Loading...
Logo TinLit
Read Story - Loveless
MENU
About Us  

Karena libur, gue benar-benar nggak keluar kamar. Selly juga ambil libur di hari yang sama karena bertepatan sama libur sekolah, dan dia udah pergi main dari pagi tadi. Gue pengin ngobrol berdua sama dia soal semalam, tapi mau ngumpulin tenaga dulu rencananya. Ibu masih di kios, kayaknya sebentar lagi juga pulang. Gue udah izin buat nggak nemenin Ibu jualan karena nggak enak badan, siapa sangka diizinin.

Soal kerja part time gue udah dapat ide. Berkat bantuan Lala juga, sih. Kemarin gue ngobrol banyak sama dia kalau gue lagi butuh kerjaan, dan dia nanya, bakat gue apa selain di bidang farmasi? Gue bilang gambar dan desain. Gue suka keduanya dari SMP. Terus, karena sekarang ini platform menulis dan penerbit mulai menjamur, gue dikasih saran buat coba bikin kover buku atau kover cerita buat di aplikasi menulis. Gue bikin beberapa contohnya dan diunggah di Instagram. Lala yang emang punya koneksi luas karena gampang banget bergaul anaknya langsung mempromosikan akun gue dan ternyata lumayan banyak yang melirik. Semalam aja dengan kondisi agak mau mati sedikit gue berhasil ngerjain tiga kover sederhana buat di aplikasi. Nggak mahal kok, kisaran Rp45.000,- sampai Rp75.000,- untuk aplikasi berbayar, beda lagi kalau untuk buku cetak. Gue juga menyediakan jasa bikin ilustrasi. Nggak nyangka kalau bikin ilustrasi novel, tuh, lagi rame banget peminatnya. Jadi, gue unggah ilustrasi-ilustrasi yang pernah gue bikin.

Terkesan serakah, ya? Padahal, kerjaan normal gue juga udah cukup menyita banyak waktu, tapi gue butuh kerjaan yang menghasilkan secepat mungkin. Nggak masalah badan gue mau seremuk apa. 

Gue bukan lebay. Keluhan lambung ini emang udah ada dari dulu, mungkin karena kebiasaan makan gue yang berantakan. Semua bermula pas gue dengar Bapak sama Ibu ngobrol. Bapak belum makan dari pagi karena nggak ada beras. Ada bubur, tapi buat jualan. Gue sama Selly masih bisa makan itu, tapi Bapak memilih buat nggak makan. Setiap ditanya, Bapak selalu bilang puasa, tapi buka puasa pun cuma minum air putih. Dari situ gue mikir gimana caranya makan sesedikit mungkin biar bisa lebih hemat beras. Gue bisa makan sehari sekali, bahkan nggak makan sama sekali. Ibu marah-marah karena gue nggak mau makan, tapi gue berlagak bandel saat itu. Gue juga selalu memastikan makan setelah Bapak sama Ibu makan.

Ternyata kebiasaan itu kebawa sampe gue dewasa. Pas PKL, lambung gue lumayan sering bermasalah karena emang kurang makan dan lumayan stres sama tekanan di tempat PKL. Ibu bilang itu cuma apotek kecil, nggak ada tantangan, padahal salah besar. Apotekernya salah satu guru pelajaran produktif di sekolah gue, jadi tekanannya nggak main-main. Cuma kalau sampai muntah darah baru beberapa hari belakangan ini. Gue mikirnya ada luka di tenggorokan saking seringnya gue muntah, tapi dokter bilang kemungkinan karena perdarahan lambung dan sebetulnya itu kondisi darurat medis. Benar nggak, sih? Untung banget gue masih bisa kerja dan berusaha terlihat normal sampe hari ini.

Gue sempat nyari tau, tapi malah takut sendiri dan stres banget jadinya. 

Setiap napas, tuh, rasanya berat dan sesak. Kayak dibebat dari depan sampe belakang. Belum sakitnya. Gue jadi kangen disayang. Childish nggak, sih, kalau sekarang gue berharap Ibu ada terus manjain gue? Semenjak dituntut jadi dewasa, gue mulai lupa rasanya jadi manusia. Jadi, dewasa, tuh, menurut gue fase paling nggak manusiawi dalam hidup.

