Loading...
Logo TinLit
Read Story - Catatan Takdirku
MENU
About Us  

YUD SUSAN NELPON! YUD SUSAN NELPON

Ah, sial. Kenapa sih ringtone-ku semua begini. Ya Allah... Rafa langsung ketawa duluan, Rizal nyusul ngakak keras.

“Hahaha, ganti gak tuh nada dering! Malu-maluin banget, Yud!” Rafa sampai nyeka air mata saking ngakaknya.

Aku buru-buru ngangkat telpon itu sebelum makin jadi bahan ketawaan.

“Halo?”

“Sayang, kita harus ketemu sekarang! Aku gak mau nanti-nanti lagi. Aku udah tepatin janji buat gak ganggu kamu seminggu, biar kamu bisa bantuin persiapan nikahannya Rafa. Sekarang dia udah nikah, kan? Sekarang giliran kita. Kita harus bahas ini.”

Oi. OI. OI. KOK KAYAKNYA DIA LAGI MARAH BANGET YA?

Seminggu nggak ganggu aku...? Pantesan dia ngilang. Tapi kok... aku arsipin Susan ya? Ih, Yudhis zaman ini kenapa sih?

“E-eh, iya San. Ayok ketemu. Di mana?”

“San? Kamu panggil aku San? Ah, bodo amat. Cepet ke kafe yang biasanya!”

“Eh, maksudku—” klik.

Duh. Diputus sepihak.

Kafe biasanya?

APA ITU KAFE BIASANYA? AKU GAK TAU KAFE BIASANYA ITU DIMANA!

“Kenapa, Bang?” tanya Rizal yang ngeliat mukaku mulai berkeringat. Rafa masih cengengesan kayak udah nebak semuanya.

“Yud, kamu panggil dia nama? Serius?” Rafa nahan tawa.

“Pasti dia marah, ya?” Rizal nambahin sambil nyengir.

“Lah, apa salahnya?”

“Serah deh, Yud… udah pacaran lima tahun aja belum paham beginian. Paling bener tuh langsung nikah aja sekalian.” Rafa geleng-geleng sambil nyeruput sisa minumannya.

Oooh... harus pake panggilan sayang, ya? Begoo banget, Yudhis! Yasudahlah… setelah dua kali ngalamin beginian, aku udah nggak terlalu kaget. Yang penting: nanti aku pasti balik. Kan begitu, kan?

Aku berdiri cepat. Harus ketemu Susan. Harus cari info.

Tapi baru satu langkah dari kursi, aku mendadak balik badan.

“Eh… kalian tau nggak, kafe yang biasa aku datengin sama Susan itu yang mana?”

***

Kafe ini... hangat. Harmonis. Elegan. Interiornya dominan kayu tua dengan lampu-lampu gantung temaram yang menjuntai rendah, menciptakan cahaya kuning lembut seperti senja yang ditahan agar tak buru-buru hilang. Wangi kopi dan cinnamon roll mengalir dari balik bar, mengisi udara dengan aroma yang entah kenapa... nyaman.
Jendela besar di sisi kanan membiarkan cahaya sore masuk setengah malu-malu, menyinari rak buku kecil di pojok yang terlihat lebih seperti hiasan daripada tempat membaca serius. Musik jazz pelan mengalun, terdengar lebih seperti bisikan latar ketimbang hiburan utama.

Apa dulu aku sering ke sini? Aku mengamati tiap detail, mencari celah kenangan. Tapi... kosong. Aku tidak ingat pernah ke sini.

Dan kenapa setiap pertemuan harus di kafe, sih? Kenapa nggak di perpustakaan? Oh iya. Gak boleh berisik.

Atau taman? Atau… ya di mana kek. Tapi ya sudah, di mimpi ini semua sudah ditentukan. Aku cuma pemain cadangan dalam skenario yang belum kutulis sendiri.

Lalu mataku menangkap sosok itu—Susan.

Sudah duduk lebih dulu, menungguku. Rambutnya tertutup rapi oleh pashmina dengan model lilit yang rumit tapi sempurna. Warnanya kalem, senada dengan blouse dan rok panjang yang dia kenakan. Wajahnya bersih, ekspresinya serius, tapi tetap... cantik dengan cara yang bikin aku langsung merasa salah—padahal belum bilang apa-apa.

