KRIIIIING!
Aku refleks menutup telinga dengan bantal. Astaga, suara alarm ini lagi!
Tunggu…
Kenapa aku masih di sini!?
Mataku langsung terbuka. Langit-langit yang sama. Dinding dengan cat mulus. Sofa empuk tempat aku tidur semalam masih ada di bawahku. Aku langsung duduk tegak, napas tercekat. Kenapa aku belum balik ke zamanku!?
Biasanya kan setelah bangun aku langsung balik!?
Aku buru-buru meraih HP yang ada di meja samping sofa, jari-jariku gemetar saat menyalakan layar.
Tahun: 2041
"Astaga… ini nggak beres."
Aku mencubit pipiku. Sakit. Bukan mimpi. Aku masih di sini.
Aku berdiri dengan langkah terburu-buru menuju tangga. Setengah berharap ketika aku keluar dari ruangan ini, aku akan melihat kamarku di tahun 2024. Tapi begitu aku mendorong pintu…
“Pagi, Yud.”
Di meja makan, Rafa sudah duduk dengan wajah masih setengah ngantuk, rambut berantakan, dan… tunggu, DIA PAKAI PIJAMA, SEJAK KAPAN!?
Aku menelan ludah. Kenapa aku masih di sini? Apa aku harus menyelesaikan sesuatu dulu sebelum bisa balik!?
Aku mulai panik. Tapi satu hal yang lebih bikin aku panik adalah…
Kenapa Rafa bisa-bisanya terlihat nyaman banget kayak habis nginep di hotel bintang lima!?
Rafa menatapku balik, kemudian menyengir “Ngapain kamu lihatin aku gitu, cantik banget ya? Sini makan, tuh udah kumasakin”
Mana mungkin cewek umur 30-an bisa kelihatan cantik di mataku... Eh, tapi cantik sih. EH GAK GITU MAKSUDNYA!!. Tapi kenapa aku masih di sini?! Aku harus cari cara buat balik!! ... Eh tapi nasi gorengnya wangi banget. Mungkin satu suap aja... atau dua... yaudah makan dulu deh.
5 menit tidak ada obrolan sama sekali. Aku masih berpikir kenapa aku masih bertahan di zaman ini?, kemudian. KONDISI MACAM APA INI?! Kami udah kayak suami istri yang udah nikah 20 tahun, minus surat nikah dan rasa cinta.
Rafa telah menghabiskan sarapannya, dia menoleh ke arahku, memasang wajah yang serius “Yud.”
Aku menatapnya balik, tiba-tiba jantungku berdegup dengan sangat cepat, keringat mulai keluar dari rongga-rongga kulitku. Kenapa dia masang muka begitu!?
“Hmm?” aku menaikkan kedua alisku.
“Kalo dilihat-lihat kamu manis juga yaa” Ucapnya santai. Kemudian langsung keluar meninggalkanku bersama wajahku yang mulai memerah. HAAAAAAAA!!!, MAKSUDNYA. Kali ini benar-benar jantungku seperti akan melompat, sementara Paru-paruku? malah mungkin sudah turun 2 cm, saking terkejutnya.
Heiiiii. Aku bahkan baru bertemu wanita itu kemarin, jiwaku masih anak remaja 17 tahun, mana mungkin aku yang selama ini tidak terpangaruh sama sekali dihadapan perempuan manapun di zamanku bisa salting sama cewe tua kayak dia.
Aku menatap pintu yang baru saja tertutup. Lima detik. Sepuluh detik. Lalu...
BRRR, itu suara mobilnya.
…
…
“YA ALLAAHHHHHH! APA ITU BARUSAANNN. HAHAHAHHA” Tanpa sadar, aku melompat dari kursi. Sial! Kaki kiriku menghantam ujung meja. Rasa nyeri menjalar cepat, tapi aku terlalu sibuk menahan rasa malu untuk peduli.
