Reinanda Wisnu Dhananjaya, angker nggak, sih, nama gue? Maksudnya, berat? Ah, bukan. Nggak cocok tepatnya karena terkesan agung dan artinya bertolak belakang sama kehidupan gue sekarang. Nama belakang ini warisan almarhum Bapak dari almarhum Kakek. Katanya cuma boleh dipake sama anak laki-laki. Jelas, anak gadis mana yang mau pake nama Dhananjaya di belakang namanya? Selly aja nggak mau.
Omong-omong soal Selly ... sejak kejadian itu, gue sama dia jadi jarang ngobrol. Canggung aja. Gue bukan tipe orang pendendam, tapi nggak tau kenapa, hari itu gue benar-benar ngerasa habis dikuliti. Gue nggak punya lagi harga diri, bukan cuma sebagai laki-laki, tapi juga sebagai manusia.
Gue udah jarang banget melakukan sesuatu yang ada gue dan Selly bersamaan di dalamnya. Urusan kerjaan rumah, gue memilih mengerjakannya duluan sebelum Ibu minta tolong. Sarapan kalau nggak lapar-lapar banget udah nggak pernah bareng mereka. Bahkan, di saat lambung nggak bisa diajak kompromi pun masih lebih mending jajan gorengan sama lontong di luar daripada makan di rumah.
Apa gue egois? Mungkin iya. Tapi, gue nggak mau benci Selly lebih banyak kalau memaksakan diri. Karena setiap kami duduk bareng, yang gue lihat cuma ekspresi jijik dia terakhir kali.
Lagi asyik melamun, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu yang bersahutan sama suara Ibu. Gue nggak langsung jawab, cuma pengin memastikan penting nggaknya. Kalau setelah ini Ibu pergi, berarti nggak terlalu penting.
"Mas."
Oke, berarti penting. Susah payah gue turun dari tempat tidur, masih agak pusing dan lemas setelah muntah-muntah dari dini hari tadi, kemudian membuka pintu.
"Kenapa, Bu?"
Di depan gue, Ibu melepas cincin dari jari manisnya. Gue sampai nggak bereaksi saking kagetnya.
"Kamu kerja jam berapa hari ini?"
"Aku kerja siang, Bu."
"Nanti sebelum kerja, boleh tolong jualin cincin Ibu dulu nggak? Di ABC biasa. Adikmu perlu uang buat beli buku. Dia juga sebentar lagi PKL. Katanya harus ada uang buat bayar pihak instansi."
Itu satu-satunya cincin peninggalan almarhum Bapak. Kalau dijual, Ibu nggak punya kenangan apa-apa lagi selain gerobak bubur butut di kios. "Simpan aja, Bu. Ini aku ada kalau buat beli buku dulu. PKL bisa kita pikirin nanti."
Gue balik ke kamar, terus ngambil sisa uang yang gue punya. Beberapa hari yang lalu udah gue transfer ke Selly buat dia senang-senang. Dari lima ratus ribu, sisa empat ratus ribu, dan semakin berkurang setiap harinya karena gue jajan di luar. Cuma gorengan, sih, tapi kalau sekali beli udah lima ribu, kali berapa hari juga berapa. Terhitung hari ini, gue harus beneran hemat.
"Ini uangnya. Aku cuma pegang seratus ribu, Bu. Buat jaga-jaga takut ada apa-apa."
"Makasih, ya, Mas. Ibu nggak tau gimana jadinya kami kalau nggak ada kamu."
Pikiran gue, tuh, picik. Di saat mereka terlihat nggak lagi bergantung, gue merasa nggak dibutuhkan. Gilirinan mereka mengandalkan gue buat semuanya, gue malah merasa dimanfaatkan.
Ibu langsung pergi gitu aja setelah gue kasih uangnya. Nggak nanya sama sekali soal kondisi gue. Padahal, dilihat dari kacamata orang awam pun gue pucat, dan masa, sih, mereka nggak ada yang dengar dari pagi buta gue udah muntah-muntah?
Rumah ini nggak terlalu besar. Jarak antar ruangan juga pendek sampai-sampai kalau lagi tidur gue bisa dengar suara langkah orang, bahkan suara sesederhana orang buka pintu di sebelah pun gue bisa dengar dengan jelas. Jadi, aneh kalau mereka nggak sadar.
