Loading...
Logo TinLit
Read Story - Loveless
MENU
About Us  

Apa itu hidup?

Pertanyaan itu iseng gue ketik di laman pencarian, dan nggak lama setelahnya halaman bertulis ‘Ringkasan AI’ di deretan paling atas yang disusul berbagai artikel muncul di layar HP gue.

Hidup adalah keadaan atau kondisi keberadaan suatu makhluk biologis yang memiliki fungsi-fungsi kehidupan seperti bernapas, bergerak, berkembang, bereproduksi, dan bereaksi terhadap rangsangan. Secara sederhana, hidup berarti masih ada, bernapas, dan melakukan aktivitas atau proses biologis.

Oh gitu, ya? Berarti secara harfiah gue masih hidup. Tapi, kalau gue udah nggak bisa ngerasain apa-apa, letak bedanya sama mati sebelah mana?

Ibu masih marah karena kejadian tadi. Bahkan, setelah gue pulang dan ngasih semua uang yang gue punya pun Ibu tetap bersikap jutek.

Selly jangan ditanya, gue kayak nggak kelihatan di matanya. Sampai detik ini gue nggak tau kenapa dia bersikap kayak gitu, padahal gue yang harusnya marah. Gue cuma pengin jagain dia hari itu, takut kalau ada orang jahat yang tau dia punya uang. Kalau dia menganggap jalan sama gue dan batalin janji sama teman-temannya adalah dosa besar, demi Tuhan gue nggak akan melakukan itu lagi.

Mati-matian gue berusaha buat nggak mikirin mereka, tapi namanya tengah malam, perut kosong, enteng banget, kan, ini isi kepala jalan-jalan. Gue udah nggak punya uang sama sekali. Mau makan di sini juga rasanya malu karena mereka sama kompak diemin gue. Dalam keadaan normal aja gue selalu nunggu ditawarin, apalagi pas kayak gini. Gue juga nggak pernah minta apa pun, bahkan pas gue PKL—dan kebetulan di luar kota—sebelum Bapak nanya, ‘Mas, bekalnya masih ada?’ atau ‘Mas masih ada uang nggak?’ gue nggak akan bilang uangnya habis.

Apesnya, sekarang gue jadi nggak bisa tidur. Tangan gue juga tremor, nggak tau karena lapar atau nyeri ulu hati yang nggak hilang, makanya gue berusaha mengalihkan biar nggak sakit banget dengan searching-searching hal random begini. Ternyata malah kayak dikasih asupan.

Dulu almarhum Bapak pernah bilang, "Mas, membahagiakan semua orang itu sudah di luar kepasitasmu sebagai manusia biasa. Kebahagiaan tanggung jawab masing-masing individu. Jadi, bukan salahmu kalau mereka nggak bahagia. Karena mereka yang sepenuhnya memutuskan mau seperti apa dan dengan cara apa mereka hidup."

Tau nggak kenapa bisa muncul obrolan sedalam itu sama Bapak? Karena dulu, tuh, gue nggak bisa banget nolak orang yang minta tolong. Gue merasa mampu melakukan segalanya buat mereka. Bahkan, nggak ada pun gue ada-adain. Bapak melihat itu dan langsung ngajak gue ngobrol berdua.

Di dunia ini yang benar-benar ngajak gue ngobrol tentang diri sendiri cuma almarhum Bapak sama almarhumah Alisa. Selebihnya cuma menghubungi atau ngajak ngobrol pas butuh sesuatu. Jadi, wajar, kan, kalau mereka selalu jadi orang yang keberadaannya paling gue kangenin.

Gue refleks bangun dan mengatupkan mulut saat sesuatu naik ke tenggorokan. Awalnya, gue cuma diam, tapi ternyata nggak bisa ditahan, sama kayak sebelumnya. Buru-buru gue lari ke kamar mandi, dan muntah lagi. Nggak tau yang keberapa, tapi seharian ini cukup bikin gue kewalahan minimal buat tetap sadar.

Mata gue sedikit berkunang-kunang, jadi dari kamar mandi gue langsung ke dapur dan minum sebanyak mungkin. Lumayan, sambil menyelam minum air. Ya kenyang, ya nggak akan pingsan.

