Fokus kepada yang hidup?
Hidup siapa?
Mungkin bisa dimulai dengan hidupnya sendiri.
Kembali Julie menatap kertas berisi ramalan bintang itu. Dia sudah paham isi ramalan yang bertabur istilah Astrologi itu. Namun, kenapa seperti ada yang aneh, seperti ada missing link. Dia baca kembali ramalan itu.
Dear Cancer,
Matahari mulai menyambut Aries
Namun dalam langitmu, bintang itu sudah lama padam
Dia sudah terjatuh dan kehilangan sinarnya
Bintang jatuh itu memiliki sebuah pesan
Namun janganlah mencarinya
Sebelum rembulan meninggalkan Aquarius
Dan Jupiter menghampiri Taurus
Karena Pluto akan menghalangi jalanmu
Mendorongmu ke lubang hitam
Tempat kegelapan abadi berada
Yakinlah,
Bintang jatuh itu masih memiliki cahaya
Sinarnya masih bisa kau lihat dan kau jaga
Meski dalam wujud berbeda
Menurut penafsiran Julie, Aries dalam kalimat pertama mengacu kepada periode matahari "singgah" di rasi bintang Aries yakni pertengahan Maret hingga pertengahan April.
Julie menerima ramalan itu tepat pada tanggal 1 April. Jadi bisa dibilang isi dari ramalan ini mengacu pada kejadian yang akan terjadi pada bulan April.
Kalimat selanjutnya sempat membuatnya bingung. Namun dia sadar ibunya yang berulang tahun pada 11 April juga berbintang Aries. Sehingga Aries di sana bukan hanya sebagai penanda waktu, tapi juga simbol untuk ibunya?
Dengan demikian, bintang Aries yang padam, jatuh dan kehilangan sinarnya merupakan metafora untuk ibunya yang sudah meninggal?
Bintang jatuh itu memiliki pesan…
Kalau penafsirannya benar maka ibunya yang meninggal memiliki sebuah pesan? Pesan apa? Aneh!
Dia bersama ibunya di momen-momen terakhirnya. Adakah hal yang tak sempat diucapkan ibunya?
"Hey Jul," sapa seseorang membuyarkan konsentrasinya. Dia kemudian duduk di sebelahnya.
"Aku disuruh ke sini sama Ezy, katanya ada yang mau dia jelasin sama kita."
"Kita?"
Irgie mengangguk. "Palingan tentang Al."
"Oh," Julie melipat kertas di tangannya dan memasukkannya ke dalam saku bajunya.
"Tuh datang orangnya." Dari arah pintu Ezra berjalan mendekat.
"Aku udah baca suratnya." Ezra menarik kursi dan duduk di hadapan mereka.
"Oh. Aku lupa ngasih tahu surat itu diselipin di buku Harry Potter ke 7."
"Surat apaan Zy?"
Ezra mengambil lipatan surat di sakunya dan menyerahkannya ke Irgie.
"Baca sendiri…"
Irgie membuka lipatan surat itu dan mulai membacanya. Seperti Ezra, matanya juga membelalak tak percaya apa yang dibacanya.
"Seriusan…jadi Al.." Irgie kehabisan kata-kata. Wajahnya mendadak pucat pasi.
"Kamu juga baca," Ezra mengalihkan pandangannya ke Julie yang dari tadi tampak tenang meski orang yang di sebelahnya seperti habis lihat setan.
"Yakin?" Julie merasa ini kaitannya dengan urusan internal keluarga mereka.
Ezra mengangguk. "Kamu udah bantu banyak. Jadi nggak perlu ada yang disembunyiin."
"Sumpah gue nggak nyangka! Lo udah tanya Bibi?" Irgie masih panik.
Ezra mengangguk. "Semuanya yang ada di surat itu fakta."
Julie menghela napas kemudian mulai membaca kata demi kata dengan tenang tanpa gejolak seperti Irgie. Setelah selesai dia menatap Ezra lekat.
"Oh. jadi kakakmu bukan kakak kandungmu?"
Ezra diam tertegun, ingatannya terbang ke percakapan tadi pagi bersama ibunya di meja makan.
"Aku nemu surat ini di kamar Al."
"Eh?" Adel hampir tersedak minuman.
"Ini beneran surat dari..." Ezra mencari kata yang enak diucapkan lidahnya, “Ibu biologis Al."
Adel menarik napas panjang. “Betul. Kamu baca suratnya?”
Ezra mengangguk.
"Berarti kamu udah paham garis besarnya?"
Ezra hanya diam, roti isi dihadapannya tidak disentuhnya.
"Tadinya Mama mau kasih surat itu pas kakakmu 17 tahun sesuai rencana mama sama Farah, ibu kandungnya. Tapi kakakmu keburu tahu yang sebenarnya."