Spontan gue tertawa. Gue yang salah emang berharap sama manusia. Padahal, tau manusia sumber rasa kecewa.
Tangan gue bergerak mengacak isi laci, nyari sisa antasida di sana, dan ternyata nggak ada. Mungkin dua tablet yang gue minum tadi benar-benar obat terakhir. Padahal, ulu hati gue sekarang sakit banget. Kayak ada konektornya gitu antara isi kepala sama lambung. Cepat banget muncul gejalanya.
Makin apes lagi pas gue lagi enek-eneknya, nama Cantika muncul di layar HP gue. Apalagi sekarang? Pikir gue. Dalam beberapa bulan terakhir, dia telepon cuma karena satu hal. Bikin masalah. Entah salah ngasih obat, obatnya ketuker, dan sejenisnya. Debaran di dada gue makin nggak terkendali, begitupun nyeri sama mualnya. Dengan perasaan campur aduk kayak gitu, gue menggeser ikon gagang telepon warna hijau, menerima panggilan tersebut.
"Halo, Nu."
"Kenapa?" tanya gue senornal mungkin.
"Itu ... tadi, kan, poli rame banget. Terus gue manggil pasien. Pas nyamperin gue langsung jelasin obatnya tanpa tanya identitas pasiennya lagi. Setelah dia pulang, ada ibu-ibu lain nyamperin gue dan nanyain obatnya. Ternyata obat ibu ini gue kasih ke ibu sebelumnya."
Perut gue mendadak makin mual. Nggak peduli Cantika masih ngoceh-ngoceh, gue tinggal ke kamar mandi cuma buat muntah. Nggak ada lagi yang bisa gue keluarkan selain cairan asam yang juga pahit di saat bersamaan. Gue belum makan apa-apa, tapi udah lebih dari empat kali muntah. Masih bisa berdiri aja udah bagus banget.
Pas keluar dari kamar mandi, gue papasan sama Selly, tapi dia juga nggak mau repot buat nanya kelihatannya, memilih langsung masuk kamar.
"Gimana dong? Lo malah ngilang, ih!"
"Sorry. Ada perlu tadi. Minta alamat sama nomor teleponnya ke admin, ambil obat yang tadi, terus tanyain juga ibu sebelumnya atas nama siapa. Nanti lo cari resepnya, baru kerjain dan anterin lagi ke rumahnya."
"Ih, nanti gue dimarahin dong dianggap ceroboh."
"Emang ceroboh. Mau gimana lagi?"
"Kok lo jahat, sih? Padahal, citra apotek juga yang rusak kalau sampai gue mengakui itu."
Gue menghela napas panjang. Udah capek banget sebenarnya ngurusin hal nggak penting begini. Kerjaan gue banyak, tapi lagi-lagi harus bertanggung jawab untuk sesuatu yang nggak gue lakukan.
"Lo maunya gue gimana?"
"Anterin gue ke sana."
Suka atau nggak gue emang harus ke sana sebelum ketahuan atasan gue dan kita semua disembur. Masalahnya, kalau udah ngamuk kita nggak cuma disemprot berdua, tapi dijadikan tontonan di grup WhatsApp klinik. Keluarga sampai istri, anak, dan menantunya ada di sana semua karena memang sama-sama punya jabatan. Jadi, kalau bikin masalah, semua orang harus tau.
"Gue lagi nggak enak badan, Can. Lo minta antar OB aja. Lagian ada Lala, kan, yang jaga? Gue pengin istirahat dulu sampai jam kerja gue."
"Halah alasan. Bilang aja lo nggak mau bantu dan senang gue dipermalukan. Awas aja lo, ya. Kayak nggak bakal butuh teman aja."
"Ya udah, iya gue ke sana."
"Gitu dong. Gue tunggu. Cepat."
Setelah itu sambungan benar-benar terputus. Dia bahkan nggak ada bilang terima kasih bahkan setelah gue menyanggupi untuk membantu. Bukan gila horma, tapi tolong, maaf, dan terima kasih itu basic. Harusnya semua orang bisa mengatakan itu di saat-saat tertentu, apalgi kesulitan dan butuh bantuan.
