Tiga tahun yang lalu.
“Yud, kan kamu paling sukses nih di antara kita-kita,” ucap Rafa sambil menyeruput es teh di warung padang favorit kami. “Beli rumah yang gedean dikit coba, Yud. Biar kalo mau makan bareng tuh gak di restoran mulu. Capek tau tiap kumpul rebutan kursi.”
Aku cuma tertawa, sementara Rizal mengangguk-angguk dramatis seperti selalu setuju kalau gak perlu mikir dulu.
“Bener tuh. Aku tuh suka makan gratis, tapi males bayar parkir restoran. Apalagi kalau Anti bawa mobil, muter-muter nyari spot bisa bubar tuh pertemanan,” celetuknya.
Anti, yang duduk di sebelah Rizal waktu itu, cuma melotot sekilas sambil nyomot rendang dari piring suaminya.
Fajar mengangguk mantap. “Bener banget. Aku siap nyumbang peralatan dapur deh kalau Yudhis bikin rumah yang ada kompor dua.”
“Aku nyumbang kulkas,” sahut Rafa.
“Aku... nyumbang anak aja ya. Biar rame,” tambah Rizal, dan tawa kami meledak di tengah warung.
Aku tertawa sambil menggeleng. “Aku pengen desain sendiri sih sebenarnya, tapi kayaknya langsung beli aja deh, biar cepet. Kalo nunggu aku gambar, bisa-bisa anak kita udah SMA baru rumahnya jadi.”
“Wih, padahal arsitek tuh,” ledek Fajar.
“Arsitek itu justru paling susah ngedesain rumah sendiri,” Rafa nimbrung. “Banyak maunya, gak kelar-kelar.”
“Fix,” kata Anti sambil ngunyah kerupuk. “Kayak Ayah tuh kalo belanja baju, satu jam cuma milih warna hitam.”
Rizal memonyongkan bibir. “Hitam tuh elegan, Ti.”
Aku hanya nyengir. Tapi di dalam hati, aku mulai serius mempertimbangkan. Bukan soal ukuran rumahnya. Tapi soal membangun tempat yang bisa jadi titik temu kami. Tempat aman buat anak-anak bermain, tempat hangat untuk makan malam bersama, dan tempat yang bisa menyatukan banyak arah hidup kami yang mulai beragam.
“Gimana, Yud?” Rizal menyikut pelan. “Jadi anak-anak bisa sekalian ikut. Masa kita kumpul tiap malam banget gini. Harus nidurin anak-anak dulu.”
Aku menatap wajah-wajah yang duduk mengelilingi meja kayu warung itu. Wajah yang sudah menemaniku sejak remaja. Wajah yang dulu belajar UTBK sama-sama, kini satu perjuangan membesarkan keluarga.
“Maksudnya kamu, Jal, pengen rumahku dijadiin basecamp selamanya ya?” tanyaku pura-pura sewot.
“Ya kalo bisa sekalian dibikinin kamar tamu sih,” tambah Fajar. “Gue bawa sleeping bag juga gapapa, serius.”
“Bukan basecamp,” Rafa menimpali sambil menyesap teh. “Lebih kayak rumah tengah. Titik netral buat semua orang.”
Aku tertawa kecil. Tapi dalam hati, keputusan itu sudah aku buat malam itu juga.
…
…
AKU KAYAKNYA TAHU DIMANA AKU BISA DAPAT RUMAH BAGUS.
***
Minggu depannya, kami bertiga—aku, Vania, dan Cia—berdiri di depan kantor marketing salah satu pengembang properti. Tempatnya terlihat modern, ber-AC sejuk, dan interiornya penuh dengan brosur berwarna pastel serta maket rumah yang tertata rapi.
Saat pintu ruangan terbuka, aku langsung tercekat.
Pak Alija.
Setelan jasnya masih sama rapi seperti dalam mimpiku. Kemeja putih bersih, sepatu mengilap, dan tentu saja... kumis tebal yang langsung mengingatkanku pada hari-hari sebagai sales properti—pekerjaan yang tidak pernah benar-benar kualami... kecuali dalam mimpi.
“Silakan duduk, Pak Yudhis ya?” ucapnya ramah, menjabat tanganku.
Jabatannya kuat dan sopan. Tapi tidak ada sedikit pun tanda bahwa ia mengenaliku. Dan memang, bagaimana mungkin?
Kami hanya pernah bertemu di mimpi. Tapi bagiku, wajah itu terlalu lekat untuk dilupakan.
“Iya, Pak. Saya Yudhis. Ini istri saya, Vania. Dan ini anak kami, Cia.”
Pak Alija tersenyum pada mereka. “Wah, keluarga muda. Pas banget. Kami punya beberapa unit yang cocok sekali. Area berkembang, suasana tenang, cocok buat tumbuh kembang anak juga.”
Aku mengangguk sopan, lalu membuka map yang ia sodorkan, meskipun pikiranku masih melayang ke kumis tebal itu. Antara kagum, lucu, dan sedikit merinding.
“Jadi, Pak Yudhis, butuh rumah dengan kriteria seperti apa? Ukuran berapa kamar? Dua lantai? Satu lantai? Bisa kami sesuaikan,” tanya Pak Alija, profesional seperti biasa.
Aku menoleh sebentar ke Vania, lalu kembali memandangnya.
“Yang saya cari bukan cuma rumah, Pak,” ujarku pelan. “Saya butuh tempat... titik temu.”
Pak Alija mengerutkan alisnya, sedikit bingung.
“Rumah ini rencananya bukan cuma untuk kami bertiga tinggal. Tapi juga harus cukup luas untuk... kumpul-kumpul. Kami punya beberapa keluarga dekat, anak-anak mereka seumuran Cia. Kami biasa makan bareng. Kadang rame banget, sampai kayak mini hajatan,” jelasku, senyumku mengembang sendiri.
Pak Alija tertawa kecil. “Wah, berarti butuh area makan dan ruang keluarga yang cukup besar ya?”
Aku mengangguk mantap. “Saya pengen bagian ruang makan bisa muat setidaknya dua meja besar. Open space juga kalau bisa – biar anak-anak bisa lari-larian tanpa mentok tembok. Kalau ada taman belakang, lebih bagus. Biar mereka bisa main tanpa keluar rumah.”
“Taman belakang bisa, Pak. Kami ada beberapa unit yang punya lahan belakang cukup luas,” katanya sambil mulai membolak-balik berkas. “Dan untuk desain open space, kami fleksibel. Apalagi Bapak seorang arsitek, ya?”
Aku tertawa kecil. “Iya. Jadi mungkin nanti saya minta izin buat sedikit utak-atik layout.”
“Wah, itu malah lebih bagus. Rumahnya jadi punya sentuhan pribadi,” kata Pak Alija sambil mengangguk setuju.
Cia yang dari tadi duduk di kursi kecil mulai menggambar pakai pensil warna yang ia bawa sendiri. Goresan tangannya membentuk meja panjang dengan banyak kursi.
Aku tersenyum melihatnya. “Tuh, anak saya juga sudah punya visinya.”
Pak Alija ikut melirik gambar Cia dan tertawa. “Wah, calon arsitek juga, nih!”
Aku hanya tersenyum. Tapi dalam hati, aku benar-benar yakin: rumah ini bukan soal ukuran atau harga. Tapi soal mimpi yang ingin aku hidupkan kembali—mimpi yang dulu hanya singgah lewat tidur, tapi sekarang ingin kuhidupkan di dunia nyata.
Tempat aman.
Tempat hangat.
Tempat yang akan jadi titik temu bagi semua jalan yang pernah sama-sama kami lewati.
TAMAT