Loading...
Logo TinLit
Read Story - Intertwined Hearts
MENU
About Us  

Nara menarik tangan Melva dengan erat saat melihatnya hendak masuk ke kelas. Mata Nara menatap tajam, penuh campur aduk antara kecewa dan kesal.

"Lepasin, apaan sih lo!" Melva segera melepaskan tangannya dengan kasar, lalu menoleh dengan wajah merah karena marah. Mereka kini berdiri di belakang kelas, jauh dari keramaian.

Nara mengerutkan kening, suaranya datar tapi tegas. "Kenapa lo sebenci itu sama gue?"

Melva memicingkan mata, bibirnya mengecil sambil menahan amarah. "Benci? Nggak tuh. Kenapa juga gue harus benci sama lo? Ohh, jangan-jangan... lo yang benci sama gue? Kenapa? Karena gue bisa ngedapetin Zevan, sementara lo nggak?" suaranya meninggi, penuh ejekan.

Nara menundukkan kepala sebentar, menarik napas dalam-dalam, lalu menatap Melva dengan tatapan tajam. "Gue udah tahu semuanya, Mel."

Melva mendengus keras, wajahnya memerah. "Tahu apa lo?!"

"Gue tahu lo nyuruh Raksha buat deketin gue dan ninggalin gue setelah gue suka sama dia, kan?" suara Nara nyaris bergetar.

Melva melotot, lalu membalas dengan tawa sinis. "Raksha yang cerita sama lo? Kurang ajar emang tuh anak—"

Nara memotong dengan suara lebih tegas, nadanya menahan perasaan sakit. "Mel. Lo kenapa sih harus ngelakuin sejauh ini?"

Melva mengangkat bahu, ekspresinya dingin tapi tajam. "Ya karena gue benci sama lo. Puas? Karena lo, Zevan mutusin gue dulu! Lagian gue bingung, kenapa sih dia sebucin itu sama lo?! Padahal jelas-jelas gue lebih cantik, lebih pinter, lebih populer, lebih kaya lagi. Nggak kayak lo, dasar dekil!"

Nara tetap berdiri tegap, tidak menunjukkan rasa sakit atau kemarahan. "Gue tahu gue emang nggak secantik lo, gue nggak sepinter lo, gue nggak sepopuler lo, dan gue nggak sekaya orang tua lo, Mel. Tapi lo harus tahu, semua itu nggak lantas bikin orang lain nyaman sama lo."

Dia menarik napas pelan, suaranya tetap datar. "Mungkin banyak yang deketin lo karena hal itu. Tapi itu nggak akan bertahan lama kalo lo nggak bisa buat mereka nyaman ada di deket lo. Kalo lo nggak bisa buat mereka ngerasa cukup dihargai sebagai seorang manusia. Kalo lo nggak bisa jaga omongan lo itu, Mel."

Nara menatap Melva dengan pandangan yang dingin tapi penuh makna. "Lo nggak tahu batu yang lo lempar bisa sedalam apa di hati orang lain. Lo nggak pernah ketemu seseorang yang tulus karena mungkin lo sendiri emang nggak pernah tulus, Mel."

Dia menundukkan kepala sejenak, lalu menatap lurus kembali. "Dan kalo lo mau dicintai sama seseorang, pastiin diri lo pantes buat nerima rasa cinta itu. Jangan cuma modal materi aja."

Melva sangat marah sekarang. Dengan cepat dia menampar pipi Nara. "Kurang ajar! Siapa lo berani-beraninya nyeramahin gue?! Hah! Lo lebih suci dari gue? Ngerasa lebih sempurna? Iya?!"

Nara diam, tidak bereaksi terhadap tamparan itu. Matanya tetap tenang, seolah sudah siap menerima semua amarah itu tanpa membalas. Suaranya rendah tapi mantap, "Gue nggak ngomong itu ke lo sebagai seseorang yang lebih baik dari lo, Mel. Gue juga bukan orang yang sempurna. Tapi gue bilang itu ke lo karena gue peduli sama lo."

Dia melangkah pelan, wajahnya serius. "Meskipun kita nggak pernah bener-bener saling kenal, gue nggak mau lo terus-terusan tenggelem sama dendam yang nggak akan pernah bikin lo puas."

