Loading...
Logo TinLit
Read Story - Premonition
MENU
About Us  

Sesuai rencana, Julie, Ezra, dan Irgie berangkat Jumat sore, besoknya hari sabtu memulai pencarian, dan minggu pulang lagi bagaimanapun hasilnya. Mereka semua meminta izin kepada orangtua mereka untuk mengerjakan proyek sekolah 2 hari 2 malam. Dan tentu saja tidak bilang di Pulau B yang mana harus ditempuh menggunakan pesawat terbang.

Orangtua Ezra awalnya berat tapi karena bersama Irgie mereka akhirnya mengizinkan dengan catatan ponsel harus selalu aktif. Sementara itu, ayah Julie sama sekali tidak keberatan malah senang dia bisa hangout bersama teman-temannya meski tugas sekolah.

Karena tujuannya bukan liburan, bawaan mereka juga tidak banyak hanya 1 tas ransel berisi baju ganti.

Malam mereka tiba di sebuah penginapan paling murah yang Irgie temukan online. Setelah sarapan mereka bertiga langsung pergi ke pantai.

Langkah mereka terhenti saat tiba di area di mana Ezra dan kakaknya surfing dua tahun lalu.

Sejenak Julie terhipnotis melihat hamparan laut yang indah dan menenangkan. Ingin sekali cuma diam di pantai memandangi laut sampai puas.

Tapi tepukan di pundaknya mengingatkannya bahwa dia ke sini untuk mencari mayat.

"Gimana?"

Julie memejamkan matanya mencoba memutar kembali memori Alexis saat kejadian berlangsung. "Ke arah sana,” Julie menunjuk arah timur—arah ke mana Alexis terbawa gelombang.

Ezra mengecek Google Map di ponselnya kemudian mengajak dua kawannya ke pelabuhan untuk naik kapal yang sebelumnya sudah ia sewa.

Sebelum berangkat sang pengemudi meminta mereka bertiga untuk mengenakan pelampung. Ezra diam sejenak memandangi pelampung di tangannya sebelum mengenakannya.

Dengan teropong, Irgie mencari pulau-pulau di sekitaran yang sesuai dengan ciri-ciri yang Julie beberkan sebelumnya.

"Jul coba lihat yang itu bukan?" Irgie menyodorkan teropongnya.

"Bukan. Pulaunya lebih kecil dari jarak segini harusnya vilanya kelihatan."

Ezra melihat ke depan. "Itu bukan?"

Julie menempelkan teropong di kedua matanya dan mengangguk.

Tiba di pulau, Irgie menyuruh pengemudi kapal untuk kembali menjemput mereka 3-4 jam kemudian atau sesudah dihubungi.

Setelah kapal menjauh, mereka bertiga mulai berjalan menyusuri pulau menuju vila. Semakin dekat ke vila, raut wajah Ezra semakin menegang.

"Semoga aja ada penghuninya," Irgie berguman, tegang.

Hanya Julie yang tampak tenang.
Meski cukup besar, vila dua lantai itu tampak lusuh. Cat putihnya banyak yang mengelupas dan menguning. Tumbuhan liar yang mengelilinginya juga menambah kesan angker. Lokasi yang cocok untuk syuting film horror atau uji nyali.

Lewat jendela Ezra mengintip ke dalam rumah. Dia tidak melihat ada tanda-tanda orang di dalam. Kalau vila ini kosong, dia harus cari tahu siapa pemiliknya. Tapi kalau melihat kondisinya, vila ini sepertinya sudah lama terbengkalai. Dia menyesal tidak bertanya kepada pengemudi kapal tadi. Bisa saja dia tahu informasi tentang vila ini meski hanya sedikit.

"Vila ini nggak dilengkapi CCTV, aku tadi cek setiap sudutnya."

"Kalau pun ada, rekaman dua tahun lalu kemungkinan sudah terhapus," kata Julie.

"Kalian lagi nyari apa?"

Sontak mereka bertiga menoleh ke arah sumber suara.

Seorang pria muda, kemungkinan usia dua puluhan menatap mereka bertiga dengan penuh tanda tanya.

"Kami..." Irgie tiba-tiba bingung menjawabnya.

"Kami nyari orang hilang di sini, dua tahun lalu," balas Julie. "Kemungkinan dia sudah meninggal."

Mata pria tiba-tiba membelalak.

Julie menatap pria itu dengan seksama. Tubuhnya kurus dan matanya juga tampak keruh. Ia yakin wajah ini adalah wajah yang muncul di memori Alexis. Meski kondisnya terlihat sedikit berbeda. Dalam ‘cuplikan' pria itu lebih berisi dan terawat.

