Loading...
Logo TinLit
Read Story - Monokrom
MENU
About Us  

Sejak kecil, mereka biasa memanggilku Ra.

        Penghujung musim penghujan di usia kelima belas ini, banyak orang yang menyimpulkan bahwa aku depresi. Entah darimana pernyataan itu berdasar. Mungkin karena aku jarang keluar rumah – kecuali untuk hal yang penting seperti sekolah, hanya bergelung di tempat tidur, bolak-balik membaca buku yang sama, jarang makan, hingga menghabiskan waktu luang yang berlimpah untuk berbincang pada ketiadaan. Sibuk akan berbagai pertanyaan.

Bunda memilih diam, begitupun ayah. Kakak hanya menoleh selintas kemudian berlalu melanjutkan hobinya –bermain basket dengan anak tetangga karena bosan menjahiliku. Mungkin hanya adik perempuanku yang masih bersedia menemani dalam lamunan. Jemari mungilnya asyik menggambar berbagai coretan abstrak, yang kadang kubalas dengan senyum tipis. Lain hal dengan reaksi tetangga, guru dan teman sekolah. Mereka justru menatap cemas dan kasihan seolah memang semenyedihkan itulah kenyataannya.

Berkali-kali mereka datang mengunjungi rumah besar kami di kawasan lereng utara, mengetuk pintu, memanggil namaku. Kadang aku yang membuka pintu, sekadar tersenyum hambar sembari mengatakan bahwa semua baik-baik saja. Namun, biasanya bunda atau ayah yang sering menyambut orang-orang itu, ikut menjelaskan dengan banyak alasan. Tentang anak gadis mereka yang tengah mengalami masa-masa sulit dalam fase beranjak remaja. Krisis eksistensi, pencarian jati diri atau semacamnya. kedua saudaraku pun sesekali membantu penjelasan kepada penduduk kota, membela tiap kali di luar rumah.

Ra sedang dalam kondisi yang menyedihkan –eh dia dari dulu memang menyedihkan. Maksudku, remaja mana yang pernah berkontemplasi mengenai betapa tidak signifikannya manusia dalam skala kosmis?” Kakak menyeringai jahil bila menjelaskan. Sengaja menambahi bumbu-bumbu cerita, “Paling sebentar lagi kembali seperti semula.

Namun, mereka juga tidak memahami apapun.

Mereka tetap datang walau kami tidak pernah membukakan pintu lagi. Mereka selalu datang meski aku muak namaku diteriakkan dari luar pagar. Satu dua kali mereka singgah dengan wajah simpatik dan peduli, mengetuk pintu dengan ramah. Tiga empat kali justru bertandang dengan seruan kasar, berusaha mendobrak pintu paksa. Entah bagaimana ayah berhasil mengusir mereka –mengingat aku hanya bergelung di balik selimut setiap kali semuanya terjadi.

Pekan berselang, orang-orang itu tiada lagi menganggu. Mungkin mereka bosan karena kami terus saja menutup diri. Bulan berganti, kudengar gunjing tak sedap menyebar dari mulut kotor mereka. Entah siapa yang memulainya, kini praduga bercampur dusta telah dianggap sebagai rujukan kebenaran. Kebenaran bias untuk menghakimi urusan keluarga kami.

Lebih tepatnya, penghakiman atas diriku yang menyedihkan.

Kami abai dari tuduhan mereka. Tak peduli. Berusaha tetap menjalani kehidupan dengan normal. Kehidupan yang harus kujalani di siang hari, seperti pergi ke sekolah, menikmati kecipak air danau artifisial atau sekedar membeli keperluan di pusat kota. Namun, semua orang di kota ini tetap menatapku penuh kasihan dan sinis, lantas memulai bisik-bisik itu. Berita dusta yang menyesakkan.

Aku tidak peduli. Aku merasa tidak peduli. Aku seharusnya tidak boleh peduli.

Aku melengos pergi, berlari menjauh tiap kali perbincangan tersebut dimulai, menyumpal telinga dengan sepasang earphone bersama sebisik umpatan yang menyerapah dari mulut : “Brengsek!”.

“Jika terlalu berada di titik jauh, kau tak akan bisa kembali, Ra. Akan ada banyak hal hilang dari masa kini yang akan tersesali” Bunda mencoba menasehati, tersenyum lembut. Malam itu semangkuk bubur hangat tersaji di atas meja belajarku. Sepotong bulan bungkuk yang gompal mengintip dari balik jendela kamar.