Pas balik ke kamar, gue coba mempraktikkan apa yang selalu dilakukan dokter buat ngecek tanda-tanda dehidrasi. Uji turgor kulit namanya kalau nggak salah. Jadi, kalau dicubit dan baliknya cepat berarti aman, kalau nggak ... ya udah tinggal nunggu label acc dari Allah ke malaikat maut.

Ternyata nggak terlalu cepat, tapi nggak selambat itu juga. Artinya apa, ya? Mau nanya sama dokter yang biasa jaga di tempat kerja, takut tiba-tiba ditagih uang konsul. Boro-boro buat Konsul, beli antasida yang cuma dua ribu lima ratus perak aja gue nggak mampu.

Capek banget rasanya. Mudah-mudahan, karena lemas gue udah masuk kategori lemas maksimal, gue bisa tidur. Besok masuk pagi soalnya.

Baru coba merem-merem ayam sambil nahan sensasi mual yang masih ada, seseorang ngetuk pintu kamar gue. Dengan perasaan malas, gue turun dari tempat tidur, dan agak kaget ternyata orang itu ... Ibu.

"Masuk angin Mas?" tanyanya.

Gue ngangguk.

"Ibu cuma bikinin air anget, biar enakan perutmu. Mau nawarin makan nggak ada apa-apa. Adikmu aja cuma makan sama tempe, nasinya sedikit terus kering jadi Ibu buang. Pagi aja nanti, ya, makannya. Ibu sisasin bubur buat kamu sama Icel"

"Iya, Bu."

"Kalau udah habis minumnya, langsung tidur."

Lagi, gue cuma ngangguk. Itu aja udah cukup kok. Beneran cukup. Mudah-mudahan nanti pas tidur juga gue mimpiin Bapak, biar lengkap bahagianya. Ketemu Bapak sama dapat perhatian dari Ibu.

Kali ini gue benar-benar berusaha buat tidur, dengan harapan pas bangun pagi nanti gue udah sehat dan keadaan di rumah jauh lebih baik.

***

Paginya ternyata nggak sesuai harapan. Ada bubur di meja makan, sesuai sama apa yang Ibu bilang, tapi ada pembicaraan yang bikin gue nggak nyaman. Ibu tiba-tiba bahas Selly sama PKL-nya. Selly nanya, boleh nggak dia ikut sama gue ke klinik sampai waktu yang nggak ditentukan buat belajar? Jadi, pas PKL nanti dia nggak kosong banget. Gue tau kebiasaan Selly, tapi ini kejauhan, nggak, sih? Dia bisa sambil belajar nanti pas PKL.

"Coba bilang sama atasanmu, Mas. Icel cuma bantu-bantu aja. Nggak minta digaji. Tapi, ya, kalau digaji alhamdulillah."

Gue nggak bisa nolak, tapi nggak mau menjanjikan juga. "Gimana nanti aja, Bu. Aku nggak bisa janjiin karena keputusan sepenuhnya ada di tangan atasan. Raina aja yang udah lama nggak berani ngomong, apalagi aku yang baru sebentar."

"Iya, tapi diusahakan dulu. Sama kayak kamu, Selly pun ada sidang setelah PKL. Dia harus kelihatan luar biasa biar nilainya bagus dan bisa diperhitungkan sama pihak-pihak yang ada di tempat PKL-nya."

Sekali lagi, gue cuma mengiakan tanpa ngasih jawaban pasti, kemudian pamit buat berangkat kerja. Selama perjalanan yang cuma sepuluh menit, gue sibuk berpikir, kalau misal diturutin gue bingung ngobrol sama atasan, tapi kalau nggak diturutin, mereka semua udah pasti bakal musuhin gue.

Sepuluh menit berlalu, tahu-tau gue udah di depan klinik. 

Klinik Pratama Asta Madya Medika

Gue mau masuk juga sebenarnya udah malas duluan. Nggak tau kenapa, capek aja bawaannya setiap mau kerja. Padahal, belum gerak, tapi rasanya udah secapek itu. Entah karena kliniknya emang penuh kutukan, jiwa gue yang udah nggak di sana, atau ... ini yang namanya burn out? Nggak ngerti. Masa lebay banget baru enam bulan kerja udah burn out? Terserah apa pun itu namanya. Selama masih bisa jalan, bakal gue hadapi walaupun sambil istigfar.