Ezra menatap lurus mata ibunya, meminta penjelasan.
"Waktu kelas 9 kan ada pelajaran genetika dia baru "ngeh" ada yang aneh. Kedua orangtua dan adiknya bergolongan darah O sementara dirinya sendiri bergolongan darah B. Dari situ dia mulai mencari tahu.”
Ibunya menghela napas sebelum melanjutlan. "Apa boleh buat, mama cerita yang sebenarnya dan kasih surat itu.”
"Jadi tiap weekend dia ke tempat ibunya?"
"Awalnya dia nggak bilang. Tapi mama tau dia pasti ke sana," Adel tersenyum, "bagaimana pun juga Mama juga ibunya."
"Jadi cuma aku yang nggak tahu."
"Al yang minta kamu jangan diberi tahu dulu. Katanya belum siap.”
Ezra tersenyum pahit.
"Kalau dia masih ada, sebentar lagi hari ulang tahunnya," kata Adel, pandangannya jauh menerawang ke jendela.
Bel masuk berbunyi, menyadarkan Ezra dari lamunannya. Buru-buru, dia mengeluarkan sebuah foto dan memperlihatkannya kepada dua orang di hadapannya.
Dengan seksama Irgie dan Julie memperhatikan foto seorang wanita yang tersenyum menggendong dua bayi di kedua lengannya. Di belakang fotonya tertulis nama Alexis dan Alexa.
"Jadi anak perempuan itu...?"
Ezra mengangguk. "Saudara kembarnya."
******
Dear Alexis,
Selamat ulang yang ke 17. Bersama orangtua yang hebat, aku yakin kamu tumbuh menjadi anak yang hebat.
Dalam surat ini, izinkan aku sedikit bercerita tentang latar belakang kelahiranmu hingga keputusan untuk menyerahkanmu pada orangtuamu sekarang. Kalau kamu pikir ini gak penting, kamu boleh buang surat ini dan lupakan.
Kamu berhak hidup tenang dan bahagia, tanpa harus dihantui masa lalu, tanpa pula dibebani oleh keberadaanku.
Tapi kalau kamu tertarik, beginilah cerita singkatnya.
Saat pertama kali aku tahu aku akan menjadi seorang ibu, dunia rasanya mau runtuh. Dan jujur waktu itu aku berharap runtuh betulan. Entah diserbu alien, zombi, atau perang nuklir sekalian. Kalau pun harus kiamat aku siap.
Bagaimana enggak?
Aku yang masih 19 tahun itu sudah mau punya bayi aja padahal di jari manisku belum ada cincin yang melingkar.
Orangtuaku tinggal di Jakarta sedangkan aku kuliah di Bandung. Mereka sangat religius pula. Cerita sama mereka sama aja nyetak sertifikat kematian diri sendiri.
Dunia rasanya benar-benar gelap total. Aku bingung harus bagaimana. Tiga pilihan yang terlintas di kepalaku semuanya sangat berat. Dan salah satunya sangat bertentangan dengan pandangan moralku secara pribadi. Jadi langsung aku coret. Tinggal dua lagi, panti asuhan atau membesarkan sendiri?
Membayangkan panti asuhan, aku jadi merinding.
Tapi apa aku mampu? seorang diri?
Aku ragu. Keraguan perlahan-lahan berubah menjadi putus asa. Apa gak ada pilihan ke empat?
Ternyata ada!
Sahabatku yang paling aku percaya menyarankan agar aku ikut program adopsi. Katanya ada yayasan terpercaya dan legal yang bisa menjembatani antara orangtua yang ingin mengadopsi anak dan orangtua yang karena suatu alasan dan kondisi tertentu tidak bisa membesarkan anaknya. Dengan begitu seorang anak akan tetap punya rumah dan orangtua.
Aku langsung mencari tahu tentang program ini dan menelepon yayasan yang aku anggap paling terpercaya untuk konsultasi.
Orang dari yayasan sangat ramah. Mereka menjawab dengan sabar segala pertanyaanku. Mereka juga cerita bahwa sepanjang pengalaman mereka, gak ada seorang ibu yang nyerahin anaknya karena gak sayang, justru mereka rela mengambil pilihan yang super berat itu karena sayang.
Mendengar itu aku terharu. Ternyata aku nggak sendirian.
Aku harus ambil keputusan cepat. Membesarkannya sendiri atau menyerahkannya untuk diadopsi? Hati kecilku berkata ingin membesarkannya sendiri, tapi otakku berkata sebaliknya. Setelah siang malam aku berpikir. Akhirnya aku putuskan untuk pilihan adopsi.