Aku tetap bergeming, memilih untuk menyantap separuh isi mangkuk dengan lahap. Bunda hanya menghela napas berat, kembali fokus membersihkan kamarku yang tidak terawat dengan onggokan baju kumal dan tiga tumpuk buku yang menggunung pada sudut kamar –sisa hasil perenungan tanpa jawaban pasti. Malam itu adalah malam tigapuluh tiga dari pengasinganku, Bunda kembali gagal. Namun, beliau tidak pernah menyerah demi buah hatinya, berharap semua masa sulit akan segera usai.

Nasehat itu tidaklah salah, mungkin aku yang salah karena enggan serius mendengarkannya. Sibuk dengan duniaku sendiri. Bukankah bunda juga sering mengatakannya? terkadang imajinasiku terlalu aktif hingga diri ini seringkali terjebak sendiri di dalamnya.

Malam berikutnya hampir sama seperti sebelumnya.

Aku kembali menghabiskan waktu sendirian. Sendirian di bawah guyuran shower kamar mandi tanpa sehelai benang pun sembari memejamkan mata. Menikmati tiap tetes terpaan benda cair bening itu. Menghantam ujung rambut, menganak sungai di sepanjang kulit, lantas luruh jatuh menuju ubin putih yang basah. Dingin. Dingin air ini telah menjadi kawan bermainku. Buncah tetesannya menemani kala sepi menghantui. Merekalah yang berusaha memenuhi seluruh guncangan itu dan meredakannya. Guncangan ribuan memori yang berada dalam kepalaku.

Kelopak mata ini terbuka perlahan, menyajikan bayangan wajah gadis berkulit putih pucat dengan iris hijau gelap dari balik cermin buram. Juga rambut hitam panjang tergerai basah. Sebuah pantulan sempurna wajah tirus seorang pesakitan. Tanpa ekspresi. Pucat pasi seolah tidak bernyawa. Tanpa ada apapun padanya selain kehampaan. Seolah aku ibarat cangkang kosong yang memantulkan gema-gema menyedihkan.

Kedua pasang mata kini saling menatap selama beberapa saat, sebelum akhirnya kepalan tanganku kasar menghajar cermin itu hingga hancur sebagian pada detik berikutnya.

Pecahan kaca remuk berguguran dengan iringan teriakan sakit yang tertahan.

Sial, tanganku berdarah. Perih sekali. Rekah luka bersambut semburat cairan merah kental mengalir deras dari pembuluh darahku bersama guyuran air. Keduanya menetes jatuh, menyatu menjadi sebuah genangan berwarna merah keruh di atas ubin putih. Rasa perih ini biasanya membantuku menghilangkan semua rasa sesak yang muncul, memindahkan lara yang semu menjadi lebih nyata –secara fisik.

Tidak, sekarang pun masih belum cukup sakit.

Di sela seringai ringgis, mataku kembali berkejaran melirik cermin buram yang remuk sebagian. Sudah tidak ada lagi pantulan wajah di sana. Aku menyeringai makin lebar, sedikit lega. Syukurlah, rasa muak yang sejenak menyergap dada mendadak sirna. Muak melihat gadis dari balik cermin masih berusaha hidup. Aku benci melihat wajahnya.

Aku benci pada diriku sendiri.

Seperti yang pernah ayah bilang, “Hidup hanyalah tentang mencari pelarian.”

Gawat, aku kini amat menyukai kalimat itu.

Dengan jemari yang penuh lepuh kehitaman, kuraih pecahan cermin di lantai. Kugenggam erat tanpa ragu, tanpa peduli pecahannya melukai telapak tangan. Sedari dulu, ayah yakin bahwa aku tidak berani melakukan hal yang nekat sehingga beliau ringan mengatakan kalimat seperti itu. Namun aku kini tahu, ayah telah menyulut api pada orang yang salah.

Lebih banyak darah yang akan tercecer malam ini. Semua harus berakhir.

