Memasuki bulan Juni, teman-teman sekelas Julie mulai sibuk mempersiapkan berkas-berkas untuk mendaftar ke SMA. Julie sendiri masih santai, kemungkinan besar dia tidak akan melanjutkan SMA di Bandung. Karena banyak projek di Jakarta, ayahnya sudah lama ingin pindah ke sana. Tapi dia menunggu Julie sampai lulus dulu.
"Mau lanjutin ke mana Jul?" begitu duduk Irgie langsung membuka laptopnya. "Aku lagi daftar nih.."
Julie yang sedang santai duduk di meja kantin sambil menikmati es kopi hanya menggeleng. "Belum tahu, palingan nyari lokasinya yang deket rumah."
Masih menatap laptopnya, Irgie tersenyum. "Aku iri kamu bisa nyantai kayak gitu."
"Emang sepenting itu?" tanya Julie heran. Di mana pun dia bersekolah, rutinitas yang dijalani kurang lebih akan sama.
"Penting Jul! Tiap sekolah punya karakter, budaya, dan kualitas yang berbeda-beda. Jadi jangan sampai salah pilih. Kata orang masa SMA adalah masa yang paling berkesan tapi menurutku itu tergantung kita sekolah di mana."
"Oh," balas Julie cuek.
"Sebelum pilih SMA juga kita harus mikirin kira-kira kita bakalan kuliah di mana. Di luar atau dalam negeri? Kalau di luar berarti harus cari sekolah dengan kurikulum internasional. Biar gampang nantinya."
Julie mengernyitkan dahinya. "Kamu udah mikir sampai sejauh itu?"
Irgie mengangguk sambil mengetik di laptopnya
"Kedokteran UI. Makanya nih aku mau daftar ke SMA negeri yang reputasinya paling bagus di kota ini."
Julie takjub orang lain sudah mengatur strategi dari jauh hari untuk masa depannya. Mereka sudah siap berperang dengan kehidupan?
Luar biasa! dia sendiri malah sibuk bergelut dengan kematian.
"Sebenarnya nggak harus negeri juga tapi aku mau suasana baru. Dari TK disekolahin di swasta terus. Daftar di negeri juga lebih seru karena seleksinya ketat jadi lebih mendebarkan…" Irgie tertawa.
"Lagi pada daftar yah? Ikutan dong..." Gerombolan yang terdiri dari dua siswa dan dan siswi tiba-tiba nimbrung duduk di meja Julie, dua diantaranya membawa laptop.
"Gie jadi ke negeri?"
"Jadi, lo jadi sekolah asrama?"
"Iya sialan!"
"Titip salam buat Dumbledor ya!"
"Doain aja gue masuk Gryffindor."
Meja langsung ramai dengan tawa.
Julie tersenyum kecil kemudian beranjak dari kursinya. Tanpa mereka sadari, dia sudah menghilang tanpa jejak.
Saat menaiki tangga, ponsel Julie tiba-tiba bergetar. Dia lihat layar ponsel dua detik, kemudian memasukan kembali ke sakunya.
Dengan tatapan lurus ke depan, dia kembali berjalan. Di tengah-tengah koridor, seorang siswa berdiri menghadap jendela kaca yang besar, tangannya memegang ponsel. Julie menghampirinya.
"Ada apa?"
"Nggak ada apa-apa." Ezra memasukan ponsel ke sakunya. "Aku cuma mau ngasih ini."
Julie mengambil dua lembar kertas di tangannya. Matanya membelalak melihat nama grup orkestra internasional asal Berlin. Dia baru tahu kalau grup ini akan menggelar konser di Jakarta.
"Kamu tahu aku suka musik klasik?"
"Waktu aku dan Irgie ke rumah kamu, dari luar kita denger kamu main biola. Bagus, sampai kita diam sebentar sebelum pencet bell."
Julie langsung mengalihkan pandangan. Wajah pucatnya sedikit merona.
Ezra tersenyum melihat Julie yang sedikit salah tingkah. "Kamu manusia juga ternyata."
"Huh?"
Ezra menggeleng. "Nggak..."
"Oh..." Julie kembali memasang ekspresi datar.
"Setelah beres pemakaman Al, aku baru mikir keras gimana caranya berterima kasih sama kamu. Kata-kata aja nggak mungkin cukup. Eh tiba-tiba temennya Mama nawarin tiket itu, dia nggak bisa hadir karena suatu hal. Jadi dia minta mamaku cari orang yang mau beli lagi tiket itu.
“Denger pertunjukkan musik klasik, aku langsung inget kamu dan permainan biola kamu waktu itu. Aku yakin kamu bakalan seneng kalau bisa nonton itu."
"Ya terima kasih," balas Julie, senang bisa berkesempatan menonton pertunjukkan musik klasik level internasional. Membayangkannya saja membuatnya matanya berbinar-binar. Tapi kemudian dia mengernyitkan dahinya melihat dua lembar tiket di tangannya. "Kenapa tiketnya dua?" Ia baru sadar.
"Satu lagi buatku.”
Hening sejenak.
"Kamu emang suka musik klasik?"
"Apapun genre-nya kalau bagus aku pasti suka."
"Hemh…"
Ezra kembali menatap lurus kaca jendela.
