Saat memasuki kelas, Julie merasakan ada sesuatu yang aneh. Hari ini suasananya terasa berbeda, seperti ada ketegangan mengudara.
Julie melihat beberapa teman sekelasnya sedang berkerumun dengan wajah serius sambil menggunjingkan sesuatu. Karena keras, suara mereka terdengar jelas.
“Beneran nggak nyangka…”
“Kasian lulus SMP aja belum…”
“Padahal minggu kemarin, kita masih bisa liat kehebatannya main basket.”
Perlahan Julie duduk di bangkunya. Jantungnya tiba-tiba berdebar kemudian mendadak merasa berhenti saat mereka menyebut nama ‘Kio’.
“Nggak nyangka dia meninggal secepat itu.”
Kio? Meninggal?
Julie menghampiri Irgie yang sibuk mengetik di ponselnya dengan raut wajah syok.
“Apa benar pemain nomor 7 itu meninggal?”
“Benar Jul. Kecelakaan tadi malam,” balasnya sedikit gemetar. “Hape aku baru nyala, jadi baru tahu.”
Jujur Julie merasa kepalanya seperti dihantam batu raksasa. Seminggu yang lalu, anak itu lolos dari maut, sekarang maut kembali menghampirinya? Dan berhasil menggapainya?
“Ayo Gie!” seseorang bertubuh tinggi tiba-tiba menghampiri Irgie. “Yang lain udah pada di sana.”
Irgie langsung mengenakan tasnya. “Duluan ya.”
Julie terhenyak. “Aku ikut!”
Irgie tertegun menatap Julie sekitar dua detik kemudian berkata, “boleh.”
“Sama! Ikut!" Ezra tiba-tiba menepuk pundak Irgie.
“Lo juga Zy?” Irgie kembali tertegun sepersekian detik. "Ya udah ayo!"
Rute dari sekolah ke rumah Kio cukup simple. Hanya sekali naik angkot selama lima menitan. Setelah itu, jalan sedikit.
Di rumah Kio sudah banyak pelayat berdatangan termasuk yang berseragam sekolah. Beberapa berkerumun di halaman depan rumahnya yang luas.
Begitu masuk rumah, pandangan Julie langsung terpaku pada jasad yang terbaring di tengah ruangan, tertutupi kain. Bersama Irgie, Julie mendekat dan duduk.
Saat membuka kain yang menutupi wajah Kio, Irgie terlihat syok berat seperti habis terkena goncangan besar.
Julie sendiri merasakan hal yang sama meski tanpa air mata dan mungkin dengan alasan yang sedikit berbeda. Pemain nomor 7 itu benar-benar meninggal. Ini nyata terpampang di depan matanya. Kontraknya dengan kematian tidak bisa dibatalkan. Maut sudah dijadwalkan untuk menjemputnya di usianya yang sekarang.
Lantas yang kemarin itu apa?
Kenapa Julie mendapatkan penglihatan tentang kematiannya dengan begitu jelas dan detail. Bukankah itu undangan untuk intervensi? Bukankah itu ajakan untuk beraksi? Untuk mencegahnya?
Memang betul Julie berhasil mencegahnya pada hari itu. Penusukan tidak terjadi tetapi kematian tetap terjadi pada hari ini, hanya berselang tujuh hari.
Intervensi yang semula ia pikir sukses besar ternyata tidak berarti apa-apa. Hanya omong kosong belaka! Kio tetap mati. Tidak ada perubahan. Semua sia-sia!
Belakangan ini Julie terlena dengan imajinasinya sendiri bahwa dia bisa menyelamatkan orang lain, bahwa kemampuannya yang 'unik' itu ada gunanya.
Ternyata dia salah! Salah besar!
Hari ini kenyataan menyadarkannya dengan cara yang brutal. Dia yang tidak siap akhirnya jadi sedikit terguncang.
Julie bangkit dan keluar. Pandangannya menyapu ke seluruh halaman rumah Kio yang luas bagaikan taman. Orang yang dia cari sedang duduk di bangku di bawah pohon kecil di kelilingi tanaman, terpisah dari kerumunan orang.
Julie duduk di sampingnya, kepalanya tertunduk lesu hingga rambut panjangnya ikut terjatuh menutupi ke dua sisi wajahnya.
