Loading...
Logo TinLit
Read Story - Premonition
MENU
About Us  

Julie kurang begitu menyenangi pelajaran olahraga. Baginya, olahraga terlalu boros energi, banyak kehebohan dan berisik. Dia lebih suka duduk santai di kelas. Karena itulah, dia terkadang iri melihat Ezra yang tidak pernah ikut pelajaran olahraga. Biasanya dia diam di kelas atau ikut ke lapangan sebagai pencatat seperti hari ini. Ia sudah nangkring di pinggir bersama Pak Toni dengan membawa Clipboard dan pulpen.

Untuk minggu ini, Julie sedikit bisa bernapas lega karena materi yang diajarkan merupakan permainan bola basket yang berarti dilakukan di dalam gedung olahraga. Minggu kemarin cukup menguras energi karena dia harus berlari keliling lapangan sepak bola di bawah terik matahari.

Julie terkadang heran atau mungkin takjub dengan sebagian besar teman-teman sekelasnya yang biarpun harus berolahraga di jam terakhir, di bawah terik matahari, namun energi dan semangat mereka masih berapi-api. Kebalikan dari dirinya.

Sebelum dimulai, Pak Toni meminta para murid untuk lari beberapa keliling untuk pemanasan.

Julie menarik napas panjang, mengumpulkan kekuatan kemudian mulai berlari. Baru juga beberapa detik berlari, sesuatu yang aneh terjadi. Ia mendengar gemuruh sorak-sorai dari kursi penonton yang tiba-tiba dipadati orang-orang berseragam sekolah. Dia langsung berhenti berlari  dan suara riuh itu sirna seketika dan kursi penonton kembali kosong. Suasana kembali normal!

Apa dia berhalusinasi?

Julie berlari kembali dan penampakan yang sama kembali lagi dan saat dia berhenti, penglihatannya kembali normal.

Keringat dingin mulai membanjiri tubuhnya. Jangan-jangan ini?

Penasaran, Julie berlari kembali dan berjanji tidak akan berhenti sampai tahu apa yang terjadi. 

Sorak sorai anak-anak berseragam sekolah kembali memadati bangku penonton. Di sayap kanan didominasi oleh seragam sekolahnya sementara di sayap kiri oleh seragam sekolah lain.

Julie terus berlari, kali ini muncul dua tim bola basket ke tengah lapangan yang sedang sengit bertanding. Ada wajah yang dia kenal, Irgie si ketua kelas yang sedang men-drible bola dan dengan cepat mengopernya ke pemain dengan seragam nomor 7. Dengan elegan, pemain itu melempar ke keranjang dan masuk.

Sorakan dari sayap kanan semakin membahana. Papan skor menunjukkan angka Maristela 64 - Paradisia 62.

Dalam hati Julie bertanya-tanya, kenapa dia disuguhi penampakan pertandingan bola basket. Dia tidak suka menonton pertandingan olahraga apa pun itu. Momen selanjutnya dia langsung mendapatkan jawabannya saat seseorang dari pendukung sekolah lawanㅡSMP Paradisia melempar botol minuman ke bangku penonton sekolahnyaㅡSMP Maristela.  Aksi saling lembar pun terjadi, ada yang pakai botol ada juga yang pakai sepatu. Eskalasi pun terjadi saat beberapa penonton mulai turun ke lapangan dan saling serang. Dan dengan secepat kilat suasana jadi kacau balau. Para pemain dari kedua belah pihak berusaha melerai kerusuhan dan menghimbau agar pendukung-pendukungnya kembali duduk di kursi.

Namun tak di sangka, salah satu murid SMP Paradisia diam-diam menyelinap di antara kerumunan dan menusuk salah satu pemain Nomor 7 Maristela dengan gunting di bagian tengah dadanya menembus angka 7 di seragamnya. Pemain itu ambruk dan darah merah merembes di seragam basketnya. Secepat kilat, siswa Paradisia itu kemudian menusuknya kembali tepat di bagian jantung.

Syok, Julie mengerem kakinya mendadak sampai-sampai tubuhnya tersungkur ke lantai.

Pak Toni dan teman-teman sekalasnya langsung mengarahkan pandangan kepadanya. Dengan cepat dia bangkit dan berlari kembali namun penampakan itu tidak muncul lagi. Dia melihat ke sekeliling dengan wajah horror dan napas tersenggal-senggal.

Teman-teman sekelasnya menatapnya dengan aneh. Beberapa berbisik-bisik.

Pak Toni langsung menghampirinya. “Kamu sakit?” Ia memperhatikan wajah Julie yang pucat pasi disertai bulir-bulir keringat dingin. “Sebaiknya kamu istirahat aja di ruang UKS.”

Julie tidak langsung merespon karena masih syok dengan apa yang barusan dilihatnya. Tapi beberapa saat kemudian dia menghela napas dan menjawab pelan. “Saya nggak kenapa-napa.”

Pak Toni menggeleng kemudian melirik Ezra. “Ezra tolong antar Julia ke UKS.”

Ezra mengangguk dan menaruh clipboard-nya di kursi kemudian menghampiri Julie. Dengan raut wajah yang masih pucat pasi, Julie berjalan ke luar gedung olahraga. Ezra mengikutinya dari belakang. Tapi Julie tidak berjalan ke ruang UKS melainkan ke ruang kelas. Dia duduk di bangkunya, menyandarkan kepalanya ke telapak tangannya, frustrasi.

Suasana hening karena kelas dalam keadaan kosong. Lagi-lagi dia mendapat cuplikan masa depan. Seseorang tertusuk!
Apakah orang itu akan mati? Kemungkinan besar!

Dan lagi-lagi penampakannya begitu eksplisit seperti kecelakaan beruntun itu. Haruskah Julie melakukan sesuatu? Mengintervensi?
Memikirkan itu, Julie menggigil sendiri. Siapa dirinya sampai-sampai bermain-main dengan hidup mati seseorang?
Tapi kalau dibiarkan anak itu…

“Kamu nggak akan ke UKS?” tanya Ezra, membuyarkan lamunan Julie.

Julie menjawab dengan gelengan, pandangan masih menerawang ke tempat lain.

“Oh,” balas Ezra singkat kemudian dia berjalan ke bangkunya sendiri.

Kelas kembali hening. Tak ada satu pun suara yang keluar dari mulut mereka.

“Kapan sekolah kita ada pertandingan basket lawan SMP Paradisia?” tanya Julie tiba-tiba memecah keheningan. Karena sepi, suara Julie yang pelan terdengar jelas ke barisan bangku sebrang.Dari bangkunya Ezra mengernyitkan dahinya kemudian memutar tubuhnya, menghadap ke bangku Julie. “Nanti sore. Irgie bilang cuma pertandingan persahabatan.”