Tangannya menggenggam gelas yang belum disentuh. Seperti menahan sesuatu yang dari tadi dipendam.

Aku menarik napas. Oke, Yudhis. Selamat datang di skenario paling gawat dari hidupmu.

“Hai.” Sapaku santai. Muka Susan sudah cemberut sejak tadi, apa gara-gara di telpon tadi ya? “Maaf ya, tadi gak bermaksud panggil kamu gitu kok…” masih cemberut “Jadi sayangku termanis ini mau bahas apa ya?” EIITSS, DIA SENYUM DIKIT.

“Kamu tuh, lagi keadaan begini aja kamu masih bisa santai.”

“Hah? Keadaan begini gimana?”

“Oh iya aku belum kasih tau ya...” Susan menghela napas panjang “Aku hamil Sayang.”

“ASTAGFIRULLAH!” Refleks, aku nutup mulut sendiri, buru-buru nengok kanan-kiri. Untung aja orang-orang di sekitar masih sibuk dengan kopi dan obrolan mereka. Gak ada yang denger. Ya Allah, ini beneran gak sih?

Aku hamilin Susan? ASTAGFIRULLAHALAZIM.

Yudhis zaman ini... Kurang ajar memang. Bener-bener.

Tega amat. Itu bukan aku lho ya—bukan aku. Itu Yudhis yang lain. Versi masa depan. Versi... gagal.

Tapi Susan nggak tau itu. Yang dia tau, yang duduk di depannya sekarang, yang jadi sumber masalah, yang harus tanggung jawab—adalah aku.

Ya Allah...Aku boleh bangun sekarang nggak?

Harus banget nih dijalanin?

Seriusan harus ngalamin semua ini biar sadar?

“Sayang!” tegur Susan.

“Eh iya, udah berapa minggu?”

“Enam.”

APA YANG YUDHIS ZAMAN INI LAKUIN ENAM MINGGU LALU?? Semoga ingatan Yudhis zaman ini bisa masuk, eh – maksudnya gak bisa masuk ke kepalaku. Serius. Aku gak mau tau.

Eh… tapi kok malah penasaran?

“Ehem, sayang…” panggilku pelan, hati-hati kayak jalan di tambang darat.
“Kita udah… berapa kali, ya? Aku... lupa.”

“Tiga kali doang, kok.”

ALLAHU AKBAR. TIGA KALI.

DOANG, KATANYA. Terus aku harus ngapain nih??

“Hmmm, kamu ingat nggak... waktu pertama kali aku ngajak gimana?”
Susan melirikku, santai banget kayak ngobrol biasa.

“Kamu bilang, ‘Sayang, coba yuk, sekaliii aja. Enak kok,’ terus aku iyain. Terus ternyata kamu udah sewa hotel, terus kita ke sana, abis itu kamu buka baju—”

“CUKUP, CUKUP!!” aku nyaris meledak.

ASTAGFIRULLAHALAZIM!

A'udzubillahi min Yudhis nirojim yang satu ini! Ya Allah, lindungilah aku dari godaan Yudhis yang terkutuk ini! Bisa-bisanya... cewek polos, suci, kalem... kamu kotori juga? Memang nggak ada otak! GAK ADA OTAK, YUDHIS!

Aku nelen ludah “Jadi... kita harus nikah secepatnya ya?” tanyaku dengan nada super tenang, padahal otakku kebakaran. Ya, emang bukan aku sih yang ngelakuin ini. Jadi secara teknis... aku nggak berdosa, kan?

Susan mengangguk sedikit, tapi wajahnya tetap serius. “Nah itu masalahnya, Sayang,” katanya pelan.

“Meskipun kita nikah besok, pernikahannya gak bakal sah. Anak ini udah ada duluan. Jadi meskipun kita sah di mata hukum, hubungan kita... tetap haram.”

Aku terdiam. Lah. Dia ngerti agama? Keren juga. Tapi makin bikin panik. Ini bukan sekadar drama cinta-cintaan lagi.

“Jadi... gimana?” tanyaku, hampir kayak bisikan.

Susan menundukkan kepala. Tangannya memegang perutnya yang belum terlihat apa-apa.
Senyap. Lama.
Lalu ia berkata pelan, “Kalau... digugurin gimana?”

