Loading...
Logo TinLit
Read Story - Catatan Takdirku
MENU
About Us  

Dua minggu sejak mamak meninggal, rumah ini tak lagi terasa seperti rumah.

Sunyi. Dingin. Kosong.

Bapak belum pernah tersenyum lagi sejak hari itu. Tatapannya selalu kosong, seperti melihat sesuatu yang tak bisa kulihat. Setiap kali aku mencoba mengajaknya bicara, ia hanya menjawab seperlunya, tanpa benar-benar melihatku.

Aku tahu, bapak kecewa padaku.

Dan jujur, aku juga kecewa pada diriku sendiri.

Sekarang, bapak jatuh sakit. Bukan karena penyakit tertentu, tapi karena… ia tidak makan dengan benar. Aku pernah melihatnya hanya duduk diam di kamar, menatap foto mamak, tanpa menyentuh nasi di piringnya.

Aku berdiri di ambang pintu, membawa semangkuk bubur hangat yang hampir dingin karena terlalu lama kutunggu.

"Pak…" suaraku pelan, nyaris berbisik.

Bapak tidak menoleh. Hanya diam.

Aku melangkah masuk, meletakkan mangkuk di meja di sampingnya. Aroma bubur ayam yang biasanya menggugah selera kini terasa hambar di udara.

"Ini makanannya kutaruh di sini ya, Pak," kataku, berusaha terdengar tenang.

Tidak ada reaksi.

Aku menarik napas dalam. Bapak masih tidak mau melihatku.

"Aku ngerti, Pak, kalau bapak kecewa," suaraku sedikit bergetar, tapi aku menahannya. "Tapi kalau nggak mau kusuapi, seenggaknya bapak makan sedikit ya…"

Bapak tetap diam. Tapi aku bisa melihat tangannya yang mulai menggenggam erat kain sarungnya.

“Yud…” panggilnya tiba-tiba, aku sedikit terkejut, namun ini adalah sebuah kemajuan.

“Iya Pak.”

Bapak menepuk pelan tangannya ke kasur di samping tempat ia duduk sekarang “Sini duduk, bapak mau cerita” tanpa pikir panjang aku nurut.

“Mamakmu itu sebenarnya sudah sakit lama…bapak juga baru sadar sekitar sebulan sebelum ia meninggal.”

Luka yang mulai disembuhkan oleh waktu kembali terbuka lebar, namun tetap kupasang telingaku untuk mendengar, karena kurasa ini adalah hal yang sangat penting untuk bapak ceritakan.

***

Diana menatap layar ponselnya. Lagi-lagi, panggilannya tak dijawab.

Sudah seminggu ini Yudhis tak mengangkat teleponnya. Kalaupun diangkat, jawabannya selalu sama.

"Lagi sibuk kerja, Mak."

Diana ingin percaya bahwa memang itu alasannya. Bahwa anaknya benar-benar baik-baik saja di pulau seberang. Tapi tetap saja… ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Seorang ibu selalu tahu saat ada sesuatu yang tidak beres.

Ia mendesah pelan, menyandarkan tubuh di kursi ruang tamu. Pandangannya menerawang ke arah foto keluarga di dinding. Yudhis di usia tujuh tahun, dengan pipi tembam dan senyum lebar.

Kapan terakhir kali anak itu pulang?

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam,” Diana menoleh, menyambut suaminya yang baru pulang kerja. Dengan refleks, ia melangkah mendekat, membantu melepaskan jasnya, lalu berjalan ke dapur untuk membuatkan kopi.

Itu adalah rutinitas kecil yang selalu ia lakukan setiap kali Ilham pulang. Rutinitas yang mungkin sederhana, tapi membuatnya merasa tetap dibutuhkan.

Ilham duduk di sofa, menyandarkan tubuhnya dengan ekspresi kelelahan. Namun, tatapannya tetap tajam memperhatikan istrinya.

Akhir-akhir ini, Diana terlihat berbeda. Terlalu banyak diam. Terlalu banyak termenung.

Ilham sudah mengenalnya terlalu lama. Ia tahu ada sesuatu yang mengganggu pikiran Diana. Dan jika ada satu hal di dunia ini yang bisa membuat istrinya berubah seperti ini…

Itu hanya satu orang.