“Sebanyak itu penontonnya cuma pertandingan persahabatan?” tanya Julie menggeleng tak percaya.

Ezra menyipitkan kedua matanya. “Sudah kuduga, kamu benar-benar bisa lihat masa depan? Gara-gara itu kamu pucat tadi?” Ezra kemudian bangkit dari bangkunya dan duduk di bangku depan Julie yang kosong. “Kamu lihat apa?”

Julie menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. “Akan ada kerusuhan.”

“Oh.” Ezra berpikir sebentar. “Tim basket sekolah ini dan sekolah itu emang musuh bebuyutan sejak zaman kapan. Jadi wajar kalau banyak yang nonton dari kedua kubu. Chaos emang nggak bisa dihindarin.”

“Kamu tahu banyak.”

“Denger ocehan Irgie, sepupu. Dia ‘kan salah satu pemain top di sekolah ini,” Ezra sedikit tersenyum.

“Oh. Kalau begitu kamu harus suruh sepupumu itu jangan berpartisipasi.”

“Kenapa? Dia bisa jaga diri. Lagian serusuh-rusuhnya bocah SMP nggak akan sampai bunuh-bunuhan.”

Julie tertegun menatap tajam Ezra. “Yakin?”

“Kenapa? Jangan bilang—"

“Ada yang tertusuk.”

Raut wajah Ezra sedikit menegang. “Siapa?”

“Salah satu pemain Maristela, nomor seragamnya 7. Penampakan yang kulihat berhenti sampai orang itu tertusuk. Setelahnya aku nggak tahu. Bisa jadi konflik semakin memanas dan mereka saling—” Julie tidak ingin melanjutkan kalimatnya. “Yang bisa aku bilang sepupumu belum tentu aman.”

“Ini nggak bisa dibiarin.”

Julie tersenyum sinis. “Kamu mau intervensi?”

“Iya,” jawab Ezra mantap, seolah lupa kritikannya terhadap Julie tempo hari.

“Kamu nggak takut ikut campur sama hidup-mati seseorang?”

“Gak kalau itu hidup-mati sepupu sendiri.”

“Tapi belum tentu sepupumu terancam. Bisa saja setelah penusukan, si penusuk langsung diamankan dan konflik berhenti di situ.”

Ezra tertegun, berpikir. “Kita tetap intervensi.”

“Hmm…”

“Coba kasih tahu aku detail-nya.”

Julie menceritakan penampakan yang dia lihat dengan datar seperti menceritakan rutinitas sehari-sehari yang membosankan.

“Oh jadi pake gunting.”

Julie mengangguk. “Kalau pun lapor guru. Aku nggak yakin mereka mau merazia semua penonton hanya karena sebuah gunting. Apalagi sekolah itu aku dengar reputasinya bagus.”

“Kamu bener-bener nggak lihat wajahnya?”

“Nggak sempat,” balas Julie. Tubuhnya membeku begitu melihat gunting tertancap di dada pemain nomor 7. Julie hanya melihat sosok si penusuk sekilas dari belakang. “Tapi anak laki-laki.”

Ezra mengangguk. “Kita harus lumpuhkan orang itu sebelum bertindak.”

“Kita?”

Ezra mengangguk. “Emangnya kamu punya teman lain yang bisa dimintai bantuan?”

“Nggak ada.”

“Sama.”

“Kenapa nggak minta sepupumu buat batalin pertandingan?” kata Julie. Dengan begitu dirinya tidak harus repot-repot menghadapi kericuhan ini.

“Mendadak begini? Harus ada alasan yang masuk akal. Lagi pula, Irgie pasti totalitas. Tema pertandingan ini ‘kan perpisahan untuk kelas 9.”

“Oh,” kata Julie kecewa. “Kamu punya rencana?”

“Simpel. Bekukan orang itu sebelum dia ngapa-ngapain. Fokus kita ke dia sambil pantau provokator-provokator lain.”

Julie memperhatikan Ezra dengan seksama. Matanya yang tajam dan alisnya yang lumayan tebal cukup mengintimidasi tapi melihat tubuhnya yang kurus, dia tidak yakin dia bisa membekukan siapa pun.

“Pasti merepotkan,” Julie menghela napas.

“Betul,” Ezra bangkit kemudian berjalan ke luar.

Beberapa saat kemudian teman-teman sekelas Julie mulai berdatangan. Mereka tidak langsung pulang karena mau menonton pertandingan yang sudah tidak sabar mereka saksikan.
                                 *****

Setelah mengganti baju olahraga dengan seragam, Julie berjalan menuju gedung olahraga. Pertandingan masih dua jam lagi, tapi dia ingin datang lebih awal supaya bisa menyegarkan kembali cuplikan yang dia lihat. Semakin banyak petunjuk semakin bagus.

Saat tiba, gedung olahraga masih kosong melompong. Hanya ada Ezra yang duduk di kursi penonton paling atas sayap kiri.

“Baru aja mau aku kontak,” kata Ezra sambil memasukan ponsel ke sakunya.

“Tahu nomornya?” Julie meniti anak tangga dan duduk di kursi sejajar dengan Ezra. Terdapat dua kursi kosong yang memisahkan mereka.

“Ada di grup kelas.”

“Oh.”

Ezra mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah botol spray. Ia serahkan ke Julie. “Buat jaga-jaga.”

Julie perhatikan botol tersebut kemudian membaca label yang menempelnya. “Hand Sanitizer?

“Aku campurin bubuk cabe dan minyak,” Ezra tersenyum geli, “Pepper Spray buatan.”

Julie mengangkat kedua alisnya, menatap botol spray itu dengan ragu. Setahunya kandungan alkohol dalam Hand Sanitizer paling tinggi juga 75 %. Penasaran, dia kocok-kocok kemudian semprotkan sedikit ke arah Ezra.

Seketika Ezra kelabakan menahan pedih di matanya yang mulai berair. Dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak meringgis.

“Oh lumayan efektif ternyata,” kata Julie tanpa ekspresi.

Setelah beberapa menit, pedih di mata Ezra berangsur hilang. “Mantapkan produknya?” tanyanya sedikit kesal.

“Lulus uji klinis,” balas Julie santai. Tapi dia heran kenapa pepper spray abal-abalnya cuma ada satu. “Kamu nggak butuh ini juga?”

“Nggak,” balas Ezra sambil melihat ke setiap sudut gedung olahraga. “Coba kamu ceritain lagi kronologis penampakan yang kamu lihat? Aku mau tahu di mana titik-titik rawannya.”

Julie bangkit dan berjalan ke bagian tengah lantai gedung, kemudian memejamkan mata berusaha memvisualisasikan kembali penampakan itu. Beberapa saat kemudian ia membuka mata dan melihat ke seluruh ruangan.

