Nah, jadi begitulah alasan kenapa aku tidak bisa menjelaskan kepada teman-teman bandku tentang keputusan membubarkan band. Dua tahun lalu, aku telah mengalami semua itu—hal yang bahkan aku sendiri butuh waktu lama untuk memahaminya. Namun aku sudah tidak pernah lagi mengalami mimpi seperti itu lagi setelahnya atau biasa yang kusebut ‘Penglihatan Masa Depan’.
Aku menarik napas panjang, menatap langit-langit kamar kos yang bercat putih kusam. Sudah lebih dari satu jam aku berguling-guling, mencoba tidur, tapi mataku tetap menolak terpejam.
"Ya Allah, kenapa aku gak bisa tidur sih?" Aku menggerutu pelan, mengacak-acak rambut sendiri. Padahal biasanya kalau udah mulai mikirin banyak hal, aku pasti ketiduran di tengah jalan. Ini kok malah segar bugar begini?
Tiba-tiba, suara pintu terbuka. Cahaya dari koridor luar menyelinap masuk sebentar sebelum lampu kamar menyala. Rizal masuk dengan langkah santai, melepas sepatunya satu per satu.
“Assalamualaikum.”
Aku menyipitkan mata, masih kesal karena insomnia dadakan ini. “Buset, dari mana aja, Jal? Udah jam satu malam, lho.”
Rizal hanya menghela napas sebelum menatapku dengan tatapan sok bijak. “Astagfirullah, jawab dulu salamnya, Bang.”
Aku nyengir. “Hehehe, waalaikumsalam.”
“Abis dari rapat aku, Bang. Lah, abang kenapa belum tidur?”
“Nggak tahu juga nih, tiba-tiba kena insomnia aku, Jal.” Aku menghela napas, mengacak rambut sendiri.
Rizal duduk di kasurnya sambil meregangkan badan. “Begadang yuk, Bang. Besok kan libur.”
Aku melirik jam. Sudah jam satu lewat. Harusnya aku nolak, tapi... ah, siapa yang bisa menolak ajakan begadang kalau nggak ada kuliah pagi?
“Gas! Main PES kuy.”
Dengan sigap, aku meraih laptop gaming yang sebenarnya kubeli dengan alasan untuk mengerjakan tugas arsitektur (setidaknya, itu yang kubilang ke mamak). Tapi karena masih semester dua dan tugas-tugas digital belum banyak, jadilah laptop ini lebih sering dipakai buat hal lain. Seperti sekarang—menyalakan PES dan bersiap untuk malam panjang.
“Jal, aku juga mau kopi dong, biar makin mantap mainnya,” pintaku, mataku tertuju pada gelas kopi yang baru saja Rizal bawa.
Rizal yang baru ingin duduk langsung mendengus. “Buat sendiri!”
Aku manyun. “Yeee, yaudah nih, aturin dulu.” Dengan malas, aku menyerahkan stik kepadanya.
Beberapa menit kemudian, kami sudah siap menjalani hidup sebagai mahasiswa teladan: duduk di depan laptop, menggenggam stik PS, pada jam setengah dua pagi.
Aku melirik Rizal sambil membuka percakapan, entah kenapa tiba-tiba kepikiran. “Eh, Jal, nggak nyangka ya, Rafa bisa lolos di situ.”
Rizal mengangkat bahu. “Wajar, dia mah pinter. Aku malah lebih kaget kamu, Bang. Bisa lolos UMS.”
“Yee, aku nggak sebego itu kali.” Aku meliriknya tajam, pura-pura tersinggung.
Rizal cengengesan. “Ya tapi kan...”
Aku memotong. “Rafa sekarang gimana ya hidupnya?”
Rizal terkekeh. “Hahaha, kayak nggak pernah ketemu bertahun-tahun aja, Bang. Biasanya juga ke sini kalau hari libur. UNS sama UMS kan nggak jauh….”
Tiba-tiba dia menghela napas pelan. “Bang, aku mau nanya. Tapi abang jawab jujur.”
Aku menyipitkan mata, curiga. “Apaan, kayak lagi mau nanya aib aja kamu, Jal.”
Rizal masih fokus ke layar laptop, tapi aku tahu dia serius. “Abang masuk arsitektur ini karena nggak tahu lagi mau masuk apa, atau memang punya alasan?”
Aku terdiam sebentar, lalu mendengus. “Sialan kamu, Jal. Aku tuh punya bakat gambar ya sebenarnya, bakat mendesain. Kamu aja yang nggak pernah lihat.”
Rizal tertawa pelan. “Hahaha, aku kan cuma nanya, Bang. Bagus deh kalau begitu.”