***
Sudah satu minggu aku masih terjebak di zaman ini, dan entah kenapa aku mulai terbiasa. Tidak ada tanda-tanda aku akan kembali ke tahun 2021, tapi kurasa… itu bukan masalah besar.
Apalagi karena sejak hari itu, aku dan Rafa jadi sering menghabiskan waktu bersama.
Dan sekarang, aku sedang berjalan di sampingnya di sebuah mall yang super luas, menikmati hasil kerja keras kami setelah berhasil menjual rumah dalam waktu seminggu.
Santai. Aku harus santai. Aku cuma menikmati waktu jalan-jalan, bukan menikmati—EH, APA!? Aku menggelengkan kepala cepat-cepat. Oke, itu tadi pemikiran yang aneh.
Sudah seminggu aku terjebak di zaman ini. Seharusnya aku panik. Seharusnya aku mencari cara buat balik. Seharusnya.
Tapi malah… aku di sini. Jalan-jalan di mall.
Bareng Rafa.
Ya ampun. Kenapa aku malah merasa lebih tegang dari wawancara jual rumah?!
Aku melirik dia dari samping. Hari ini dia pakai kemeja putih dengan lengan tergulung sedikit, celana jeans, dan sneakers. Biasa aja sih. Tapi entah kenapa… kok dia keliatan beda?
Apa karena suasananya santai? Apa karena pencahayaan mall?
APA KARENA AKU SUDAH LUPA RASANYA JALAN SAMA CEWEK?!
Astaga. Aku mulai gila.
Aku buru-buru menampar pipiku sendiri. PLAK.
“…”
Rafa berhenti jalan dan menatapku. “…Yudhis?”
Aku langsung pura-pura stretching. “Oh, ini? Hehe. Lagi nguji refleks aja. Katanya kalau kita bisa nampar pipi sendiri terus nggak kaget, berarti mentalnya kuat.” Rafa masih menatapku tanpa ekspresi. Tapi bibirnya sudah mulai bergetar.
“…Jadi kamu nampar diri sendiri di tengah mall… buat nguji mental?”
Aku mengangguk sangat yakin. “Ya!”
Rafa menutup mulutnya pelan. Matanya mulai berair.
Oke. Aku sudah mempermalukan diri sendiri dan dia hampir ngakak.
Kami masuk ke food court dan dapat meja di dekat jendela yang menghadap taman. AC dingin, tapi kenapa aku merasa agak gerah?
Aku melirik Rafa yang lagi fokus milih menu di ponselnya. Dia kelihatan serius. Matanya fokus ke layar, alisnya sedikit berkerut.
Tunggu. Kok aku malah merhatiin dia?! Aku harus alihkan pikiran. Aku harus bilang sesuatu. Harus—
“Kamu tahu nggak?”
Rafa mengangkat alis. “Apa?”
“Kamu bikin aku baru nyadar sesuatu”
Rafa menyipitkan mata. “Nyadar apa?”
Aku menatap matanya dengan serius.
“Ternyata malaikat memang tak selalu bersayap”
…
Dua detik.
Lima detik.
“…PFFFFTTT HAHAHAHAHAHAHAHAHAHA!!!”
RAFA NGAKAK KENCENG BANGET.
Bukan ketawa biasa. Bukan.
Dia literally nunduk ke meja, bahunya naik turun, tangannya ngetok-ngetok permukaan meja kayak orang kehabisan napas.
Aku langsung panik. “HEI! JANGAN KETAWA SEHEBOH ITU! ORANG-ORANG NGELIAT!”
Rafa ngangkat tangannya, nyoba ngomong, tapi malah ngakak lebih keras. “HAHAHA YUDHIS APAAN SIH ITU?! ITU GOMBALAN JAMAN NABI MUSA YA?! ASTAGA, SAKIT PERUTKU HAHAHAHAHA!!”
Aku menunjuk dia dengan penuh tuduhan. “ITU BUKAN GOMBALAN! AKU CUMA….CUMA PUISI!”
Rafa masih ngetok-ngetok meja, masih ketawa.
