Kurasa aku pernah populer di sekolah.
Aku ingat wajahku cantik. Tubuhku proporsional dengan kulit pucat, surai sehitam jelaga yang terurai hingga punggung, dan manik mata yang beriris hijau gelap. Dulu kesempurnaan daksa ini menjadikanku buah bibir banyak orang, dari yang sebaya hingga yang lupa akan usia. Mereka selalu memujiku, memberikan perhatian lebih terhadapnya.
Bunda bahkan pernah berbisik sembari tertawa hangat, “Mata hijaumu misterius, Ra. Banyak lelaki yang suka gadis bermata misterius.”
Aku ikut tertawa mendengarnya. Tawa yang seingatku bahagia.
“Menyedihkan.”
Dalam bayanganku, semuanya masih terasa normal sampai sekarang. Namun, sepertinya tidak. Anganku langsung pudar setelah mendengar ocehan barusan.
“Kupikir dia takkan berani menunjukkan muka lagi semenjak kejadian itu.”
Aku pun sebenarnya tak punya niatan menunjukkan wajahku pada siapa pun.
“Melihat wajah polosnya membuatku mual.”
Aku juga mual. Sama mualnya demi melihat beberapa anak yang sengaja terang-terangan memelototiku. Tidak, bukan hanya soal bisikan mereka, tetapi rasa bara yang merayap di balik perban yang membungkus jemariku. Kali ini lebih menyengat, memaksa bibir ini berdecak menahan perih.
“Kasihan.” Sebisik suara lain terdengar.
Terima kasih, tapi itu tidak lagi perlu.
“Katanya dia pernah melakukan ini.”
Aku tidak peduli siapa yang mengucapkan kalimat barusan di tengah kelas olahraga, tapi aku sedikit penasaran jenis gerakan apa yang ia peragakan saat mengucapkan kata ini. Jari di pergelangan tangan dengan gerakan mengiris atau di leher dengan gerakan menggorok? atau bahkan sebuah gerakan yang di luar imajinasiku? yang jelas, aku belum pernah melakukannya.
Jemariku mengeratkan lengan jaket olahraga sebelah kanan, berharap perban yang membebat retakan kehitaman pada jemari telah tertutup sempurna. Guru olahraga yang sudah tua itu terlalu sibuk menilai tes atletik, tak peduli dengan situasi yang kuhadapi. Beberapa anak telah berlarian, melompat dari papan tolakan ke tengah bak pasir. Lompat jauh untuk pengambilan nilai tengah semester tengah diujikan pagi ini.
“Ra!”
Namaku dipanggil. Semua mata langsung tertuju padaku. Tanpa melepas jaket seragam, aku sudah berdiri malas di lintasan lari, bersiap-siap. Ini seharusnya mudah, aku hanya harus berlari, melompat sejauh mungkin, lalu cepat-cepat duduk lagi di pojokan dekat pohon.
Namun, sebelum peluit ditiup, dengung suara itu kembali menghinggapi telinga.
“Berapa meter dia akan melompat?”
“Paling tidak sampai satu meter, dia ‘kan tidak pandai olahraga.”
Dia benar, tapi bukan itu masalahnya. Masalahnya, aku sudah terlalu lama tidak menggerakkan tubuh yang kaku ini.
Ini tidak akan berakhir baik.
Bunyi peluit menggema, memecah lamunan.
Aku segera mengayunkan kaki, berlari sekuat tenaga dengan napas putus-putus. Hanya beberapa meter lagi sebelum titik lompatan. Semua mata masih tertuju padaku. Semua orang pasti mengharapkan hal yang terbalik dengan apa yang kuinginkan. Aliran darah di punggung berdesir, berputar kemudian menyatu di satu bagian, yaitu jari jemari. Retakan di ruas jemari kembali berulah, menyebar seperti akar-akar hitam yang berdenyut panas.
Tidak, jangan sekarang.
Tubuhku terasa ditarik ke depan, limbung. Aku seketika jatuh dengan cara yang menyedihkan—wajah lebih dulu mencium tanah, hanya beberapa langkah sebelum titik lompat. Suara berdebum keras memenuhi di sekitar lapangan. Pandanganku sejenak menjadi kabur, bau tanah menyengati hidung dan dengusan tawa anak-anak berputar di kepalaku.