Pas lagi bengong, tiba-tiba perut gue bunyi. Wajar, sih, beberapa hari ini makan gue jauh banget dari kata benar. Selain mual, berasa ada yang nyangkut di tenggorokan yang bikin gue susah mencerna makanan. Sejujurnya gue mulai takut sama gejala yang makin beragam, tapi nggak bisa cerita ke siapa-siapa. Kemarin kalau bukan Lala yang mancing cerita juga gue nggak akan cerita. Setelah kenal dekat, dia ternyata tipe cewek yang lumayan senang ngobrol. Padahal, dulu pas awal dia masuk kok kesannya nyebelin. Nggak punya pendirian dan terkesan nggak peduli sama orang. Ternyata dia kelihatan begitu karena partnernya Cantika aja.

Namanya Lalisa, tapi karena nama itu sama kayak idol girl group, jadi dia lebih suka dipanggil Lala. Bukan ... bukan karena nggak suka sama girl group-nya, tapi karena dia nggak ngerasa secantik itu buat dipanggil Lalisa. Padahal, sebagai perempuan dia cantik kok. Kulitnya bukan yang putih banget kayak Cantika tapi tetap mulus dan wangi banget. Ada bekas jerawat di wajahnya, tapi itu nggak bikin dia kelihatan jelek atau gimana. Menurut gue normal-normal aja, karena adanya pun hormonal, tapi dia nggak percaya diri karena itu. Dan satu fakta lagi yang baru gue tau kemarin, Lala itu orang kaya gabut yang kebetulan nyangkut di sini. Nenek sama kakeknya kaya dari lahir, orang tuanya kerja di perusahaan BUMN, kakaknya arsitek yang cewek, yang cowok owner penerbit semi-mayor yang baru merintis, dan dia ditawarin buat lanjut kuliah farmasi, tapi nggak mau karena udah capek mikir. Aneh, kan?

Keberadaan dia bikin gue kangen sama Alisa. Mereka bertolak belakang emang. Apalagi, Lala ini terkesan lebih cuek walaupun sama-sama perhatian. Bukan cuek, sih, dia cuma nggak bisa menunjukkan perhatiannya secara langsung. Kalau Alisa emang manis dan perhatian banget.

Eh? Kenapa gue tiba-tiba mikirin Lala? Gue menggeleng beberapa kali. Duduk bengong kayak gini emang riskan banget masuk pikiran aneh-aneh.

"Mas udah makan?"

Tuh, kan. Gue sampe bisa dengar suara Ibu saking kosongnya isi kepala. Gue nggak jawab.

Tiba-tiba pintu kamar gue terbuka. Ibu masuk, terus tanya lagi, "Mas? Makan belum?"

Gue pukul kepala gue sekali. Biar suara Ibu keluar dari sana. Kayaknya saking kangennya semua yang gue pikirin berubah jadi audiovisual gitu.

"Kok malah bengong?"

Lho? Ternyata beneran Ibu. Tumben banget. "Belum, Bu," jawab gue.

"Makan dulu."

"Nanti aja, Bu. Belum enak makan."

"Ibu ambilin bubur, ya? Ada sisa tadi. Diisi yang lembut-lembut aja biar nggak sakit perutnya."

Hm? Ibu tau yang bermasalah itu perut gue? 

"Seprai kamu udah Ibu cuci. Lain kali simpan di keranjang cucian, jangan malah dilipat gitu aja. Jorok."

Ah, berarti Ibu lihat darahnya? Gue nggak bermaksud jorok, tapi emang lupa. Semalam udah capek banget dan seprainya juga nggak ada di tempat kemarin gue simpan, jadi gue tinggal tidur. Rencananya mau dicuci hari ini, tapi malah keduluan Ibu.

"Kamu ada luka? Seprai kamu ada darahnya."

Gue bingung mau jawab apa soalnya darah itu bukan bersumber dari luka luar. Nyembur gitu aja dari mulut gue nggak bisa ketahan dan nggak keburu lari ke kamar mandi. Gue bahkan masih ingat sensasinya setelah itu. 

"Mas?"

"Nggak kok, Bu, pelipisku berdarah lagi kemarin jadi ke mana-mana darahnya."

"Kenapa itu bisa luka?"

Ibu akhirnya nanya setelah gue pikir nggak akan pernah peduli. 

"Kepentok, Bu."

Setelah itu Ibu keluar. Gue pikir, ya udah. Ibu cuma sebatas basa-basi aja, bukan peduli. Tapi, ternyata Ibu balik lagi bawa semangkuk bubur.

"Makan dulu, Mas."