Orang-orang di sekitar ikut menoleh ke arah kami.
Aku mulai panik. “YA ALLAH. Oke. Oke. Denger ya. Aku nggak jatuh cinta. NGGAK!”
Rafa langsung nyosor ke depan, masih sambil ketawa. “IYA IYA IYA. GAK JATUH CINTA. TAPI KENAPA WAJAHMU MERAH?”
Aku nggak sadar refleks ngusap wajahku pakai tisu.
“INI BUKAN MERAH! INI EFEK LAMPU MALL! PASTI LAMPUNYA DISETTING WARNA PINK! INI ILUSI OPTIK! AKU TIDAK SALTING!”
Rafa ngakak lagi, kali ini lebih keras.
Aku? Aku langsung mencengkeram sendok di meja dengan erat.
“…Aku nggak jatuh cinta,” bisikku sendiri.
Rafa ngusap air mata saking ngakaknya. “Apa tadi?”
“NGGAK! NGGAK! NGGAK! AKU NGGAK JATUH CINTA! NGGAK MUNGKIN! NGGAK!”
Aku teriak.
Food court langsung sunyi.
SEMUA ORANG MENATAP AKU.
Aku membeku. Rafa juga membeku.
Lalu…
“PFFFFT HAHAHAHAHAHAHAHA YUDHIS ASTAGA!!” Rafa ngakak lagi, kali ini sampai hampir jatuh dari kursi.
Aku melirik kiri-kanan, lalu buru-buru menutupi wajah pakai menu restoran.
Ya Allah, kenapa aku masih hidup setelah ini?
KAN?!.
“Masnya kalo memang suka jujur aja gak usah teriak” Ucap salah satu orang yang sedang makan di sana.
Kali ini tidak hanya Rafa yang ngakak sampai mau mati tapi hampir semua pengunjung yang ada disana.
OKE FIX HABIS INI AKU BUNUH DIRI AJA.
Rafa akhirnya menyelesaikan ngakaknya, kemudian berdiri masih dengan tertawa kecil ia berkata “Ayo Yud balik ke kantor, akum au bayar biaya malumu dulu.”
Aku memasang wajah pura-pura cemberut.
10 menit kemudian.
Kami berdua udah duduk di dalam mobil Rafa. Aku yang nyetir, sementara dia masih scrolling HP di sebelahku. Rasa malu tadi mulai mereda, tapi tetap ada bekas-bekasnya.
Keheningan di dalam mobil cuma diisi suara AC. Sampai akhirnya, Rafa angkat suara.
"Yud, bulan lalu Pak Alija motong gajimu ya?"
Aku refleks jawab. “Iyaa, gara-gara keceplosan waktu presentasi kalo sering ada tikus di salah satu unit.”
…
Rafa ngakak kenceng. “HAHAHAHA, KOCAK BANGET! KOK BISA SIH?!” Sepertinya cewe ini memang sangat mudah tertawa.
Aku ikut ketawa kecil. “Ya gimana… spontan aja.”
Tapi… tunggu.
Tunggu.
Bulan lalu?
Gajiku dipotong?
Gajiku?
Aku mengerutkan dahi. Aku baru satu minggu di zaman ini. Mana mungkin aku punya memori dari sebulan lalu?
Kenapa aku ngomong itu seolah-olah memang ngalamin sendiri?
Aku melirik Rafa. Dia masih ketawa, nggak sadar kalau aku tiba-tiba merasa ngeri sendiri.
Aku menelan ludah. Ini nggak mungkin. Ini nggak mungkin. Aku mengeratkan genggaman di setir. Apa lagi yang sudah aku lupakan?
NGIINGGGG!
Telingaku berdengung keras.
Tiba-tiba kepalaku berdenyut kencang. Aku meringis, satu tangan refleks memijat pelipis. Kenapa tiba-tiba sakit kepala?!
Lalu… aku mulai mendengar suara.
Samar-samar.
"Jadi, Pak, unit ini bebas dari hama?"
Aku memicingkan mata. Suara itu…
BRAK!