“Gimana?” Ezra tiba-tiba ada di hadapannya.

Julie menghela napas panjang. Cukup merepotkan baginya harus menceritakan ulang. Tapi apa boleh buat.

“Pemain bernomor 7 itu tertusuk di sini,” Julie menunjuk spot di dalam area garis putih melengkung dekat ring. “Karena pelaku memakai seragam Paradisia, kemungkinan ia datang dari sayap kiri.”

Ezra mengangguk. “Dan puncak kerusuhan terjadi saat skor 62-64?”

“Ya.”

“Kalau bisa kamu ingat-ingat sosok orang itu. Kamu nanti duduk di sayap kanan, awasi penonton dari depan. Nanti langsung kontak aku kalau ada yang mencurigakan.”

“Kamu di sayap kiri bersama suporter lawan?”

Ezra mengangguk. “Aku awasi dari bangku paling belakang. Lebih cepat mendeteksi target lebih baik.”

Julie melirik jam di tangannya. Satu jam lagi.
 
                                       ****

Gerombolan demi gerombolan anak berseragam Maristela dan Paradisia mulai memasuki gedung. Beberapa membawa botol minuman yang diisi kerikil. Meriah sekali seolah-olah pertandingan persahabatan ini sebuah final kejuaraan.

Kedua tim mulai memasuki lapangan untuk melakukan pemanasan.

Seragam Maristela berwarna putih polet merah sedangkan Paradisia berwarna ungu polet kuning.

Perhatian Julie langsung fokus ke pemain nomor 7 Maristela. Orang asing yang tidak dikenalnya, bukan siapa-siapa tapi lihatlah dia di sini dalam misi untuk menyelamatkannya. Benar-benar surreal.

Namanya Kio dari kelas 9C. Julie dengar ini dari beberapa anak perempuan di barisan depannya yang bergosip. Meski tubuhnya paling pendek dibanding pemain satu timnya, di pertandingan ini, ia kaptennya. Ia paling ceria dan banyak tertawa, tidak sadar kalau kematian sedang mengintainya. Dan dia juga terlihat akrab sekali dengan Irgie. Entah bagaimana reaksi Irgie kalau dia melihat temannya itu tertusuk di depan matanya. Julie enggan membayangkannya.

Pertandingan dimulai, kedua tim mengerahkan seluruh kekuatan.
Mereka kuat, lincah, dan terampil. Julie cukup terkesima dengan permainan mereka yang elegan. Meski dia sebenarnya tidak terlalu paham dengan aturan permainannya.
Kio si nomor 7 yang pertama mencetak angka—3 poin. Penonton langsung bersorak ria seraya menyebut namanya. Rupanya anak itu lumayan popular, kalau penusukan terjadi, bukan Irgie saja yang syok, satu sekolah bisa geger.

Perhatian Julie beralih ke bangku penonton Paradisia. Dia tidak mendeteksi gerak-gerik mencurigakan. Mungkin karena jarak yang cukup lebar, tidak semua terjangkau penglihatannya. Dia mencoba menggunakan kamera ponselnya dengan 10 kali pembesaran seolah-olah itu teropong, menyapu dari kiri ke kanan. Lumayan!

Dia mulai menandai orang-orang yang membawa botol minuman terutama anak laki-laki. Salah satu dari mereka akan jadi pemicu kerusuhan terjadi. Bisa jadi Si Penusuk atau teman komplotannya.

Julie melirik Ezra yang duduk di barisan paling belakang. Ia pun tampak fokus memantau orang-orang di sekelilingnya. Lewat WhatsApp, Julie mengirimkan “titik-titik rawan” kepadanya.

Menurut Ezra semakin dini mendeteksi calon si penusuk semakin baik..Tapi kalau sampai kerusuhan dimulai, mereka belum bisa mendeteksinya, maka mereka harus secepat mungkin “mengamankan” si nomor 7 supaya penusukan itu tidak terjadi.

Tetapi menurut Julie, skenario itu bisa berhasil kalau si penusuk memiliki motif khusus. Kalau dia menusuk karena impulse semata, maka targetnya bisa siapa saja. Kalau si nomor 7 luput dari pandangan matanya, dia bisa menusuk yang lainnya termasuk dirinya?

Julie tersenyum getir. Dia tidak menyangka misi ini bisa lebih berbahaya dari yang dia kira.

Waktu istirahat ditutup oleh tembakan 2 poin dari tim Paradisia, skor mereka menjadi 62, memimpin 5 poin dari Maristela.

Julie menelan ludahnya melihat angka-angka di papan skor. Untuk menurunkan ketegangan, dia memutuskan untuk ke toilet dulu. Dia tegang bukan karena skor sekolahnya di bawah Paradisia. Tetapi momen skor mencapai 62(P)—64(M) dipastikan akan terjadi di babak selanjutnya. Tinggal selangkah lagi menuju kerusuhan.

Saat berjalan menuju toilet, mata Julie fokus ke layar ponselnya. Alhasil dia menabrak seseorang di hadapannya yang juga perhatiannya tidak fokus ke depan. Tubrukannya cukup mengagetkan sampai-sampai ponsel Julie terjatuh ke lantai.
Dengan cepat orang itu mengambil ponsel yang terjatuh.

Pandangan Julie sama sekali tidak terfokus pada ponselnya tapi pada pergelangan tangan kiri orang itu yang tertutupi plester.

“Maaf, aku tadi nggak fokus,” kata orang itu, tersenyum.

“Sama,” balas Julie. Ia mengambil ponselnya dari tangan orang itu dan menatap wajahnya lama. Matanya besar agak kecoklatan dan bagian rambut depannya menutupi hampir seluruh keningnya.

“Makasih.”

Orang itu kemudian meneruskan langkahnya. Baru dua langkah ia berhenti mendadak seolah ada yang terlupa. Buru-buru orang itu mengambil jam yang berada di sakunya dan memasangkannya di tangan kirinya.

Dari belakang, Julie terus memperhatikan orang itu. Dia merasa sosok itu tidak asing. Dia seperti pernah merasakan kehadirannya. Jangan-jangan?

“Dia orangnya?” tanya Ezra, tahu-tahu sudah di samping Julie.

“Kemungkinan.”

“Dia kelihatan normal. Dari tadi aku nandain wajah preman atau psikopat,” Ezra tersenyum sendiri, “kamu yakin dia orangnya?”

Julie mengangkat bahu. “Cuma firasat.”

“Tapi firasatmu selalu bener ‘kan?”

Julie tidak berkomentar.

“Aku harus awasi dia segera,” kata Ezra langsung bergegas.

Julie menghela napas kemudian ikut bergegas.