"Anak cowok?" wajah pria itu tampak tegang.
Irgie dan Ezra bertukar pandangan.

"Betul namanya Alexis, usianya sekitar 15 tahunan waktu itu," kata Irgie kemudian menyodorkan ponselnya. "Ini fotonya."

Pria itu membeku sesaat. "Ada yang namanya Ezy?"

Mata Ezra membesar. Hanya keluarganya yang tahu nama panggilannya. Berarti pria itu yang berbicara pada kakaknya di saat-saat terakhirnya.

"Saya..." Ezra maju mendekati pria itu.

Pria itu memegang kepalanya dengan kedua tangannya, seolah tak percaya. Dia kemudian melihat kelangit-langit dan mengehela napas berusaha menenangkan diri. "Gua minta maaf, tapi orang yang kalian cari udah tewas."

"Kami tahu itu, di mana jasadnya sekarang?" balas Ezra.

"Kalian udah tahu?" pria itu sedikit terkejut kemudian mengerutkan keningnya. "Jadi kalian ke sini?"

"Nyari jasadnya," balas Julie datar.

Pria itu memegang pelipisnya kemudian duduk kursi yang ada di teras vila. "O ya gua Nico."

"Kak Nico sempet nolongin sodara kami Alexis yah?" tanya Irgie. Dia pun ikut duduk di kursi sebelahnya.

Nico mengangguk pelan dengan raut wajah kebingungan. "Kalian tahu dari mana?"

"Gak penting. Di mana dia sekarang?" sambar Ezra.

"Kenapa nggak lapor polisi?" tanya Julie.
Sontak Nico melempar pandangan ke Julie.

"Kenapa gua gak lapor polisi?" Nico tersenyum pahit. "Karena hari itu gua baru aja ngilangin nyawa seseorang."

Julie, Ezra, dan Irgie terhenyak seketika. Ketegangan menyeruak tanpa aba-aba.

"Maksudnya Kak?" tanya Irgie.
Nico kembali menghela napas panjang.

"Bukan nyawa sodara kalian. Gua bingung harus mulai dari mana."

Dia kemudian beranjak dari kursinya dan memandang ke arah laut.

"Hari itu gua dan sepupu gua Edo sewa perahu buat mancing sambil liat-liat pemandangan. Gua nggak inget gimana persinya tapi kita adu mulut sambil baku hantam. Sebenarnya udah biasa kayak gitu! Tapi waktu itu gua dorong dia kekencengan sampe dia kecebur. Gua santai aja soalnya si Edo bisa renang dan dia juga pake pelampung. Dia sendiri malah cekikikan karena seneng udah bikin gua emosi.

“Masih kesal, gua nyalain perahunya, pura-pura mau ninggalin dia. Baru beberapa meter jalan, gua noleh ke belakang kemudian teriak mampus lu.

“Dia keliatan panik dan manggil-manggil nama gua. Gua ketawa puas karena gua pikir udah sukses bikin dia takut. Ternyata dia panik bukan karena itu."

Nico kembali duduk di kursinya suaranya sedikit bergetar. "Ada sesuatu di bawah air...bukan hiu."

"Oh..." Irgie berguman pelan tebakannya salah.

"Ada energi besar dari bawah, bergemuruh. Gua panik dan langsung muter balik.

“Gua musti buru-buru narik Edo ke kapal. Tapi belum juga nyampe, tiba-tiba ada pusaran air besar di belakang Edo. Bener-bener horror!

“Belum pernah gua liat pusaran air kayak gitu, di bagian tengahnya kayak ada lubang besar yang seolah siap mengisap seluruh isi bumi. Dan di depan mata gua si Edo terisap ke dalam lubang hitam itu.

“Gua manggil namanya sekenceng-kencengnya, frustrasi karena nggak bisa ngapa-ngapain. Kapal gua pun terseret pelan-pelan. Gua tutup mata, pasrah terisap ke lubang hitam yang seremnya melebihi lubang neraka.

“Lama gua tutup mata, tapi nggak kerasa apa-apa, sampai akhirnya pelan-pelan gua buka mata. Pusaran air itu lenyap. Kapal gua masih mengambang di permukaan laut.

“Apa gua halusinasi? nggak! Edo beneran keisap. Gua muter-muter kapal cari dia tapi yang gua temuin cuma pelampungnya. Kalau pelampungnya lepas kemungkinan dia tenggelam. Gua langsung mewek kayak orang kesurupan. Gua nggak terima kalau si Edo mati apalagi gua penyebabnya.