Semuanya tiba-tiba jadi jelas.
Aku melihat diriku sendiri berdiri di depan klien.
Slide PowerPoint terpampang di belakang. Jantungku berdegup kencang. Aku bisa merasakan semua orang di ruangan itu menatapku. Bisa mendengar bisik-bisik mereka.
Dan akhirnya—
"Jadi, Pak, unit ini bebas dari hama?"
"Eh… sebenernya sering ada tikus, sih."
Tawa pecah.
Pak Alija langsung nutup wajahnya.
Aku bisa mengingat semua itu.
Aku ingat aku datang terlambat. Aku ingat Rafa sakit dan nggak ikut. Aku ingat aku panik cari bahan presentasi dan berakhir mempermalukan diri sendiri.
Aku ingat semuanya.
Tapi… kenapa aku bisa ingat?!
Aku bahkan belum ada di zaman ini saat itu terjadi!
Napasku tercekat. Tanganku gemetar di setir. Aku mencoba mengusir ingatan itu. Aku mencoba meyakinkan diri kalau ini cuma delusi.
Tapi semakin aku nolak, semakin jelas gambarannya. Aku bisa mendengar tawa mereka. Aku bisa merasakan rasa malu hari itu. Aku bisa merasakan semua itu seperti baru aja terjadi. Aku udah ngalamin ini sebelumnya. Aku tahu kejadian ini karena aku pernah menjalaninya. Tapi aku nggak mungkin pernah menjalaninya. Aku menghela napas, mencoba menenangkan diri. Aku kan gak bisa ngapa-ngapain sekarang. Jalanin aja dulu. Aku meremas jari-jari tanganku di bawah meja, tiba-tiba sadar...
Eh, tadi aku lagi mikirin apa sih?
"Yud, kamu kenapa, sakit?" Rafa memiringkan kepalanya, mengernyitkan alisnya.
“E-eh, nggak kok Rap, ini pusing dikit aja, kecapean kali.” aku tersenyum kecil, berusaha terlihat santai tapi entah kenapa tanganku menjadi dingin.
***
Kami telah sampai di kantor, Rafa langsung membuka laptopnya kembali mencari calo klien. Sedangkan aku langsung menuju kamarku untuk istirahat sebentar.
“Rap aku istirahat bentar yak” kataku saat di tangga sebelum naik.
Rafa ternyum masih sambil mengutak-atik laptopnya kemudian berkata“Iya kamu istirahat aja Yud, kan kamu spesialis menarik hati klien, urusan mencarinya biar aku”
Sekarang aku sendiri di kamar yang tidak seburuk kamar reyotku saat menjadi pengamen, dan juga tidak sekecil kamarku yang biasa mamak bersihkan, namun kenapa kamar ini tidak senyaman kedua kamarku yang sebelumnya. Aku menadahkan mataku ke atas, membayangkan mamakku yang sedang membangunkanku ketika aku masih memeluk guling saat waktu sudah sangat siang..
…
…
Eh! aku kok nggak bisa membayangkan muka mamak!?
Aku buru-buru memejamkan mata, mencoba mengingat... tapi kosong.
Aku mengerutkan dahi, berusaha keras. Suaranya, aku masih bisa dengar samar-samar. Tapi wajahnya?
Tidak. Tidak mungkin. Aku gak mungkin lupa.
Aku mengacak rambutku frustrasi. Napasku memburu. Kenapa ini terjadi?!
Dua kali aku terlempar ke masa depan, dan dua kali pula aku tidak menemukan mereka. Apakah mereka masih hidup? Apakah aku kehilangan mereka karena kesalahanku?
Aku bahkan belum menikah, jika menjadi pengamen, kurasa itu masih masuk akal. Tapi bukankah aku sekarang cukup sukses?walaupun aku nggak suka bekerja di sini. Sekelam apa perjalanan hidupku sebenarnya?, apakah yang di ceritakan Rizal saat itu hanya sebagian kecil? Apakah masih banyak yang aku nggak tahu tentang diriku sendiri?.