Aku gak mau hidup anakku menderita hanya karena aku belum siap. Aku putuskan untuk langsung mendaftar.
Orang dari yayasan juga bilang kalau di tengah jalan aku berubah pikiran, aku gak akan kena sanksi apa-apa.
Untuk ibu biologis, semua proses gak dikenakan biaya sepeserpun. Semua akan ditanggung oleh yayasan dan orangtua angkatnya. Mulai dari akomodasi jika diperlukan, pemeriksaan medis rutin, biaya persalinan, bahkan psikolog kalau dibutuhkan. Mereka ingin memastikan bayi dan ibu biologisnya sehat sehingga proses adopsi bisa berjalan lancar tanpa kendala.
Lewat email, mereka kemudian mengirimiku beberapa profil calon orangtua angkat yang bisa aku pilih. Begitu banyak pilihan dan aku gak boleh salah pilih, nasib anakku bisa jadi taruhannya.
Aku sendiri punya beberapa kriteria yang wajib ada pada calon orangtua angkat. Pertama, keduanya harus berpendidikan, minimal lulusan S1. Kedua, kemampuan finansial mereka harus di atas rata-rata. Ketiga, tidak ada riwayat penyakit kronis, fisik, maupun mental. Keempat, dan yang paling penting, haruslah orang yang hangat dan penyayang.
Aku mulai menyeleksi profil-profil itu. Ada tiga yang memenuhi semua kriteria yang aku inginkan, sebut saja keluarga 1, Keluarga 2, dan Keluarga 3.
Keluarga 1 merupakan pasangan seorang dokter gigi dan seorang guru. Keluarga 2 terdiri seorang manager Bank swasta dan pengusaha butik. Keluarga 3, pasangan dosen universitas ternama.
Ketiganya senang luar biasa begitu aku kontak. Setelah saling bertukar email aku mencoret keluarga 1 dan 3. Keluarga 1 berkomitmen gak akan melanjutkan proses adopsi kalau bayiku ternyata memiliki kondisi medis khusus termasuk Autis atau ADHD. Keluarga 3 sendiri gak masalah kalau nantinya anak ini memiliki kondisi khusus tapi aku kurang sreg dengan mereka karena kalau melihat dari tulisan-tulisan mereka di media masa, mereka sepertinya memiliki pandangan ekstrim tentang suatu ideologi dan terkesan gak open-minded. Aku takut anakku didoktrin yang macam-macam.
Akhirnya, pilihan jatuh ke Keluarga 2 yang kini sudah menjadi orangtua angkatmu. Setelah mengobrol di telepon aku langsung sreg.
Tapi aku gak mau gegabah. Aku ingin bertemu langsung untuk lebih meyakinkan. Dan ternyata, mereka lebih hangat dan menyenangkan saat mengobrol langsung. Aku percaya mereka orang-orang baik. Dengan mereka, anakku akan memiliki banyak kesempatan yang mungkin gak bisa aku berikan.
Tiga hari kemudian aku mantap memilih mereka. Saat kuberi tahu, mereka sangat terharu. Aku juga.
Setelah itu, aku tinggal sementara di rumah orangtuamu. Kehadiran ibumu benar-benar sangat membantu. Berkatnya semuanya berjalan lancar. Namun hal diluar dugaan pun terjadi. Ternyata aku mengandung bayi kembar. Ibumu kaget apalagi aku. Tapi orangtuamu sama sekali gak mempermasalahkan ini, justru mereka senang dan siap mengatur segala legalitasnya. Aku lega mendengarnya.
Dokter bilang bayi dalam kandunganku kembar fraternal, satu laki-laki dan satu perempuan. Sepasang!
Aku mulai mengira-ngira rupa mereka, seperti apa karakternya? Akan jadi apa? Membayangkannya aku jadi sumringah sendiri. Aku benar-benar gak sabar bertemu mereka.
Dan justru di situlah masalahnya. Harusnya aku gak boleh menjalin ikatan emosional dengan mereka. Aku lengah harusnya dari awal aku jaga jarak.
Namun sudah terlanjur, ikatan itu sudah terjalin. Semakin lama semakin kuat dan aku merasa semakin berat untuk menyerahkannya. Tapi kondisiku yang sekarang, membesarkan keduanya sendiri merupakan pilihan mustahil. Aku tahu itu. Dan gak adil juga buat orangtuamu kalau aku batalin perjanjian ini di tengah jalan. Mereka pun sangat menantikan kehadiran si kembar.
Dari situ aku mulai agak depresi dan diam-diam aku menangis sendiri hampir setiap hari. Siang malam aku berdoa agar diberi jalan keluar yang baik untuk semua pihak. Aku, bayi kembarku, dan orangtuamu.