Saat Diana kembali membawa secangkir kopi, Ilham menepuk sofa di sebelahnya, menyuruh istrinya duduk.

“Diana…” suaranya lembut, penuh perhatian. “Kamu lagi ada masalah sama Yudhis? Kangen, ya?”

Diana tersenyum kecil, tapi matanya berkabut. Ia meletakkan kopi di meja, menatap suaminya, lalu mengangguk pelan.

“Yudhis gak ngabari apa-apa ya?”

“Ada kok, Pak. uhuk,” jawabnya sedikit terbatuk. “Kerjaannya lancar-lancar aja, dia bilang. Cuma… akhir-akhir ini dia lagi sibuk, jadi jarang bisa teleponan panjang.”

Diana tersenyum… tapi ada sesuatu yang menusuk dadanya saat mengucapkan kebohongan itu.

Ilham menghela napas. “Anak laki-laki itu memang gitu, Na. Agak susah kalau diajak cerita.”

Diana hanya mengangguk, menatap suaminya yang kini menyalakan TV. Seperti biasa, itu adalah rutinitasnya setelah makan malam di luar.

Rutinitas yang biasanya membuat Diana merasa nyaman. Tapi malam ini, entah kenapa, ada yang terasa kosong.

“Gimana di kantor, Pak? Aman,?uhuk!” tanyanya, mencoba mengalihkan topik.

Ilham menoleh sebentar, mengernyitkan alisnya, “Kamu sakit Na?”

Diana menggeleng pelan “Gak kok pak, Cuma flu biasa.”

Ilham mengangguk ber-oh pelan “Kerjaanku aman kok, bulan depan kayaknya Pak Bos mau naikin gajiku, hehehe” ucap Ilham, kembali fokus ke TV. Diana yang mendengarnya juga tersenyum.

***

1 bulan sebelum kematian

Diana berdiri di dapur, mengaduk teh dengan pelan. Tangannya sedikit gemetar, tapi ia mengabaikannya. Sudah beberapa hari ini tubuhnya terasa lemas, tapi ia memilih untuk tidak mengeluh.

Mamak nggak boleh sakit.

Begitu pikirnya. Jika ia mengeluh, Ilham pasti akan khawatir. Jika ia sakit, siapa yang akan mengurus rumah ini?

Tapi pagi ini, tubuhnya terasa lebih berat dari biasanya. Saat ia hendak melangkah ke meja makan, kakinya tiba-tiba melemas.

Piring di tangannya hampir jatuh saat tubuhnya limbung.

BRUK!

Diana jatuh ke lantai, tubuhnya terhuyung tanpa bisa menahan diri. Seketika, dunia terasa berputar.

“Sayang!”

Ilham baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk masih melilit tubuhnya. Ia langsung berlari, mendekap istrinya yang terduduk lemas di lantai.

“Diana! Kamu kenapa?” Suaranya panik, matanya penuh kecemasan.

Diana mencoba tersenyum, meskipun napasnya tersengal. “Aku nggak apa-apa, cuma… tiba-tiba lemas aja.”

“Nggak apa-apa gimana? Kamu jatuh, Na!” Ilham semakin panik. “Kita ke rumah sakit sekarang.”

Diana menggeleng pelan, berusaha bangkit meskipun tubuhnya masih gemetar. “Nggak usah, Pak. Aku cuma kecapekan.”

Ilham menatapnya dalam diam. Ia tahu Diana. Ia tahu istrinya selalu menahan sakit, selalu berpura-pura kuat.

Tapi kali ini, Ilham tidak akan membiarkannya berpura-pura lagi.

Setelah menyandarkan istrinya di sofa, segala macam cara Ilham membujuk Istrinya, akhirnya Diana mau di bawa ke rumah sakit untuk di periksa.

“Nanti kukabari Yudhis ya kalau kamu sakit, biar dia kesini.”

Diana buru-buru menggelengkan kepalanya “Gak usah pak, aku sehat kok.”

“Sehat gimana? Makanya ke rumah sakit, biar tahu sehat apa nggaknya.”

Diana terdiam, berpikir sebentar. Akhirnya mengangguk.