Sebelum benar-benar masuk, gue menghela napas. Apalagi, udah ada motor Cantika di parkiran, rasa capek ini jadi seratus kali lipat.

Pas masuk, anak itu lagi sibuk nulis, tapi reflek berhenti dan kelabakan seolah lagi nyari sesuatu. 

"Kenapa?" Gue bertanya dengan nada sebiasa mungkin.

"Nggak." Dia menjawab singkat.

Sebenarnya kalau ada Selly di sini kita sangat terbantu. Dengan kapitasi jaminan kesehatan yang udah hampir sepuluh ribu dan tenaga teknis kefarmasian cuma tiga biji, benar-benar bikin kewalahan. Kita kerja tiga sif. Pagi, middle, dan siang. Pagi jam 07.00 - 14.00, middle jam 8.00 - 12.00 nanti lanjut jam 17.00 - 21.00, sedangkan sif siang jam 14.00 - 21.00. Kalau ada yang libur otomatis satu di antara kita lembur gantian. Gue pengin bawa Selly, tapi nggak rela aja dia harus ketemu banyak setan yang cosplay jadi manusia di tempat ini.

Tanpa basa-basi, gue ke depan. Terus Bu Ola masuk. Gue tau karena mereka langsung heboh, tapi kok nggak sampai lima menit mereka hening. Gue berdiri di depan meja kasir.

"Nanti kamu tinggal tulis aja. Formalitas. Terus kasih obatnya kalau ada anak buah Bapak yang ke sini. Bayarnya dua ratus ribu. Ke psikiaternya seratus tujuh puluh ribu, buat kamu tiga puluh ribu."

Gue sedikit bingung dengar obrolan mereka, tapi berusaha buat nggak peduli. Selama gue nggak diajak ngobrol, berarti bukan urusan gue.

"Tapi, nggak akan apa-apa, Bu?"

"Nggak. Nanti Ibu bilang ke mereka biar datang pas kamu aja yang jaga."

Terserah mereka mau ngomongin apa. Gue cuma mau kerja di sini, dan mau hidup tenang. Tapi, tunggu ... kenapa Bu Ola jadi rajin banget ke sini? Biasanya, cuma pas ada Dinkes atau akreditasi aja? Kenapa jadi serajin ini?

Spontan gue menggeleng. Nggak. Bodo amat. Gue nggak peduli mereka ngomongin apa.

"Nu."

Pengin ngomong kasar, tapi nggak boleh. Baru berharap hari ini lebih tenang, udah ada panggilan.

"Iya, Bu."

"Stok obat sirup rata-rata udah habis. Tolong kamu turunin, ya. Kemarin disimpan di lantai 3, kan? Di gudang? Kasihan lho cewek-cewek harus bolak-balik buat ambil."

"Bu, boleh nggak ambilnya besok? Perut saya lagi agak sakit. Nggak kuat naik turun tangga sambil bawa barang banyak."

"Alay banget kamu. Cowok bukan? Gunanya cowok di sini apa kalau hal kayak gitu aja sama sekali nggak bisa bantu?"

"Nggak apa-apa, Bu, biar saya aja yang bawa. Wisnu kayaknya butuh istirahat kasihan."

"Nggak bisa. Kamu perempuan. Itu kerjaan laki-laki."

Padahal status sama, gaji sama, kerjaan banyakan gue, tapi masalah kayak gini juga tanggung jawab gue. Bukan ngeluh, cuma ngeluarin unek-unek. Akhirnya gue mengalah. Mau ngelawan juga percuma, sampai beruang kutub punya sayap pun gue nggak akan pernah dimenangkan.

Ini hari kesekian, dan nyeri di ulu hati masih konsisten banget nggak mau pergi. Kadang rasanya kayak dibebat. Sakit sampe belakang dan ngasih sensasi penuh juga sesak. Kalau lagi parah-parahnya, napas aja berat banget. Kalau ada napaspaylater gue ambil itu deh. Hari ini nggak napas, napasnya dibayar nanti saking sakitnya.

Gue tumpuk tiga kardus besar berisi Amoxycillin dry sirup, Paracetamol sirup, sama ambroxol sirup, karena tiga obat itu yang stoknya gampang habis. Mending berat sekali daripada ringan, tapi naik turun berkali-kali. Bukan cuma sakit ulu hati, lambung gue juga bisa lompat keluar. Lagian, yang ngide nyimpen gudang di lantai tiga, tuh, siapa? Nggak habis pikir.