Nara menghela napas ringan, lalu menatap Melva sekali lagi. "Gue bilang gini karena gue mau lo sadar, semua yang lo lakuin sekarang bakal sia-sia."

Suara Nara jadi lebih dingin, "Sekarang, mau lo ngapain aja sama Zevan, itu nggak akan bikin gue sakit hati, Mel. Karena gue udah tahu. Gue udah tahu kalo Zevan balikan sama lo karena lo ngancam dia. Jadi, kalo lo mau nyakitin gue, lo bisa ngelakuin hal kayak tadi, atau lebih. Gue nggak peduli karena gue juga yakin semuanya akan ada balesannya. Hukum karma itu ada, Mel.

Dia berbalik, melangkah pergi dengan tenang, meninggalkan Melva yang terpaku, bibirnya gemetar, dan mata yang kosong. Hening memenuhi ruang di antara mereka. 

Langkah Nara terdengar pelan menyusuri koridor, menjauh dari Melva yang masih berdiri diam di belakang kelas. Ia tak menoleh sedikit pun. Tubuhnya tegap, wajahnya tanpa ekspresi. Dari luar, siapa pun akan mengira dia tenang, bahkan tak terpengaruh.

Tapi saat ia berbelok dan berjalan menyusuri lorong menuju kelasnya, napasnya mulai tak beraturan. Telapak tangannya berkeringat. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat di sisi tubuhnya, seolah sedang menahan sesuatu agar tidak pecah.

Setelah beberapa saat, Nara melanjutkan langkahnya kembali ke kelasnya. 

Begitu Nara masuk ke kelas, matanya spontan menangkap sosok Zevan yang duduk di bangkunya, menopang kepalanya dengan tangan kanannya sambil menatap ke luar jendela dengan pandangan kosong. Cahaya matahari sore menyapu separuh wajahnya, menyoroti mata yang tampak lelah, tapi masih menyimpan nyala yang dikenalnya. 

Sekilas, tatapan mereka bertemu—dan Zevan sempat membenarkan posisi duduknya, merapikan kerah seragamnya seolah ingin menyapa atau mengatakan sesuatu. Tapi Nara hanya menunduk dan berjalan cepat ke bangkunya, napasnya sedikit tercekat. Ia masih belum tahu bagaimana cara memberi tahu Zevan, dan ia bahkan belum tahu apa yang akan ia lakukan setelahnya.

Seharian mereka masih saling diam.

Zevan sesekali mencuri pandang, menatap punggung gadis itu. Ia menggigiti bibir bawahnya dan memainkan pulpen di tangan, berusaha mengalihkan pikirannya dari degup jantungnya sendiri. Ia tidak berani mengajak Nara berbicara atau bahkan hanya sekadar menyapanya. Ia tahu Nara masih membencinya karena ia kembali berpacaran dengan Melva. Dan itu membuatnya gila.

Rasanya, ia ingin mengakhiri sandiwara ini sekarang juga. Ia sudah muak dengan sikap Melva yang terus menempel padanya seperti bayangan yang tak pernah mau pergi. Terutama ketika Nara sedang melihat mereka.

Namun, hari ini, Melva tak menunjukkan batang hidungnya. Zevan heran, tetapi juga senang karena akhirnya bisa bernapas tanpa tekanan, walau hanya sehari.

Saat bel pulang berbunyi, suara riuh pelajar yang bergegas keluar terdengar pelan di telinga Zevan yang pikirannya hanya fokus tentang Nara. Ia mengemasi barang-barangnya dengan pelan, gerakannya seolah disengaja lambat, sambil memandangi punggung Nara yang masih duduk di bangkunya. Dalam hati, ia hanya berharap punya sedikit lebih banyak waktu. Sedikit lebih lama.

"Yuk, Ra," ajak Sheyna, berdiri sambil merapikan tasnya.

"Lo duluan aja deh, Na," jawab Nara lirih, tanpa menatap Sheyna.

Sheyna sontak melirik ke belakang—tepat ke arah Zevan—tanpa benar-benar menoleh. Ia seperti tahu bahwa Nara ingin tetap tinggal. Ada sesuatu yang belum selesai. Ia mendesah kecil, lalu berdiri penuh, menepuk bahu Nara dengan lembut.