“Jangan,” jawabku cepat, tanpa pikir panjang. Suaraku terdengar lebih tegas dari biasanya. “Itu malah lebih salah, Sayang.”

Matanya mulai berair.

“Terus gimana?” suaranya naik, setengah berteriak. “TERUS GIMANA, YUDHIS? aku gak bisa kerja, orang tuaku pasti nyuruh aku minggat. Keluarga kita... bakalan malu. Aku... aku juga malu. Sama diriku sendiri!”

Tangisnya pecah. Tangis yang bukan karena lemah. Tapi karena takut. Karena bingung. Karena merasa sendiri.

Dan aku? Aku cuma bisa duduk di seberangnya, gak bisa ngelakuin apa-apa. Bisu. Karena aku gak punya jawaban. Karena semua ini... bukan hasil dari keputusanku. Tapi tetap jadi bebanku.

“Aku sudah busuk, Sayang. Aku sudah salah…” Ia mengusap air matanya dengan kasar. “Hiks... kenapa gak sekalian aja?” suaranya bergetar, lirih, nyaris kayak bisikan terakhir dari orang yang udah gak punya harapan.

Deg.

Hatiku mencelos.

“Susan…” Aku nyaris gak bisa nyebut namanya. Rasa bersalah yang bahkan bukan milikku ikut menjalar sampai ke ujung jari. Aku mau bilang sesuatu, apa aja, tapi gak ada kata yang cukup.

Tanganku perlahan terulur, menggenggam tangannya di atas meja.
Dingin. Gemetar.

“Kamu gak busuk. Kamu gak salah sendiri.” Matanya menatapku. Basah. Rapuh.

“Kalau kamu busuk, itu karena aku yang nularin. Karena aku yang narik kamu jatuh bareng aku,” Dia gak jawab. Cuma nangis. Tapi tangannya gak narik lagi dari genggamanku.

Dan saat itu aku sadar, aku gak pengen ini jadi kenyataan.

***

Aku mengantar Susan pulang ke kosnya—iya, ternyata dia masih ngekos. Kami berdua sudah lulus tahun lalu. Dia belum kerja. Aku baru tahu setelah dia cerita panjang lebar di jalan.

Sementara aku? Sekarang kerja di salah satu biro arsitek. Biasa aja. Gaji pas-pasan. Dan dari ceritanya tadi, sepertinya Yudhis zaman ini memang sudah mulai menabung untuk pernikahan mereka. Tapi... satu tahun jelas nggak cukup.

Seharusnya Yudhis zaman ini sudah mulai menabung sejak awal semester. Seharusnya dia sudah siap. Seharusnya... Yudhis yang ini udah mikir dari dulu. Sekarang, malah aku yang kena getahnya kan. Sial!

Tapi—berkat dia juga, aku jadi sadar. Bahwa nikah itu harus disiapkan dari jauh-jauh hari. Bukan nunggu kerja. Bukan nunggu mapan. Tapi dari sekarang.

DAN BERKAT DIA JUGA... AKU JADI TAU KALO AKU GAK BOLEH PACARAN. TITIK!

Aku harus membiarkan Susan tenang dulu. Aku juga harus kembali ke acara resepsi—karena mamak sudah mengirimiku puluhan chat.

Mamak: Yud! Kamu di mana? Kamu harusnya bantu-bantu sini.

Mamak: Yud, buruan.

Yudhis: Iya Mak, tadi ada urusan bentar. Ini aku otw ke sana.

Sekarang sudah pukul lima sore. Acara hampir selesai. Aku buru-buru ke gedung, napas belum teratur, keringat belum sempat kering.

Begitu sampai, aku langsung nyari Rizal yang dari tadi bertugas di bagian penyambutan. Dia menyambutku dengan satu lirikan tajam dan satu kalimat sarkas:

“Curang banget, udah mau selesai Bang kamu baru datang,” kata Rizal sambil nyodorin kue ke mulutnya sendiri. “Tapi gapapa, toh acara masih bisa kita warnai.”

Aku melirik dia waspada. “Jal, jangan aneh-aneh. Sumpah. Barusan aku  abis ngalamin hal buruk, otakku belum balik.”

“Justru itu. Ayo, kita tumpahin stresmu ke atas panggung.”