Gue membetulkan posisi jadi setengah duduk, dan berniat mengambil alih mangkuk itu dari tangan Ibu, tapi ternyata Ibu nyuapin gue. Iya, nyuapin gue untuk pertama kalinya lagi setelah belasan tahun. Gue masih terpaku saat sendok itu udah ada di depan mulut.

"Jangan sakit ... jangan luka. Nggak ada yang bisa Ibu andalkan selain kamu."

Refleks gue mengangkat kepala, melihat Ibu lebih dekat, dan ... Ibu nangis. Makanan yang ada di mulut gue mendadak pahit. Gue bisa membaca ke mana arahnya. Dari dulu Ibu sangat bergantung sama Bapak. Jadi, pas Bapak nggak ada Ibu benar-benar kelimpungan nggak punya tumpuan. Terus ada gue, cowok, dianggap paling kuat buat nerusin tanggung jawab Bapak. Gue pengin, tapi belum bisa sampai di titik itu. Ego anak muda itu dahsyat. Secara pribadi, gue belum bisa sepenuhnya ikhlas atas tanggung jawab yang diberikan, dan itu benturan setiap hari. 

Kayak ... kapan gue memikirkan diri sendiri? Kapan gue mencintai diri gue lebih banyak? Kapan gue berhenti mengorbankan diri untuk orang lain? Atau pertanyaan terakhir saat gue nggak menemukan jawaban atas pertanyaan gue sebelumnya adalah kapan gue bisa lapang menerima semuanya? Gue cuma bisa pasrah mengikuti ke mana takdir ini mengarah.

Setelah beberapa suap memasukan makanan ke mulut gue, Ibu keluar lagi. Bawa minum dan entah apa.

"Ini buat kamu."

Gue terkejut karena ternyata itu tablet. 

"Ibu jual anting sama cincin buat beli ini. Kamu bilang lagi coba usaha baru, tapi Icel semalam bilang HP kamu nggak memadai, Mas, jadi Ibu beliin ini. Siapa tau lebih menghasilkan."

"Tapi, Bu, cincin Ibu ...."

"Nggak apa-apa. Nanti kalau Ibu ada rezeki beli lagi."

"Makasih, ya, Bu."

Kalau sebelumnya kondisi HP gue bisa dijadikan alasan buat istirahat, kali ini nggak bisa karena difasilitasi. Artinya gue harus kerja lebih keras lagi. Gue nggak tau ini apa. Apakah bentuk perhatian atau sogokan?

***

Selly pulang sekitar pukul 20.30, dan cukup bikin gue ngamuk. Gue pernah muda, tapi nggak pernah sampe selama itu. Tapi, Ibu membela anak itu. Katanya, nggak apa-apa dia main karena di hari biasa Selly capek belajar.

Pas makan malam, lagi hening-heningnya cuma denting sendok sama piring yang kentara, tiba-tiba Selly bilang sesuatu yang bikin gue sama Ibu kompak diam.

"Bu, setelah lulus nanti, boleh nggak aku kuliah?"

Sebenarnya, itu bukan pertanyaan yang mustahil gue dengar dari bibir Selly. Karena dia pintar dan punya cita-cita, tapi dengan kondisi ekonomi keluarga yang kayak gini nyaris nggak mungkin dia kuliah. Baru setingkat SMA aja gue udah nggak bisa napas, gimana dia kuliah? 

"Tapi, tenang ... tenang. Aku nggak akan minta uang dari Ibu atau Mas Nunu."

Itu malah lebih bikin gue kaget lagi. Kecuali dia dapat beasiswa, hampir nggak mungkin bisa lanjut kuliah tanpa bantuan gue sama Ibu.

"Maksud kamu gimana, sih? Jangan bertele-tele coba. Mas nggak ngerti."

Gue jadi kesal sendiri, padahal muka dia sumringah, tapi nggak tau kenapa gue malah kesal.

"Pak Taufik, atasannya Mas, baik banget, ya. Dia, kan, nanya-nanya aku peringkat berapa di sekolah? Aku jawab satu terus sampe sekarang. Terus ditanya lagi, ada niat kuliah nggak? Aku bilang ada tapi nggak tau bisa atau nggak."

Perut gue langsung melilit begitu nama atasan gue disebut. Tapi, gue nggak langsung bereaksi. Butuh informasi lebih banyak.