***

Di lorong rumah sakit yang terasa sempit, orang-orang berlalu-lalang, ada yang mendorong orang tuanya dengan kursi roda, seorang anak kecil berlari kecil menuju ruangan lain, wajahnya penuh semangat ingin menjenguk kakeknya.

Ilham duduk di kursi tunggu, jari-jarinya menggenggam lengan kursi dengan erat. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

Pasti nggak apa-apa. Ini pasti cuma kecapekan biasa.

Tapi… entah kenapa, dadanya terasa berat. Seperti ada sesuatu yang tidak beres.

Pintu ruang pemeriksaan terbuka. Dokter itu keluar dengan wajah yang sulit ditebak. Ilham berdiri cepat.

“Gimana, Dok?” suaranya sedikit bergetar.

Dokter menghela napas sebelum akhirnya berkata, “Ibu Diana sudah lama mengidap kanker paru-paru. Sekitar empat tahun.”

DEG!

Ilham membeku. Seketika, suara-suara di rumah sakit menghilang.

“Saya yakin sekali beliau sudah mengetahuinya,” lanjut dokter. “Karena dari rekam medisnya, akhir-akhir ini beliau rutin memeriksakan diri setiap tiga bulan sekali.”

Ilham tidak bisa bernapas.

Kata-kata dokter seperti gema yang berulang di kepalanya, memukul keras tanpa henti.

Empat tahun.

Diana sudah tahu. Selama ini, dia sudah tahu.

Ilham merasakan kakinya melemas. Tanpa sadar, ia terduduk di kursi tunggu. Tangan gemetar mencengkeram wajahnya.

Kenapa kamu gak bilang, Na…?

Kenapa aku gak sadar…?

Kenapa… aku terlambat?

Ilham menelan ludah. Tangannya mengepal di atas lututnya, seakan mencari sesuatu untuk digenggam agar tidak jatuh lebih dalam ke dalam kehancuran.

Namun dokter belum selesai berbicara.

“Pak Ilham…”

Ilham mendongak, ekspresi dokter itu masih sulit ditebak.

“Sebenarnya…” dokter ragu sejenak sebelum melanjutkan, “Ibu Diana tadi menitipkan pesan agar saya tidak memberi tahu bapak tentang penyakitnya.”

Ilham membeku.

“Beliau bersikeras agar bapak tidak tahu, tapi saya mencoba meyakinkannya bahwa mulai sekarang harus ada yang memperhatikannya.”

Ilham menatap dokter itu, matanya melebar. Jadi selama ini, Diana benar-benar tidak ingin dia tahu?

“Akhirnya, beliau setuju…” lanjut dokter pelan, sebelum menghela napas. “… dengan satu syarat.”

Ilham menunggu, dadanya berdegup lebih kencang.

“Bapak tidak boleh memberi tahu anak bapak.”

DEG!

Seakan baru saja ditinju di perut, Ilham kehilangan semua udara dalam paru-parunya.

Tidak boleh memberi tahu Yudhis?

Diana… bahkan di saat-saat seperti ini, dia masih lebih memikirkan anaknya daripada dirinya sendiri.

Ilham menutup matanya sejenak, berusaha menahan semua emosi yang mulai memuncak. Amarah. Kesedihan. Rasa bersalah.

Haruskah dia menuruti permintaan istrinya?

Haruskah dia membiarkan anaknya tetap dalam ketidaktahuan, seperti yang Diana inginkan?

Jika dia diam, dia akan menyesal. Jika dia bicara, dia mengkhianati Diana.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Ilham benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.

***

7 hari sebelum kematian

“Pak Ilham, mulai sekarang Ibu Diana akan dirawat di rumah sakit, kami akan berusaha semaksimal mungkin, walaupun secara medis ini sudah cukup sulit” Ucap Pak dokter tenang.

Ilham yang mendengar itu menggenggam dadanya kuat, mencoba menahan rasa sakit dan sesak di dadanya. Tadi pagi Diana lagi-lagi terjatuh, malah kali ini ia pingsan. Ilham sudah menyuruhnya untuk tidak perlu melakukan kegiatan domestic lagi biar Ilham yang menggantikannya, namun Diana keras kepala. Sedangkan Ilham sudah meminta cuti sejak 2 minggu lalu.

