Jam istirahat pertama biasanya adalah waktu yang Melva manfaatkan untuk keluar kelas, menuju kelas Zevan, dan memastikan agar Nara merasa gerah melihat kedekatannya dengan Zevan. Ia selalu punya caranya untuk menyakiti seseorang tanpa harus menyentuh—cukup dengan kehadiran yang dibuat-buat terlihat sempurna.
Namun, hari ini berbeda. Entah mengapa, Melva tetap tinggal di kelas.
Raksha menyadarinya saat gadis itu tidak bangkit dari kursinya. Sebaliknya, gadis itu hanya melipat tangan di atas meja sambil menoleh ke arah Raksha, yang duduk tepat di sebelahnya.
“Kita harus bicara,” ucap Melva pelan, tapi tegas, tanpa menoleh lagi.
Raksha menoleh sebentar, ragu, tapi akhirnya bangkit dan mengikuti Melva keluar kelas menuju ke belakang kelas yang kosong. Hanya ada rerumputan liar dan beberapa bangku lama yang sudah rusak. Suara keramaian khas dari jam istirahat terdengar samar, tapi di antara mereka berdua, yang ada hanya sunyi—dan ketegangan.
Melva bersedekap, wajahnya tenang, tapi matanya menyala penuh tuntutan.
“Gue udah cukup sabar ya, Sha,” katanya membuka percakapan. “Udah seminggu, lebih malah, lo deketin Nara. Gue lihat kalian juga udah cukup deket. Tapi kenapa lo belum ngapa-ngapain? Jadi kapan lo mau nembak dia?”
Raksha menunduk. “Gue ... gue gak bisa, Mel.”
Melva memicingkan mata. “Gak bisa?” ulangnya pelan, tapi nadanya menggigit. “Maksud lo apa gak bisa?”
Raksha menarik napas panjang. “Gue gak bisa, Mel. Dia cuma nganggep gue temen." Ada rasa sakit yang lebih dalam dibandingkan saat terakhir kali ia mengatakan hal serupa.
“Tau dari mana lo? Belum juga nyoba,” Melva tertawa sinis. “Lo yakin itu alesan lo? Bukan karena lo nggak tega dan beneran suka sama dia?” tanya Melva sambil memicingkan matanya lagi.
Raksha terdiam. Matanya tak bisa menatap Melva. Diamnya sudah cukup menjawab.
Melva mendengus. “Harusnya gue tahu ini bakalan terjadi. Lo terlalu gampang jatuh cinta, Sha. Dari dulu lo emang terlalu rapuh. Makanya gampang baper. Tapi, gue tegesin ini bukan tentang lo, ini tentang bales dendam gue ke dia. Jadi, gue nggak mau tahu lo harus selesain ini!”
“Dia gak salah apa-apa, Mel.”
“Tentu dia salah! Dia yang bikin Zevan mutusin gue!”
Raksha menatap Melva dengan ekspresi tercengang—penuh kekecewaan.
“Gue udah capek nunggu. Kalau lo nggak nembak dia minggu ini, gue bakal kasih tahu semuanya ke Nara. Dari awal. Kalo lo deketin dia, cuma buat bantuin gue bales dendam. Dari niat lo. Dari permainan kita. Semuanya.”
“Mel, tolong—”
“Gak ada tolong-tolongan lagi, Sha.” Melva mendekat, wajahnya hanya sejengkal dari Raksha. “Karena ghe udah pernah nolong lo di masa lalu. Dan sekarang giliran lo. Lo udah janji sama gue. Kalau lo gak bisa jalanin rencana ini, siap-siap aja buat tanggung akibatnya.”
Raksha terdiam. Tangannya mengepal di samping tubuhnya.
“Gue bakalan lakuin hal lain. Asal bukan ini,” bisik Raksha, lirih, seolah bicara untuk dirinya sendiri.
Melva tersenyum dingin. “Untuk saat ini, sayangnya lo nggak punya pilihan lain, Sha.”