"Waktuku nggak banyak. Bahkan nggak sampai kelulusan. Jadi sebelum pergi, aku harus pastiin rasa terima terima kasihku tersampaikan dengan baik."
"Maksudnya?"
"Dokter bilang kalau satu kali lagi paru-paruku kolaps, aku bisa lewat. Aku harus hati-hati. Makanya, orangtuaku mau aku berobat ke luar negeri.
“Sebelumnya mereka udah kirim berkas-berkas riwayat medisnya. Menurut mereka aku harus menjalani beberapa prosedur lagi atau mungkin operasi kalau mau sembuh total. Kemungkinan butuh waktu 6 bulan atau mungkin satu tahun.
“Sebenarnya sudah dari dulu orangtuaku ngajak aku berobat ke luar tapi aku selalu nolak. Tapi kali ini aku setuju. Aku mau sembuh."
Ezra membuka jendela di hadapannya angin berhembus menerpa wajahnya. "Aku belum mau mati. Aku masih mau di sini."
"Yakin nggak mau nemenin kakakmu?"
Reflek, Ezra langsung menoleh ke arah Julie.
"Becanda," kata Julie cuek sambil menatap keluar jendela.
Ezra melihat ke langit biru. "Mana mungkin. Dia bakalan marah besar kalau aku nyusul dia ke sana. Aku harus jagain orang-orang yang dia sayangi."
"Hemh..."
Julie melihat kembali tiket di tangannya. Tanggalnya tepat sesudah ujian akhir selesai.
"Jakarta ya?"
Ezra mengangguk. "Biar seru, kita ke sana bisa naik kereta api."
Julie terhenyak, napasnya seolah berhenti mendadak. Dia kemudian menatap jam tangan antik di tangan kirinya.
"Kenapa?" tanya Ezra memperhatikan raut wajah Julie. Beberapa detik kemudian dia sadar.
"Oh...sori kita bisa cari transportasi lain."
Julie menggeleng. "Naik kereta api gak masalah..."
"Kamu yakin?"
"Yakin," kata Julie melangkahkan kakinya dan berjalan menuju kelas.
Sejak kejadian empat tahun lalu ia tidak pernah naik kereta api lagi. Kereta pertama yang dia tumpangi gagal mengantarkannya sampai tujuan. Namun, kereta itu berhasil mengantarkan ibunya sampai ke peristirahatan terakhir.
****
Alexa tidak menyangka, Ezra tiba-tiba muncul kembali di rumah kecilnya. Terakhir dia bertemu dengannya pada saat pemakaman Alexis. Mereka berdua orang terakhir yang berada di sana.
"Ayo minum dulu," Farah membawakan satu gelas minuman berwarna.
"Kamu bentar lagi lulus yah?"
"Iyah Tante," balas Ezra senyum. Ia menatap lama Farah, ini pertama kalinya dia melihat ibu biologis Alexis dari dekat.
"Aku ke sini mau pamit..." Alexa dan Farah langsung memasang wajah keheranan.
"Eh maksudnya?"
"Aku..." Ezra menceritakan rencana dia berobat ke luar negeri.
Mendengarnya, Alexa langsung teringat bagaimana Ezra kolaps. "Eh tapi kamu nggak akan kenapa-kenapa 'kan? kamu bakalan sembuh?"
"Aku pasti sembuh..."
"Harus," kata Farah. "Demi kedua orangtuamu."
Ezra mengangguk mantap.
"Aku tahu di sini aku bukan siapa-siapa tapi," Ezra melirik Alexa kemudian Farah, "tapi bagiku keluarga Al keluargaku juga. Karena itu, kalau ada apa-apa kalian bisa kontak aku kapan aja. Aku nggak bisa janji tapi aku akan berusaha selalu ada buat kalian."
Setelah mengatakan itu Ezra langsung menghela napas lega.
Farah langsung menepuk pundaknya dan mengelus-elus rambutnya sambil tersenyum. "Begitupun sebaliknya, kalau ada apa-apa, rumah ini selalu terbuka buat kamu."
Dari pinggir Alexa merangkul Ezra yang tubuhnya lebih besar darinya."Senangnya punya adik cowok..."
Ezra membeku beberapa detik kemudian tersenyum. "Makasih..."
Berdua, Alexa dan Ezra berjalan ke stasiun. Sepanjang perjalanan yang mereka bicarakan hanya Alexis, orang yang sama-sama mereka rindukan.
"Kamu berhasil nemuin jasad Al. Kamu sama sepupumu hebat!"
"Sebenernya ada satu lagi, temen sekelas. Tanpanya, mustahil Al bisa kita temuin."
"O ya? Siapa? Aku pengen ketemu. Pengen ngucapin makasih."
"Nanti aku sampein."
"Oke..."
Begitu kereta berjan, Alexa melambaikan tangannya. Dari kaca jendela Ezra pun membalas lambaiannya sambil tersenyum. Saat ujung kereta sudah tak terlihat barulah cewek itu balik badan dan berjalan pulang. Pesan Alexis yang muncul di mimpinya kembali berbisik di telinganya.
Awasi adikku Ezra
Ini nggak ada tombol reply ya?
Comment on chapter Bab 6@Juliartidewi, makasih kak atas masukannya, nanti direvisi pas masa lombanya selesai. Thank youu...