Dan entah kenapa, beberapa menit kemudian kami udah berdiri di depan mic MC, yang lagi ke belakang buat minum.

“Selamat sore semuanya! Kami di sini sebagai—eh... bagian dari tim kebahagiaan!” seru Rizal sambil melambai ke tamu yang langsung hening.

Aku ngikut. “Dan untuk menghibur para tamu yang sudah duduk manis, kami persembahkan: drama singkat berjudul Cinta di Antara Tumpukan Nasi Kebuli!

Tamu-tamu langsung saling pandang. Anak-anak kecil teriak, “Yaaaay!”

Tante-tante nyorongin HP buat ngerekam.

Om-om mulai ngeluarin popcorn dari goodie bag. Situasi makin lepas kendali.

Rizal langsung guling-guling di panggung, pura-pura jadi nasi kebuli. Aku ambil dekor bunga, taruh di kepala, terus pura-pura jadi pengantin yang lagi galau.

“Kenapa kamu meninggalkanku, Wahyu?” teriakku dramatis.

“Karena kamu nggak bisa masak opor!” sahut Rizal, lalu jatuh ke lantai sambil mengaduh, “Aku sudah cukup keracunan cintamu, aku gak mau keracunan masakanmu!”

TAMU- TAMU NGAKAK. PENATA ACARA PANIK. ANAK-ANAK JOGET.

Di pelaminan, Rafa cuma bisa menepuk dahinya. Dia geleng-geleng kayak udah nyerah, tangannya udah pengen nyabut heels tapi masih nahan diri.

Fajar? Fajar malah ngikik sampai nangis sambil ngipasin muka pakai undangan. Tapi gak berhenti di situ.

Tiba-tiba dia berdiri dari pelaminan, lari kecil ke arah panggung sambil teriak,
“Tunggu! Wahyu! Jangan tinggalin dia! Dia masih sayang kamu!”

SEMUA ORANG KETAWA TANPA HENTI.

Fajar langsung masuk ke panggung, nunduk sambil pura-pura jadi karakter baru. “Aku... sahabat Wahyu dari kecil. Tolong jangan salahkan dia. Semua ini... salah keluarga kami... karena kami... kehabisan santan!”

Rizal langsung jatuh terduduk, ikut drama, “TAPI AKU SUDAH ENGGAK CINTA DIA!”

Aku lompat dari panggung, sok-sokan kabur, “TIDAAAAAAKKK, KAMU JAHAT WAHYU, AKU NGGAK NYANGKA, CUMA GARA-GARA GAK BISA MASAK OPOR KAMU JADI BEGINI!!!”

Dan tamu-tamu makin ngakak. Bahkan fotografer berhenti motret karena tangannya gemeter ketawa.

Rafa cuma bisa duduk di pelaminan, tangannya ngepal, bibirnya gemetaran, tapi bukan karena marah—karena nahan ngakak juga! Dia nengok ke mamanya.

Tante Dyah: “Nak, kamu nikah sama komedian aku rasa.”

Dan di barisan orang tua…

Tante Tata (mamanya Rizal) teriak, “Itu anak saya!! HAHAHA, dari kecil udah kayak gitu, mohon maaf ya semua!!”

Mamakku duduk di kursi sambil ngetik chat tapi ngakak juga, “Astagfirullah… anak ini bisa-bisanya… Astaga, lucu sih, tapi Yudhis, tunggu kamu pulang!”

Dan begitulah... resepsi Rafa dan Fajar yang awalnya dirancang penuh kemewahan, berubah jadi drama kolosal dengan bumbu nasi kebuli dan opor ayam.

Jadilah acara resepsi ini, bukan cuma yang paling mewah—tapi juga paling absurd, paling kacau, dan paling tidak akan pernah dilupakan seumur hidup.

Selesainya acara resepsi, kami sekeluarga besar nginap di rumah Fajar—entah gimana caranya dia bisa bangun rumah sebesar ini. Mamak dan mamanya Rizal juga nginap di sana.

Aku dan Rizal? Ya jelas ikut. Tapi kami nginapnya… di rumah Rizal.

KENAPA MEREKA SEMUA PADA SUKSES, DANG?!
CUMA AKU NIH YANG MASIH NYEWA APARTEMEN—itu pun liftnya suka ngambek.