Begitu duduk, fokus Julie langsung ke orang yang bertabrakan dengannya tadi. Dia duduk di kursi barisan ke-4 dari depan. Di barisan belakangnya, tiga kursi ke kiri, Ezra sudah duduk manis, menatap waspada orang itu.
Ponsel Julie bergetar kembali. Pandangannya pun beralih ke layar ponselnya. Sebuah pesan muncul.

                              Namanya Alfa.

Pandangan Julie kembali ke Alfa yang sedang asyik bercanda dengan teman-temannya. Sosoknya cukup ceria. Bahkan dari tempat duduknya, Julie bisa melihat aura positif terpancar di wajahnya. Kalau dia benar-benar si calon penusuk, pandai sekali dia menyembunyikan sisi gelapnya.

Waktu istirahat sudah usai, kedua tim sudah siap bertarung kembali. Dengan cepat Maristela menyusul. Tembakan dua poin berturut-turut. Satu dari Irgie dan satu lagi dari pemain bernomor 11. Selisih tinggal satu poin lagi.

Penonton kubu Maristela langsung heboh, mereka bertepuk tangan, bersorak, dan menghentakkan kaki dengan serentak. Hanya Julie yang diam memandangi papan nilai.

Menit-menit selanjutnya, Paradisia berusaha memperlebar selisih, dengan gesit mereka menggiring bola, menembus benteng pertahanan lawan, namun saat menembak, bola tidak masuk keranjang. Penonton kubu Paradisia kecewa sementara penonton kubu Maristela mencemooh mereka dengan teriakan “huuuu” sambil memasang jempol ke bawah.

Bola yang tidak masuk memantul dan berhasil direbut oleh Irgie, dengan cepat ia mengoper bola ke pemain nomor 7. Di tangannya bola langsung dilempar ke keranjang dan masuk. 3 poin untuk Maristela.
Skor menjadi 62 (P) : 64 (M).

Penonton kubu Maristela histeris. Sorakan begitu menggelegar. Tak henti-hentinya mereka meneriaki  Kio si nomor 7.

Paradisia semakin memanas. Mereka berusaha melakukan serangan balasan. Namun sekali lagi bola gagal masuk keranjang.

Kubu Maristela kembali melemparkan cemoohan dengan teriakan “huuuu!” sambil mengacungkan jempol ke bawah. Sebagian lagi berteriak. “Pulang! pulang!’

Kubu penonton Paradisia muak dengan sikap belagu kubu Maristela, hingga akhirnya seseorang melempar botol air mineral yang masih berisi ke arah mereka dan mengenai wajah seseorang. Mereka tertawa puas. Kembali mereka melempari botol minuman.

Kubu Maristela tak terima, mereka pun mulai melempari balik dengan botol minuman, bahkan sepatu pun ikut mereka layangkan.

Aksi saling lempar pun terjadi. Alhasil pertandingan basket ini seolah berubah jadi adu lempar lembing dan penontonnya justru yang berada di tengah lapangan.

Kedua pelatih dan para pemain basket panik dan menghimbau kubu pendukung masing-masing untuk tenang dan duduk kembali. Namun, tentu saja tidak diindahkan karena kedua kubu sedang fokus “bertanding”. Bukannya berhenti malah semakin menjadi. Mereka bahkan ikut melempari para pemain.
Baik pelatih Maristela maupun Paradisia langsung menyuruh para pemain basket untuk mundur menghindari pertikaian.
Karena jika mereka terlibat perkelahian, mereka bisa dikeluarkan dari tim, atau lebih buruk klub basket mereka bisa dibekukan oleh sekolah masing-masing.

Tak lama, beberapa anak laki-laki dari kedua kubu mulai turun ke lapangan dan seketika arena basket itu beralih fungsi menjadi arena gulat dengan mereka saling baku hantam.
Beberapa anak perempuan ada yang menjerit, sebagian lagi malah live streaming di media sosial masing-masing.

Setelah membaca pesan dari Ezra, Julie pun bangkit dari kursinya. Sebelum menuruni anak tangga, dia membuka resleting tas selendangnya yang berisi pepper spray buatan, siap menggunakannya apabila diperlukan.

Perhatian Julie masih terfokus pada pemain nomor 7 yang sama dengan pemain-pemain lainnya hanya bisa pasrah menjadi penonton. Dia tidak akan menyadari kalau akan ada seseorang yang diam-diam menyelinap dan menusuk dadanya.

Julie harus menyadarkannya! Harus membuatnya waspada!

Sementara itu, Ezra dari tadi fokus memantau Alfa. Orang yang dia yakini sebagai calon penusuk pemain nomor 7. Awalnya, dia ragu melihat betapa easy going-nya si Alfa itu. Namun keanehan mulai terlihat saat pemain nomor 7 melemparkan tembakan 3 poin dan menjadi pusat perhatian. Saat itu, Alfa mendadak membeku dan tatapannya berubah menjadi kosong. Bahkan dari tempat duduknya Ezra bisa melihatnya dengan jelas. Dan saat pemain Paradisia gagal mencetak poin, sorakan olok-olok dari kubu Maristela seolah mendorongnya ke tempat yang sangat jauh. Alfa bahkan tidak bereaksi sedikitpun saat sepatu mendarat di kepalanya, seolah tak merasakannya. Pandanganya hanya fokus ke pemain nomor 7.

Ketika orang-orang mulai turun dari bangkunya, perlahan Alfa membuka tasnya dan mengambil sebuah gunting berwarna silver. Dia bangkit dan menyembunyikan tangan yang memegang gunting di saku celananya. Dengan tatapan mengarah ke pemain nomor 7, Alfa beranjak turun.

Ezra cepat-cepat menahan Alfa dengan mencengkram pundaknya. Namun, orang yang dia cengkram langsung membalikan badan dan mendaratkan kepalan tangan ke wajahnya. Cukup keras hingga membuatnya  kehilangan keseimbangan.  Reflek, dia menutup hidungnya yang mulai basah oleh darah.

Lepas dari cengkraman, Alfa kembali meneruskan langkahnya menuruni anak tangga. Tatapannya masih mengarah ke pemain nomor 7 yang berada di area dekat ring.

Mendekati target, tangan Alfa mulai mengeluarkan gunting dari sakunya dan menggenggamnya erat, siap menyerang.

Tapi tentu saja Ezra yang hidungnya sudah memar tidak bisa membiarkan hal itu. Dengan cepat dia menendang lutut Alfa dari belakang, membuatnya hilang keseimbangan, dan terjatuh dengan posisi telungkup, gunting masih di tangannya.

Alfa berusaha bangkit namun sebelum dia berdiri, Ezra keburu melingkarkan lengan kanannya di lehernya. Alhasil, kerongkongan Alfa tercekat di lekuk siku-siku Ezra.