"Yaudah. Gue duluan. Hati-hati ya, Ra." Ia sengaja menekankan kata 'hati-hati' sambil melirik Zevan dengan sinis, ekspresinya penuh pesan tak terucap.

Zevan tak menyadari lirikan itu. Ia masih fokus pada buku catatan yang sengaja ia biarkan terbuka di atas meja. Tangannya menggenggam ujung meja, jari-jarinya mengetuk-ngetuk pelan. Ia masih menunggu Nara pergi lebih dulu. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.

Langkah Nara terdengar ringan, tapi penuh tekad. Ia berbalik, menatap Zevan dengan sorot mata yang tak lagi setajam kemarin. Ada keteduhan baru yang mengalir di dalamnya.

"Bisa bicara sebentar?" tanyanya pelan.

Zevan sedikit terperanjat, tubuhnya refleks menegak. Suara itu—suara yang sudah lama tidak ia dengar secara langsung—menyapu seluruh dadanya seperti angin hangat setelah musim hujan yang panjang. Ia membuang napas perlahan, berusaha tenang, lalu mengangguk, melupakan Melva dan semua larangannya.

"Boleh. Mau di mana?"

"Di sini aja. Tapi nunggu agak sepi dulu ya."

"Oh ... boleh."

Zevan melirik ke sekeliling. Satu per satu teman sekelas mereka mulai keluar. Suara tawa, langkah kaki, dan pintu yang tertutup makin lama makin hilang. Sampai akhirnya hanya ada keheningan dan jantung mereka sendiri yang terdengar di dalam kepala masing-masing.

Zevan berdiri, menyampirkan tas ke bahunya, lalu berpindah ke bangku kosong di sebelah Nara, tapi tidak di meja yang sama. 

Nara meremas ujung bajunya sendiri, matanya menunduk, sesekali melirik ke arah jendela. Zevan menunduk sedikit, menunggu. Ia tak ingin mendesak.

"Van ..." akhirnya Nara membuka suara.

Zevan menoleh dengan lembut. "Hmm?"

"Lo pernah bilang kalo ... lo mau gue ... cinta sama diri gue sendiri." Nara menelan ludahnya sendiri, suaranya agak bergetar. "Sekarang ... gue ngerasa gue udah mulai nemu alurnya, Van. Gue udah mulai bisa lihat sisi dari diri gue yang gue suka."

Zevan tersenyum, bibirnya melengkung pelan tanpa suara. Matanya menatap Nara penuh kelembutan.

"Gue udah jauh, jauh lebih baik sekarang." Kembali ada jeda yang Nara buat di sana. "Kalo lo gimana?" tanyanya tanpa menoleh, jari-jarinya bermain dengan tali tasnya sendiri.

Zevan terdiam. Ia ingin bilang "gue hancur, Ra", tapi ia tidak ingin membuat gadis itu khawatir. Ia ingin bilang "gue juga cinta kok sama diri gue", tapi itu terasa sangat menyesakkan. Dan ia tak bisa mengatakan bahwa ia baik-baik saja.

Nara menunduk lebih dalam, lalu berbisik nyaris tanpa suara, "Gue pengen ... lo nggak cuma bisa ngomong doang, Van." Kini ia mendongak, menatap Zevan penuh ketegasan. "Gue pengen lo juga mulai cinta sama diri lo sendiri. Lo nggak perlu ngorbanin perasaan lo cuma untuk ngikutin omong kosong orang lain."

Zevan tercekat. Tubuhnya diam, tapi hatinya bergetar.

"Lo tahu, Ra?" bisiknya pelan.

Nara menghela napas panjang, menunduk sambil memutar tubuhnya sedikit. "Lo kenapa mau dibodohin sama dia sih, Van?"

Zevan membuka mulutnya, tapi butuh beberapa detik sebelum suaranya keluar. "Gue ngelakuin semua itu de—"

"Demi gue? Demi ngelindungin gue dari ancaman kosong Melva?" Nara menyela cepat. Ia menatap Zevan dengan tatapan yang tidak marah—lebih pada sedih yang dalam. "Oke, gue makasih banget buat itu. Tapi ... gimana dengan perasaan lo sendiri, Van?"

Zevan menunduk. Tangannya mengepal di atas lutut.