Perih banget Ya Tuhan. Kayak lagi disiletin dari dalam? Ngerti nggak, sih, rasanya? Padahal udah masuk bubur bikinan Ibu. Harusnya ada yang bisa digerus biarpun sedikit, jadi asam lambung nggak gabut-gabut banget sampe ngerusak lapisan atau dinding lambung. Tapi, kenapa sesakit ini, ya?

Susah payah gue jalan biar sampai ke lantai bawah, tapi pas sampe, Tuan Putri tiba-tiba bilang, "Nu, HP Ibu ketinggalan di ruang rapat, bisa bawain ke sini? Alsava udah ngamuk pengin pulang."

Nggak ada minat buat bantah. Gue langsung naik lagi dan ambil benda itu.

Mendadak jam dua, tuh, rasanya lama banget. Gue yang baru datang rasanya pengin pulang lagi.

***

Tadi Ibu chat, Selly pulang telat hari ini karena ada urusan di sekolah, jadi  Tumben banget. Biasanya kalau mau main pun anak itu jujur, kenapa pas dia bilang ada urusan di sekolah gue ngerasa nggak terima gitu. Jadi, pas pulang kerja gue langsung ke sekolahnya Selly. Jalan kaki. Padahal, cuma jalan bolak-balik di sini aja hampir semaput, tapi gue memilih buat ke sekolah Selly.

Sembunyi-sembunyi pastinya. Kalau ketahuan, gue bukan cuma dimusuhin, tapi dicoret jadi kakak.

Pas sampe sana setelah perjalanan yang panjang. Gue diam di dekat kedai minuman. Di pinggir, sembunyi. Iseng gue nanya anak kelas XI udah pulang belum, katanya sebentar lagi. 

Lebih dari sepuluh menit gue nunggu, sampai kemudian gue lihat Selly, tapi ... sama cowok! Iya cowok! Mereka di parkiran. Selly nungguin cowok itu keluarin motor. Sebenarnya gue nggak yakin karena mata gue minus, tapi tasnya jelas tas adik gue. Tas hijau tosca dengan gantungan kunci segambreng.

Pas mereka jalan dan lewat kedai minuman tempat gue sembunyi, gue makin yakin kalau itu Selly, tapi gue nggak bisa ngejar karena emang nggak ada kendaraan. Mustahil gue lari-lari ngejar motor. 

Kenapa Selly bohong sama Ibu? Dia bilang ada urusan ternyata pergi sama cowok. Jangan-jangan dia ngamuk kemarin karena gue yang akhirnya nemenin dia beli HP juga karena cowok ini? 

Perut gue tiba-tiba melilit. Udah gue bilang, kan, kalau pikiran sama lambung gue, tuh, bisa langsung connect otomatis. Mending sekarang gue pulang, dan tanyain nanti baik-baik. Diam di sini juga nggak berguna. Tapi, baru beberapa langkah sakitnya makin nggak kira-kira.

Gue refleks duduk karena tiap gerak atau bangun perut gue kayak diremas. Nggak mau bikin keributan, sedikit memaksakan diri gue jalan menjauh. Cuma nggak tahan. Lagi-lagi kayak ada yang naik ke tenggorokan, kali ini panas dan kayak ada rasa besi. 

Lawan, lawan, lawan, perintah gue dalam hati. Sayangnya nggak bisa, semakin gue tahan, rasanya malah sesak. Tubuh gue secara naluriah membungkuk dan muntah lagi. Di tengah usaha gue buat tetap sadar, cairan merah di atas bebatuan tempat gue muntah barusan bikin gue mikir, gigi gue lepas? Kenapa muntah gue ada darahnya?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 3
Submit A Comment
Comments (36)
  • serelan

    Bahagia selalu ya kalian... Mas Nu udh nemuin kebahagiaan.. tetap bahagia selamanya, skrng ada orang² yg sayang banget sama Mas Nu. Ibu, Icel sama calon istrinya🥰

    Comment on chapter Chapter 24 - Penuh cinta
  • serelan

    Kejahatan pasti terbongkar. Mau sepintar apapun nyembunyiin bangkai pasti lama² kecium jg baunya.. para korban akhirnya pada speak up. Gak akan ada celah lagi buat si Topik ngelak. Kalo selama ini dia bisa bungkam para korban dengan powernya. Klo kasusnya udh nyebar gini udh gak bisa d tutupin lagi.. buat Wisnu harus sembuh ya biar bisa lebih lama lagi ngerasain kehangatan keluarganya..