Hingga suatu malam aku bermimpi. Mimpi itu sangat nyata. Aku melihat diriku menggendong seorang bayi dan Bu Adelia juga menggendong seorang bayi.
Dengan wajah bahagia kita berjalan bersama-sama namun saat tiba di persimpangan jalan kita berpisah dan menempuh jalan yang berlawanan.
Itukah jawabannya?
Setelah berpikir keras aku memutuskan untuk mempertahankan salah satu bayi dan menyerahkan satu bayi lagi kepada orangtuamu. Kali ini aku siap berjuang dengan segala konsekuensinya.
Orangtuamu mengerti dan sama sekali gak keberatan. Mereka bahkan siap mendukungku secara finansial sampai aku bisa mandiri.
Aku yakin ini keputusan yang tepat untuk segala pihak. Pertanyaannya sekarang adalah siapa yang akan aku pertahankan dan siapa yang akan aku serahkan?
Keduanya pantas dibesarkan oleh orangtua lengkap yang menawarkan banyak kesempatan yang mungkin gak bisa aku berikan.
Keduanya juga pantas dibesarkan oleh aku, ibu kandungnya sendiri.
Siapa?
Akhirnya aku pilih kamu, Alexis.
Aku pernah baca entah di mana kalau anak laki-laki yang dibesarkan tanpa sosok seorang ayah, mereka cenderung bermasalah dan bahkan banyak yang menjadi kriminal. Benar atau enggak, aku gak mau ambil resiko.
Untuk alasan itulah aku menyerahkanmu kepada kedua orangtuamu. Aku percaya di tangan mereka kamu akan jadi anak yang mengagumkan seperti yang sering aku bayangkan.
Aku pun berjanji akan membesarkan Alexa sebaik mungkin, hingga jadi anak yang mengagumkan seperti kamu juga.
Aku gak berharap kamu ngerti, aku hanya mau kamu tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Ini juga bukan surat permintaan maaf karena biarpun aku salah, aku yakin melakukan hal yang tepat.
Dan terakhir kalau memungkinkan, aku ingin bertemu kamu kembali. Kalau gak memungkinkan, aku sangat mengerti.
Semoga kamu sukses dan bahagia selalu.
Salam untuk kedua orangtuamu.
Farah…
Ini bukan yang pertama kalinya, Alexis membaca surat dari ibu biologisnya. Namun tetap saja, setiap sel-sel dalam tubuhnya bergejolak tiap kali membaca kata demi kata dalam surat itu. Dalam surat itu ibunya bercerita apa adanya dengan bahasa alakadarnya. Dia perhatikan di bagian akhir surat, tulisan ibunya seperti agak pudar seperti habis kena cipratan air. Dia bisa bayangkan air mata ibunya jatuh saat mengakhiri tulisan dalam surat ini. Entah karena sedih atau lega.
Dia pandangi foto ibunya yang terlihat bahagia menggendong dua bayi di lengan kiri dan kanannya. Dia tidak tahu yang mana dia dan yang mana kembarannya. Dadanya kembali sesak. "Bagaimana nasib mereka sekarang?"
Adel bilang mereka sudah putus kontak sejak 7 tahun terakhir. Dan alamatnya juga sudah berubah.
Berbagai skenario muncul di kepalanya. Mulai dari ibunya kemungkinan sudah meninggal atau dia sudah menikah lagi atau dia dan kembarannya menyusul ayah biologisnya ke luar negeri?
Adel cerita kalau ayah biologisnya itu mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri dan tidak pernah kembali lagi. Tidak bisa dihubungi apalagi ditemui. Sosoknya benar-benar di telan bumi.
Alexis mencoba cari nama ibu dan kembarannya di media sosial, barangkali mereka menggunakan nama asli.
Namun semua itu sia-sia, banyak profil dengan nama Farah namun mereka bukan ibunya. Mencari kembaranya yang bernama Alexa lebih sulit lagi. Lagi pula anak remaja biasa menggunakan nama-nama aneh, jadi dia ragu kembaranya akan menggunakan nama asli.
Alexis hanya bisa menghela napas berat sambil mengacak-ngacak rambutnya sendiri, frustrasi.
Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalanya. Dia mengambil fotokopi KTP ibunya dari arsip, kemudian menghubungi nomor layanan Disdukcapil untuk meminta alamat barunya.
Sedikit mendebarkan karena dia takut ibunya sudah tidak ada di data alias sudah meninggal. Tapi ternyata ada, ibunya masih hidup.
Dia pun mencatat alamat ibunya dengan tangan gemetaran. Ternyata alamatnya masih di Bandung tapi agak jauh di wilayah kabupaten. Dengan google map dia melihat lokasi persisnya. Kalau via transportasi umum, akses tercepat menggunakan kereta api dari stasiun Bandung. Nantinya berhenti di stasiun lokal Rancajaya. Dari sana bisa naik ojek lima menitan.