Ezra kemudian menyilangkan lengan kirinya di atas lengan kanannya dan menyelipkannya di belakang kepala Alfa sehingga kedua lengannya kokoh mengunci lehernya. Alfa tak berkutik.

“Anak itu bawa gunting!” kata Julie dengan suara lantang sambil menunjuk Alfa yang berada dalam cengkraman Ezra. Saat mengatakan itu, Julie sengaja berada di dekat Kio.

Sontak pemain nomor 7 itu dan beberapa orang di sekitarnya mendaratkan pandangan mereka kepada Alfa. Melihat gunting runcing di genggamannya, mereka langsung meningkatkan kewaspadaan.

“Dari tadi dia fokus ke arah sini?” tambah Julie, melangkah mendekati posisi Kio berada.

“Alfa?” kata seorang pemain basket Paradisia dengan tatapan tak percaya.

“Ezy?” kata Irgie dengan mata membelalak, kaget melihat sepupunya bergulat dengan si pembawa gunting.

Setelah kedua lengannya mengunci leher Alfa, dengan sekuat tenaga Ezra menekannya selama 10 detik dan seketika Alfa kehilangan kesadaran.

Buru-buru Julie mengambil gunting yang kini sudah terlepas dari tangan itu dan ia masukan ke dalam tas.

Julie melirik Alfa yang tak berdaya kemudian menatap Ezra.

“Cuma pingsan,” kata Ezra.

Melihat Alfa tergeletak di lantai, ke dua temannya—satu berambut cepak dan satu bertubuh jangkung panik total.

Si Cepak langsung mengecek napas Alfa sementara Si Jangkung dengan brutal menarik kerah baju seragam Ezra dengan satu tangannya kemudian ia banting ke lantai. Tangan satunya bersiap mendaratkan bogem mentah ke wajah targetnya namun tidak berhasil karena Julie keburu menyemprot wajahnya dengan "pepper spray".

Si Jangkung langsung meringis pedih sambil mengucek  kedua matanya.

Si Cepak yang tadi fokus memeriksa kondisi Alfa bangkit dan memeriksa si Jangkung yang kesakitan.

“Mundur!” pinta Julie. Matanya dingin menatap lurus Si Cepak sambil menodongkan botol hand sanitizer layaknya sebuah pistol. “Atau aku semprot!”

Si Cepak sedikit tersentak. Mendadak ia membeku.

Si Jangkung masih mengedip-ngedipkan kedua matanya. Ia mengambil botol air mineral yang tergeletak di lantai dan membasuh kedua matanya.

“Temen kalian berbahaya!” Ezra bangkit berdiri dan merapikan seragamnya. “Orang sinting yang mau nusuk orang pake gunting.”

“Hah?” Kedua teman Alfa tak percaya. Si Jangkung kembali emosi dan siap menyerang kembali, namun ditahan oleh Si Cepak.

“Kalian bisa tanya langsung kalau orangnya sudah bangun,” timpal Julie, masih menodongkan Pepper Spray buatannya ke arah mereka.

Cepak dan si Jangkung saling beradu pandang. Mereka kemudian melihat Alfa yang tergeletak tak berdaya di lantai.

“Saya hitung sampai 10. Bagi siswa yang masih berkelahi akan dikeluarkan dari sekolah secara tidak hormat,” imbau pelatih Maristela dengan menggunakan megaphone.

Pelatih Paradisia tidak mau kalah, dia pun membuat imbauan yang lebih bombastis. “Bagi siswa yang masih berkelahi akan saya laporkan ke polisi. Yang bawa hape tolong rekam yang masih berkelahi. Akan saya jadikan barang bukti.”

“Sepuluh!” teriak pelatih Maristela.

“Sembilan!” timpal pelatih Paradisia.

Mendengar kata ‘polisi’, anak-anak yang sedang berkelahi langsung mundur teratur meski masih emosi. Dengan demikian pertarungan yang berlangsung kurang dari 10 menitan itu berakhir.

“Siswa Maristela berkumpul di sayap kanan, Paradisia sayap kiri. Sekarang!”

Julie langsung memasukan Pepper Spray-nya ke dalam tas, dan berjalan ke area teman-teman sekolahnya berkumpul. Ezra pun mengikuti.

“Delapan!”

“Tujuh!”

Alfa membuka matanya, kepalanya sedikit pening. Cepat-cepat kedua temannya membantunya berjalan ke area sayap kiri. Masih lemas, Alfa duduk menyandar ke tembok. Dia bertanya kepada kedua temannya apa yang terjadi.

Kedua temannya kemudian menceritakan interaksi mereka dengan Ezra dan Julie berikut tuduhan-tuduhan yang mereka layangkan kepadanya.

Mendengarnya, mata besar Alfa membelalak saking terkejutnya.

“Satu!”

Kedua pelatih mengecek kondisi siswa-siswinya masing-masing. Tidak ada yang terluka parah. Rata-rata hanya memar karena ulah mereka sendiri. Para pelatih sedikit enggan bersimpati.

“Ada yang luka parah?” tanya pelatih Paradisia, matanya melirik Alfa yang duduk dengan wajah pucat pasi.

Alfa langsung memaksakan berdiri. “Nggak ada Pak!”

“Maristela keluar lewat pintu depan.”

“Paradisia lewat pintu belakang.”

“Pemain tetap di dalam”

Pelatih Paradisia menggiring siswanya ke luar gedung hingga ke gerbang depan. Dia tidak sadar ada beberapa siswa yang menyelinap memisahkan diri dari kerumunan.

Sementara siswa Maristela masih berada di sekitar gedung olahraga, tidak diizinkan meninggalkan tempat hingga siswa Paradisia seluruhnya pulang. Sebagian besar siswa berada di area depan gedung olahraga sementara Julie dan Ezra berada di area kiri, jauh dari kerumunan.

Sambil menyandar ke tembok, Ezra mengompres hidungnya, dengan kantung es. Dia harus secepat mungkin meminimalisir memar di hidungnya kalau tidak mau diintrogasi oleh ibunya saat pulang nanti.

 “Yang tadi itu apa?” tanya Julie, menghampirinya. “Orang itu pingsan dalam hitungan detik.”

“Oh. Itu teknik Jiu Jitsu,” Ezra tersenyum pahit mengingat orang yang sering menggunakan teknik itu kepada dirinya, “aku cuma tahu sedikit.”

“Oh.”

Julie baru pertama kali mendengarnya tapi dia perkirakan itu ilmu beladiri semacam Taekwondo atau Karate.

“Permisi…” Julie dan Ezra langsung menoleh ke sumber suara. Air muka mereka yang tadinya santai mendadak jadi waspada.

“Bisa ngobrol sebentar?” orang itu mengangkat kedua tangannya, memperlihatkan telapak tangannya yang kosong.