Tanpa kusadari mataku sudah meneteskan air mata. Aku menangis. Tanganku mencengkeram rambut, mencakar kulit kepala, seolah dengan itu aku bisa menarik kembali ingatanku yang hilang.
Tapi tetap saja... kosong.
Tiba-tiba aku memikirkan sesuatu, Rafa. mungkin aku pernah cerita tentang diriku padanya.
Aku segera keluar kamar, menuruni tangga “RAP! AKU MAU NANYA SESUATU DONG!”
…
Langkahku terhenti.
Ada seoseorang di sana
seorang pria dengan kemeja putih rapi, postur tegap, rambut tertata, seperti orang sukses pada umumnya. Siapa dia?
Rafa dan orang itu menoleh ke arahku “Oooh jadi ini yang buat kamu nyaman di sini.” ia mengangguk-anggukkan kepalanya kecil, seperti sedang meremehkanku.
“Gak usah sok tau kamu!, mau kamu sudah berubah kayak manapun, aku sudah memilih jalan ini, aku nggak mau balik ke masa kelamku.”
Ekspresi pria itu perlahan berubah. Rahangnya berkedut. Matanya, yang awalnya tampak tulus, kini memancarkan sesuatu yang lain—
Kemarahan. Kegetiran.
Lalu dengan suara yang lebih dingin dari sebelumnya, dia menatap Rafa dan berkata,
"Kamu tahu gak, Rafa? Kamu itu gak bisa hamil."
Aku melihat Rafa mengerutkan alis, tapi pria itu melanjutkan—suara tajam menusuk, seperti pisau yang ditusukkan ke jantung Rafa perlahan-lahan.
"GAK. BISA. HAMIL. PAHAM?"
"MASIH ADA YANG MAU NIKAH SAMA KAMU AJA, KAMU SEHARUSNYA SUDAH BERSYUKUR!"
Rafa menatapnya, matanya yang tadi penuh amarah kini bergetar. Seolah ada sesuatu yang patah dalam dirinya.
Aku melihat napasnya memburu.
Lalu...
PLAK!
Tamparan keras mendarat di pipi pria itu. Aku sampai ikut mundur sedikit, terkejut.
Rafa menunjuk-nunjuk wajah pria itu, suaranya bergetar antara marah dan putus asa.
"Kamu diam ya! Aku sudah gak cinta sama kamu! Aku sudah beralih!"
Aku bisa melihat air mata di sudut matanya. Tapi dia tidak mundur.
"Aku sudah cinta dengan orang lain. Dan dia..." Rafa mengangkat dagunya, matanya menatapku tajam.
"Ya, dia orangnya. Orang yang barusan teriak tadi."
DEG!
Dadaku langsung berdegup keras. Aku bahkan hampir tersedak udara. Aku?!
Mulutku menganga, otakku mencoba memproses apa yang baru saja terjadi. Namun segera teralihkan oleh napas pria itu yang jelas sekali dia sedang sangat marah sekarang.
Aku mendengar suara napas berat.
Aku menoleh.
Wajah pria itu berubah. Rahangnya mengeras, matanya berkilat. Dari seseorang yang tadinya tampak seperti pria sukses, kini aku hanya melihat seorang pria yang kehilangan kendali.
Tiba-tiba—
BRAK!
Kursi di sebelahnya tergeser dengan kasar saat dia maju dan mencengkeram lengan Rafa dengan kuat.
"LEPASIN GAK!" Rafa berteriak, berusaha menarik tangannya yang digenggam erat.
Aku melihatnya mencoba meronta, memukul lengan pria itu, bahkan menendangnya. Tapi cengkeramannya terlalu kuat.
Aku bisa melihat mata Rafa melebar, nafasnya memburu. Ada ketakutan di sana, tapi juga kemarahan.
Aku hanya terdiam.
Aku ingin melakukan sesuatu, tapi aku tidak tahu apa yang seharusnya kulakukan.