"Nah, terus dia nyuruh aku nyari-nyari kampus dari sekarang. Katanya pilih kampus yang aku mau, tanya-tanya sama alumni sana kalkulasi biayanya berapa dari awal sampe akhir. Gitu aja bikin aku kaget, terus Pak Taufik bilang, aku bisa cicil bayarnya. Jadi, potong gaji dan itu fleksibel berapa pun aku sanggupnya tiap bulan. Nggak masalah, deh, aku kerja di situ dulu. Nanti setelah lulus kuliah aku cari kerjaan yang lebih baik. Dia ngusap-ngusap kepalaku, Bu, kayak sama anaknya sendiri. Aku jadi kangen Bapak."

Semaksimal mungkin gue udah berusaha menahan diri, tapi apa yang ada di kepala si cabul itu bikin gue mual. Gue langsung bangun dan jalan cepat ke kamar mandi. Memikirkan apa yang dia rencanakan dan mungkin dia lakukan ke adik gue mendorong muntah lebih parah. Kalau dia aja berani melakukan hal hina kayak gitu—dalam konteks pemeriksaan—terhadap seorang anak kecil, apalagi setelah dia menawarkan sesuatu dan membuat kita berutang budi, dia pasti menjadikan itu alasan untuk mengikat. Gue benci banget memikirkan itu semua. Setelah selesai, gue kembali ke meja makan.

Tangan gue bergerak mengusap sudut mata yang berair, kemudian bilang, "Mulai besok kamu nggak usah masuk lagi."

Jelas itu bikin Selly sama Ibu berbalik menatap gue dengan tatapan marah.

"Kenapa? Kok tiba-tiba Mas nyuruh aku berhenti?"

"Iya kamu kenapa, Mas? Atasanmu udah baik sama Icel. Kok kamu malah minta adikmu berhenti?"

"Aku tau dia, lebih dari siapa pun." Gue menekankan. "Jadi, daripada terjadi sesuatu yang nggak kita inginkan. Lebih baik berhenti sekarang."

"Mas iri, kan? Mas iri karena aku baru masuk, tapi diistimewakan? Mas iri karena aku bisa kuliah?" Selly langsung marah dan bentak-bentak gue.

"Jangan kelewatan kamu, Mas. Kalau kamu nggak bisa memberikan kehidupan yang layak buat adikmu, seenggaknya jangan mempersulit jalannya! Icel pintar, sayang kalau dia nggak kuliah." Ibu ikut mengamuk.

"Itu bukan kebaikan, itu kesepakatan! Kita nggak pernah tau apa yang bakal dia ambil dari Icel setelah Icel mengiakan. Kasusnya udah banyak! Dan aku nggak mau itu terjadi sama adikku." Tanpa sadar gue menggebrak meja. Gue berusaha membuat mereka buka mata kalau nggak semua kebaikan bisa diterima mentah-mentah, apalagi dari orang yang baru kita kenal. "Kamu tinggal pilih, tetap di sana dan nggak melakukan apa-apa termasuk mengiakan kesepakatan itu, atau nggak usah sama sekali."

"Mas jahat!" Dia langsung pergi gitu aja setelah gue berujar demikian.

"Mas yang bakal menanggung semuanya. Kalau kamu mau kuliah, Mas bisa usahakan dan nabung dari sekarang. Kita punya waktu satu tahun buat nabung, Cel."

"Ibu benar-benar nggak ngerti sama kamu, Mas. Kenapa harus mempersulit diri kalau ada jalan yang mudah? Kamu nggak akan mampu. Nggak akan bisa. Sekarang aja kamu banyak ngeluh, gimana kalau Icel kuliah. Jahat kamu jadi kakak."

Gue sakit hati dengar apa yang Ibu bilang setelah semua yang gue usahakan, tapi itu lebih baik dibanding membiarkan adik gue disentuh apalagi dilecehkan. Gue cuma berusaha menjaga dia sebaik yang gue bisa. Dibenci bukan masalah besar. Suatu hari mereka pasti ngerti maksud dari apa yang gue lakukan hari ini.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 1 0 0
Submit A Comment
Comments (36)
  • nazladinaditya

    aduh, siapapun gigit cantika tolong 😭 aku pernah bgt punya temen kerja begitu, pengen jambak:(

    Comment on chapter Chapter 7 - Sisi baik dan kebahagiaan yang Tuhan janjikan
  • serelan