Di sana dia akan melihat ibu dan kembaranya. Dadanya tiba-tiba berdebar membayangkan semuanya.
Di sekolahan Alexis banyak menghabiskan waktunya dengan melamun. Selama pelajaran berlangsung, dia membayangkan seperti apa kira-kira kembarannya di sekolahnya. Apakah bandel seperti dia? Atau pintar seperti adiknya Ezra? Pastinya dia juga duduk di bangku kelas 9.
Dengan aplikasi di ponselnya, dia coba mengubah wajahnya menjadi perempuan. Seperti inikah wajah kembarannya? Dia cekikikan sendiri. Tidak sadar suaranya terdengar seisi kelas.
"Al! Kamu ngetawain apa?"
Semua mata mengarah ke bangkunya.
"Eh.. emang kedengaran Bu?" balasnya polos. "Saya pikir tadi ketawa dalam hati.."
"Bawa ke psikiater Bu!" celetuk seseorang.
"Kali ajah kena Schizophrenia!"
"Penyakiit apaan tuh? Nular gak?" sahut yang lainnya.
"Denger-denger sih kegilaan menular lebih cepat dari virus!"
"Bahaya dong! Bu segera deportasi Al dari kelas."
Kelas pun jadi riuh riang. Alexis sendiri tertawa cengengesan.
Ibu guru menghela napas. "Udah...udah.. ngobrolnya. Al ke depan, kerjain soal yang Ibu kasih."
Tawa Alexis hilang dan raut wajahnya berubah jadi tegang. "Jem, pinjem buku lo," bisik Al.
Dengan senyum lebar, Jem menunjukkan buku catatannya yang masih kosong. "Good luck Bro!"
Sambil jalan ke depan, Alexis pun celingak celinguk mencari contekan.
Aha! katanya dalam hati saat melihat buku catatan Feli yang penuh. Tanpa basa basi langsung disambar bukunya.
Mata Feli yang bulat itu langsung melotot, kaget.
"Pinjem dulu!" Al kemudian menyalin jawaban di buku Feli ke papan tulis. "Bu udaah."
"Silakan duduk.."
Al berjalan kembali ke bangkunya di tengah-tengah dia berhenti di bangku Feli. "Makasih ya, Fel," katanya sambil senyum manis, saking manisnya Feli reflek memalingkan muka berusaha menyembunyikan wajahnya yang sedikit memerah.
Bel pulang berbunyi. Buru-buru Alexis memasukan bukunya ke tas.
"Grasak grusuk amat bro, kayak buronan!" sahut Jem.
"Gue mau ngejar kereta!"
"Kereta ? Kemana? Gila gak ngajak-ngajak!"
"Lain kali Bro, ini urusan tingkat tinggi," Alexis melirik jamnya. Dia langsung bergegas.
******
"Keretanya di jalur dua ya," kata petugas tiket.
Alexis tersenyum dan mengambil tiketnya. “Makasih Kak.”
Di jalur dua, kereta sudah nangkring dan penumpang juga sudah berdesakan di dalam, dia bahkan tidak dapat jatah kursi kosong.
Ini pertama kalinya Alexis naik kereta jadi menit-menit pertama dia habiskan melihat-lihat sekitar gerbong. Untuk sampai stasiun Rancajaya, kereta harus transit di empat stasiun lokal.
Setelah menempuh perjalanan selama 30 menit, kereta pun berhenti di stasiun Rancajaya.
Jantung Alexis tiba-tiba berdetak kencang. Belum pernah dia segugup ini. Saat final kejuaraan Sepak Bola juga tidak sampai seperti ini.
Setelah turun dari ojeg. Alexis diam terpaku di depan rumah kecil bercat hijau. Di sini mereka tinggal? tanyanya dalam hati. Jauh sekali kondisinya dengan rumahnya.
Setelah menarik napas panjang, dia pun mengetuk pintu dan begitu terbuka, matanya langsung membelalak seketika begitu pun orang yang berada di hadapannya.
Karena bukan kembar identik, wajah mereka sebenarnya tidak terlalu mirip hanya bagian mata saja yang sama persis. Dan saat keempat mata itu beradu, mereka berdua sama-sama tahu.
“Kamu…?” Alexa terlihat ragu-ragu.
Alexis mengangguk. “Hai, Alexa?”
Alexa kembali membeku.
“Ada tamu?” Farah muncul dari belakang sambil bawa satu keranjang jemuran yang langsung lepas dari tangannya begitu melihat orang yang berdiri di muka pintu.