    Comment on chapter Chapter 23 - Titik hancur
  • serelan

    Harus bahagia ya kalian.. jadi keluarga yg saling jaga.. dan si Topik² itu pokoknya harus dapet karma dari perbuatannya gimanapun caranya, dimudahkan jalannya..

    Comment on chapter Chapter 22 - Hangat
  • serelan

    Ya allah... siapa yang naro bawang di chapter ini? 😭 nangis banget baca ini...

    Comment on chapter Chapter 21 - Keputusan besar
  • serelan

    Nah ketauan kan sifat si Topik Topik itu.. ke orang² aja dia selalu bilang etika sopan santun pengen banget d pandang tinggi sama org. Tapi etika sopan santun dia aja minus. Dia lebih rendah drpd org yg dia kata²in.. sakit otaknya, cuma org² yg jual diri kyanya yg dia anggap punya etika sama sopan santun.. udh kebalik otaknya.

    Comment on chapter Chapter 20 - Pengakuan mengejutkan
  • serelan

    Nah gitu bu... baek baek sama Wisnu. Lagi sakit loh itu anaknya... Kira² Mas Wisnu bakal jujur gak ya ke keluarganya soal penyakitnya?

    Comment on chapter Chapter 19 - Memberi ruang
  • serelan

    Itu uang yang dihasilin sama Wisnu dari hasil kerja kerasnya selama ini yang selalu diambil semuanya sama si ibu ibu itu anda anggap apa bu? Kok masih aja bilangnya gak mau membantu keluarga padahal hasil kerjanya anda ambil semua. Selalu seneng klo ambil lembur karena nambah duit yg akhirnya diambil anda juga.. Masa gak boleh sesekali bahagiain diri sendiri buat apresiasi dari hasil kerja kerasnya, walau capek bisa tetap bertahan. Gak tiap hari loh bu... si ibu pengennya idup enak tapi Wisnu anaknya jadi sapi perah terus

    Comment on chapter Chapter 18 - Hilang fungsi
  • serelan

    Nu, kuat ya kamu... harus kuat... Icel jangan berubah pikiran lagi ya.. terus turutin apa kata Mas mu, karena apa yg dia bilang pasti yang terbaik buat kamu...

    Comment on chapter Chapter 17 - Tempat untuk pulang
  • serelan

    La, kamu ada rasa kah sama Nunu? Peduli banget soalnya sama Wisnu... Sell, mulai ya buat berubah jadi lebih baik, lebih perhatian sama Masmu ya...

    Comment on chapter Chapter 16 - Es pisang ijo segerobak
  • serelan

    Gimana perasaanmu Sell lihat Mas mu kya gitu? Nyesel? Peduli? Atau masih sama aja...