    Sumpah udh gedeg banget sama atasannya. Sikapnya kya org yg gak berpendidikan mentang² punya power. Maen tuduh, rendahin org, nginjek² org mulu tanpa nyari tau dulu kenyataannya. Klo tau ternyata si Jelek -males banget manggil Cantika- yg lagi² bikin kesalahan yakin sikapnya gak sama dgn sikap dia k Wisnu mentang² dia cewek cantik😡 lagian tu cewek gak becus knp masih d pertahanin mulu sih d situ, gak guna cuma bikin masalah bisanya. Tapi malah jadi kesayangan heran😑

    Comment on chapter Chapter 8 - Lebih dari hancur
  • serelan

    Nu Wisnuuu semoga jalan untuk menemukan kebahagian dalam hidupmu dimudahkan ya jalannya

    Comment on chapter Chapter 7 - Sisi baik dan kebahagiaan yang Tuhan janjikan
  • serelan

    Buat atasannya Wisnu jangan mentang² berpendidikan tinggi, berprofesi sebagai seorang dokter anda bisa merendahkan orang lain ya.. yang gak punya etika itu anda hey coba ngaca... ada kaca kan d rumah??
    Buat si Cantika yang sifatnya gak mencerminkan namanya anda d kantor polisi ya? Gara² apa kah? Jangan balik lg ya klo bisaaaa

    Comment on chapter Chapter 7 - Sisi baik dan kebahagiaan yang Tuhan janjikan
  • serelan

    Khawatirnya si ibu cuma karena mikirin masa depan si Selly mulu, takut banget klo mas Wisnu d pecat. Padahal jelas² tau mas Wisnu lg sakit tapi nyuruh buru² kerja jgn sampe d pecat. Semangat pula nyiapin bekal dan jadi tiba² perhatian cuma karena mas Wisnu bilang mau nyari kerja part time. Biar dapet tambahan duit buat si Selly ya bu ya😑.

    Comment on chapter Chapter 7 - Sisi baik dan kebahagiaan yang Tuhan janjikan
  • nazladinaditya

    baru baca bab 3, speechless si.. cantika kata gue lo asu 😭🙏🏻 maaf kasar tp kamu kayak babi, kamu tau gak? semoga panjang umur cantika, sampe kiamat

    Comment on chapter Chapter 3 - Dorongan atau peringatan?
  • serelan

    Curiga Selly yg ngambil dompet ibunya terus uangnya d pake CO Shopee, karena takut ketauan belanja sesuatu makanya pulang dulu buat ambil paketnya... Atasannya mas Wisnu cunihin ya sepertinya😂 ke cewe² aja baik, ke cowo² galak bener... gak adakah org yg bener² baik di sekitaran Wisnu? Ngenes banget idupnya..

    Comment on chapter Chapter 6 - K25.4
  • nazladinaditya

    siapa yang menyakitimuu wahai authoorrr 😭😭 tolong musnahkan ibu itu, singkirkan dia dari wisnu jebal

    Comment on chapter Chapter 5 - Pergi sulit, bertahan sakit
  • serelan

    Kesel banget sama ibunya. Selalu banding²in. Negative thinking terus lagi sama Wisnu. Awas aja klo ternyata anak yg d bangga²kan selama ini justru malah anak yg durhaka yg gak tau diri, rusak gara² cara didik yg gak bener.

    Comment on chapter Chapter 5 - Pergi sulit, bertahan sakit
  • serelan

    Nu, udh parah itu Nu🥺
    Nu, coba bilang aja dulu sama atasan klo si Selly mau coba bantu² biar liat gimana kakaknya diperlakukan di tempat kerjanya. Biar bisa mikir tu anak kakaknya nyari duit susah payah.