“Di tengah lautan, gua berdoa dari lubuk hati yang paling dalem agar Edo kembali gimana pun caranya. Gua minta laut agar balikin dia.

“Ombak besar tiba-tiba menyapu seolah mendengar doa gua, dan gua denger sesuatu menubruk kapal. Ternyata bukan sesuatu tetapi seseorang mengambang tanpa pelampung.

“Edo! jerit gua terharu sekaligus gak percaya kalau doa gua dikabulin segitu cepetnya. Langsung gua tarik dia ke kapal dan di situ gua serasa disambar petir. Dia bukan Edo ternyata."

"Al?" mata Irgie membelalak.

Ezra yang dari tadi setengah mendengarkan seketika terlihat fokus.

"Gua cek napasnya masih ada. Gua coba kasih napas buatan. Dia masih tak sadarkan diri. Dia harus segera mendapat pertolongan medis. Gua nggak bawa handphone, ketinggalan. Gua putusin untuk langsung ke daratan tapi baru juga jalan sebentar, kapalnya udah mau kehabisan bahan bakar.

“Tak jauh dari situ gua liat ada pulau kecil dan ada vilanya. Mungkin ada orang juga. Dengan bahan bakar yang tersisa, gua langsung bawa kapal ke sana.

“Begitu sampai, gua baringin sodara kalian di atas pasir dan gua mau lari ke vila nyari bantuan.

“Tapi begitu gua mau berdiri, dia buka mata. Gua langsung jongkok lagi. Dia berusaha menggapai tangan gua. Gua langsung pegang tangannya. Dia manggil gua Ezy. Gua gak tahu harus bilang apa. Perasaan gua gak enak, dia kayak udah mau sekarat.”

Nico terdiam sesaat melirik ke tiga orang yang mendengar ceritanya, “sori."

"Dengan susah payah dia bilang, Zy maafin aku cuma sampe sini. Tolong jaga Bu Farah dan Alexa. Dia pegang erat tangan gua. Janji yah. Salam buat Mama Mapa. Bilangin aku sayang."

Wajah Ezra mendadak pucat pasi. Nico melirik ke arahnya dan berkata, "itu pesan terakhirnya buat yang namanya Ezy, kurang lebih."

Ezra hanya melihat ke bawah tanpa kata-kata.

"Jujur waktu itu gua stress berat. Gua aja masih syok liat Edo dihisap lubang neraka. Eh nggak lama kemudian seorang nggak dikenal meninggal di hadapan gua. Kasian masih bocah, keluarganya pasti nyariin dia, pasti mereka sedih kalau tahu dia udah nggak bernyawa.

“Tapi gua sendiri juga belum beres nyariin Edo. Gimana nasib dia? Gua musti cepat bertindak. Tanpa kapal gua gak bisa kemana-mana. HP juga gak ada.

“Gua langsung ke vila ini nyari buat bantuan. Ternyata kosong dan terkunci. Waktu itu gua masuk lewat jendela belakang. Dari lapisan debu yang numpuk di dalem, keliatan ni vila udah lama gak berpenghuni. Jangankan telepon, aliran listrik juga nggak ada.

“Gua balik lagi ke pinggir laut. Gua nunggu di sana, dengan harapan ada kapal lewat. Hingga matahari mulai tenggelam, nggak ada satu pun yang lewat. Dari tadi cuma gua, laut, dan mayat.

“Kelamaan mikirin nasib Edo, gua lupa nasib sendiri yang terjebak di pulau terpencil bersama mayat. Apa nggak ngeri kalau hari udah gelap?

“Gua nggak tau kapan bantuan datang dan kalau mayat ini membusuk gua juga takut bakalan dimakan hewan. Ngebayanginnya aja gua gak sanggup.

“Akhirnya gua putusin untuk menguburnya. Kalau pun dimakan cacing yang penting nggak keliatan sama gua,” Nico merasakan tatapan intens Ezra. “Eh sori nggak bermaksud."

"Setelah gua kubur, gua berdoa sebisanya. Di situ gua merasa sedikit lega seolah urusan gua dan dia selesai. Kembali otak gua fokus ke Edo.

“Semakin dipikir, semakin gua nggak yakin dia selamat. Besar kemungkinan dia tenggelam. Dari momen dia terhisap, gua udah tahu itu. Tapi gua nggak terima, gua nyangkal.

“Semakin gua bayangin Edo udah mati, semakin gua merinding frustrasi. Kalau gua nggak dorong dia semua itu nggak bakalan terjadi.