Pak dokter pergi menjelaskan kondisi Diana yang semakin memburuk. Ilham melangkah masuk ke ruangan dimana Diana dirawat. Diana tidak sedang tidur, dia baru saja bangun dan sekarang melamun.

Melihat sosok Ilham muncul dari pintu Diana tersenyum kemudian berkata “Sayang, kamu kerja aja sana, orang kantor pasti lagi kesulitan itu.” Perkataan itu hanya membuat Ilham semakin sakit, kenapa istrinya lebih memikirkan orang lain dibandingkan dengan dirinya yang bahkan lebih kesulitan.

Namun Ilham tidak ingin rasa sakitnya ini terlihat, Ilham duduk di kasur tempat Diana baring, lalu tersenyum kembali. “Gak kok, Pak bos ngambil ahli tugasku, dia ternyata lebih jago melakukannya.”

“Waww, sudah lama sekali dia gak datang kerumah, terakhir waktu Yudhis baru lulu SMA…” Wajah Diana tiba-tiba berubah 180 derajat.

“Sayang…aku kabarin ke Yudhis ya kalau kamu sakit, biar dia pulang. Dia berhak tau Na…kalau kamu gak kasih tahu dia sekarang, kapan lagi?”

Diana menggeleng lemah, mata yang dulu penuh semangat kini hanya menyimpan kelelahan.

“Nanti aja, Pak... nanti kalau aku sudah sembuh.”

Ilham ingin percaya. Ingin sekali percaya itu.

Diana menatap langit-langit, bibirnya melengkung dalam senyum kecil. Senyum yang terlalu tenang untuk seseorang yang tahu dirinya sedang sekarat.

“Aku gak mau dia khawatir dan kerepotan… karena mamaknya yang sebentar lagi akan sembuh,” ucapnya pelan. Suaranya hampir seperti bisikan.

Ilham tersenyum kecil, mengangguk. Dia harus terlihat kuat. Harus.

“Aku ke toilet dulu ya, Sayang.”

Tangannya gemetar saat meraih gagang pintu.

Begitu pintu tertutup, kakinya lemas. Ia bersandar ke dinding, tangan menutupi wajahnya.

Air mata yang selama ini ia tahan, akhirnya jatuh.

 

***

Hari kematian

Pagi itu, telepon dari rumah sakit berdering.

“Pak Ilham, istri Anda baru saja mengalami kejang-kejang. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi…”

Ilham tidak menunggu dokter menyelesaikan kalimatnya. Tangannya gemetar saat menutup telepon, jantungnya berdetak tak beraturan. Ia langsung berlari, naik mobil tanpa peduli pada lalu lintas, berharap... berharap ia tidak terlambat.

Saat tiba di rumah sakit, pintu kamar Diana sudah setengah terbuka.

“DIANA!”

Ia mendorong pintu dengan kasar.

Di dalam, ada dokter dan suster, berdiri di sisi ranjang dengan wajah yang terlalu tenang untuk membawa kabar baik. Diana terbaring lemah, tubuhnya masih sedikit bergetar, matanya kosong menatap langit-langit, seolah sedang melihat sesuatu yang tak terlihat oleh orang lain.

Dokter menoleh ke arah Ilham. Menggeleng pelan.

Ilham merasa lututnya hampir goyah.

Dokter dan suster meninggalkan ruangan, memberi mereka waktu berdua. Detik-detik terakhir.

Ilham segera duduk di samping ranjang, menggenggam tangan istrinya erat, seakan jika ia cukup kuat menahannya, Diana tidak akan pergi.

“Diana, aku di sini, Sayang... Kamu mau apa? Minum? Makan? Apa aja, aku belikan, tunggu sebentar ya!” suaranya bergetar.

Diana tersenyum kecil. Senyum yang nyaris tak terlihat. Senyum seorang istri yang tidak ingin suaminya bersedih.

Perlahan, tangannya yang lemah terangkat, menyentuh pipi Ilham dengan lembut. Sentuhan yang dulu hangat, kini terasa dingin.

“Ilham...” suaranya nyaris tak terdengar.

Ilham menunduk lebih dekat. Air matanya jatuh ke tangan Diana.

“Selama ini...” Diana terengah, berusaha berbicara. Matanya mulai berkaca-kaca. “Aku minta maaf ya… Kalau aku gak bisa jadi istri yang baik…”

Ilham menggeleng cepat, tangannya semakin erat menggenggam jemari Diana. “Gak, Sayang. Kamu istri terbaik... Kamu yang terbaik buat aku!”