"Mulai sekarang ... lo nggak perlu ngelakuin itu lagi, Van. Gue udah coba bicara sama dia. Gue harap dia sadar dan ngerti maksud gue." Suara Nara mulai menurun nadanya, lebih tenang. "Dan lo nggak perlu khawatir kalo Melva ngapa-ngapain gue. Kalo emang takdirnya gitu, pasti akan kejadian. Tapi kita jangan biarin bayang-bayang itu ngerusak hidup kita sendiri."

Zevan menoleh pelan ke arah Nara. Ia ingin memeluknya. Tapi ia tahu, kata-kata Nara jauh lebih memeluk daripada apa pun yang bisa ia lakukan sekarang.

"Satu hal lagi," bisik Nara. Ia menoleh, kali ini benar-benar menatap Zevan. "Gue ... gue mungkin, selama ini emang punya perasaan ke lo, Van."

Zevan terdiam. Matanya membelalak sekejap, sebelum akhirnya melembut. Sudut matanya bergetar menahan rasa haru yang nyaris tumpah.

"Tapi ... gue memutuskan untuk fokus buat jatuh cinta sama diri gue sendiri dulu, Van." Nara menunduk lagi, menyembunyikan sedikit gemetar di bibirnya. "Gue bukannya ngerasa nggak pantes, nggak, bukan itu. Tapi ... gue emang ngerasa kalo gue belum pantes buat ada di hubungan kayak gitu. Gue ngerasa ... belum waktunya. Dan sampe waktu itu tiba, gue rasa kita cukup berteman aja. Pun bukan berarti gue mau berusaha ngelupain perasaan ini, tapi lebih ke ngebiarin aja perasaan ini apa adanya tanpa ada usaha apa-apa. Kalo kita emang ... ditakdirkan buat ketemu di titik itu, pasti kita akan ketemu lagi."

Zevan menatap Nara lama, bola matanya bergerak seolah sedang merekam seluruh ucapannya ke dalam ingatannya. Harusnya ia sedih—karena Nara meminta supaya mereka hanya berteman saja. Tapi anehnya, setelah perih yang singkat itu, hatinya justru terasa penuh. Bukan karena ia kehilangan harapan, tapi justru karena ia semakin yakin. Ia semakin yakin bahwa perasaannya untuk Nara tidak akan berubah.

Dan akhirnya, Zevan melihat Nara menjadi versi terbaik dari dirinya. Dan itu, sudah lebih dari cukup baginya.

Bibir Zevan tertarik ke atas, senyumnya lembut, tulus, sedikit getir, "Gue ngerti."

Zevan tahu, rasa itu tidak harus dimiliki sekarang untuk tetap tumbuh. Dan meski mereka hanya berjalan berdampingan sebagai teman, Zevan merasa seperti sedang menjaga taman kecil di dalam hatinya—yang perlahan tumbuh hanya karena satu hal: Nara.

Zevan tidak butuh janji, tidak butuh kepastian. Cukup tahu bahwa hatinya telah memilih, dan ia akan tetap di situ ... menunggu, mencintai dalam diam, sampai waktu yang Nara maksud benar-benar datang dan membiarkan mereka saling menemukan, bukan sebagai yang setengah, tapi sebagai dua hati yang sama-sama utuh.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • juliartidewi

    Kalau ditulis 'ada keturunan Cina' bisa menyinggung SARA.