Apa aku harus nanya Rizal soal kariernya? Tapi… males juga. Nih anak kalo cerita sukses pasti nadanya kayak lagi ngisi seminar motivasi.

“Jadi gimana tadi sama Susan?” Rizal muncul dari dapur, bawa dua gelas kopi.

Pertanyaannya langsung nyeretku kembali ke kejadian tadi.

Oke. Sepertinya ada yang lebih penting buat dibahas malam ini… dibanding kesuksesan Rizal.

Aku ragu-ragu, tapi aku butuh pendapat orang lain.

“Kacau, Jal. Susan… hamil.”

Ucapku sambil menekan tombol remot. TV menyala, menampilkan entah acara apa. Setidaknya, percakapan berat ini bisa ditemani suara latar—walau sebenarnya, tak ada yang benar-benar menonton.

SLUURP. BUURRR!! 

Rizal langsung nyemburin kopinya ke meja.

“ASTAGFIRULLAH, BANG! BENERAN?!!”

“Iya… Jangan kesebar lho, Jal.” Aku melirik Rizal tajam.

Rizal ngelap sisa kopi di mulutnya, lalu nyandar santai di sofa. “Kalo Rapa tau, bisa diomelin abis-abisan kamu, Bang.”

Nada suaranya tenang, kayaknya dia udah terbiasa nerima kejutan-kejutan begini.

Hening, menyisahkan suara iklan yang sedang terputat di TV.

“Aku juga sama Anti, bang…”

SLUURP. BUURRR!! 

Kali ini aku yang menyembur kopi.

“ANTI HAMIL?!!” Teriakku. Rizal tidak menjawab hanya mengangguk pelan.

Penglihatan masa depan ini… ternyata jauh lebih buruk dari yang kubayangkan.

Nggak mungkin seorang Anti melakukan itu—seingatku, dia perempuan pendiam.

Dan RIZAL?! ASTAGFIRULLAH, ternyata anak ini tidak sepolos itu.

Melihatnya sukses seperti ini, sebenarnya aku sudah berprasangka baik.

Seharusnya hidup Rizal ini… akan seperti di penglihatanku yang kedua. Waktu itu, ia hidup damai dengan Anti. Tapi sepertinya mimpi kali ini akan jadi mimpi terburukku dibandingkan semua mimpi yang pernah kuterima.

Jika sebelumnya aku sampai depresi… bahkan bunuh diri,

sekarang aku nggak tahu apa yang akan terjadi.

Aku ingin kembali – secepatnya.

Apa aku harus mati dulu agar bisa kembali? Sama seperti sebelumnya?

Tapi aku benar-benar nggak ingin merasakan kesakitan itu. Aku nggak mau mati dua kali.

Tapi itu… masih belum pasti.

Bisa saja ini seperti penglihatan pertamaku, di mana aku cuma perlu tidur… dan segalanya kembali seperti semula dengan sendirinya.

Mungkin baru akan ketahuan nanti—saat aku tidur malam ini.

“Oi bang, kasih respon kek, malah melamun…” kata Rizal sambil menyeruput kopinya “Aku masih nggak nyangka bang, berada keadaan kita sama.”

Aku menunduk

 sepertinya banyak sekali yang harus kulakukan… nanti ketika kembali.

“Kamu nyesel, Jal?” tanyaku pelan, masih menatap lantai.

Rizal menghela napas panjang. “Nggak tahu… Dulu aku pikir ini semua tentang ambisi. Aku kerja keras, cari uang, bangun reputasi… Tapi makin ke sini, aku sadar, nggak semua hal bisa direncanain kayak kita nyusun skripsi.”

Aku menoleh ke arahnya. “Lalu Anti?”

Dia tersenyum samar, tapi matanya keliatan berat. “Dia baik. Sangat baik malah. Tapi kebaikan doang nggak cukup buat bikin hidup jadi lebih mudah. Kami nggak siap, Bang. Aku nggak siap.”

Aku mengangguk pelan.

“Aku pikir… kalau aku sukses, semuanya bakal baik-baik aja,” lanjutnya. “Tapi ternyata, sukses itu bukan pelindung. Justru malah bikin kesalahan kita keliatan lebih besar.”

Aku terdiam, mencerna kata-katanya.