    Comment on chapter Chapter 15 - Tempat untuk jatuh
Similar Tags
The Boy Between the Pages
911      667     0     
Romance
Aruna Kanissa, mahasiswi pemalu jurusan pendidikan Bahasa Inggris, tak pernah benar-benar ingin menjadi guru. Mimpinya adalah menulis buku anak-anak. Dunia nyatanya membosankan, kecuali saat ia berada di perpustakaantempat di mana ia pertama kali jatuh cinta, lewat surat-surat rahasia yang ia temukan tersembunyi dalam buku Anne of Green Gables. Tapi sang penulis surat menghilang begitu saja, meni...
Lovebolisme
142      124     2     
Romance
Ketika cinta terdegradasi, kemudian disintesis, lalu bertransformasi. Seperti proses metabolik kompleks yang lahir dari luka, penyembuhan, dan perubahan. Alanin Juwita, salah seorang yang merasakan proses degradasi cintanya menjadi luka dan trauma. Persepsinya mengenai cinta berubah. Layaknya reaksi eksoterm yang bernilai negatif, membuang energi. Namun ketika ia bertemu dengan Argon, membuat Al...
Fusion Taste
128      118     1     
Inspirational
Serayu harus rela kehilangan ibunya pada saat ulang tahunnya yang ke lima belas. Sejak saat itu, ia mulai tinggal bersama dengan Tante Ana yang berada di Jakarta dan meninggalkan kota kelahirannya, Solo. Setelah kepindahannya, Serayu mulai ditinggalkan keberuntunganya. Dia tidak lagi menjadi juara kelas, tidak memiliki banyak teman, mengalami cinta monyet yang sedih dan gagal masuk ke kampus impi...
AMBUN
455      324     1     
Romance
Pindahnya keluarga Malik ke Padang membuat Ambun menjadi tidak karuan. Tidak ada yang salah dengan Padang. Salahkan saja Heru, laki-laki yang telah mencuri hatinya tanpa pernah tahu rasanya yang begitu menyakitkan. Terlebih dengan adanya ancaman Brayendra yang akan menikahkan Ambun di usia muda jika ketahuan berpacaran selama masa kuliah. Patah hati karena mengetahui bahwa perasaannya ditiku...
10 Reasons Why
2447      1063     0     
Romance
Bagi Keira, Andre adalah sahabat sekaligus pahlawannya. Di titik terendahnya, hanya Andrelah yang setia menemani di sampingnya. Wajar jika benih-benih cinta itu mulai muncul. Sayang, ada orang lain yang sudah mengisi hati Andre. Cowok itu pun tak pernah menganggap Keira lebih dari sekadar sahabat. Hingga suatu hari datanglah Gavin, cowok usil bin aneh yang penuh dengan kejutan. Gavin selalu pu...
Search My Couple
546      311     5     
Short Story
Gadis itu menangis dibawah karangan bunga dengan gaun putih panjangnya yang menjuntai ke tanah. Dimana pengantin lelakinya? Nyatanya pengantin lelakinya pergi ke pesta pernikahan orang lain sebagai pengantin. Aku akan pergi untuk kembali dan membuat hidupmu tidak akan tenang Daniel, ingat itu dalam benakmu---Siska Filyasa Handini.
Hideaway Space
58      47     0     
Fantasy
Seumur hidup, Evelyn selalu mengikuti kemauan ayah ibunya. Entah soal sekolah, atau kemampuan khusus yang dimilikinya. Dalam hal ini, kedua orang tuanya sangat bertentangan hingga bercerai. evelyn yang ingin kabur, sengaja memesan penginapan lebih lama dari yang dia laporkan. Tanpa mengetahui jika penginapan bernama Hideaway Space benar-benar diluar harapannya. Tempat dimana dia tidak bisa bersan...
MAMPU
7047      2363     0     
Romance
Cerita ini didedikasikan untuk kalian yang pernah punya teman di masa kecil dan tinggalnya bertetanggaan. Itulah yang dialami oleh Andira, dia punya teman masa kecil yang bernama Anandra. Suatu hari mereka berpisah, tapi kemudian bertemu lagi setelah bertahun-tahun terlewat begitu saja. Mereka bisa saling mengungkapkan rasa rindu, tapi sayang. Anandra salah paham dan menganggap kalau Andira punya...
XIII-A
605      465     4     
Inspirational
Mereka bukan anak-anak nakal. Mereka hanya pernah disakiti terlalu dalam dan tidak pernah diberi ruang untuk sembuh. Athariel Pradana, pernah menjadi siswa jeniushingga satu kesalahan yang bukan miliknya membuat semua runtuh. Terbuang dan bertemu dengan mereka yang sama-sama dianggap gagal. Ini adalah kisah tentang sebuah kelas yang dibuang, dan bagaimana mereka menolak menjadi sampah sejar...
PUZZLE - Mencari Jati Diri Yang Hilang
428      332     0     
Fan Fiction
Dazzle Lee Ghayari Rozh lahir dari keluarga Lee Han yang tuntun untuk menjadi fotokopi sang Kakak Danzel Lee Ghayari yang sempurna di segala sisi. Kehidupannya yang gemerlap ternyata membuatnya terjebak dalam lorong yang paling gelap. Pencarian jati diri nya di mulai setelah ia di nyatakan mengidap gangguan mental. Ingin sembuh dan menyembuhkan mereka yang sama. Demi melanjutkan misinya mencari k...