Diana tersenyum lemah. Tapi air matanya jatuh.

Matanya mulai berat, tapi dia masih berusaha. Masih ada sesuatu yang ingin dia katakan.

“Juga...” napasnya pendek. “Tolong beri tahu Yudhis...”

Ilham menahan napas.

“Aku minta maaf…” suara Diana semakin kecil. “Aku belum bisa jadi orang tua seperti yang dia inginkan...”

Tangan Diana melemah dalam genggamannya.

“Diana?” Ilham memanggilnya panik.

Matanya mulai menutup.

“Diana, Sayang, jangan tidur dulu!”

Ilham mengguncang tubuhnya pelan, berusaha membangunkannya. Tapi napas itu…

Perlahan…

Hilang.

Seperti angin yang pergi tanpa suara.

Ilham terdiam. Dunia mendadak sepi.

Seharusnya dia berteriak. Menangis. Tapi tubuhnya membeku. Matanya menatap wajah istrinya yang damai, seolah hanya tertidur.

Lalu—

Isakannya pecah.

Tangannya menggenggam tangan Diana yang kini benar-benar dingin. Menangis sejadi-jadinya.

Seharusnya dia berteriak. Menangis. Tapi tubuhnya membeku. Matanya menatap wajah istrinya yang damai, seolah hanya tertidur.

Lalu—

Isakannya pecah.

Tangannya menggenggam jemari Diana yang kini benar-benar dingin. Air mata jatuh membasahi punggung tangan istrinya, tapi Diana tidak akan pernah bisa mengusapnya lagi.

TEET TEET!

Ponselnya bergetar di saku. Suara itu menusuk sunyi ruangan, kontras dengan kematian yang baru saja terjadi.

Di layar, nama anaknya tertera di sana.

Yudhis.

Ilham menatap nama itu lama, tangannya gemetar di atas tombol jawab. Ia ingin sekali membenci anaknya. ingin marah. Ingin berteriak bahwa Yudhis seharusnya ada di sini.

Tapi… Diana tidak akan suka itu.

***

Kembali ke masa Yudhis dan Bapaknya

Pria berusia 50-an itu menghela napas panjang, memperbaiki posisi duduknya.

Dia terlihat lebih tua dari usianya.

“Terakhir, Yud…” suara bapak sedikit bergetar. “Sebelum mamakmu benar-benar meninggal, dia menitipkan secarik surat buatmu. Katanya aku harus memberikan ini kalau aku sudah memaafkanmu.”

Memaafkanku?

Kalimat itu seperti hantaman palu di dadaku. Jadi bapak memang membenciku selama ini?

Kurasa itu wajar.

Kalau aku jadi bapak, aku pun tidak akan pernah memaafkan anak sepertiku. Malah, akan lebih pantas jika bapak tidak pernah memaafkanku selamanya.

Aku menelan ludah, mencoba menjaga suaraku tetap stabil. “Mana suratnya, Pak?”

“Ambil di laci itu.” Bapak menunjuk meja rias mamak.

Tanganku gemetar saat membukanya. Benar saja, ada secarik kertas terlipat rapi di dalamnya.

Namun belum sempat aku membukanya—

“Sudah, Yud. Bapak sudah selesai cerita,” ucap bapak tiba-tiba. Suara yang terdengar lelah. “Sekarang kamu bisa keluar, bapak mau istirahat dulu.”

Aku menoleh, menatapnya. Ada sesuatu yang masih ingin aku tanyakan, tapi… untuk apa?

Aku hanya mengangguk. “Gak mau minum dulu, Pak?”

Bapak tersenyum kecil. “Boleh deh, tolong ambilkan ya.”

Aku berdiri. “Siap, bos.”

Beberapa menit kemudian, aku termenung di kamarku.

Surat itu tergeletak di atas meja belajar. Lipatannya masih utuh.

Aku menarik napas panjang.

Aku siap baca suratmu, Mak.

Perlahan, aku membuka lipatannya.

“Yudhis… kalau kamu sudah baca surat ini, berarti selamat yaa, bapak sudah maafin yeay…”

Aku tersenyum kecil. Tapi senyum itu menyakitkan.