Ezra melirik orang di sampingnya. “Kamu keliatan suram. Paling suram kayaknya di sini. Padahal kenal juga enggak sama yang meninggal.
Julie mengangkat kepalanya, menyandarkan punggungnya. “Aku pikir intervensi kita sukses total ternyata yang kemarin itu sia-sia,” Julie mulai berbicara, lebih kepada dirinya daripada orang di sebelahnya. “Pada akhirnya anak itu tetap meninggal. Padahal aku sempat terhibur bisa menyelamatkan seseorang. Kemampuan anehku ternyata ada gunanya,” ia tersenyum pahit, “tapi semua itu hanya ilusi, aku benar-benar seperti dikerjai.”
“Oleh?”
“Kematian. Aku begitu bodoh dan sombong sampai berpikir telah berhasil melawannya.”
Ezra menoleh ke samping, menatap Julie yang sedang menerawang jauh ke depan.
“Pada dasarnya kemampuanku melihat masa depan, cuplikan-cuplikan kematian itu nggak lebih dari film horror yang fungsinya cuma meneror. Gak berguna sama sekali.”
“Bagian yang kamu bilang sombong, aku setuju,” kata Ezra. “Tapi yang kemarin itu nggak sia-sia. Ada orang yang kita selamatkan."
Julie mengernyitkan keningnya. Hanya ada dua aktor utama dalam perhelatan di gedung olahraga kemarin. “Oh maksud kamu—?”
“Kamu ingat ‘kan kata-kata terakhirnya?”
Berkat kalian aku selamat…
“Menyelamatkan dari?” tanya Julie. Alfa sama sekali tidak diincar oleh kematian. Justru dia penyebabnya—pembawa kematian.
“Dari konsekuensi menghilangkan nyawa seseorang di luar kesadarannya. Kamu bisa lihat jelas anak itu…” berhenti sejenak mencari kata yang enak diucapkan maupun didengar, “punya isu tersendiri yang mungkin kita nggak paham.”
“Hmm…”
“Menurutku kamu terlalu fokus pada yang mati sampai lupa sama yang hidup. Mungkin dari awal bukan itu tujuan kamu mendapat penglihatan-penglihatan itu. Bukan menyelamatkan yang akan mati tapi yang masih hidup.”
Julie menyipitkan matanya. Yang dikatakan orang di sebelahnya merupakan konsep baru baginya. Belum pernah terlintas di kepalanya yang mungkin sudah terlampau kusut.
“Nasib Kio nggak berubah, nggak ada perbedaan. Tapi mungkin kita bikin perbedaan besar bagi nasib si Alfa itu.”
Julie merasa kepalanya yang tadi berat berangsur ringan. Matahari pagi mulai menyinari wajahnya, terasa hangat.
“Mungkin,” kata Julie, masih sedikit ragu.
“Yang barusan Ezra bilang bener kok, Julie,” kata seseorang, tiba-tiba tanpa aling-aling. “100 persen akurat!”
Ezra dan Julie sontak menoleh ke belakang.
“Alfa?”
Mereka berdua langsung berdiri berhadap-hadapan dengannya. Julie tak menyangka bisa bertemu sosok itu. Di sini. Di hari kematian Kio.
“Maaf tadi aku nggak sengaja denger obrolan kalian.”
“Kamu ke sini melayat?” tanya Julie. Seingatnya, Alfa sama sekali tak mengenal Kio.
“Nganter temen. Beberapa pemain basket Paradisia juga ke sini untuk belasungkawa. Aku juga ada alasan pribadi ke sini, mungkin sama kayak kalian.”
Julie menatap tajam Alfa. “Kamu tadi denger apa saja?”
“Semuanya.”
“Berarti sengaja nguping,” timpal Ezra.
“Awalnya nggak sengaja. Pas lihat kalian aku mau nyamperin terus diem karena nggak mau ganggu obrolan seru kalian,” Alfa tersenyum, “kecurigaanku selama ini terbukti."
Cowok itu maju selangkah melihat ke kiri dan ke kanan. “Dari awal kalian tahu aku nargetin Kio yah?” katanya pelan. “Dan kalian berusaha mencegahnya bukan karena kebetulan semata tapi terencana?”