Raksha menatap Melva tajam.
Sementara Melva tertawa kecil. “Gue tunggu sampe minggu ini. Cuma minggu ini," katanya dengan nada dingin, tapi tegas.
Kemudian, dengan langkah ringan dan senyum yang dibuat seolah semuanya baik-baik saja, Melva pergi, tapi bukan kembali ke kelas, kemungkinan besar ia pergi menemui Zevan di kelasnya—meninggalkan Raksha di sana, dikelilingi diam dan rasa bingung yang semakin berat.
Raksha menatap kosong ke ke langit cerah yang terlihat di atasnya. Tapi pikirannya kusut. Perasaannya terbakar. Ia tahu, waktunya semakin sedikit. Dan satu-satunya cara untuk menyelamatkan semuanya adalah dengan kejujuran—meskipun itu berarti ia harus menanggung risiko kehilangan satu-satunya rumah yang baru saja ia temukan.
πππ
Sore itu, taman terlihat lebih lengang dari biasanya. Angin berhembus pelan, menggoyangkan ranting pohon tempat Nara dan Raksha biasa duduk. Langit berwarna oranye pucat, seolah ikut menjaga suasana hati yang perlahan meredup.
Nara datang lebih dulu. Ia duduk di bangku itu dalam diam.
Tak lama, Raksha datang. Tangannya menggenggam gitar seperti biasa, tapi langkahnya tampak lebih berat dari biasanya. Ada keraguan yang jelas tergambar di wajahnya. Ia melihat Nara yang sedang menunduk menatap jemari, dan sesaat berpikir untuk berbalik saja. Namun, kakinya entah kenapa tetap melangkah. Mendekat. Lalu duduk di sisi Nara setelah menyapanya singkat, seperti biasanya.
"Sheyna sama Ardya nggak ke sini?" Raksha membuka percakapan, berusaha terdengar santai.
Nara mengangguk kecil. "Katanya mau langsung pulang aja tadi mereka. Nggak tahu kenapa."
Raksha mengangguk ringan.
Mereka terdiam sejenak. Suara angin dan kicau burung sore menjadi latar yang lembut.
Nara menoleh sedikit, memandang Raksha dari sudut mata. "Lo kenapa deh?"
"Hah? Nggak. Kenapa emang?"
"Kayak ada yang aneh aja sama lo."
Raksha menunduk. Ia memejamkan mata sesaat, menarik napas dalam-dalam, lalu menatap Nara. "Gue pengen nanya sesuatu deh, Ra."
Nara menoleh, penuh perhatian. "Apa?"
Raksha menelan ludah. Jemarinya meremas leher gitar yang yang masih terbungkus tas.
"Kalo misalnya ... misalnya lo punya salah sama seseorang, tapi ... orang itu nggak tahu kalo ... lo orangnya gitu." Raksha memberi jeda pada ucapannya sejenak. Ia memastikan ekspresi Nara sejauh ini.
Nara masih diam dan menatap Raksha lekat-lekat seolah masih menunggunya menyelesaikan apa yang ingin ia katakan.
"Lo lebih milih jujur sebelum dia tahu itu dari orang lain dengan resiko lo akan dibenci sama dia lebih cepat, atau ... lo sebisa mungkin ngulur waktu ... selama mungkin sampe dia tahu dari orang lain supaya lo bisa deket sama dia jauh lebih lama?" lanjut Raksha.
Tolong kasih jawaban yang sama kayak apa yang gue pengen, Ra. Karena gue akan ngelakuin apa yang menurut lo lebih baik sambil berharap itu akan ngebuat lo nggak terlalu benci sama gue.
Nara terdiam. Jauh di lubuk hatinya, entah mengapa ia merasa itu tentang Raksha. Tentang Raksha yang benar-benar sedang berada di posisi itu. Ia berpikir keras. Menurutnya, hal ini tidak bisa ia jawab sembarangan. Karena ia merasa, bukan, tapi ia yakin, ini tentang Raksha.