Aku menyandarkan punggung, memandangi layar tanpa benar-benar fokus. “Aku udah nggak buta arah kayak dulu, Jal….” Aku tersenyum kecil. “Aku udah punya tujuan hidup. Bahkan, udah sejak kita bertiga sering kumpul.”
Rizal melirik sekilas, lalu mengangguk. Entah kenapa, ekspresi wajahnya seperti lega. Karena pertanyaan Rizal aku jadi kembali kepikiran tujuan hidupku, kurasa aku bisa mencapainya dengan mudah, kecuali satu hal : menikahi - eh, maksudnya memastikan Rafa tidak akan menikah dengan laki-laki jahat itu.
***
“ASTAGHFIRULLAH! BANGUN WOI!!”
Byur!
Aku tersentak. Dingin! Air muncrat ke wajahku.
“WOI! WOI! APA-APAAN INI?!” Aku buru-buru duduk, masih setengah sadar.
Rafa berdiri di depan kasur, tangannya masih meneteskan air. “Liat nih, mahasiswa teladan kesiangan.”
Rizal yang juga kena efek samping percikan air langsung mengangkat tangan, setengah melindungi wajah. “Oi, oi, oi! Udah bangun woi! Santai napa!”
Rafa mendengus. “Santai? SANTAI?! Jam berapa ini, hah? Aku udah masak, udah makan, udah cuci piring. Kalian? Masih jadi fosil di kasur!”
Aku mengusap muka. “Ya Allah, pagi-pagi udah main air aja…”
Rizal mendesah panjang, matanya masih sayu. “Rafa, tolong, kita ini mahasiswa… bukan atlet pagi-pagian.”
Rafa menyilangkan tangan di dada. “Kalian tuh harusnya produktif! Mentang-mentang libur, malah jadi kelelawar.”
Aku melirik Rizal yang masih terduduk lemas. “Aku rasa dia lebih cocok jadi Babi sih Rap.”
Rizal memelototiku. “Bang, aku belum sarapan. Jangan bikin aku makan orang.”
Rafa menghela napas tajam. “Jadi tadi malam begadang, ya?”
Aku dan Rizal saling pandang. Dalam sekejap, kami kompak menatap langit-langit. “Enggak…”
Rafa menyipitkan mata curiga. “Terus kenapa kalian bangun siang?”
Rizal buru-buru menggaruk kepala. “Ehm… refleksi kehidupan, Rap. Kami tadi malam merenungi makna hidup.”
Rafa menyeringai. “Merenungi makna hidup sambil main PES, ya?”
Aku dan Rizal terdiam. Ketahuan.
“Udah, pokoknya sekarang kalian siap-siap, kalian kan udah janji.” Ucap Rafa sambil merapikan barang-barang kami yang berantakan
Rizal dan aku saling bertatapan, mencoba membaca pikiran masing-masing. Lalu, aku berdeham pura-pura bingung.
“Janji apa ya, Ra?” tanyaku dengan ekspresi orang polos yang baru lahir ke dunia.
Rafa langsung menyipitkan mata. “Jangan pura-pura amnesia deh, Yud. Kalian janji mau nemenin aku belanja hari ini.”
Rizal memasang wajah dramatis, seolah baru menyadari sesuatu yang sangat penting. “Ya ampun… aku baru ingat, Bang! Kita tuh ada… ada…” Dia menoleh ke arahku, mencari alasan.
Aku langsung menangkap kode dan ikut akting. “Iya, iya! Kita tuh ada… ehm… rapat… rapat UKM!”
“UKM apaan?” Rafa melipat tangan di dada.
“Eee… UKM Pecinta Kucing Liar,” jawab Rizal asal.
Aku mengangguk-angguk. “Iya, benar! Hari ini kita ada misi menyelamatkan kucing terlantar di kampus. Kasian, Rap, mereka butuh perhatian lebih dari kita.”
Rafa mengangkat alis. “Oh, gitu?”
“Iya, kasian banget, sumpah,” Rizal menambahkan, berusaha terdengar meyakinkan.
“Terus kenapa aku liat HP-mu, bang Rizal, terakhir online jam 3 pagi? Bukannya main PES?”
Aku dan Rizal langsung terdiam.
“Terus katanya misi menyelamatkan kucing? Mana buktinya?”
Aku buru-buru membuka galeri HP dan menunjuk foto kucing yang kebetulan ada. “Tuh, ini bukti, Ra! Lihat kucing ini… eee… ini namanya… eh…”
Rizal ikut mendekat dan melihat HP-ku. “Bang, itu kucing Garfield…”
Rafa menghela napas panjang. “Udah, mandi sana. Lima belas menit. Telat satu menit, traktir aku es krim sepuasnya.”