“Gua udah ngilangin nyawa dia. Gimana gua ngadepin orangtuanya? Om sama Tante gua sendiri. Terus apa kata polisi? Gua bakalan dipenjara? Tiba-tiba gua mau ngilang aja dari bumi ini. Gua gak mau ditemuin. Gua mau sembunyi.

“Gua langsung lari ke dalam villa dan mengurung diri di situ. Gelapnya vila nggak bikin gua takut. Malah ngerasa nyaman, nggak keliatan. Gua nggak mau malam cepat berlalu. Gua nggak mau hari esok.

“Entah hari ke berapa, gua mulai berhalusinasi. Gua liat Edo di pinggir laut, gua jalan nyamperin dia, tapi dia malah jalan terus ke tengah laut. Setengah berlari, gua ikutin dia.

“Semakin ke tengah, air semakin menyeruak. Kaki gua seolah ada yang narik ke bawah dan gua pun tenggelam. 

“Entah gimana caranya, bangun-bangun gua udah ada di rumah sakit. Kedua orangtua gua juga udah ada di situ. Gua ceritain kejadian yang sebenarnya. Mereka bersyukur banget gua selamat. Mereka yakinin gua kalau yang terjadi sama Edo itu musibah dan gua bukan penyebabnya.

“Mereka nyuruh gua buat revisi cerita gua dengan mengganti mendorong Edo menjadi Edo kepeleset. Gua setuju. Bukan karena gua takut dipenjara, tapi gua belum siap ngadepin Om sama Tante. Gua belum siap bilang kalau gara-gara gua, nyawa Edo, anak satu-satunya melayang."

Nico mengambil sebatang rokok di sakunya, menyalakannya dan mengisapnya dalam-dalam seolah sedang menyedot beban dalam dirinya. Asap perlahan keluar dari mulutnya memberikan ilusi bahwa bebannya juga ke luar dan menghilang bersama angin.

Ezra langsung menjauh, berusaha menghindari asap yang mengancam paru-parunya. Pesan terakhir dari Alexis masih terngiang-ngiang di telinganya. Dari tadi pikirannya fokus ke sana.

"Sori kalian kelas berapa?"

"Sembilan Kak," balas Irgie

"Oh masih SMP dong."

"Terus Kakak ke sini buat apa?" Irgie balik bertanya.

"Bentar cerita gua belum beres," Nico melempar rokok di mulutnya sekuat tenaga seolah ikut melempar masalahnya.

"Edo nggak pernah ditemukan, gua nggak kaget. Om sama Tante gua terpukul dan masih berharap Edo masih hidup seberapa pun mustahilnya.

“Temen-temannya berduka. Gua ternyata nggak hanya nyakitin orangtuanya tapi juga orang-orang di sekitarnya.

“Rasanya pengen lenyap aja. Gua pengen kembali terdampar di pulau terpencil dan sembunyi di vila terlantar ini.

“Di titik itu gua inget sesuatu. Ada hal yang belum gua lakuin. Gua belum lapor polisi tentang bocah yang gua kubur di pulau ini.

“Gua cerita sama orangtua gua tentang bocah itu dan minta dianter ke kantor polisi. Tapi mereka nyuruh gua buat nggak berhubungan lagi sama polisi karena untuk kasus Edo sendiri, polisi agak meragukan cerita gua dan mungkin diam-diam mencurigai.

“Mereka heran kenapa gua dan kapal gua yang ada di lokasi nggak terhisap pusaran air? Untuk hal itu gua sendiri sama herannya. Kalau gua lapor tentang bocah itu, orangtua gua takut polisi ngait-ngaitin lagi dengan kasus Edo, dan gua bakal dicurigai sebagai orang yang bertanggung jawab atas kematian keduanya. Kemungkinan gua dianggap psikopat yang hobi bunuh orang di laut.

“Keputusan untuk nyembunyiin elemen penting tenggelamnya Edo serta keputusan untuk nggak lapor polisi mengenai bocah Alexis itu sangat masuk akal tapi konsekuensi psikologisnya sangat fatal.

“Gua nggak bisa hidup tenang. Konsumsi alkohol gua meningkat. Kesehatan gua menurun. Kuliah nggak kelar-kelar. Tiap malam kalau nggak di teror Edo, gua di teror bocah itu.

“Bayangan Edo terhisap pusaran air, bayangan bocah itu menghembuskan napas terakhir. Juga pesannya yang terngiang-ngiang di telinga.

“Gua pikir seiring berjalannya waktu teror itu akan hilang dan hidup gua akan kembali normal. Ternyata enggak, dan akhir-akhir ini malah semakin intens.

“Gua tahu semua terror psikologis itu muncul dari rasa bersalah yang kewalahan. Dan hanya satu obatnya berkata jujur.