Karena Ezra masih menatapnya curiga, Orang itu kemudian menepuk saku celana dan bajunya. “Nggak ada apa-apa.”

“Kamu mau ngobrol apa?” tanya Julie.

Orang itu melihat ke sekeliling. “Jangan di sini. Kalau teman-teman kalian lihat, aku bisa dikeroyok.”

Julie dan Ezra saling melempar pandangan. Mereka pun mengajak orang itu ke tempat yang sepi,.area di depan gedung perpustakaan.

“Aku Alfa,” orang itu memperkenalkan diri sambil tersenyum ramah. 

Ia diam menunggu ke dua orang yang masih menatapnya dengan curiga itu memperkenalkan diri.

“Ezra.”

“Julie.”

Mata Alfa sedikit membelalak melihat hidung Ezra memar. “Maaf udah bikin hidung kamu begitu. Sumpah waktu itu aku nggak sadar.”

“Itu saja?” tanya Julie, menatap lurus Alfa.

Alfa menggeleng. “Aku juga mau bilang makasih.”

“Untuk?”

“Bikin kamu pingsan?” timpal Ezra dengan nada menyindir.

Alfa tersenyum. “Binggo! Kalau nggak pingsan aku bakalan ngelakuin sesuatu yang fatal.”

Ezra menyeringai. “Kayak nusuk orang pake gunting!”

Alfa berusaha tersenyum. “Dua temen aku udah cerita tentang tuduhan kalian.”

“Itu bukan tuduhan. Kamu memang berniat menusuk seseorang,” kata Julie mantap, matanya kembali melirik pergelangan tangan kirinya yang tertutupi jam.

Padangan Alfa turun sejenak kemudian lurus kembali. “Iya. Aku hampir ngilangin nyawa seseorang. Makanya aku bersyukur, Ezra menghadang tepat waktu.”

Ezra kembali mengompress hidungnya tidak berkomentar.

“Kamu ada masalah sama pemain nomor 7?” tanya Julie.

Alfa tersentak kemudian menatap Julie dengan horror. “Kamu tahu sampai sejauh itu?” ia melirik Ezra, "kalian berdua tahu kalau dia targetnya?”

Julie tersenyum samar. Dia bukan sekedar tahu tapi melihatnya.

“Itu karena mata kamu mengarah ke dia terus,” balas Ezra.

“O ya?”

“Jadi ada motif khusus ya?” Julie mengerutkan keningnya. “Aneh juga soalnya pemain nomor 7 itu keliatannya nggak mengenal kamu sama sekali.”

Ia ingat waktu itu Kio pun bertanya-tanya tentang identitas si pembawa gunting.

“Emang nggak kenal. Gak pernah lihat.”

Ezra tersenyum, dengan satu sudut bibir yang terangkat. “Secepat itu kamu nyari ribut sama orang? Luar biasa!”

“Aku sama sekali nggak ada masalah sama pemain nomor 7 tapi…,” kalimatnya berhenti berusaha mengumpulkan kekuatan, “masalahku ada pada seragam yang dia pake. Tepatnya angka yang tertera pada seragamnya.”

Julie menyipitkan matanya. “Angka 7?”

Alfa mengangguk. “Aku punya sejarah kelam dengan angka itu. Tapi bukan berarti aku hilang kendali tiap kali ngeliatnya. Yang tadi itu nggak pernah terjadi.”

Julie mencoba mengingat-ngingat. Tim basket Paradisia kebetulan tidak ada yang mengenakan seragam bernomor 7. Kalau ada apa yang akan terjadi?

“Aku sendiri heran kenapa aku segitu kalapnya liat angka 7 di seragamnya. Biasanya juga enggak begitu. Mungkin karena sorakan kedua suporter yang super berisik?” Alfa menerawang jauh, mencari jawaban.
“Kepalaku mendadak pusing dan semuanya seakan gelap kecuali angka tujuh yang melekat pada seragam itu. Angka yang harus segera aku lenyapkan sekaligus sama orang yang make-nya.”

Ezra mengangkat kantung es di hidungnya dan menatap tajam Alfa. Julie pun demikian, kembali waspada.

“Waktu itu aku mikirnya gitu. Kenapa bisa separah itu?” Alfa mengangkat bahu. “Aku nggak tahu tapi akan cari tahu.”

“Pernah kepikiran pergi ke psikiater?” tanya Ezra dengan nada lebih ke memberi saran daripada memberi pertanyaan

Alfa tersenyum. “Beberapa kali. Mereka nggak nemuin masalah.”

“Kamu sendiri nggak merasa ada masalah?” giliran Julie yang bertanya.

Alfa tertegun sejenak. “Masih bisa aku atasi. Yang tadi itu nggak akan terjadi lagi. Aku janji!”

Suasana mendadak hening. Tidak ada yang mengeluarkan suara.

“O ya boleh aku minta gunting itu kembali?”
Julie dan Ezra tersentak secara serentak.

“Jangan curiga dulu,” Alfa berusaha membela diri dari asumsi liar yang terpancar dari dua orang di hadapannya. “Kalau aku mau macam-macam, nggak harus pake gunting itu. Di toko banyak.”

“Kalau banyak kenapa kamu minta kembali?”

Alfa menatap lurus Julie. “Gunting itu bukan gunting biasa. Sangat berharga,” suaranya tiba-tiba pelan, “gunting itu pernah nyelamatin nyawaku.”

Ezra kembali tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. “Ternyata ini ya tujuan utama kamu nyamperin kita."

"Kalian bisa nilai sendiri, dari tadi aku nggak bohong. Meskipun beresiko aku tetap ngomong apa adanya. Aku mau kalian percaya," terang Alfa sambil mengulurkan tangan kanannya yang terbuka, “Jadi tolong kembalikan.”

Julie menatap Alfa lekat-lekat kemudian mengambil gunting silver itu dari tasnya. Dia perhatikan tidak ada yang istimewa. Seperti gunting rambut biasanya. Ia kemudian menyerahkannya ke tangan Alfa.
“Aku juga nggak suka nyimpen barang orang lain.”

Alfa langsung menggenggam erat gunting itu kemudian menarik napas lega.
“Makasih banyak, berkat kalian aku selamat,” katanya tersenyum, wajahnya berbinar-binar, energi positif kembali terpancar di wajahnya.
“Duluan ya,” Alfa pamit, meninggalkan Julie dan Ezra. Dia berjalan setengah berlari. Kedua temannya dari tadi menunggu di sekitar gerbang.

“Gimana beres?” Jojo si Jangkung melemparkan tas ke arah Alfa.

“Beres,” balas Alfa. Dengan santai dia memasukan gunting ke tasnya.

“Whoaa! Lo beneran mau nusuk orang pake gunting?” tanya Eri si Cepak tak percaya.

“Aslinya?” timpal Jojo.