"Hai..." Alexis kembali menyapa.
Farah menatap lekat Alexis dari ujung rambut ke ujung kaki bolak-bolak—begitu terpana melihat sosok dihadapannya. Kemudian ia mendekat, tangannya memegang kedua pipi Alexis, mencubitnya keras.
"Aww.." Alexis meringis.
“Bukan mimpi ternyata!” Farah tersenyum.
Alexis membalas senyumannya. "Apa kabar?"
Farah tidak menjawab dan langsung memeluknya tubuh anaknya yang kini jauh lebih tinggi dan besar dari dirinya. “Udah gede kamu!”
Alexis bisa merasakan bajunya tiba-tiba basah. Ia pun membalas pelukan ibunya.
******
"Mama dan Papa kamu tahu kamu ke sini?" tanya Farah sambil membawakan minum.
"Belum sempet, soalnya ini dadakan. Langsung dari sekolah."
"Naik kereta?"
Alexis menoleh ke gadis cantik berambut panjang yang duduk di sebelahnya.
"Iya," balasnya, tersenyum. Pandangannya kemudian menyapu sekeliling rumah yang terdiri dari dua kamar dan satu ruang tengah yang mungkin ukurannya lebih kecil dari kamarnya.
"Kamu udah tau siapa kita, berarti orangtua kamu udah cerita dong ya?" tanya Alexa, santai.
Alexis mengangguk dan melirik Farah. "Aku juga udah baca suratnya. Maaf lebih cepat dari yang direncanakan."
Mata Farah membesar kemudian mengangguk. “Kamu pasti belum makan ya?” Ia bangkit dan mengambil dompet. “Ya udah aku masakin dulu.”
"Beli masakan jadi ajah Ma, Alexis udah lapar berat." kata Alexa sambil kedip-kedip.
“Eh?” Alexis tertawa kemudian mengulurkan tangan. “Panggil aja aku Al.”
Alexa menyambut tangan Alexis. "Aku biasa dipanggil Exa."
Farah menghela napas panjang kemudian tersenyum. “Tinggal dulu ya.” Dia pun berjalan ke luar.
"Tau nggak, aku udah nyelametin kamu?"
"Hah?" Alexis bingung.
"Iyah nyelametin kamu dari masakan Mamaku," balas Alexa tertawa.
"Kalau gak gosong kurang garam, kadang kepedesan, kemanisan, keasinan, ada aja yang nggak beres."
Alexis hanya bisa tersenyum geli. "Kalian cuma berdua aja di rumah ini?"
"Kamu penasaran yah Mama udah nikah lagi apa belum?.
"Eh?"
"Belum kok."
"Oh...terus ehm.." Alexis bingung mengatakannya
"Papa kandung kita?"
"Luar biasa kamu bisa baca pikiran."
"Kata mama dia udah meninggal..."
"O ya?"
"Aku sendiri belum pernah ketemu. Tapi Mama cerita dia meninggal saat studi di Amerika."
"Berarti sudah lama ya..." guman Alexis.
Setelah beberapa menit mengobrol, Farah kembali masuk ke rumah dengan membawa banyak kantong kresek. Dihidangkannya ayam goreng, ikan, tumis dan buah-buahan.
"Whoa mantap! Jarang-jarang lauknya rupa-rupa kaya gini. Al sering-sering yah main ke sini yah?"
"Boleh gitu?"
"Boleh dong, rumah ini juga rumah kamu," wajah Alexa tiba-tiba berubah serius. "Kamu nganggap kita keluarga juga kan?"
"Aku boleh gitu jadi bagian dari keluarga kalian?"
"Kalau kamu gak keberatan," kata Farah tersenyum getir.
"Makasih..." balas Alexis pelan sambil melihat ke bawah.
Alexa merangkul Alexis dari samping.
"Senangnya punya kakak cowok!"
Alexis tersenyum lebar. "Kakak? Emang aku lahir duluan?"
Alexa melepaskan rangkulannya. "O iya! Habisan badan kamu jauh lebih tinggi dan besar dari aku Al… yang lahir duluan siapa Ma?"
Farah yang sedang mengisi piring-piring kosong hanya angkat bahu.
"Siapa ya? Lupa."
"Parah dia Al..."
"Ya kalian berdua kan lahir caesar. Jadi lupa siapa duluan yang diambil dokter."
Alexis dan Alexa beradu pandang kemudian tersenyum. Senyum keduanya sama persis.
Sambil menyantap makanan, Alexa dan Alexis bertukar cerita tentang kehidupan sekolah mereka.