“Akhirnya, gua cerita versi asli ke Om dan Tante. Gua siap dengan segala konsekuensinya termasuk dijebloskan ke penjara atau lebih buruk nggak dianggap keluarga.

“Tapi, diluar dugaan mereka maafin gua. Sama kayak orangtua gua, mereka juga mikirnya itu semua musibah dan mereka percaya gua nggak mungkin punya niatan jahat. Mereka malah nyuruh gua segera beresin kuliah dan stop bikin orangtua gua khawatir.

“Gua bener-bener terharu dan rasanya beban di pundak gua sedikit berkurang. Tapi urusan gua belum beres. Gua musti sampein amanat terakhir bocah itu sama yang namanya Ezy.

“Gua mikir dari pada lapor polisi mending gua cari tahu sendiri identitas bocah itu. Kalau lapor polisi urusannya bisa runyam dan gua nggak mau nambah beban orangtua gua kalau gua dituduh penyebab kematiannya.

“Rencananya, kalau gua udah dapet identitas tuh bocah, gua bakalan nulis surat buat keluarganya, isinya kurang lebih seperti yang barusan gua ceritain. Terus kirim secara anonim.

“Pertanyaan selanjutnya gimana caranya gua nyari identitas bocah itu tanpa bantuan polisi? Tadinya gua mau cek berita-berita orang hilang pada hari itu di lokasi ini. Tapi tiba-tiba gua inget pas ngubur dia, sebenarnya gua nemuin hape-nya di tas kecil yang ada di pinggangnya. Meski tasnya kayak yang anti air tetep tuh hape basah kuyup dan mati total.

“Waktu itu gua bawa ke dalam villa, nyari apa kek di dalem yang bisa ngidupin lagi tu hape. Tapi percuma karena aliran listrik pun nggak ada. terus, hape itu gua geletakin aja sembarangan.

“Gua harap hape itu masih ada di dalem. Makanya gua jauh-jauh dari Jakarta ke sini. Dan bisa ketemu kalian hari ini mungkin udah takdir."

Nico mengeluarkan sesuatu dalam tasnya. Sebuah ponsel. "Kayaknya gua udah gak ngebutuhin ini."

Dengan tangan sedikit gemetar Ezra mengambil ponsel itu dari tangan Nico. 100% itu ponsel Alexis.

"Gua gak nyangka masih ada di dalem. Nih vila bener-bener terlantar."

"Jadi Kakak kubur di mana Al?" tanya Irgie.

"Di halaman belakang Vila ini."

Nico kemudian mulai melangkahkan kakinya, Julie, Ezra, dan Irgie mengikuti dari belakang. Nico berhenti di depan gundukan tanah yang sudah tertutup rumput liar dekat pohon palem.

"Di sini."

Ezra dan Irgie jongkok di sisi gundukan tanah itu. Memori Alexis lalu lalang di kepala mereka. Irgie bersikap tegar dan menepuk pundak Ezra yang kali ini membiarkan air matanya berjatuhan.

"Gua minta maaf, kalian harus nunggu dua tahun buat nemuin dia."

Nico kemudian mundur sedikit dan menyalakan rokok yang terselip di bibirnya. Bebannya kembali berkurang dan sekarang yang benar-benar dia rasain adalah kangen. Dia kangen Edo. Dalam hati dia berdoa agar Edo tenang di alam sana.

"Boleh lihat fotonya?" Julie tiba-tiba menghampiri cowok kurus itu.

"Eh?"

Mata Irgie membesar. "Oh iya."

"Foto orang bernama Edo itu. Coba lihat."

Nico menatap Julie lama berusaha membaca maksud dan tujuannya meminta foto Edo.

"Ada bentar…" Nico mengeluarkan ponsel di tasnya dan menyerahkannya ke Julie. "Lu penasaran muka Edo kayak gimana ya?"

Julie tidak menghiraukannya dan langsung menatap foto di layar ponsel Nico.

"Gua jadi ingat dulu si Edo banyak fansnya," kata Nico sambil mengeluarkan asap rokok dari mulutnya. Ia tersenyum mengenang kembali masa sekolah dia dan Edo.

"Dia masih hidup," kata Julie datar sambil mengembalikan ponsel Nico. "Edo masih hidup."

"Huh?" Irgie ikut terhenyak. "Barusan kamu nggak liat apa-apa di fotonya Jul?"

Julie mengangguk.

"Lu pernah liat Edo di suatu tempat?" tanya Nico kepada Julie. Dadanya mulai berdegup kencang.

"Nggak."