“Asli!" Alfa terkekeh kemudian mengalungkan kedua lengannya ke pundak temannya yang berada di kiri dan kanannya. Bertiga mereka berjalan santai.

“Tapi itu karena tadi gue kerasukan setan. Beneran! Percaya gak?”

Jojo nyengir. “Percayalah nih sekolah emang sarang iblis, setan, jin dan sobat-sobatnya!”

Eri garuk-garuk kepala. “Pantes dong tadi kita kesetanan semua.”

 “Ya ‘kan?”

“Eh lo nggak diapa-apain sama duo sejoli itu?”

Alfa tertawa. “Mana mungkin. Gue cuma ngajak kenalan.”

Freak tahu mereka berdua!”

“Apalagi yang cewek. Tatapannya ngeri betul.”

“Dia juga nyemprot mata gue entah pake apaan! Jadi gue nggak sempet mukul si cowok. Ah sial!”

“Namanya Julie. Dia cool sih menurut gue.”

“Selera lo emang aneh.”

“Eh tapi gue penasaran, yang cowok kok bisa bikin lo pingsan padahal bodi lo jauh lebih gede!”

“Oh itu…mau gue praktekin?” Alfa bersiap-siap, meregangkan kedua tangannya. “Siapa yang mau jadi korbannya?”

“Si Eri dong, badan gue kan gede kalau ambruk lo berdua yang repot.”

“Oke. Siap Ri?”

Eri tertawa gugup. “Serius lo?”

“Seriuslah, katanya lo penasaran!" Alfa melangkah maju.

Tanpa basa-basi, Eri langsung lari. Alfa dan Jojo mengejarnya.

Sambil lari Eri berbalik dan berteriak, “Bener kata si cowok freak tadi, siapa namanya?”

“Ezra.”

“Iyah bener kata si Ezra lo sinting haha.”

“O ya?” Alfa menyeringai sambil meningkatkan kecepatan larinya.

“Jangan dikasih ampun Fa.”

Jauh dari belakang Julie melihat Alfa dan kedua temannya berlari kejar-kejaran ke arah jalan raya. Dia bersama siswa Maristela lainnya baru diizinkan bubar.

                                   ******

Besoknya, kericuhan di gedung olahraga menjadi topik pembicaraan utama seantero sekolah. Beberapa anak laki-laki dengan bangga menunjukkan memar dan luka hasil pertarungan kemarin seolah itu tanda kehormatan seorang pejuang yang baru pulang dari medan perang. Sebagian lagi takut kena sangsi karena video yang menunjukkan kebrutalan mereka sudah menyebar kemana-mana. Ada juga yang menyesal karena tidak ikut menonton sehingga melewatkan peristiwa ‘bersejarah’ di sekolahnya.

“Sori ya Zy, kemarin gue nggak bisa bantu apa-apa.”

“Ya. Santai aja.”

“Gue bener-bener gak nyangka yang kemarin itu bisa kejadian. Sumpah aneh!”

Ezra tidak berkomentar.

“Eh sebenarnya gue juga nggak nyangka lo hadir ke pertandingan. Tumben?”

Ezra menganggkat bahu. “Penasaran liat kehebatan lo kali.”

Irgie terkekeh. “O ya ada satu lagi yang kehadirannya nggak disangka-sangka,” Irgie melirik Julie yang sedang duduk di bangkunya, “gue jarang liat dia diantara kerumunan. Kalian nggak janjian ‘kan?”

“Nggak.”

“Habisan dia kayak yang bantuin pas lo diserang.”

“Kelanjutan pertandingannya gimana?” Ezra berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

“Menang meski selisih dua poin. Tim basket Paradisia memang luar biasa!”

Irgie kemudian menceritakan detail pertandingan yang meski sempat terhambat karena keributan tetap berlanjut. Kalau sudah bicara basket dia bisa begitu bersemangat.
 

Mumpung pelajaran sedang kosong, Julie mengeluarkan sebuah buku catatan ukuran A5 dengan sampul biru tua dari dalam tasnya. Dalamnya masih kosong hanya tertulis namanya Julia Romansa Lovelace di halaman pertama.

Terinspirasi dari Madam Alina, ia pun berniat untuk mencatat penampakan atau pertanda yang dilihatnya. Dengan begitu dia bisa menguraikan benang kusut di kepalanya.

Julie mengambil pulpen dan mulai menulis peristiwa kemarin. Ia membandingkan penampakan yang ia lihat dengan fakta di lapangan. Perbedaanya sangat signifikan atau bisa dibilang fundamental. Intervensi dirinya dengan Ezra sukses total! Meski kericuhan tetap terjadi tapi penusukan bisa dihindari. Alhasil tidak ada yang mati! Dan ini pertama kalinya berakhir seperti ini.

Sebelumnya, selalu konsisten ada yang mati meski dia sudah intervensi seperti insiden tabrakan beruntun di jalan tol KM 92. Dia dan penghuni bus yang ia tumpangi selamat tapi tragedi mengenaskan itu tetap terjadi dan beberapa ada yang mati. Sementara pada insiden kericuhan kemarin, kematian benar-benar absen.

Mungkin karena beda skala? Insiden di KM 92 terlalu kompleks untuk ditangani sendiri? Sementara kemarin dia tidak sendiri tapi berkolaborasi?

Sebelum-sebelumnya, Julie pikir kemampuannya tidak bisa menyelamatkan orang. Ternyata bisa dan jujur dia merasa senang. Entah kenapa itu seperti menetralisir penyesalannya selama ini. Penyesalan karena gagal mencegah kematian ibunya sendiri.

Julie menarik napas panjang kemudian melingkari nama Kio di catatannya. Tadi pagi dia berpapasan dengan cowok itu di koridor. Tentu saja Kio tidak mengenalnya sama sekali. Tapi melihat sosoknya hari ini membuat Julie merinding. Kio benar-benar masih ada tanpa tusukan di dada. Ia masih bernyawa!

Inikah tujuan kemampuan anehnya itu? Menyelamatkan orang? Tapi apa dia mampu? Dan yang lebih penting apa dia mau?
Jujur Julie masih ragu.

Nama lain yang dia lingkari di catatannya adalah Alfa. Anak itu hampir menghilangkan nyawa seseorang hanya karena sebuah angka! Sungguh absurd!

Tapi Julie cukup terkesan dengan kelihaiannya menyembunyikan sisi-sisi abnormalitasnya serta kepandaiannya memanipulasi orang.

Dengan mudahnya orang itu meyakinkannya untuk memberikan kembali gunting itu—gunting yang hampir dia gunakan untuk menusuk seseorang.