Alexis yang bersekolah di swasta dan Alexa yang bersekolah di negeri membuat cerita mereka berwarna. Mereka sama-sama popular di sekolahnya. Bedanya, Alexa justru berprestasi di bidang akademik dan untuk kegiatan extrakulikuler dia tidak tertarik. Dari pada kumpul-kumpul dia lebih suka tidur.
"Kamu mirip sama adikku, tapi dia cowok..."
"Aah Ezra ya?. Mama kamu pernah kirim foto kalian berdua waktu masih balita," kata Farah, tersenyum. “Kehadirannya benar-benar nggak disangka-sangka. Kelas berapa dia?"
"Kelas 7.”
"Oh. cakep gak si Ezra?" tanya Alexa sambil kedip-kedipin mata.
"Lebih cakep aku sih," balasnya sambil mengusap rambutnya dengan gaya bintang iklan shampoo anti ketombe.
"Sadisss..."
Menjelang magrib, Alexis pamit pulang.
"Aku boleh minta kontak kalian?" katanya, sambil mengeluarkan ponsel dari sakunya.
Farah dan Alexa saling pandang kemudian cekikian seperti baru mendengar lelucun.
"Hapeku rusak masih di konter. Ada kali 2 minggu."
"Oh...kalau Ibu?"
Kata "ibu" meluncur begitu saja di mulut Alexis. Baginya lebih terasa natural dari pada "mama."
“Aku nggak punya hape. Udah dijual.”
Alexis terpaku beberapa detik. “Oh.”
"Aku anter kamu ke stasiun," Alexa menuntun sepeda mini berwarna kuning lemonnya.
Alexis tersenyum. "Aku di depan ya, udah lama nih nggak naik sepeda."
Mereka pun meluncur ke stasiun. Dari belakang Alexa memberi tahu jalan mana yang harus ditempuh.
Sesampainya di stasiun, Alexa tidak langsung pulang tapi menunggu hingga kereta menuju stasiun Bandung datang.
"Minggu depan aku main lagi...." Alexis melambaikan tangannya. Alexa melambaikan tangannya hingga kereta berjalan dan menatapnya lama sampai hilang dari pandangan mata.
Setelah hari itu, Alexis menemui ibu dan saudara kembarnya setiap weekend. Dengan cepat Alexis akrab dengan keduanya. Di minggu ke tiga kedatangannya, Alexis datang dengan membawa dua kotak kecil persegi panjang. Satu untuk Farah dan satu untuk Alexa. Isinya ponsel android merek asal Korea.
"Ini buat kalian, biar kita bertiga gampang komunikasinya."
Sementara Alexa langsung memainkan ponsel barunya. Farah masih belum menyentuhnya. "Mama papa kamu nggak keberatan, kamu ngabisin banyak uang untuk beli ini ?"
"Enggak, aku ‘kan belinya pake uang jajan sendiri."
Alexis tidak bilang kalau dia juga menjual iPhone-nya.
"Uang jajan bisa sampai beli 2 hape sebagus ini?"
Mata Alexa membelalak. "Ma kenapa aku aja sih yang diadopsi? Hidup senang banyak uang yeah..."
"Masih untung untuk kamu nggak ditaruh di panti.." balas Farah tertawa.
"Kamu mau gitu punya mama galak?" Alexis bertanya.
"Mamamu emang galak?"
"Iya. Aku pernah jadi tawanan rumah selama liburan sekolah. Nggak boleh kemana-mana cuma gara-gara bawa motor ke jalan raya.”
"Kapan?" tanya Farah.
"Waktu kelas 5."
Mata Farah membesar kemudian reflek mencubit-cubiti Alexis. "Itukan bahaya! Masih bocah udah berani motor-motoran. Kalau ada apa-apa gimana? kalau ketabrak gimana?”
"Ampun Bu," Alexis meringis kesakitan.
"Gak ada ampun!"
Alexa tertawa. "Masih galakkan mamaku Al."
Farah akhirnya menerima hadiah ponsel dari Alexis dengan satu catatan. Alexis harus berjanji tidak boleh memberikan barang-barang mahal lagi kepada dirinya dan Alexa. Alexis setuju dia tahu hadiah ponselnya itu pasti membuat tidak nyaman ibunya. Tapi menurutnya komunikasi diantara mereka sangat penting makanya dia nekat.
Karena masing-masing sudah ada ponsel, tiap kali Alexis mau datang, Alexa selalu menjemputnya di stasiun dengan sepedanya.
Biasanya Alexis datang sabtu pagi dan pulang ambil kereta jam 7 malam, sesekali kadang menginap.
Mereka pun semakin akrab. Berbagai kegiatan seru mereka jalani bersama. Nonton bareng, berenang, karokean atau sekedar makan bakso di pinggir jalan.