"Terus yang lu bilang barusan?" tanya Nico heran.

"Jadi gini Kak..." Irgie menjelaskan kemampuan supranatural Julie. Nico mendengarkan dengan seksama, sesekali matanya membelalak tak percaya.

"Kalau nggak ada Julie, mana mungkin kita bisa tahu tempat ini."

"Oh jadi..." Nico mulai gelagapan, kehabisan kata-kata. Dia menghampiri Julie dan menggenggam kedua bahunya dengan tangannya.

"Edo benaran masih hidup? Lu yakin?" Melihat Julie terlihat risih, Nico langsung melepas genggamannya. "Sori."

Seketika tubuh Nico seperti dibanjiri adrenalin. Ia mulai mengacak-mengacak rambutnya. "Edo masih hidup?" Ia kemudian tertawa sendiri. "Edo masih hidup?" Mondar-mandir tidak karuan. "Edo masih hidup!"
Ia kemudian, jongkok kemudian berdiri kemudian tertawa lagi dan berteriak. "Woyy Edo masih hidup!"

Ezra kesal melihat reaksi konyol Nico. Dia langsung meninggalkan halaman vila dan berjalan sendiri menuju pantai. Sebenarnya ia bukan kesal tapi iri. Kalau Alexis masih hidup mungkin reaksinya bisa lebih gila dari itu.

"Terus si Edo ada di mana? Kondisinya gimana?"

"Tugasmu Kak, cari tahu," balas Julie cuek seraya berjalan ke arah pantai.
   

                                  ****


Menunggu kapal menjemput, mereka berempat duduk di pantai memandang laut biru yang indah. Sesekali angin sepoi-sepoi menerpa tubuh mereka.

"Kalian mau langsung pulang?" tanya Nico sambil menenggak botol minuman. Dalam hati ia janji itu adalah minuman terakhirnya.

"Kakak mau nginep di sini?"

Nico nyengir. "Tadinya gua mau di sini sampai sunset, tapi gua mau cepet-cepet pulang. Banyak yang gua harus cari tahu."

Nico ingat betul bagaimana Edo terisap lubang pusaran air itu. Dalam keadaan normal mustahil Edo selamat kecuali pusaran air itu bukan pusaran biasa. Mungkinkah pusaran itu portal menuju dimensi lain? Seperti yang dia lihat film-film fiksi ilmiah? Apa pun itu dia akan cari tahu. Dia akan temukan Edo.

Kapal yang ditunggu-tunggu akhirnya muncul. Dalam perjalanan mengarungi lautan. Tak ada satu pun yang berbicara, semua diam memandangi megahnya laut serta sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Makasih ya Julie buat infonya," kata Nico tiba-tiba memecah keheningan.

"Sama-sama."

Nico tiba-tiba senyam-senyum sendiri sambil memperhatikan Julie. "Tahu gak, hari ini lu tuh kayak juru selamat yang ngebebasin gua dari penderitaan. Lewat kabar gembira yang lu bawa, gua mengalami pencerahan! Keren nggak sih?"

Julie hanya membalas dengan senyuman samar.

"Eh tapi serius, gua bersyukur banget bisa ketemu kalian hari ini."

"Sama Kak, berkat Kak Nico, misi kita hari ini tercapai. Dan pesan terakhir dari Al bisa sampai ke kita," balas Irgie sambil melihat ke arah Ezra yang tenggelam menatap jauh ke lautan luas.

Setelah sampai di dermaga Irgie dan Nico bertukar kontak. Irgie yakin keluarganya nanti akan membutuhkannya.

Setelah berpisah dengan Nico, mereka bertiga berjalan kaki ke penginapan. Ezra berjalan di depan sendiri sementara Julie dan Irgie berjalan santai di belakang.

"Dari sini, rencana kalian selanjutnya apa?"

"Lapor orangtua, mereka harus tahu yang sebenernya. Kita yang masih bocah ini nggak mungkin bisa nanganin jasad Al yang terkubur di pulau itu."

"Kalau mereka tanya bagaimana kalian bisa tahu pulau itu?"

Irgie tersenyum. "Tenang Jul, kita nggak akan bilang pada siapapun tentang kemampuanmu. Janji."

"Makasih."

Jalan paling depan, Ezra tidak menghiraukan percakapan kedua orang di belakangnya.

Kepalanya kembali mengingat pesan terakhir Alexis dan juga ramalan bintang itu terutama bait terakhirnya.

Sosok Alexa tiba-tiba muncul di kepalanya. Senyumnya yang sama persis dengan Alexis.
Bintang jatuh itu masih bersinar.