“Dulu aku iri sama kamu, Bang,” katanya pelan. “Abang tuh kelihatan bebas banget. Kayak hidupnya tuh lebih ringan, nggak terlalu mikirin masa depan.”

Aku menghela napas. “Ternyata itu juga bukan solusi. Aku malah lari dari tanggung jawab. Hidup kayak nggak bakal ada konsekuensi. Sekarang… aku malah dihantui masa depan yang nggak pernah aku siapin.”

Kami terdiam cukup lama.

“Kadang,” Rizal berkata lirih, “aku mikir, mungkin Tuhan ngasih kita semua ini bukan buat nyiksa… tapi buat nyadarin. Mungkin ini bukan hukuman. Tapi pelajaran.”

Aku menoleh ke arah TV yang menampilkan acara musik dangdut tengah malam yang tidak kami pedulikan. “Tapi kenapa harus lewat jalan seberat ini?”

Rizal tertawa kecil. “Karena kita keras kepala. Nggak akan belajar kalau nggak dihantam dulu.”

Aku ikut tertawa. Kecut. Tapi tulus.

“Kalau kamu bisa kembali ke masa lalu… kamu bakal ngubah apa, Jal?”

Rizal menatap langit-langit. Lama. “Aku bakal belajar lebih dulu tentang siapa diriku. Bukan cuma apa mimpiku.”

Aku terdiam, lalu mengangguk pelan.

“Bang,” katanya, menatapku. “Kalau Abang ternyata emang bisa balik… jangan cuma kabur dari mimpi buruk. Tapi kejar yang terbaik versimu, Bang. Jangan ngulangin kesalahan yang aku buat.”

Aku menatapnya. Dalam hati, aku tahu—itu akan sulit. Tapi mungkin… malam ini adalah titik balik “Jal, seandainya ya…seandainya aku bisa kembali kemasa lalu, kamu pengen nitip pesan apa buat dirimu yang enam tahun lalu?”

Rizal mengernyit “Spesifik banget bang, enam tahun lalu.”

“Yee, gakpapa lah.”

“Hmmmm, enam tahun lalu tuh… kita masih semester dua, ya…” Rizal menggaruk-garuk kepala sambil nyengir kecil.
“Aku pengen kamu bilang gini, Bang: ‘Woi Rijal sok pinter! Kamu tuh harus banyak-banyak datang ke pengajian, biar paham agama! Biar Anti nggak jadi korban!’ Gitu?”

Aku ketawa kecil, tapi ada rasa ngilu yang ikut menyeruak.

“Serius, Bang. Dulu aku mikir ilmunya cukup, hidupnya udah bener… Tapi ternyata aku cuma ngerti permukaannya. Aku cuma pinter ngerencanain hidup, tapi nggak ngerti cara ngejaga orang yang aku sayang.”

Aku mengangguk, menatap kopi yang mulai dingin di tanganku.

“Kalo kamu sendiri, Bang?” Rizal balik bertanya. “Kalo bisa balik ke enam tahun lalu, kamu pengen bilang apa ke dirimu yang waktu itu?”

Aku terdiam sejenak. Mengingat semua keputusanku, semua yang kulewati… semua yang kulewatkan.

“Mungkin aku bakal bilang: ‘Udah, jangan terlalu lucu deh, Yud. Hidup ini bukan panggung stand up. Kadang kamu butuh serius, biar bisa nolong diri kamu sendiri.’

Rizal mengangguk pelan. “Dalem juga, Bang…”

Aku menghela napas panjang.

“Dan satu lagi… ‘Jangan cuma pengen disukai orang, Yud. Tapi belajarlah jadi orang yang pantas dipercaya.’

Rizal menatapku lama, lalu senyum.

“Wah, Bang… kayaknya kita beneran tua, ya. Obrolannya berat banget.”

Aku tertawa hambar. “Nggak tahu tua atau gagal aja yang bikin kita mikir sejauh ini.”

“Tapi syukur masih bisa mikir, Bang. Banyak orang yang udah nggak sadar mereka salah arah.”

Hening lagi. Tapi kali ini bukan karena canggung, melainkan karena kami sedang mencerna semuanya.