"Hmm ... gue rasa ... gue bakal milih opsi pertama. Baik kalo gue jadi orang yang salah, maupun sebaliknya. Gue tahu, jujur itu sulit banget. Apalagi kalo kejujuran itu bisa ngerusak hubungan baik yang udah ada. Tapi, cepat atau lambat, rahasia itu pasti akan kebongkar, entah dengan kita sendiri yang jujur, maupun dari mulut orang lain. Tapi ... kayaknya bakal jauh lebih baik kalo ... kejujuran itu datang dari mulut kita sendiri dan secepat mungkin. Supaya, rasa sakit yang bakal muncul nggak terlalu dalam."
Ada rasa lega ketika jawaban Nara sesuai dengan apa yang Raksha harapkan. Namun, perasaan itu tak lebih besar sampai bisa menghilangkan rasa takut di hatinya untuk jujur kepada Nara.
Raksha menatap tanah dengan tatapan kosong, tetapi hatinya riuh dengan perdebatan apakah ini saat yang tepat untuk jujur atau bukan.
Beberapa menit berlalu setelah kalimat terakhir yang keluar dari mulut Nara. Ia tidak mendesak Raksha untuk segera menimpalinya. Ia hanya menunggu dalam diam menatap ke arah barat yang sudah kemerahan sempurna, memberi Rakhsa waktu untuk berpikir dan mencerna jawabannya.
"Ra ..." panggil Raksha pelan.
Nara menoleh, tapi tak menyahut atau bertanya. Ia masih diam dan menunggu.
Raksha bisa melihat dari ekor matanya bahwa Nara sedang melihat ke arahnya. Namun, ia tidak bisa menatap balik gadis itu sekarang.
"Sebenernya ... ini tentang gue sendiri, Ra."
Nara tak terkejut, ia sudah tahu.
"Ini tentang kesalahan gue ke ... lo," lanjut Raksha pelan, tapi masih cukup terdengar di telinga Nara karena jarak mereka yang hanya terpaut dua jengkal tangan.
Nara sedikit terkejut mendengar itu.
Apa? Kesalahan apa yang dia lakuin ke gue?
"Melva ... dia sepupu gue."
Mata Nara membulat sempurna. Otaknya dengan cepat menangkap informasi itu. Dan hanya dalam beberapa detik. Ia sudah bisa menebak arah kesalahan Raksha. Semua pertanyaannya seketika terjawab. Tentang mengapa Raksha tiba-tiba mendekatinya dan ingin berteman dengannya. Semua itu, memang terasa aneh sejak awal.
Raksha meremas tangannya lalu memberanikan diri menatap Nara. Mata gadis itu tengah menatap dengan tatapan tidak percaya ke arahnya.
Nara lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan. Badannya condong ke depan bertumpu pada tangannya yang ia letakkan di kakinya.
"Ra—"
Tangan Nara terangkat mengisyaratkan bahwa ia ingin meminta waktu sejenak sebelum Raksha melanjutkan kata-katanya.
Raksha hanya bisa diam sambil gelisah.
Raksha sepupunya Melva? Jadi, dia ... mungkin deketin gue, karena disuruh sama Melva? Bener gitu? Tapi ... apa tujuannya?
Beberapa saat kemudian, Nara melepaskan tangannya dari wajahnya. Ternyata ia tidak menangis. Ia menarik napas dalam sebelum mempersilakan Raksha melanjutkan semua yang ingin ia akui kepada Nara.
"Sebenernya, gue deketin lo karena Melva yang nyuruh gue, Ra. Dia minta gue buat bantuin bales dendamnya ke Zevan dan lo."
Nara masih bergeming.
"Dia nyuruh gue buat bikin lo jatuh cinta sama gue, dan setelah itu gue harus ninggalin lo gitu aja. Itu karena Melva pengen lo ngerasain apa yang dia rasain dulu."