                                 *****

Begitu pulang dari Pulau B, Ezra menceritakan petualangannya mencari Alexis kepada kedua orangtuanya. Tentu saja dia improvisasi di sana sini agar tidak menyebutkan Julie dan kemampuannya. Ezra juga menyerahkan ponsel Alexis sebagai bukti penguat bahwa semua yang diceritakannya adalah fakta.

Sementara ayahnya sedikit terkesan dengan aksi nekat anak dan keponakannya, ibunya marah besar. Namun, amarah ibunya mereda saat Ezra memberitahu mereka pesan terakhir Alexis.

Adel tiba-tiba teringat percakapannya dengan Alexis dulu. Waktu itu dia mendapati anak itu sedang asyik bercakap-cakap di telepon. Sesekali dia mendengar kata "ibu".

"Asyik banget, tadi ngobrol sama Mama kamu ya?" goda Adel saat Alexis menutup teleponnya.

"Nggak mungkin, Mama aku kan cuma satu, dan sekarang dia lagi duduk di samping aku," balasnya, gombal.

Adel tersenyum . "Terus Mama Farah siapa dong?"

"Bu Farah?" Alexis garuk-garuk kepala.

"Gimana ya, buat aku dia lebih kayak kakak cewek yang umurnya beda jauh."

"Ah masa?"

"Tau nggak Ma, masakannya ancur banget." Alexis cekikikan. "Kasian Alexa makannya mie instan terus. Eh nanti aku bawain masakan Mama ya. Katanya dia mau coba.”

Mengingat semua itu, air mata Adel mengalir deras. Betapa ia merindukannya. Sangat merindukannya.

Tanpa menunda-nunda, orangtua Ezra mempersiapkan rencana pemindahan jasad Alexis. Relokasi ini ternyata bukan proses yang sederhana. Banyak yang harus terlibat termasuk polisi. Mereka juga harus menghubungi beberapa pihak berwenang untuk meminta perizinan. Belum lagi test DNA untuk memastikan kalau jasad yang dikubur Nico itu benar-benar Alexis.

Setelah proses yang cukup alot, jasad Alexis berhasil dibawa ke Bandung. Pemakaman yang layak pun digelar. Ezra tak menyangka teman-teman sekolah Alexis dulu banyak yang hadir mengingat dia hanya memberitahu Jem dan Nato.

Di depan pusara kakaknya, Ezra tertegun menatap lama nama yang terukir di batu nisannya. Seseorang tiba-tiba jongkok di sampingnya sambil menaburkan bunga. Ezra menatap sosok di sampingnya. Mendadak dia merasa lebih tegar. Seolah kesedihannya terbagi dua. Kembali bait terakhir ramalan itu terngiang di telinganya.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (5)
  • galilea

    Ini nggak ada tombol reply ya?

    @Juliartidewi, makasih kak atas masukannya, nanti direvisi pas masa lombanya selesai. Thank youu...

    Comment on chapter Bab 6
  • juliartidewi

    Waktu SD, aku pernah diceritain sama guruku, ada anak yang ditarik bangkunya sama anak lain pas mau duduk. Anak itu jatuh, terus jadi buta semenjak saat itu. Mungkin kena syarafnya.

    Comment on chapter Bab 6
  • juliartidewi

    Kalau kata 'perkirakan' di sini sudah benar karena kalau 'perkiraan' merupakan kata benda.

    Comment on chapter Bab 4
  • juliartidewi

    Ada kata 'penampakkan' di naskah. Setahu saya, yang benar adalah 'penampakan'. Imbuhan 'pe' + 'tampak' + 'an'. Kalau akhiran 'kan' dipakai untuk kata perintah seperti 'Tunjukkan!'.

    Comment on chapter Bab 3
  • juliartidewi

    Pas pelajaran mengedit di penerbit, katanya kata 'dan' tidak boleh diletakkan di awal kalimat.