Mereka pernah menikah. Mereka punya masa lalu yang tidak aku ketahui. Apa aku pantas ikut campur?
Tapi... Rafa jelas tidak ingin ini.
PLAK!
Kali ini aku menampar diriku sendiri, apa yang lagi kupikirin jelas-jelas Rafa sedang butuh bantuan disana.
Aku langsung melompat dari tangga.
“WOI! KALO DIA GAK MAU JANGAN DIPAKSA!”
Rafa dan pria itu reflek menoleh.
BUK!
Satu bogem mentah melayang di pipi pria tersebut. Rafa yang berhasil lolos dari cengkramannya langsung lari ke belakangku, sekarang ia mulai menangis.
“EH KAMU ORANG LUAR GAK USAH IKUT CAMPUR YA!”
“Hah? Orang luar? Emang kamu gak denger, aku tuh orang yang dia cinta.” ucapku menoleh ke arah rapa yang ada di belakangku.
Kali ini pria itu sudah benar-benar tidak bisa menahan amarahnya, wajahnya memerah, urat di dahinya menegang.
Dia mulai melangkah maju. Kedua tangannya terangkat. Siap melayangkan pukulan
BUK! BUK!
Aku lebih cepat. Dua pukulan mendarat di rahang dan pipinya. Dia bahkan tidak sempat mengangkat tangannya. Ternyata diriku di zaman ini lihai berkelahi.
BUK!
Tendangan keras tepat mengenai perutnya. Pria itu meringis, tapi hanya beberapa detik sebelum kembali menatapku tajam dan bangkit berdiri.
“ANJING!”
Aku tidak memperhatikan benda-benda yang berjatuhan di sekitarku. Fokusku hanya pada pria di depanku.
Dia maju lagi, gerakannya lebih kasar, lebih liar.
Aku memasang kuda-kuda, siap untuk melawannya.
Lalu aku melihatnya.
Kilatan logam di tangannya.
Itu kan—
Jangankan menghindar, bahkan sebelum sempat kusadari benda apakah itu, ia sudah menyerangku. Cepat sekali.
Aku tersentak, tapi tidak ada waktu.
Aku sudah siap menerima serangan itu.
Kututup mataku.
Tapi tiba-tiba—
CROK!
Sesuatu menarikku ke belakang.
Aku membuka mata.
Rafa berdiri di depanku.
Dunia terasa berhenti.
Rafa terdiam, tubuhnya membeku. Seakan otaknya belum menangkap apa yang terjadi pada dirinya sendiri.
Lalu, setetes darah jatuh ke tanah.
Disusul oleh setetes lainnya.
Dan tiba-tiba, Rafa tersenyum kecil. Senyum yang seharusnya tidak ada dalam situasi ini.
"Yud…. Kamu aman kan..”suaranya sangat pelan, hampir tidak terdengar.
Aku menelan ludah, jantungku seperti diremas.
"Jangan bikin Pak Alija marah lagi ya…ah kok rasanya dingin ya…”
Rafa terjatuh ke dalam pelukanku mulai melemah.
“Rapa?! Hei! Rapa, tahan bentar! Aku bakal bawa kamu ke rumah sakit! denger aku, Rapa! aku janji gak akan bikin Pk Bos marah lagi, makanya jangan tinggalin aku lagi Rap!”
Tapi Rafa hanya menatapku dengan mata setengah tertutup. Tangannya yang gemetar mengusap pipiku pelan.
“Jangan nangis gitu, Yud… jelek…”
aku menangis lebih keras.
“Aku…” Rafa mencoba bicara, tapi suaranya semakin kecil.
Ia mencoba tersenyum lagi, senyum yang penuh dengan kepasrahan.
“Aku seneng… akhirnya aku bisa ngelakuin sesuatu yang benar…aku seneng akhirnya bisa ketemu orang yang bisa kucintai…”
Senyum itu perlahan memudar.
Tangannya jatuh ke tanah.
Sekarang aku merasa duniaku benar-benar hancur.