Menurut pengamatan singkatnya, Alfa tahu kapan dan kepada siapa dia harus berkata jujur dan kapan dan kepada siapa dia harus berkata sebaliknya. Di mana pun dan dengan siapa pun dia berada, dia yang akan pegang kendali. Tapi kemarin justru monster dalam dirinyalah yang hilang kendali. Kejadian yang di luar antisipasinya ini pasti membuatnya syok dan sekarang Julie yakin anak itu pasti sedang sibuk menginvestigasi.

Julie menutup buku catatannya, berharap dia tidak perlu membukanya kembali dan menuliskan sesuatu di dalamnya. Semoga.

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (5)
  • galilea

    Ini nggak ada tombol reply ya?

    @Juliartidewi, makasih kak atas masukannya, nanti direvisi pas masa lombanya selesai. Thank youu...

    Comment on chapter Bab 6
  • juliartidewi

    Waktu SD, aku pernah diceritain sama guruku, ada anak yang ditarik bangkunya sama anak lain pas mau duduk. Anak itu jatuh, terus jadi buta semenjak saat itu. Mungkin kena syarafnya.

    Comment on chapter Bab 6
  • juliartidewi

    Kalau kata 'perkirakan' di sini sudah benar karena kalau 'perkiraan' merupakan kata benda.

    Comment on chapter Bab 4
  • juliartidewi

    Ada kata 'penampakkan' di naskah. Setahu saya, yang benar adalah 'penampakan'. Imbuhan 'pe' + 'tampak' + 'an'. Kalau akhiran 'kan' dipakai untuk kata perintah seperti 'Tunjukkan!'.

    Comment on chapter Bab 3
  • juliartidewi

    Pas pelajaran mengedit di penerbit, katanya kata 'dan' tidak boleh diletakkan di awal kalimat.

    Comment on chapter Bab 1
Similar Tags
Pasal 17: Tentang Kita
145      65     1     
Mystery
Kadang, yang membuat manusia kehilangan arah bukanlah lingkungan, melainkan pertanyaan yang tidak terjawab sebagai alasan bertindak. Dan fase itu dimulai saat memasuki usia remaja, fase penuh pembangkangan menuju kedewasaan. Sama seperti Lian, dalam perjalanannya ia menyadari bahwa jawaban tak selalu datang dari orang lain. Lalu apa yang membuatnya bertahan? Lian, remaja mantan narapidana....
Resonantia
488      393     0     
Horror
Empat anak yang ‘terbuang’ dalam masyarakat di sekolah ini disatukan dalam satu kamar. Keempatnya memiliki masalah mereka masing-masing yang membuat mereka tersisih dan diabaikan. Di dalam kamar itu, keempatnya saling berbagi pengalaman satu sama lain, mencoba untuk memahami makna hidup, hingga mereka menemukan apa yang mereka cari. Taka, sang anak indigo yang hidupnya hanya dipenuhi dengan ...
Langit Tak Selalu Biru
87      74     4     
Inspirational
Biru dan Senja adalah kembar identik yang tidak bisa dibedakan, hanya keluarga yang tahu kalau Biru memiliki tanda lahir seperti awan berwarna kecoklatan di pipi kanannya, sedangkan Senja hanya memiliki tahi lalat kecil di pipi dekat hidung. Suatu ketika Senja meminta Biru untuk menutupi tanda lahirnya dan bertukar posisi menjadi dirinya. Biru tidak tahu kalau permintaan Senja adalah permintaan...
Monokrom
126      104     1     
Science Fiction
Tergerogoti wabah yang mendekonstruksi tubuh menjadi serpihan tak terpulihkan, Ra hanya ingin menjalani kehidupan rapuh bersama keluarganya tanpa memikirkan masa depan. Namun, saat sosok misterius bertopeng burung muncul dan mengaku mampu menyembuhkan penyakitnya, dunia yang Ra kenal mendadak memudar. Tidak banyak yang Ra tahu tentang sosok di balik kedok berparuh panjang itu, tidak banyak ju...
Penerang Dalam Duka
1259      677     2     
Mystery
[Cerita ini mengisahkan seorang gadis bernama Mina yang berusaha untuk tetap berbuat baik meskipun dunia bersikap kejam padanya.] Semenjak kehilangan keluarganya karena sebuah insiden yang disamarkan sebagai kecelakaan, sifat Mina berubah menjadi lebih tak berperasaan dan juga pendiam. Karena tidak bisa merelakan, Mina bertekad tuk membalaskan dendam bagaimana pun caranya. Namun di kala ...
Paint of Pain
1366      880     33     
Inspirational
Vincia ingin fokus menyelesaikan lukisan untuk tugas akhir. Namun, seorang lelaki misterius muncul dan membuat dunianya terjungkir. Ikuti perjalanan Vincia menemukan dirinya sendiri dalam rahasia yang terpendam dalam takdir.
Sebelah Hati
1388      813     0     
Romance
Sudah bertahun-tahun Kanaya memendam perasaan pada Praja. Sejak masih berseragam biru-putih, hingga kini, yah sudah terlalu lama berkubang dengan penantian yang tak tentu. Kini saat Praja tiba-tiba muncul, membutuhkan bantuan Kanaya, akankah Kanaya kembali membuka hatinya yang sudah babak belur oleh perasaan bertepuk sebelah tangannya pada Praja?
Loveless
8496      4178     611     
Inspirational
Menjadi anak pertama bukanlah pilihan. Namun, menjadi tulang punggung keluarga merupakan sebuah keharusan. Itulah yang terjadi pada Reinanda Wisnu Dhananjaya. Dia harus bertanggung jawab atas ibu dan adiknya setelah sang ayah tiada. Wisnu tidak hanya dituntut untuk menjadi laki-laki dewasa, tetapi anak yang selalu mengalah, dan kakak yang wajib mengikuti semua keinginan adiknya. Pada awalnya, ...
Tic Tac Toe
516      412     2     
Mystery
"Wo do you want to die today?" Kikan hanya seorang gadis biasa yang tidak punya selera humor, tetapi bagi teman-temannya, dia menyenangkan. Menyenangkan untuk dimainkan. Berulang kali Kikan mencoba bunuh diri karena tidak tahan dengan perundungannya. Akan tetapi, pikirannya berubah ketika menemukan sebuah aplikasi game Tic Tac Toe (SOS) di smartphone-nya. Tak disangka, ternyata aplikasi itu b...
Ameteur
101      89     1     
Inspirational
Untuk yang pernah merasa kalah. Untuk yang sering salah langkah. Untuk yang belum tahu arah, tapi tetap memilih berjalan. Amateur adalah kumpulan cerita pendek tentang fase hidup yang ganjil. Saat kita belum sepenuhnya tahu siapa diri kita, tapi tetap harus menjalani hari demi hari. Tentang jatuh cinta yang canggung, persahabatan yang retak perlahan, impian yang berubah bentuk, dan kegagalan...