Mak… aku bisa mendengar suaramu mengatakan ini. Bahkan dalam surat pun, mamak masih ingin terlihat bahagia.

Tanganku meremas kertas itu sedikit, tapi aku memaksakan diriku untuk melanjutkan.

“Yud, jangan pernah menyalahkan dirimu ya. Ini bukan salahmu kok. Mamak gak pernah membencimu selama ini. Mamak selalu sayang kamu bahkan sampai sekarang, saat kamu sedang membaca surat ini… sampai nanti kita bertemu kembali di surga.”

Dadaku sesak. Tapi aku tetap membaca.

“Oh iya… jangan lupa makannya tetap yang teratur ya Yud, jaga bapakmu.”

Aku berhenti.

Mataku mulai memanas.

Hatiku kembali tersayat, lebih menyakitkan daripada saat mamak meninggal.

Maafin Yudhis, Mak.

Seharusnya mamak membenciku saja. Seharusnya mamak marah. Seharusnya mamak menuliskan betapa tidak pedulinya aku sebagai anak, betapa bodohnya aku yang lebih memilih meratapi patah hati daripada menjawab telepon mamakku sendiri.

Kalau mamak membenciku, aku tidak akan merasa sesakit ini.

Tapi tidak.

Mamak memaafkanku.

Mamak menyayangiku.

Dan itu yang paling menyakitkan.

Sekarang aku mengerti apa yang Rizal rasakan saat itu.

Tanganku menggenggam surat itu erat. Air mataku jatuh. Aku tidak bisa menahannya lagi.

Tinta di kertas itu mulai luntur terkena air mata yang terus mengalir.

Kuusap dadaku, berusaha meredakan sakit ini. Tapi sakit ini bukan sekadar nyeri biasa.

Ini rasa sakit yang menusuk langsung ke jantung.

Aku harus terus membaca.

Tanganku sedikit gemetar saat meraih surat yang mulai kusut di genggamanku.

“Terakhir, Yud, mamak minta maaf ya selama ini selalu memintamu untuk segera menikah. Aku baru tahu kamu gak suka itu waktu Rizal datang.”

“Setelah itu pun, aku sering nelepon Rizal, jadi tahu kondisimu, Yud. Tapi aku gak berani nelepon kamu sering-sering, takut kamu makin kesel, hahaha.”

“Kamu mau kan maafin mamakmu yang cantik ini, hehehe.”

Aku berhenti.

Mataku mulai memanas, dan kali ini aku tahu air mata itu tidak bisa lagi dibendung.

Mamak...

Kamu masih sempat bercanda bahkan di surat ini, ya?

Aku menunduk, bahuku bergetar. Tinta di kertas ini mulai buram oleh air mataku yang jatuh tanpa bisa kuhentikan.

Tanganku mencengkeram surat itu lebih erat, nyaris merobeknya.

Dada ini terasa sesak. Nafasku pendek. Tidak ada cukup udara di dunia ini untuk menenangkan hatiku.

Lalu—

"YUDHISSS GOBLOOOKKK!!!"

Aku berteriak sekeras yang kubisa.

"TOLOOOLLLL!!! GARA-GARA HAL SEPELE KAMU BIARIN MAMAKMU PERGI UNTUK SELAMANYA!"

Aku menghempaskan surat itu ke lantai, tanganku mencakar rambutku sendiri.

"KAMU BAHKAN GAK TAU MAMAKMU SEDANG SAKIT, BEGOOOO!!!"

Aku jatuh terduduk, terisak hebat.

Aku pasti maafin kamu, Mak...

Aku tahu sekarang kenapa mamak selalu mendesakku menikah.

Bukan karena mamak kepo. Bukan karena mamak cerewet.

Mamak cuma ingin melihatku bahagia... sebelum mamak pergi.

Aku tahu itu sekarang. Dari cerita bapak.

Tapi semuanya sudah terlambat.

Seandainya...

Seandainya aku mau mengangkat telepon mamak. Seandainya aku gak beralasan sibuk. Seandainya aku gak egois.

Mamak pasti masih hidup, kan?

Pasti sekarang kita lagi ketawa bareng, kan? Pasti mamak bisa hidup lebih lama, kan? Sampai mamak bisa main dengan cucu-cucunya... lalu meninggal dengan bahagia.