“Yap!” balas Ezra. Ia menunjuk Julie di sampingnya dengan jempol. “Dia lihat betapa brutalnya kamu nusuk orang pake gunting.”
“Tepat di dada, menembus angka nomor 7 di seragamnya. Satu lagi tepat menembus jantungnya," terang Julie dengan minim ekspresi.
Raut wajah Alfa yang langsung mengeras disertai rona merah. Dia tertegun kaku.
"Tapi itu hanya ilusi karena faktanya itu nggak terjadi,” Julie meralat.
“Berkat kalian,” Alfa tersenyum, wajahnya kembali hangat. “Kalau itu terjadi entah bagaimana hidupku ke depannya. Mungkin bisa lebih ngeri dari kematian.” Alfa menatap lurus Julie. “Jadi jangan bilang yang kemarin itu sia-sia atau kemampuan supranaturalmu nggak berguna.”
Julie tersenyum getir mendengar kata “supranatural.” Dia belum merasa nyaman dengan istilah itu.
“Itu aja,” Alfa balik badan dan mulai melangkah.
“Tunggu…”
Alfa menoleh.
“Tentang…” Julie tiba-tiba bingung menjelaskannya.
“Tenang aja, aku nggak akan bilang siapa-siapa,” balas Alfa seolah tahu apa yang akan diutarakan Julie.
“Aku sendiri banyak rahasia.”
“Terima kasih.”
Alfa hanya membalas dengan senyuman dan kembali melanjutkan langkah menghampiri teman-temannya.
Julie pun bangkit. Ia lihat jenazah Kio sudah dimasukan ke dalam keranda untuk dikuburkan. Tangis keluarga dan teman-temannya mengiringinya. Irgie yang biasa ceria terlihat suram dan kacau. Sungguh pemandangan yang memilukan.
“Kamu mau pulang atau balik ke sekolah?” tanya Ezra
“Pulang.”
“Sama.”
Mereka berdua berjalan ke luar gerbang menuju jalan raya. Begitu tiba, Julie diam sementara Ezra menyebrang. Tak lama kemudian dua angkot berlawanan arah berhenti di hadapan masing-masing. Tanpa basa-basi, mereka pun naik melaju ke rumah masing-masing.
*****
Di dalam kamarnya, Julie membuka kembali buku catatan bersampul biru tuanya. Banyak yang harus dia ralat. Sesekali dia melihat ke luar jendela, berusaha membebaskan pikirannya. Mungkin benar selama ini dia fokus pada hal yang salah?
Julie mengambil ponsel di atas meja kemudian membuat panggilan. Ada sesuatu yang harus dia katakan pada Ezra. Niatnya mau tadi pagi di sekolah. Namun berita kematian Kio membuat hal itu luput dari kepalanya.
Beberapa saat kemudian panggilan terhubung.
"Halo?" suara dari balik telepon terdengar.
"Kemarin aku lupa bilang sesuatu," Julie langsung memulai. "Entah ini bisa bantu atau enggak. Sebelum cuplikan di stasiun, aku lihat kakakmu menyelipkan sebuah surat di buku Harry Potte-rnya."
"Surat?"
"Ya."
Julie menutup teleponnya dan kembali menulis di buku catatannya.
Di tempat lain, Ezra bangun dari tempat tidurnya dengan setengah sadar. Dia sedikit kesal tidur siangnya terganggu oleh suara ponselnya yang berdering.
Dia mengingat-ngingat pesan Julie barusan di telepon. "Surat? buku Harry Potter?"
Sebenarnya dia mau bertanya buku Harry Potter yang mana 'kan ada tujuh tapi anak itu langsung menutup teleponnya.
Ezra masuk ke kamar kakaknya dan berjalan menuju rak buku yang berada di ujung dekat jendela. Di antara deretan buku Harry Potter matanya seperti terfokus pada jilid dengan judul Deathly Hallows. Dan benar di dalamnya terselip sebuah surat dan juga sebuah foto. Dahinya mengerut melihat foto yang tak dikenalnya. Dia buka lipatan surat itu dan perlahan matanya membelalak, tak percaya dengan yang ia baca.
Ini nggak ada tombol reply ya?
Comment on chapter Bab 6@Juliartidewi, makasih kak atas masukannya, nanti direvisi pas masa lombanya selesai. Thank youu...