Meski begitu, Alexis harus mengakui hubungannya dengan Farah tidak seperti ibu dan anak. Mungkin seperti keponakan dan tante atau tepatnya seperti adik dan kakak yang terpaut jauh usia. Mereka bahkan berbagi rahasia tanpa sepengetahuan Alexa.
Waktu itu Alexis masuk ke rumah tapi di dalam tidak ada siapa-siapa.
Dia tahu Alexa sedang kerja kelompok tapi Farah kenapa tidak ada? Hari sabtu ‘kan dia libur kerja. Dia kemudian melihat bayangan ibunya di halaman belakang rumah. Dia pun berjalan ke sana.
“Ngapain Bu?” tanyanya.
Melihat Alexis tiba-tiba muncul, mata Farah membelalak seketika dan wajahnya mendadak pucat, reflek dia melempar rokok di tangannya. Dia masih diam membeku.
Alexis menghela napas kemudian tersenyum. Dia pun memungut rokok yang dilempar Farah di tanah.
“Ini Bu,” kata Alexis menyodorkan kembali rokok itu ke Farah. “Sayang kalau dibuang, masih utuh.”
Farah menatap Alexis lama kemudian mengambil rokok itu dan mengisapnya. “Jangan dicontoh ya!”
Farah menyandarkan punggungnya ke tembok. Asap mengepul dari mulutnya.
Alexis hanya tersenyum.
“Aku ngerokonya jarang kok Al. Kalau lagi pengen aja kayak sekarang.”
Alexis mengangguk, paham.
“Jangan bilang-bilang Alexa ya. Gini-gini, aku selalu berusaha ngasih contoh yang baik buat dia.”
“Percaya, buktinya Alexa tumbuh jadi anak baik, pintar, dan berprestasi. Sesuai harapan.”
Farah tersenyum lebar kemudian mengacak-ngacak rambut Alexis, “Kamu juga …”
“Iya gitu?” Alexis mengambil rokok di tangan Farah kemudian mengisapnya.
Mata Farah langsung membesar. “Eh ngapain tuh!” dia pun berusaha kembali merebut rokoknya. Tapi Alexis berkelit berputar-putar.
“Kecil-kecil udah berani ngerokok! Apa-apan!”
“Iya Bu, bentar satu isep lagi.”
“Gak ada!” Farah mulai mencubit-cubit Alexis dengan kedua tangannya. Alexis menyerah dan mengembalikan rokok pada ibunya.
“Mama papa kamu tahu?”
“Gila aja, aku bisa dibantai.”
Farah menghela napas. “Jangan ngecewain mereka Al.”
“Iya tenang! aku ‘kan sayang mereka. Banget."
Farah tersenyum. “Makanya jangan suka iseng.”
“Siap bos!” balas Alexis.
Farah kemudian bercerita tentang masa-masa kebersamaan dirinya dengan orangtua angkat Alexis. Kenangan manis sekaligus pahit.
Alexis mendengarkan sambil tersenyum sesekali berkomentar. Ternyata Farah banyak kemiripan dengannya.
Percakapan seru mereka mendadak berhenti saat mereka mendengar suara pintu terbuka yang disusul langkah kaki. Alexis langsung menginjak puntung rokok di tanah.
“Lagi pada ngapain di sini?” tanya Alexa, mendengus-denguskan hidungnya. “Kok bau asap?”
“Ehm itu kita habis bakar sampah,” balas Farah.
Alexa melihat ke sekeliling halaman belakang rumahnya kemudian mengernyit.
“Oh oke,” balasnya tersenyum.
Biasanya Alexa seorang diri yang mengantar Alexis ke stasiun dengan sepedanya. Namun hari itu, Farah tiba-tiba ingin ikut mengantar. Mungkin karena selama dua minggu ke depan dia tidak akan bertemu Alexis yang akan liburan sekolah bersama keluarga angkatnya. Mereka bertiga akhirnya ke stasiun dengan berjalan kaki. Jaraknya kurang lebih 30 menitan, tapi bagi mereka waktu terasa secepat kilat.
"Met liburan Al. Hati-hati..." Farah merangkulnya erat kemudian mengusap-ngusap rambutnya.
"Nanti update yah liburannya. Jangan lupa kirim foto!" kata Alexa dengan mata berkaca-kaca. Aneh biasanya tidak begini, pikirnya. Kenapa rasanya seperti mereka tidak akan bertemu lagi? Alexa pun memeluk kembarannya dengan erat.
Alexis tersenyum, mata dia pun berkaca-kaca padahal biasanya tidak. "Kalian jaga diri baik-baik."
Ini nggak ada tombol reply ya?
Comment on chapter Bab 6@Juliartidewi, makasih kak atas masukannya, nanti direvisi pas masa lombanya selesai. Thank youu...