“Eh Bang,” Rizal menyikutku pelan, “kalau kamu balik… sampaikan salamku ke Rizal semester dua ya. Bilang aja: ‘Nggak semua yang kamu rencanakan bakal kejadian. Tapi yang kamu pelajari… bakal nyelametin kamu nanti.’

Aku senyum. “Siap, Jal. Titip pesan diterima.”

Rizal tertawa. Tawa yang lepas, hangat, khas dia yang selalu bisa melihat sisi lucu dari hal-hal serius.

Dia kira aku cuma bercanda. Mungkin kalau aku jadi dia, aku juga bakal ketawa.

Mana mungkin ada orang yang bisa kembali ke masa lalu?

Itulah yang pasti dia pikirkan. Wajar. Dunia ini tidak pernah menyiapkan siapa pun untuk hal semustahil itu. Berbeda denganku, yang sudah tanpa sengaja menyaksikan masa depan… bukan sekali, tapi tiga kali.

Pertama, aku merasa itu cuma mimpi. Kedua, aku nyaris kehilangan diriku sendiri. Dan ketiga—yang sekarang ini—aku mulai sadar… ini bukan kebetulan.

Aku mulai percaya, ini cara semesta, atau mungkin Tuhan, menyuruhku belajar. Bukan cuma soal pilihan, tapi soal tanggung jawab, soal keberanian, soal… menjadi dewasa.

Aku menatap Rizal yang masih terkekeh di sebelahku.

Andai dia tahu ini bukan lelucon. Andai dia tahu bahwa satu kalimatnya malam ini bisa jadi akan mengubah masa depannya sendiri—atau menyelamatkan Anti dari jalan yang sama.

Aku ingin bilang sesuatu, tapi lidahku kelu. Bagaimana caranya memberi tahu bahwa semua ini nyata, tanpa terdengar gila?

Mungkin belum sekarang.

Atau malah mereka tidak perlu tahu.

Cukup aku yang tahu… cukup aku yang belajar…cukup aku saja yang menyimpan penderitaan ini…cukup aku saja yang menanggung beban ini… cukup aku saja kalian tidak perlu.

“Bang, solat tobat yuk,” ajak Rizal tiba-tiba.

Sekejap aku terdiam, melongo dengan ajakan Rizal yang sama random ini.

“Kamu bilang apa Jal?”

“Solat bang, solat... aku juga tau kalo kita ini memang nggak pantes buat diampuni, tapi kan gak ada salahnya mulai dari sekarang. Kalo kata Rafa ‘Heh! nggak ada yang namanya kata terlambat buat jadi lebih baik sebelum matahari terbit dari barat’ gitu” Rizal meniru cara mengomel Rafa, kami tertawa. Entah kenapa, ajakan Rizal yang simpel itu, terasa seperti pintu keluar dari mimpi buruk yang belum berakhir.

“Wudhu dulu deh bang,” katanya sambil berdiri. Dia jalan duluan, aku nyusul dari belakang.

Sampai di kamar mandi, Rizal ngelirik aku sebentar, “Kamu nggak ngerti cara wudhu ya, bang?”

“Sialan!, aku walaupun bejat begini, kalo soal solat aku nomor satu ya!”

“Hahaha, becanda bang.”

Kami akan solat di kamarnya Rizal, ternyata kamarnya cukup luas.

“Lembut juga ni sejadah Jal,” ucapku sambil mengelus-elus sejadah yang ada di dekat kasurnya, Rizal yang sedang mencari sejadah lain di lemari menoleh.

“HAHAHA, ITU KESET KAKI KOCAK.”

Reflek aku melempar keset yang kukira sejadah itu.

“KOK PANJANG BANGET?”

Rizal mengangkat bahunya “Nggak tau, tanya yang buat lah.”

Rizal nyodorin sejadah beneran sambil senyum kecil. “Yang ini insya Allah nggak bekas kaki, Bang…”

“...tapi bekas air mata.” Dia ketawa pelan, lalu berbalik. Aku diam. Mungkin dia nggak sadar, kalimatnya barusan nyentil banget.