    Comment on chapter 10 || A Threat from The Past
Similar Tags
Warisan Tak Ternilai
485      178     0     
Humor
Seorang wanita masih perawan, berusia seperempat abad yang selalu merasa aneh dengan tangan dan kakinya karena kerap kali memecahkan piring dan gelas di rumah. Saat dia merenung, tiba-tiba teringat bahwa di dalam lingkungan kerja anggota tubuhnya bisa berbuat bijak. Apakah ini sebuah kutukan?
Rumah Tanpa Dede
134      83     1     
Inspirational
Kata teteh, Bapak dan Mama bertengkar karena Dede, padahal Dede cuman bilang: "Kata Bapak, kalau Bi Hesti jadi Mama kedua, biaya pengobatan Dede ditanggung Bi Hesti sampai sembuh, Mah." Esya---penyintas penyakit langka Spina Bifida hanya ingin bisa berjalan tanpa bantuan kruk, tapi ekonomi yang miskin membuat mimpi itu terasa mustahil. Saat harapan berwujud 'Bi Hesti' datang, justru ban...
Bittersweet Memories
40      40     1     
Mystery
Sejak kecil, Aksa selalu berbagi segalanya dengan Arka. Tawa, rahasia, bahkan bisikan di benaknya. Hanya Aksa yang bisa melihat dan merasakan kehadirannya yang begitu nyata. Arka adalah kembarannya yang tak kasatmata, sahabat sekaligus bayangan yang selalu mengikuti. Namun, realitas Aksa mulai retak. Ingatan-ingatan kabur, tindakan-tindakan di luar kendali, dan mimpi-mimpi aneh yang terasa lebih...
FAMILY? Apakah ini yang dimaksud keluarga, eyang?
179      157     2     
Inspirational
Kehidupan bahagia Fira di kota runtuh akibat kebangkrutan, membawanya ke rumah kuno Eyang di desa. Berpisah dari orang tua yang merantau dan menghadapi lingkungan baru yang asing, Fira mencari jawaban tentang arti "family" yang dulu terasa pasti. Dalam kehangatan Eyang dan persahabatan tulus dari Anas, Fira menemukan secercah harapan. Namun, kerinduan dan ketidakpastian terus menghantuinya, mendo...
Is it Your Diary?
161      127     0     
Romance
Kehidupan terus berjalan meski perpisahan datang yang entah untuk saling menemukan atau justru saling menghilang. Selalu ada alasan mengapa dua insan dipertemukan. Begitulah Khandra pikir, ia selalu jalan ke depan tanpa melihat betapa luas masa lalu nya yang belum selesai. Sampai akhirnya, Khandra balik ke sekolah lamanya sebagai mahasiswa PPL. Seketika ingatan lama itu mampir di kepala. Tanpa s...
Fidelia
2073      894     0     
Fantasy
Bukan meditasi, bukan pula puasa tujuh hari tujuh malam. Diperlukan sesuatu yang sederhana tapi langka untuk bisa melihat mereka, yaitu: sebentuk kecil kejujuran. Mereka bertiga adalah seorang bocah botak tanpa mata, sesosok peri yang memegang buku bersampul bulu di tangannya, dan seorang pria dengan terompet. Awalnya Ashira tak tahu mengapa dia harus bertemu dengan mereka. Banyak kesialan menimp...
Tanda Tangan Takdir
158      134     1     
Inspirational
Arzul Sakarama, si bungsu dalam keluarga yang menganggap status Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai simbol keberhasilan tertinggi, selalu berjuang untuk memenuhi ekspektasi keluarganya. Kakak-kakaknya sudah lebih dulu lulus CPNS: yang pertama menjadi dosen negeri, dan yang kedua bekerja di kantor pajak. Arzul, dengan harapan besar, mencoba tes CPNS selama tujuh tahun berturut-turut. Namun, kegagal...
Seharusnya Aku Yang Menyerah
119      100     0     
Inspirational
"Aku ingin menyerah. Tapi dunia tak membiarkanku pergi dan keluarga tak pernah benar-benar menginginkanku tinggal." Menjadi anak bungsu katanya menyenangkan dimanja, dicintai, dan selalu dimaafkan. Tapi bagi Mutia, dongeng itu tak pernah berlaku. Sejak kecil, bayang-bayang sang kakak, Asmara, terus menghantuinya: cantik, pintar, hafidzah, dan kebanggaan keluarga. Sementara Mutia? Ia hanya mer...
Deep End
40      38     0     
Inspirational
"Kamu bukan teka-teki yang harus dipecahkan, tapi cerita yang terus ditulis."
The Best Gift
39      37     1     
Inspirational
Tidak ada cinta, tidak ada keluarga yang selalu ada, tidak ada pekerjaan yang pasti, dan juga teman dekat. Nada Naira, gadis 20 tahun yang merasa tidak pernah beruntung dalam hal apapun. Hidupnya hanya dipenuhi dengan tokoh-tokoh fiksi dalam  novel-novel dan drama  kesukaannya. Tak seperti manusia yang lain, hidup Ara sangat monoton seakan tak punya mimpi dan ambisi. Hingga pertemuan dengan ...