Aku dan Rizal langsung panik. “WEH! ES KRIM SEPUASNYA?! KAMU PIKIR KAMI SULTAN?!”
“Kalau mau dompet aman, buruan mandi.” Rafa memasang smirk penuh kemenangan.
Dalam hitungan detik, aku dan Rizal sudah berlarian ke kamar mandi, bahkan sampai rebutan siapa duluan. Aku mencoba menarik baju Rizal agar keluar, tapi dia sudah keburu ngunci pintu.
“JAL! KELUAR WOI! GILIRANKU DULU!”
“HAHAHA, DULUAN YANG PINTAR, BANG!”
Dari luar, Rafa hanya menggeleng-geleng sambil melipat tangan di dada. “Capek aku punya temen ginian…”
Akhirnya, kami berangkat juga ke mall. Seperti yang sudah bisa ditebak, kami telat hampir sepuluh menit. Rafa berdiri di depan pintu masuk dengan tangan terlipat di dada, matanya menyipit penuh kecurigaan. Namun, yang lebih mencurigakan adalah senyumnya. Senyum penuh makna. Senyum yang membuat dompetku bergetar ketakutan.
Aku mengikuti arah pandangnya. Toko es krim.
Aku menelan ludah. Perlahan, aku merogoh kantong dan melihat isi dompet… YA ALLAH! CUMA ADA 50 RIBU! Ini uang buat makan seminggu!
Aku mencoba negosiasi. “Rap, yang seribuan aja ya?” tanyaku dengan nada penuh harap.
“Iya, Rap,” timpal Rizal, “kita kan juga nanti bantu kamu angkat barang-barang… yang nggak pentingmu.”
Aku refleks menyikut perut Rizal dengan cepat. Rizal, yang baru sadar telah mengucapkan kata-kata terlarang, langsung meralat dengan ekspresi panik. “Eh, maksudnya barang-barang sangat penting dan tidak bisa digantikan dalam hidupmu.”
Rafa melipat lengan sambil menatap kami dengan pandangan seorang hakim yang siap menjatuhkan vonis. “Gitu lagi, kuhajar kalian berdua.”
Aku dan Rizal langsung memasang senyum manis, senyum khas orang yang sadar nyawanya sedang dipertaruhkan.
“Yaudah, nggak jadi beli es krim deh.” Rafa melipat tangan di dada sambil menatap kami sok iba. “Kasihan aku lihat muka miskin kalian ini. Kita langsung ke toko baju aja dulu.”
Aku dan Rizal saling melirik. Ada yang nggak beres.
Lima menit kemudian, kami sudah berdiri di depan rak-rak pakaian. Rafa tersenyum misterius. “Pilih satu baju, hari ini aku yang belanjain.”
Aku nyaris menjatuhkan kaus yang sedang kupegang. Rizal membeku di tempat.
EH?! SEORANG RAFA MENTRAKTIR?!
Aku menatap Rizal. Rizal menatapku. Lalu kami menatap Rafa dengan kecurigaan tingkat tinggi.
“Ini… ini jebakan, kan?” aku mengernyit, berharap ini cuma prank.
“Beneran, cepet pilih.” Rafa menjawab santai.
Aku masih ragu. Nih anak dapet uang dari mana? Setelah kupikir-pikir, akhir-akhir ini dia sering muncul di Instagram pakai hashtag #PaidPartnership. Oh iya, dia memang sekarang jadi ambassador hijab dan skincare.
Baru aku sadar, Rafa yang sekarang tuh beda. Vibes-nya lebih Islami. Dia pakai gamis dan hijab pashmina yang—jujur aja—kayaknya butuh sertifikasi khusus buat bisa melipatnya dengan rapi begitu. Aku nggak ngerti tekniknya, tapi yang jelas kalau aku yang pakai, hasilnya bakal mirip gulungan kabel charger yang kusut.
“Oh iya, kamu sekarang ikut IQuns, ya Rap?” tanyaku sambil memegang kaus polos warna navy.
Rafa mengangguk. “Iya, Ilmu Qur’an UNS. Makanya sekarang aku dapet banyak job endorse hijab.”
Rizal bersiul kecil. “Mantap sih, dapet pahala, dapet duit juga.”
Aku mengangguk setuju. “Iya, beda sama kita… dapet dosa, dapet utang pula.”
“Mending kalian buruan tobat deh, aku aja kalau deket-deket kalian tuh rasanya panas banget, tau nggak?” Rafa melipat tangan di dada, ekspresi sok suci tapi malah bikin kami ingin ngakak.
