi.. ntar pergi nyeselll..

    Comment on chapter Chapter 1 - Mati sejak lama
Similar Tags
Aku Ibu Bipolar
45      38     1     
True Story
Indah Larasati, 30 tahun. Seorang penulis, ibu, istri, dan penyintas gangguan bipolar. Di balik namanya yang indah, tersimpan pergulatan batin yang penuh luka dan air mata. Hari-harinya dipenuhi amarah yang meledak tiba-tiba, lalu berubah menjadi tangis dan penyesalan yang mengguncang. Depresi menjadi teman akrab, sementara fase mania menjerumuskannya dalam euforia semu yang melelahkan. Namun...
Love Yourself for A2
26      24     1     
Short Story
Arlyn menyadari bahwa dunia yang dihadapinya terlalu ramai. Terlalu banyak suara yang menuntut, terlalu banyak ekspektasi yang berteriak. Ia tak pernah diajarkan bagaimana cara menolak, karena sejak awal ia dibentuk untuk menjadi "andalan". Malam itu, ia menuliskan sesuatu dalam jurnal pribadinya. "Apa jadinya jika aku berhenti menjadi Arlyn yang mereka harapkan? Apa aku masih akan dicintai, a...
FLOW : The life story
89      79     0     
Inspirational
Dalam riuh pikuknya dunia hiduplah seorang gadis bernama Sara. Seorang gadis yang berasal dari keluarga sederhana, pekerja keras dan mandiri, gadis yang memiliki ambisi untuk mencari tujuannya dalam berkehidupan. Namun, dalam perjalanan hidupnya Sara selalu mendapatkan tantangan, masalah dan tekanan yang membuatnya mempertanyakan "Apa itu kebahagiaan ?, di mana itu ketenangan ? dan seperti apa h...
Between Earth and Sky
1971      568     0     
Romance
Nazla, siswi SMA yang benci musik. Saking bencinya, sampe anti banget sama yang namanya musik. Hal ini bermula semenjak penyebab kematian kakaknya terungkap. Kakak yang paling dicintainya itu asik dengan headsetnya sampai sampai tidak menyadari kalau lampu penyebrangan sudah menunjukkan warna merah. Gadis itu tidak tau, dan tidak pernah mau tahu apapun yang berhubungan dengan dunia musik, kecuali...
Akhirnya Pacaran
605      428     5     
Short Story
Vella dan Aldi bersahabat dari kecil. Aldi sering gonta-ganti pacar, sedangkan Vella tetap setia menunggu Aldi mencintainya. \"Untuk apa pacaran kalau sahabat sudah serasa pacar?\" -Vella- \"Aku baru sadar kalau aku mencintainya.\" -Aldi-
Gilan(G)ia
497      271     3     
Romance
Membangun perubahan diri, agar menciptakan kenangan indah bersama teman sekelas mungkin bisa membuat Gia melupakan seseorang dari masa lalunya. Namun, ia harus menghadapi Gilang, teman sebangkunya yang terkesan dingin dan antisosial.
Pacarku Pergi ke Surga, Tapi Dia Lupa Membawa Buku Catatan Biru Tua Itu
616      282     7     
Fantasy
Lily adalah siswa kelas 12 yang ambisius, seluruh hidupnya berputar pada orbit Adit, kekasih sekaligus bintang pemandunya. Bersama Adit, yang sudah diterima di Harvard, Lily merajut setiap kata dalam personal statement-nya, sebuah janji masa depan yang terukir di atas kertas. Namun, di penghujung Juli, takdir berkhianat. Sebuah kecelakaan tragis merenggut Adit, meninggalkan Lily dalam kehampaan y...
Renjana
509      376     2     
Romance
Paramitha Nareswari yakin hubungan yang telah ia bangun selama bertahun-tahun dengan penuh kepercayaan akan berakhir indah. Selayaknya yang telah ia korbankan, ia berharap agar semesta membalasnya serupa pula. Namun bagaimana jika takdir tidak berkata demikian? "Jika bukan masaku bersamamu, aku harap masanya adalah milikmu."
A Story
305      244     2     
Romance
Ini hanyalah sebuah kisah klise. Kisah sahabat yang salah satunya cinta. Kisah Fania dan sahabatnya Delka. Fania suka Delka. Delka hanya menganggap Fania sahabat. Entah apa ending dari kisah mereka. Akankah berakhir bahagia? Atau bahkan lebih menyakitkan?
Di Antara Luka dan Mimpi
571      334     52     
Inspirational
Aira tidak pernah mengira bahwa langkah kecilnya ke dalam dunia pondok akan membuka pintu menuju mimpi yang penuh luka dan luka yang menyimpan mimpi. Ia hanya ingin belajar menggapai mimpi dan tumbuh, namun di perjalanan mengejar mimpi itu ia di uji dengan rasa sakit yang perlahan merampas warna dari pandangannya dan menghapus sebagian ingatannya. Hari-harinya dilalui dengan tubuh yang lemah dan ...