Pasti bakal begitu, kan?

Aku memeluk lututku sendiri.

Menangis sejadi-jadinya.

Tidak ada yang bisa menahanku menangis sekarang.

Bahkan diriku sendiri.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
When Home Become You
438      330     1     
Romance
"When home become a person not place." Her. "Pada akhirnya, tempatmu berpulang hanyalah aku." Him.
Ketika Takdir (Tak) Memilih Kita
588      333     8     
Short Story
“Lebih baik menjalani sisa hidup kita dengan berada disamping orang yang kita cintai, daripada meninggalkannya dengan alasan tidak mau melihat orang yang kita cintai terluka. Sebenarnya cara itulah yang paling menyakitkan bagi orang yang kita cintai. Salah paham dengan orang yang mencintainya….”
A Sky Between Us
46      41     2     
Romance
Sejak kecil, Mentari selalu hidup di dalam sangkar besar bernama rumah. Kehidupannya ditentukan dari ia memulai hari hingga bagaimana harinya berakhir. Persis sebuah boneka. Suatu hari, Mentari diberikan jalan untuk mendapat kebebasan. Jalan itu dilabeli dengan sebutan 'pernikahan'. Menukar kehidupan yang ia jalani dengan rutinitas baru yang tak bisa ia terawang akhirnya benar-benar sebuah taruha...
U&I - Our World
395      278     1     
Short Story
Pertama. Bagi sebagian orang, kisah cinta itu indah, manis, dan memuaskan. Kedua. Bagi sebagian orang, kisah cinta itu menyakitkan, penuh dengan pengorbanan, serta hampa. Ketiga. Bagi sebagian orang, kisah cinta itu adalah suatu khayalan. Lalu. Apa kegunaan sang Penyihir dalam kisah cinta?
Can You Love Me? Please!!
4010      1213     4     
Romance
KIsah seorang Gadis bernama Mysha yang berusaha menaklukkan hati guru prifatnya yang super tampan ditambah masih muda. Namun dengan sifat dingin, cuek dan lagi tak pernah meperdulikan Mysha yang selalu melakukan hal-hal konyol demi mendapatkan cintanya. Membuat Mysha harus berusaha lebih keras.
Fallin; At The Same Time
3295      1465     0     
Romance
Diadaptasi dari kisah nyata penulis yang dicampur dengan fantasi romansa yang mendebarkan, kisah cinta tak terduga terjalin antara Gavindra Alexander Maurine dan Valerie Anasthasia Clariene. Gavin adalah sosok lelaki yang populer dan outgoing. Dirinya yang memiliki banyak teman dan hobi menjelah malam, sungguh berbanding terbalik dengan Valerie yang pendiam nan perfeksionis. Perbedaan yang merek...
Gadis Kopi Hitam
1118      786     7     
Short Story
Kisah ini, bukan sebuah kisah roman yang digemari dikalangan para pemuda. Kisah ini, hanya sebuah kisah sederhana bagaimana pahitnya hidup seseorang gadis yang terus tercebur dari cangkir kopi hitam yang satu ke cangkit kopi hitam lainnya. Kisah ini menyadarkan kita semua, bahwa seberapa tidak bahagianya kalian, ada yang lebih tidak berbahagia. Seberapa kalian harus menjalani hidup, walau pahit, ...
Good Guy in Disguise
690      505     4     
Inspirational
It started with an affair.
Premium
Secret Love Story (Complete)
11471      1670     2     
Romance
Setiap gadis berharap kisah cinta yang romantis Dimana seorang pangeran tampan datang dalam hidupnya Dan membuatnya jatuh cinta seketika Berharap bahwa dirinya akan menjadi seperti cinderella Yang akan hidup bahagia bersama dengan pangerannya Itu kisah cinta yang terlalu sempurna Pernah aku menginginkannya Namun sesuatu yang seperti itu jauh dari jangkauanku Bukan karena t...
Mawar Putih
1438      763     4     
Short Story
Dia seseorang yang ku kenal. Yang membuatku mengerti arti cinta. Dia yang membuat detak jantung ini terus berdebar ketika bersama dia. Dia adalah pangeran masa kecil ku.