    Comment on chapter Chapter 4 - Namanya juga hidup
Similar Tags
AMBUN
456      324     1     
Romance
Pindahnya keluarga Malik ke Padang membuat Ambun menjadi tidak karuan. Tidak ada yang salah dengan Padang. Salahkan saja Heru, laki-laki yang telah mencuri hatinya tanpa pernah tahu rasanya yang begitu menyakitkan. Terlebih dengan adanya ancaman Brayendra yang akan menikahkan Ambun di usia muda jika ketahuan berpacaran selama masa kuliah. Patah hati karena mengetahui bahwa perasaannya ditiku...
Liontin Semanggi
1374      846     3     
Inspirational
Binar dan Ersa sama-sama cowok most wanted di sekolah. Mereka terkenal selain karena good looking, juga karena persaingan prestasi merebutkan ranking 1 paralel. Binar itu ramah meski hidupnya tidak mudah. Ersa itu dingin, hatinya dipenuhi dengki pada Binar. Sampai Ersa tidak sengaja melihat kalung dengan liontin Semanggi yang dipakai oleh Binar, sama persis dengan miliknya. Sejak saat...
FINDING THE SUN
446      189     15     
Action
Orang-orang memanggilku Affa. Aku cewek normal biasa. Seperti kebanyakan orang aku juga punya mimpi. Mimpiku pun juga biasa. Ingin menjadi seorang mahasiswi di universitas nomor satu di negeri ini. Biasa kan? Tapi kok banyak banget rintangannya. Tidak cukupkah dengan berhenti dua tahun hanya demi lolos seleksi ketat hingga menghabiskan banyak uang dan waktu? Justru saat akhirnya aku diterima di k...
Hello, Troublemaker!
1214      563     6     
Romance
Tentang Rega, seorang bandar kunci jawaban dari setiap ujian apapun di sekolah. Butuh bantuan Rega? mudah, siapkan saja uang maka kamu akan mendapatkan selembar kertas—sesuai dengan ujian apa yang diinginkan—lengkap dengan jawaban dari nomor satu hingga terakhir. Ini juga tentang Anya, gadis mungil dengan tingkahnya yang luar biasa. Memiliki ambisi seluas samudera, juga impian yang begitu...
May I be Happy?
408      274     0     
Inspirational
Mencari arti kebahagian dalam kehidupan yang serba tidak pasti, itulah kehidupan yang dijalani oleh Maya. Maya merupakan seseorang yang pemalu, selalu berada didalam zona nyamannya, takut untuk mengambil keputusan, karena dia merasa keluarganya sendiri tidak menaruh kepercayaan kepada dirinya sejak kecil. Hal itu membuat Maya tumbuh menjadi seperti itu, dia tersiksa memiliki sifat itu sedangka...
Diary of Rana
183      155     1     
Fan Fiction
“Broken home isn’t broken kids.” Kalimat itulah yang akhirnya mengubah hidup Nara, seorang remaja SMA yang tumbuh di tengah kehancuran rumah tangga orang tuanya. Tiap malam, ia harus mendengar teriakan dan pecahan benda-benda di dalam rumah yang dulu terasa hangat. Tak ada tempat aman selain sebuah buku diary yang ia jadikan tempat untuk melarikan segala rasa: kecewa, takut, marah. Hidu...
Melankolis
3028      1115     3     
Romance
"Aku lelah, aku menyerah. Biarkan semua berjalan seperti seharusnya, tanpa hembusan angin pengharapan." Faradillah. "Jalan ini masih terasa berat, terasa panjang. Tenangkan nafsu. Masalah akan berlalu, jalan perjuangan ini tak henti hentinya melelahkan, Percayalah, kan selalu ada kesejukan di saat gemuruh air hujan Jangan menyerah. Tekadmu kan mengubah kekhawatiranmu." ...
Anikala
868      408     2     
Romance
Kala lelah terus berjuang, tapi tidak pernah dihargai. Kala lelah harus jadi anak yang dituntut harapan orang tua Kala lelah tidak pernah mendapat dukungan Dan ia lelah harus bersaing dengan saudaranya sendiri Jika Bunda membanggakan Aksa dan Ayah menyayangi Ara. Lantas siapa yang membanggakan dan menyanggi Kala? Tidak ada yang tersisa. Ya tentu dirinya sendiri. Seharusnya begitu. Na...
Yakini Hatiku
20      15     1     
Romance
Setelah kecelakaan yang menimpa Fathur dan dinyatakan mengidap amnesia pasca trauma, Fathur mulai mencoba untuk mengingat segala hal seperti semula. Dalam proses mengingatnya, Fathur yang kembali mengajar di pesantren Al-Ikhlas... hatinya tertambat oleh rasa kagum terhadap putri dari pemilik pesantren tersebut yang bernama Tsania. Namun, Tsania begitu membenci Fathur karena suatu alasan dan...
Rumah?
51      49     1     
Inspirational
Oliv, anak perempuan yang tumbuh dengan banyak tuntutan dari orangtuanya. Selain itu, ia juga mempunyai masalah besar yang belum selesai. Hingga saat ini, ia masih mencari arti dari kata rumah.