“Kau tidak apa-apa, Ra?” Guru itu menghampiri, mengulurkan tangan.
Aku diam, nanar menatapi kerumuman yang menyeringai puas. Gigiku mengatup rapat di balik bibir yang saling menekan satu sama lain. Kemudian aku melepaskan seringan datar. Juga memasang wajah betapa cerobohnya aku. Mereka tetap tertawa.
Begitu saja, dan semuanya berlalu.
Selalu saja begitu.
***
Bel istirahat berbunyi lebih cepat dari dugaan.
Aku buru-buru berjalan meninggalkan lapangan dengan mata terus menatap sepatu, menghindari kontak langsung dengan siapapun. Tidak ada lagi yang kukenali di sekolah ini, tapi rasanya semua orang tahu tentangku. Mereka tahu kalau aku aneh dan takut akan keanehan itu. Aku bahkan tak bisa lagi nyaman membaca buku ketika jam istirahat atau sekedar mengisi perut di pojokan kantin.
Seharusnya aku tidak perlu lagi sekolah.
Aku sudah mencoba mengutarakannya pada bunda, tapi beliau selalu bilang, “Kamu harus berteman, Ra. Sekolah adalah tempatmu mendapatkan teman.”
Tidak, bunda. Bagiku, sekolah telah menjelma menjadi tempat terburuk di muka bumi. Tidak ada teman, tidak satu pun di antara mereka. Mereka semua hanya bisa merendahkan seseorang yang berbeda dari mereka, bunda. Semua orang tak lebih dari sekumpulan mahluk hidup yang selalu berusaha mencari-cari kesalahan orang lain dan menyebarkannya demi menunjukkan betapa superior mereka akan hal itu.
Mereka semua adalah monster.
“Tanpa teman kau tak bisa apa-apa, Ra.” Kakak menambahkan penjelasan, “Kita adalah mahluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain.”
Aku bukan lagi manusia normal yang membutuhkannya. Aku ingin hidup sendiri, daripada berkawan dengan sekumpulan predator yang siap mengoyakku kapan saja.
Kugigit ujung bibir sembari berjalan secepat mungkin menuju kamar mandi – satu-satunya tempat yang sedikit aman.
Ada dua gadis di kamar mandi ketika aku menyibak pintu.
Salah satunya duduk di pinggiran wastafel, mengisap cairan rokok elektrik yang menguar pekat, sementara satunya lagi sibuk dengan ponsel layar tipis, sesekali terkikik pelan. Kami bertiga saling bersitatap sejenak sampai asap pekat itu membuatku terbatuk.
Gadis yang mengisap rokok adalah orang pertama yang bereaksi setelahku. Dirinya terlonjak kaget, buru-buru melompat turun. Jemarinya reflek membuang alat penghisapnya ke sembarang arah.
“Bedebah! kau lupa mengunci pintu?” bentaknya kasar pada rekannya yang masih asyik memainkan sesuatu.
Aku mematung dengan napas tertahan di depan pintu yang perlahan tertutup. Apa hadirku menganggu mereka? Apa mereka akan mengangguku sebagai balasan?
Aku harus lari, sekarang.
Rekannya yang bermain ponsel hanya menatap sekilas, “Oh, abaikan saja, tak akan ada yang peduli pada ucapannya.”
Dia benar, abaikan saja aku. Aku bersumpah akan mengabaikan kalian juga.
Gadis perokok itu mengacak rambut pendeknya. Dia mendekat, tatapannya mengancam. Aku berusaha tenang. Aku yang butuh kamar mandi sekarang, jadi tidak boleh lari. Tahan napas. Pasang senyum datar dan ekspresi patuh.
“Kau tidak akan lapor ke guru ‘kan?”
Gelenganku bersambut. Buat apa? Hidupku sudah terlalu sempit untuk terlibat dengan urusan orang lain. Lakukan apa yang kau suka, aku hanya butuh kamar mandi untuk mengecek retakan pada jemariku.
