Tidak ada yang benar-benar memberitahuku bahwa usia dua puluhan bisa terasa seperti tersesat di lorong tanpa peta. Semua orang berkata ini masa terbaik dalam hidup. Penuh peluang, kebebasan, dan awal dari segala hal. Tapi mengapa rasanya justru seperti tenggelam perlahan di kolam yang tak kukenal kedalamannya?
Setiap pagi aku bangun dengan kepala berat dan dada sesak, seolah ada beban yang tidak bisa kujelaskan. Pekerjaan terasa hampa, mimpi terasa jauh, dan pencapaian orang lain terus mengetuk dinding-dinding kepercayaanku yang rapuh. Aku duduk menatap layar laptop berjam-jam, jemariku menggantung di atas keyboard, seakan setiap huruf yang harus kutulis adalah teka-teki tentang hidupku sendiri.
Kopi yang mulai dingin di meja. Notifikasi yang datang dan pergi. Percakapan-percakapan basa-basi yang terasa lebih melelahkan daripada keheningan.
Aku tersenyum di depan orang lain, tertawa saat diperlukan, dan menyimpan tangis dalam sunyi yang tidak dimengerti siapa pun.
Kadang di malam hari, ketika kota sudah lelah dan jalanan menjadi bisu, aku menatap langit dari jendela kamar, bertanya apakah ada orang lain di luar sana yang juga merasa seperti ini. Berjalan tanpa tahu ke mana, berusaha terlihat baik-baik saja sambil perlahan-lahan hancur di dalam.
Aku mulai mempertanyakan semuanya.
Apakah aku sudah cukup? Apakah jalan yang kupilih benar? Atau... apakah aku hanya ikut-ikutan, takut tertinggal dari dunia yang terus melaju?
Aku berlari dan terjatuh. Aku mencoba, lalu gagal. Aku berusaha, namun kembali patah. Aku mencoba memahami, tapi justru tersesat. Pada akhirnya, aku diam. Dan dalam diam itu, aku mulai mendengar suara asing. Suara dari dalam diriku sendiri. Bukan teriakan, bukan bisikan, hanya kehadiran... yang menanyakan satu hal sederhana:
“Kamu mau jadi siapa, jika tak ada yang harus kamu buktikan?”
Aku tak tahu jawabannya. Aku bahkan belum tahu apakah pertanyaannya adil. Tapi suara itu terus ada, menemaniku saat semua hal lain terasa menjauh.
Mungkin aku tidak punya jawaban sekarang. Tapi untuk pertama kalinya, aku ingin berhenti berlari. Aku ingin duduk, diam, dan mendengarkan diriku, meski pelan, meski takut, meski belum tahu harus ke mana.
Karena mungkin, hanya dengan menyelam sampai ke dasar, aku bisa belajar bagaimana caranya mengapung.
Dan jika aku tak bisa kembali seperti dulu, itu tidak apa-apa.
Mungkin, aku tidak harus kembali. Mungkin aku sedang dibentuk menjadi sesuatu yang baru.
Seseorang yang utuh… meski masih belajar mengenali bayangannya sendiri.