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Halo Benalu
828      404     0     
Romance
Tiba-tiba Rhesya terlibat perjodohan aneh dengan seorang kakak kelas bernama Gentala Mahda. Laki-laki itu semacam parasit yang menempel di antara mereka. Namun, Rhesya telah memiliki pujaan hatinya sebelum mengenal Genta, yaitu Ethan Aditama.
Je te Vois
619      411     0     
Romance
Dow dan Oi sudah berteman sejak mereka dalam kandunganklaim kedua Mom. Jadi tidak mengherankan kalau Oi memutuskan ikut mengadopsi anjing, Teri, yang merupakan teman baik anjing adopsi Dow, Sans. Bukan hanya perihal anjing, dalam segala hal keduanya hampir selalu sama. Mungkin satu-satunya yang berbeda adalah perihal cita-cita dan hobi. Dow menari sejak usia 8 tahun, tapi bercita-cita menjadi ...
RUANGKASA
42      38     0     
Romance
Hujan mengantarkan ku padanya, seseorang dengan rambut cepak, mata cekung yang disamarkan oleh bingkai kacamata hitam, hidung mancung dengan rona kemerahan, dingin membuatnya berkali-kali memencet hidung menimbulkan rona kemerahan yang manis. Tahi lalat di atas bibir, dengan senyum tipis yang menambah karismanya semakin tajam. "Bisa tidak jadi anak jangan bandel, kalo hujan neduh bukan- ma...
Perahu Jumpa
248      207     0     
Inspirational
Jevan hanya memiliki satu impian dalam hidupnya, yaitu membawa sang ayah kembali menghidupkan masa-masa bahagia dengan berlayar, memancing, dan berbahagia sambil menikmati angin laut yang menenangkan. Jevan bahkan tidak memikirkan apapun untuk hatinya sendiri karena baginya, ayahnya adalah yang penting. Sampai pada suatu hari, sebuah kabar dari kampung halaman mengacaukan segala upayanya. Kea...
VampArtis United
970      638     3     
Fantasy
[Fantasi-Komedi-Absurd] Kalian harus baca ini, karena ini berbeda... Saat orang-orang bilang "kerja itu capek", mereka belum pernah jadi vampir yang alergi darah, hidup di kota besar, dan harus mengurus artis manusia yang tiap hari bikin stres karena ngambek soal lighting. Aku Jenni. Vampir. Bukan yang seram, bukan yang seksi, bukan yang bisa berubah jadi kelelawar. Aku alergi darah. B...
Lepas SKS
157      134     0     
Inspirational
Kadang, yang buat kita lelah bukan hidup tapi standar orang lain. Julie, beauty & fashion influencer yang selalu tampil flawless, tiba-tiba viral karena video mabuk yang bahkan dia sendiri tidak ingat pernah terjadi. Dalam hitungan jam, hidupnya ambruk: kontrak kerja putus, pacar menghilang, dan yang paling menyakitkan Skor Kredit Sosial (SKS) miliknya anjlok. Dari apartemen mewah ke flat ...
Perjalanan yang Takkan Usai
345      289     1     
Romance
Untuk pertama kalinya Laila pergi mengikuti study tour. Di momen-momen yang menyenangkan itu, Laila sempat bertemu dengan teman masa kecil sekaligus orang yang ia sukai. Perasaan campur aduk tentulah ia rasakan saat menyemai cinta di tengah study tour. Apalagi ini adalah pengalaman pertama ia jatuh cinta pada seseorang. Akankah Laila dapat menyemai cinta dengan baik sembari mencari jati diri ...
My First love Is Dad Dead
53      50     0     
True Story
My First love Is Dad Dead Ketika anak perempuan memasuki usia remaja sekitar usia 13-15 tahun, biasanya orang tua mulai mengkhawatirkan anak-anak mereka yang mulai beranjak dewasa. Terutama anak perempuan, biasanya ayahnya akan lebih khawatir kepada anak perempuan. Dari mulai pergaulan, pertemanan, dan mulai mengenal cinta-cintaan di masa sekolah. Seorang ayah akan lebih protektif menjaga putr...
PUZZLE - Mencari Jati Diri Yang Hilang
459      354     0     
Fan Fiction
Dazzle Lee Ghayari Rozh lahir dari keluarga Lee Han yang tuntun untuk menjadi fotokopi sang Kakak Danzel Lee Ghayari yang sempurna di segala sisi. Kehidupannya yang gemerlap ternyata membuatnya terjebak dalam lorong yang paling gelap. Pencarian jati diri nya di mulai setelah ia di nyatakan mengidap gangguan mental. Ingin sembuh dan menyembuhkan mereka yang sama. Demi melanjutkan misinya mencari k...
JUST RIGHT
104      89     0     
Romance
"Eh, itu mamah bapak ada di rumah, ada gue di sini, Rano juga nggak kemana-mana. Coba lo... jelasin ke gue satu alasan aja, kenapa lo nggak pernah mau cerita ke seenggaknya salah satu dari kita? Nggak, nggak, bukan tentang mbak di KRL yang nyanggul rambutnya pakai sumpit, atau anak kecil yang lututnya diplester gambar Labubu... tapi cerita tentang lo." Raden bilang gue itu kayak kupu-kupu, p...