    Comment on chapter Bab 1
Similar Tags
Unframed
1000      643     4     
Inspirational
Abimanyu dan teman-temannya menggabungkan Tugas Akhir mereka ke dalam sebuah dokumenter. Namun, semakin lama, dokumenter yang mereka kerjakan justru menyorot kehidupan pribadi masing-masing, hingga mereka bertemu di satu persimpangan yang sama; tidak ada satu orang pun yang benar-benar baik-baik saja. Andin: Gue percaya kalau cinta bisa nyembuhin luka lama. Tapi, gue juga menyadari kalau cinta...
Sebelah Hati
1393      813     0     
Romance
Sudah bertahun-tahun Kanaya memendam perasaan pada Praja. Sejak masih berseragam biru-putih, hingga kini, yah sudah terlalu lama berkubang dengan penantian yang tak tentu. Kini saat Praja tiba-tiba muncul, membutuhkan bantuan Kanaya, akankah Kanaya kembali membuka hatinya yang sudah babak belur oleh perasaan bertepuk sebelah tangannya pada Praja?
Unexpectedly Survived
136      118     0     
Inspirational
Namaku Echa, kependekan dari Namira Eccanthya. Kurang lebih 14 tahun lalu, aku divonis mengidap mental illness, tapi masih samar, karena dulu usiaku masih terlalu kecil untuk menerima itu semua, baru saja dinyatakan lulus SD dan sedang semangat-semangatnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Karenanya, psikiater pun ngga menyarankan ortu untuk ngasih tau semuanya ke aku secara gamblang. ...
FINDING THE SUN
590      295     15     
Action
Orang-orang memanggilku Affa. Aku cewek normal biasa. Seperti kebanyakan orang aku juga punya mimpi. Mimpiku pun juga biasa. Ingin menjadi seorang mahasiswi di universitas nomor satu di negeri ini. Biasa kan? Tapi kok banyak banget rintangannya. Tidak cukupkah dengan berhenti dua tahun hanya demi lolos seleksi ketat hingga menghabiskan banyak uang dan waktu? Justru saat akhirnya aku diterima di k...
Nuraga Kika
37      34     0     
Inspirational
Seorang idola sekolah menembak fangirlnya. Tazkia awalnya tidak ingin melibatkan diri dengan kasus semacam itu. Namun, karena fangirl kali ini adalah Trika—sahabatnya, dan si idola adalah Harsa—orang dari masa lalunya, Tazkia merasa harus menyelamatkan Trika. Dalam usaha penyelamatan itu, Tazkia menemukan fakta tentang luka-luka yang ditelan Harsa, yang salah satunya adalah karena dia. Taz...
Kaca yang Berdebu
125      101     1     
Inspirational
Reiji terlalu sibuk menyenangkan semua orang, sampai lupa caranya menjadi diri sendiri. Dirinya perlahan memudar, seperti bayangan samar di kaca berdebu; tak pernah benar-benar terlihat, tertutup lapisan harapan orang lain dan ketakutannya sendiri. Hingga suatu hari, seseorang datang, tak seperti siapa pun yang pernah ia temui. Meera, dengan segala ketidaksempurnaannya, berjalan tegak. Ia ta...
Kacamata Monita
1762      658     4     
Romance
Dapat kado dari Dirga bikin Monita besar kepala. Soalnya, Dirga itu cowok paling populer di sekolah, dan rival karibnya terlihat cemburu total! Namun, semua mendadak runyam karena kado itu tiba-tiba menghilang, bahkan Monita belum sempat membukanya. Karena telanjur pamer dan termakan gengsi, Monita berlagak bijaksana di depan teman dan rivalnya. Katanya, pemberian dari Dirga terlalu istimewa u...
Let me be cruel
6487      3147     545     
Inspirational
Menjadi people pleaser itu melelahkan terutama saat kau adalah anak sulung. Terbiasa memendam, terbiasa mengalah, dan terlalu sering bilang iya meski hati sebenarnya ingin menolak. Lara Serina Pratama tahu rasanya. Dikenal sebagai anak baik, tapi tak pernah ditanya apakah ia bahagia menjalaninya. Semua sibuk menerima senyumnya, tak ada yang sadar kalau ia mulai kehilangan dirinya sendiri.
Nemeea Finch dan Misteri Hutan Annora
313      199     0     
Fantasy
Nemeea Finch seorang huma penyembuh, hidup sederhana mengelola toko ramuan penyembuh bersama adik kandungnya Pafeta Finch di dalam lingkungan negeri Stredelon pasca invasi negeri Obedient. Peraturan pajak yang mencekik, membuat huma penyembuh harus menyerahkan anggota keluarga sebagai jaminan! Nemeea Finch bersedia menjadi jaminan desanya. Akan tetapi, Pafeta dengan keinginannya sendiri mencari I...
RUANGKASA
46      42     0     
Romance
Hujan mengantarkan ku padanya, seseorang dengan rambut cepak, mata cekung yang disamarkan oleh bingkai kacamata hitam, hidung mancung dengan rona kemerahan, dingin membuatnya berkali-kali memencet hidung menimbulkan rona kemerahan yang manis. Tahi lalat di atas bibir, dengan senyum tipis yang menambah karismanya semakin tajam. "Bisa tidak jadi anak jangan bandel, kalo hujan neduh bukan- ma...