Akhirnya kami mulai solatnya, terpisah. Sujud pertama aku berhasil menumpahkan air mataku, sujud kedua... ini adalah sujud terlamaku selama aku hidup.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Drama untuk Skenario Kehidupan
10691      2161     4     
Romance
Kehidupan kuliah Michelle benar-benar menjadi masa hidup terburuknya setelah keluar dari klub film fakultas. Demi melupakan kenangan-kenangan terburuknya, dia ingin fokus mengerjakan skripsi dan lulus secepatnya pada tahun terakhir kuliah. Namun, Ivan, ketua klub film fakultas baru, ingin Michelle menjadi aktris utama dalam sebuah proyek film pendek. Bayu, salah satu anggota klub film, rela menga...
KESEMPATAN PERTAMA
538      374     4     
Short Story
Dan, hari ini berakhir dengan air mata. Namun, semua belum terlambat. Masih ada hari esok...
They Call It Love
601      384     0     
Short Story
DocDetec
446      283     1     
Mystery
Bagi Arin Tarim, hidup hanya memiliki satu tujuan: menjadi seorang dokter. Identitas dirinya sepenuhnya terpaku pada mimpi itu. Namun, sebuah tragedi menghancurkan harapannya, membuatnya harus menerima kenyataan pahit bahwa cita-citanya tak lagi mungkin terwujud. Dunia Arin terasa runtuh, dan sebagai akibatnya, ia mengundurkan diri dari klub biologi dua minggu sebelum pameran penting penelitian y...
Hunch
39589      5558     121     
Romance
🍑Sedang Revisi Total....🍑 Sierra Li Xing Fu Gadis muda berusia 18 tahun yang sedang melanjutkan studinya di Peking University. Ia sudah lama bercita-cita menjadi penulis, dan mimpinya itu barulah terwujud pada masa ini. Kesuksesannya dalam penulisan novel Colorful Day itu mengantarkannya pada banyak hal-hal baru. Dylan Zhang Xiao Seorang aktor muda berusia 20 tahun yang sudah hampi...
The Twins
4542      1590     2     
Romance
Syakilla adalah gadis cupu yang menjadi siswa baru di sekolah favorit ternama di Jakarta , bertemu dengan Syailla Gadis tomboy nan pemberani . Mereka menjalin hubungan persahabatan yang sangat erat . Tapi tak ada yang menyadari bahwa mereka sangat mirip atau bisa dikata kembar , apakah ada rahasia dibalik kemiripan mereka ? Dan apakah persahabatan mereka akan terus terjaga ketika mereka sama ...
Bloody Autumn: Genocide in Thames
9564      2142     54     
Mystery
London, sebuah kota yang indah dan dikagumi banyak orang. Tempat persembunyian para pembunuh yang suci. Pertemuan seorang pemuda asal Korea dengan Pelindung Big Ben seakan takdir yang menyeret keduanya pada pertempuran. Nyawa jutaan pendosa terancam dan tragedi yang mengerikan akan terjadi.
Fragmen Tanpa Titik
44      40     0     
Inspirational
"Kita tidak perlu menjadi masterpiece cukup menjadi fragmen yang bermakna" Shia menganggap dirinya seperti fragmen - tidak utuh dan penuh kekurangan, meski ia berusaha tampak sempurna di mata orang lain. Sebagai anak pertama, perempuan, ia selalu ingin menonjolkan diri bahwa ia baik-baik saja dalam segala kondisi, bahwa ia bisa melakukan segalanya sendiri tanpa bantuan siapa pun, bahwa ia bis...
Reaksi Kimia (update)
5878      1557     7     
Romance
》Ketika Kesempurnaan Mengaggumi Kesederhanaan《 "Dua orang bersama itu seperti reaksi kimia. Jika kamu menggabungkan dua hal yang identik, tidak ada reaksi kimia yang di lihat. Lain halnya dengan dua hal yang berbeda disatukan, pasti dapat menghasilkan percikan yang tidak terduga" ~Alvaro Marcello Anindito~
Kenzo Arashi
1970      736     6     
Inspirational
Sesuai kesepakatannya dengan kedua orang tua, Tania Bowie diizinkan melakukan apa saja untuk menguji keseriusan dan ketulusan lelaki yang hendak dijodohkan dengannya. Mengikuti saran salah satu temannya, Tania memilih bersandiwara dengan berpura-pura lumpuh. Namun alih-alih dapat membatalkan perjodohannya dan menyingkirkan Kenzo Arashi yang dianggapnya sebagai penghalang hubungannya dengan Ma...