Gadis itu menaik turunkan alis, menoleh pada rekannya, “Kau yakin?”
Aku bisa dipercaya. Tolong jangan rundung aku.
Rekannya tertawa sinis, “Memangnya siapa yang bakal percaya perkataan anak dengan keterbelakangan mental? Guru BK saja malas mengurusinya.”
Aku kembali melampiaskan getir dengan mengigiti ujung bibir. Gadis itu benar, tak ada seorang pun yang peduli tentangku di sekolah. Terakhir kali aku mencoba percaya pada guru konseling, dia hanya mengatakan, “Sekolah adalah lingkungan belajar, Nak. Bukan tempat untuk mengekspresikan masalah pribadi pada mereka yang hendak belajar. Kalau kamu masih saja terus begini maka...”
kalimat guru BK menggantung di udara, membuatku mengisi sendiri kalimat lanjutannya, … Kamu bisa dikeluarkan dari sekolah.
Aku berharap itu benar terjadi.
“Jadi, dia anak kelas satu yang digosipkan itu? Kupikir wajahnya akan lebih idiot seperti di film-film.” Wajah tegang si gadis perokok mengendur, berubah mengejek lantas jemarinya menyentil dahiku, “Hei, pastikan kau tidak membuat masalah atau terima akibatnya dariku.”
Aku meringis menahan nyeri di dahi, mengangguk patah-patah.
Dia melangkah mundur ke belakang menuju wastafel, melepas tawa konyol.
Aku juga butuh wastafel yang itu. Pergi ke tempat lain, keluarlah.
Percuma. Mereka tidak peduli.
Aku berjalan cepat ke arah wastafel yang agak jauh dari keduanya. Lantas menghidupkan keran, melepas perban yang membungkus jemari. Dibaliknya, galur kehitaman kian menyebar. Kulit di sekitarnya seperti tanah kering – terkelupas, merekah, pecah. Pecah ringis sakit lolos dari bibirku begitu guyuran air mengenainya. Walau kebas, rasa seperti ditusuk-tusuk jarum masih membekas di ruas jemariku.
Sesekali sudut mataku memperhatikan dua gadis itu lagi.
Kapan mereka akan pergi? Aku juga butuh membuka perban di pergelangan tanganku. Aku tak mau ada orang lain yang melihat luka-luka retak ini. Keadaan akan semakin buruk jika yang lain tahu.
Mereka tetap saja asyik sendiri, saling bertukar tawa dan menunjukkan sesuatu.
Selalu saja begitu. Tidak pernah ada yang pergi saat aku menginginkannya.
Aku yang akhirnya pergi. Aku yang mengalah.
Aku yang selalu kalah.
Jemariku gemetaran saat menyentuh ganggang pintu kamar mandi, bersiap pergi sebelum mereka memanggilku lagi.
“Hei, Re!”
Yang benar Ra, bodoh. Aku balas menoleh.
Gadis perokok itu tersenyum miring, “Sampai kapan kau akan lari dari dosa-dosamu? masalah kejiwaan bukan alasan bebas dari hukum pidana. Kau masih ingat wajah-wajah tidak berdosa mereka, bukan?”
Terlambat.
“Bodoh! selama tiada bukti, dia tidak bisa dituntut karena kasus itu.” Temannya menimpali, “Tapi setidaknya langit sudah menghukumnya, bukan? hidup dalam rasa bersalah adalah pembalasan yang cukup layak baginya.”
Keduanya tertawa lagi. Tawa rendah yang menyembilu.
“Kami semua tahu apa yang kau lakukan, Ra!”
Kaki ini buru-buru membawaku meninggalkan toilet begitu yakin sebuah suara di kepalaku menyuruh untuk berlari. Kedua telapak tangan kusumpalkan pada telinga, berusaha meredam gejolak memori yang berontak di kepala.
Bukan aku. Bukan aku yang melakukannya.
Aku tidak melakukan kesalahan apapun!
[Tidak apa, mereka akan melupakannya].
Suara-suara imajiner itu kembali berbisik dalam kepalaku.
***