***
Hal pertama yang menyambut gue setelah gue mohon izin buat ngambil obat yang dikasih Cantika adalah botol OBH terbang. OBH Itrasal seratus milliliter terbang dari dalam rumah dan mendarat tepat di bahu gue. Spontan gue meringis karena emang sakit banget. Itu juga botol kaca.
Otak gue masih berusaha mencerna apa yang terjadi, jadi cuma berdiri bengong sambil ngusap bahu. Perasaan tadi gue ke sini baik-baik, anak si ibu itu pun menyambut dengan sangat baik, kenapa tiba-tiba ada botol terbang?
"Ceroboh kalian, ya. Udah tau itu obat bukan buat saya, kenapa dikasih ke saya? Kalau saya minum dan nggak sesuai dosisnya atau saya ada alergi obat, apa nggak mati saya?"
Please, gue pengin ngamuk banget. Anak jurig yang namanya Cantika emang salah, tapi si ibu ini juga salah dong? Kenapa nggak dicek dulu dan langsung dibalikin begitu tau obat-obatan tersebut bukan atas nama dia? Sayangnya, gue nggak bisa bilang gitu karena kesalahan itu bersumber dari kita.
"Saya mewakili teman saya minta maaf, Bu. Semoga Ibu bersedia membuka pintu maaf selapang-lapangnya buat kami."
"Nggak akan. Lihat aja, saya bawa ke google review. Biar semua orang tau petugas di sama itu ceroboh semua."
Gue nggak menyahuti bagian itu. Sekali lagi gue menunduk sambil minta maaf, terus gue bilang, "Nanti obat Ibu saya antar ke sini, ya."
Tapi, nggak ada jawaban. Dia kayaknya kepalang jengkel sama Cantika jadi melampiaskannya ke gue. Nggak masalah, gue udah biasa jadi samsak.
Pas balik ke apotek, atasan gue ada di sana, lagi ketawa-ketawa sama Cantika, sedangkan Lala lagi lap etalase depan.
Begitu gue masuk, atasan gue dengan kumis tipisnya yang cuma ada di bagian tengah itu langsung menoleh. "Bagus kamu bikin kesalahan fatal. Lain kali kerja, tuh, otaknya dibawa. Konsentrasi, fokus, jangan sampai apa yang kamu lakukan merugikan klinik dan membuat klinik saya tutup!"
Sebentar. Kenapa jadi gue yang bikin salah? Gue menatap Cantika, tapi dia malah buang muka. Lala nggak jauh beda. Anak itu memilih menyibukkan diri dengan kerjaannya. "Maksudnya gimana, Pak?"
"Masih nanya? Kamu salah ngasih obat. Apa menurutmu itu nggak fatal? Kamu bisa membunuh orang karena kecerobohan kamu."
Sekarang gue ngerti maksudnya. Manusia yang namanya Cantika ini bahkan bikin setan insecure karena kelakuannya. Makin nggak ngotak aja jahatnya. Dia yang salah, gue yang beresin, gue juga yang dimarahin.
"Maaf, Pak." Bodohnya, mulut ini malah bilang gitu, seolah mengakui bahwa benar itu kesalahan gue.
"Saya nggak mau tau. Selesaikan masalah itu sampai akhir. Kalau sampai saya dengar masih ada keluhan, awas aja."
Sepeninggal atasan gue, Cantika cuma senyum-senyum. Dia ngelirik Lala, terus bilang, "La, udahan dulu aja lap-lapnya. Nanti lanjut lagi pas tutup poli, sekarang kerjain resep dulu aja."
Muka Lala udah bad mood. "Kenapa cuma gue, ya, yang disuruh bersih-bersih? Padahal, kita kerja bareng tadi. Apa karena muka gue mirip kanebo makanya disuruh bersih-bersih."
Gue nggak minat ikut campur urusan mereka, cuma diam memperhatikan.
Cantika meraih tangan Lala, sambil bilang, "Aduh, sorry banget, ya, La. Dokter Taufik itu emang tau gue ada alergi. Kalau kena debu bisa langsung ruam gitu. Makanya gue hati-hati banget."
"Nggak masalah. Udah biasa."