“Ya Allah, Rap, gak segitunya juga kali,” aku menggeleng, pura-pura tersinggung. “Kalau Rizal iya sih kayaknya, dia kan tipenya malaikat Malik.”
Rizal yang lagi minum teh langsung tersedak. “Woi, bangke! Aku ini anak baik-baik, tahu nggak?”
Aku dan Rafa langsung ngakak. Rafa sampai harus pegangan rak baju supaya nggak jatuh saking kencangnya ketawa. “HAHAHAHA, PARAH BANGET.”
Aku menepuk bahu Rizal. “Gapapa, Jal, neraka juga butuh penjaga.”
Rizal mendengus kesal.
40 menit kemudian, aku dan Rizal sudah dari tadi selesai memilih baju, hanya Rafa yang masih keliling. LAMA BANGET!
“Jal, aku mau ke WC dulu.”
“Terus? Abang ngajak?”
“Yee, kuberakin mau?, aku kan kasih tau aja, entar kalo tiba-tiba ngilang kamu cariin”
“Yaudah sana, pantesan dari tadi aku cium bau kentut dajjal abis makan pete dua kilo.” Rizal mengipas-ngipas tangannya, seakan beneran nyium.
“Lebay lu, sekilo kali.”
“HAHAHAH”
Sesampainya di WC, aku melihat seseorang yang familiar bercermin. Aku sempat melirik. ITUKAN FAJAR! Si brengsek itu. Pengen banget kutabok sekarang. Tapi dia nggak sendirian. Apa dia kuliah di Solo juga?
DUH, UDAH KEBELET BERAK LAGI.
Aku buru-buru masuk ke bilik.
“Jadi gimana, Jar? Masih mau deketin Rafa, padahal udah ditolak?”
Eh, mereka ngomongin Rafa? DITOLAK? HAHAHA, MAMPUS. Pengen ngakak, tapi ya mana ada orang berak sambil ketawa? Kecuali Rizal sih, mungkin.
“Iya, Rul… tapi dia sebenernya nggak nolak.”
Lah?! Jadi diterima?
“Terus, diterima?”
PAS BANGET SAMA OTAKKU. Si ‘Rul’ ini pasti oon juga.
“Bukan… Dia nggak ngasih kepastian. Dia cuma bilang, ‘Jodoh itu sudah ditetapkan. Jadi mau pacaran atau nggak, kalau memang jodoh pasti endingnya kita akan bersama.’”
Fajar menghela napas sebelum lanjut, “Terus dia bilang lagi, ‘Kalau serius, jangan pernah chat aku lagi, apalagi buat bahas yang nggak penting. Lebih baik kamu memantaskan diri. Aku butuh pendamping yang hapal Qur’an dan paham agama.’”
“Wah, berat ya, Jar.”
“Belum selesai…” Fajar terdengar makin frustasi. “Dia bilang gini, yang ini agak aneh. ‘Aku punya dua abang, bukan kandung sih. Mereka sahabat, tapi sudah kuanggap abang. Nah, kamu harus lolos penilaian mereka, karena aku yakin mereka bakal marah kalau aku sembarang pilih orang.’ Habis ngomong gitu, dia pergi. Terus sampai sekarang, chatku nggak pernah dibales.”
“Jadi sekarang kamu mau gimana?”
“Ya sekarang aku sudah mulai menghafal sih, sambil nyari-nyari pengajian gitu, sekaligus mulai bisnis buat persiapan nikah, aku yakin salah satu penilaian abangnya itu pasti finansial.”
Beberapa detik kemudian, langkah kaki mereka terdengar menjauh.
Aku diam. Lah, itu Fajar?! Dulu, dia cowok brengsek yang ngebunuh orang yang dia cintai dengan tangannya sendiri. Tapi sekarang? Apa Rafa benar-benar mengubah dia?
Dan… abang-abang yang dia maksud itu aku dan Rizal, kan?
Di mimpi itu—ya, aku masih menganggapnya cuma mimpi—mereka menikah. Kayaknya setelah ini aku harus membahasnya…
HUEKKK!
Aku baru sadar… aku sudah selesai mengeluarkan semua isi perut. Segera kupencet tombol flush, dan…
LAAHHH AIRNYA KOK GAK KELUAR?!
Mataku langsung mencari sumber masalah, dan akhirnya ketemu: selembar kertas kuning nempel di pintu.
"Mohon Maaf, WC Sedang Dalam Perbaikan!"
RIZAAAALL! TOLONG AKU HUHUHU!
Sial. Karena keasyikan menguping tadi, aku nggak sadar... AKU TERJEBAK!