Nggak tahan, pengin langsung istirahat, gue langsung masuk di tengah-tengah obrolan mereka. "Nama pasiennya Ibu Sri. Udah ketemu, kan, resepnya?"
"Hah? Resep? Lo aja belum bilang siapa namanya."
"Gue WhatsApp lo."
"Sorry, gue nggak pegang HP, kan, sibuk."
"Ya udah cari resepnya sekarang, terus siapin. Mumpung gue masih baik mau nganterin ke rumahnya."
"Ya ampun, Nu, perhitungan banget. Kalau mau berbuat baik, tuh, jangan setengah-setengah. Bisa sekalian cariin resepnya nggak? Gue sibuk banget. Poli lagi serame ini."
Sampe kepikiran, kalau ditampol batako itu kepala kira-kira pecah nggak, ya? Pikiran jahat gue muncul gitu aja setelah diperlakukan sangat nggak adil hari ini. Udah dilempar, dimarahin, terus sekarang dikerjain. Terus kenapa gue iya-iya aja dan nggak berani nolak? Karena nolak sama dengan berantem. Kalau dulu gue nggak enak buat nolak sesuatu karena takut ditinggal, sekarang karena udah memasuki fase nggak mau ribet.
Akhirnya, gue duduk di depan komputer, mengecek resep yang masuk tanggal kemarin satu per satu, terus gue siapin obat-obatannya. Kali ini gue nggak tau apa yang bakal terjadi. Gue cuma berharap bisa pulang selamat tanpa drama lempar botol lagi.
Beberapa saat sebelum berangkat, HP gue tiba-tiba bunyi.
Ibu
Mas, masih pegang uang nggak? Ibu butuh buat bayar koprasi. Yang seratus tadi, boleh Ibu pinjam dulu?
Padahal, Ibu tau itu satu-satunya duit yang gue punya, tapi masih dipinjam juga. Benda pipih itu gue masukin lagi ke saku celana tanpa membalas. Sebentar lagi gue pulang. Nanti bisa langsung kasih pas gue sampe rumah.
Gue harus jalan kaki lagi biarpun tenaga gue rasanya udah hampir ada di titik nol. Capek banget.
Sepanjang jalan HP gue nggak berhenti bunyi. Gue pikir apa, ternyata isnya chat dari Ibu semua.
Ibu
Kamu nggak balas kenapa? Keberatan uangmu Ibu pinjam? Padahal cuma seratus ribu tapi kamu seperhitungan itu
Ibu
Kalau mau itung-itungan ayo. Ibu mengandung kamu sembilan bulan lamanya, menyusui, beli pamper, susu, makanan bayi, sabun mandi, semua kebutuhan kamu. Kamu baru bisa cari uang udah begitu
Ibu
Surga itu ada di telapak kaki Ibu. Jadi, jangan bikin Ibu nyesel udah melahirkan kamu.
Ibu
Jangan durhaka jadi anak. Kalau nggak bisa bikin Ibu bahagia dengan prestasi sepert adik kamu, minimal bantu-bantu Ibu sedikit, Mas
Ibu
Ibu capek kerja banting tulang buat kamu, tapi kamunya nggak tau diri.
Salah lagi, kan, akhirnya? Kali ini gue bahkan udah nggak punya tenaga buat berdebat. Mau Ibu bilang gue durhaka juga nggak masalah. Semakin gue berusaha buat menjelaskan semuanya, ucapan mereka semakin menyakitkan. Dengan isi kepala yang udah seberisik ini, gue memutuskan untuk menerima semuanya dengan lapang dada.
Gue nggak merasa sedih sama sekali, mungkin karena udah biasa. Cuma suka tiba-tiba kepikiran buat lompat aja. Lompat dari gedung tujuh lantai, misalnya. Lompat dari jembatan ke sungai Citarum contoh lainnya. Atau lompat dari dunia ke akhirat. Lucu banget, ya, isi kepala gue? Saking lucunya, gue nggak tau apakah itu sebuah dorongan atau peringatan.
Bahagia selalu ya kalian... Mas Nu udh nemuin kebahagiaan.. tetap bahagia selamanya, skrng ada orang² yg sayang banget sama Mas Nu. Ibu, Icel sama calon istrinya🥰
Comment on chapter Chapter 24 - Penuh cinta