Kini ia menoleh. Menatap Raksha meminta penjelasan karena ia tak paham dengan maksud 'ngerasain apa yang dia rasain' itu.
Raksha menghela napas panjang. Mengumpulkan kekuatan untuk membela seseorang yang menjadi halangan terbesarnya karena ia tahu betul, di hati Nara ... masih nama Zevan.
"Gue nggak tahu pasti, tapi katanya ... Zevan mutusin dia karena Zevan nggak bisa ngelupain lo." Hatinya mencelos sesaat setelah mengatakan itu. Ia seperti menghianati dirinya sendiri dengan memberi tahu Nara hal itu.
Nara mengalihkan pandangannya ke depan. "Tapi ... akhirnya dia balikan kan sama Melva?" Ia tersenyum getir.
"Nggak, Ra. Dia juga diancam, sama kayak gue."
"Apa?"
"Melva ngancem kalo Zevan nggak mau nuritin permintaan dia, dia bakal nyakitin lo." Raksha ragu sejenak untuk melanjutkan kalimatnya. Ia takut. Takut jika Nara akan semakin membencinya setelah ia mengakui satu hal lagi.
Namun, Raksha akhirnya sadar bahwa, ia harus mengakui semuanya. Semuanya.
"Dan foto-foto lo sama Zevan yang dia dapet dan dia kirim ke Sheyna, itu gue yang ambil foto-foto itu. Dia gunain itu buat ngerusak hubungan lo sama Sheyna. Dan juga soal kecelakaan lo, Zevan pikir itu semua gara-gara Melva, karena foto-foto itu."
Nara menatap Raksha tak percaya. "Jadi, lo yang ambil foto itu? Kenapa lo tega, Sha?"
"Gue minta maaf, Ra. Tapi saat itu gue terpaksa, Ra. Dari awal hati gue udah nggak setuju sama rencana dia, tapi gue belum punya cukup keberanian buat nolak."
"Kenapa, Sha? Kenapa?"
"Gue punya hutang budi sama dia. Gue nggak bisa ceritain ke lo, tapi gue hutang nyawa sama dia, Ra."
Nara terdiam. Ia tidak berani bertanya lebih dalam lagi. Ia bisa melihat ada luka yang Raksha coba sembunyikan darinya. Dan ia juga merasa tidak berhak untuk memaksa Raksha menceritakannya.
"Terus ... kenapa lo akhirnya jujur ke gue? Gimana kalo Melva tahu?"
"Gue belum mikirin itu, Ra. Tapi yang jelas, gue ngerasa gue harus jujur sekarang atau nggak sama sekali. Gue minta maaf, Ra."
Nara menundukkan kepalanya. Jemarinya bertautan bersamaan dengan pikirannya yang mencoba memproses itu semua.
Gue harus gimana sekarang?
"Ra ... awalnya mungkin emang gue deketin lo karena Melva. Tapi ... setelah gue kenal lo lebih jauh, gue sadar, Ra, gue sadar kalo Melva udah bukan alasan lagi buat gue deketin lo. Semua yang gue lakuin sama lo, nggak ada yang palsu, Ra. Itu semua perasaan yang nyata dari dalam diri gue."
"Sha, gue—"
"Gue tahu, Ra. Gue tahu lo nggak nganggep gue lebih dari seorang temen. Gue tahu itu kok. Tapi, gue nggak peduli, Ra. Gue cuma pengen kita tetep deket kayak gitu. Lo ... lo udah kayak rumah buat gue pulang, Ra. Terlepas lo sadar atau nggak."
"Sha ... gue maafin lo, dan gue nggak benci sama lo, tapi, buat tetep ada di hubungan kita sebelumnya, gue rasa gue nggak bisa, Sha. Gue nggak mau nyakitin lo dengan tetep ada di deket gue."
"Nggak, Ra. Gue yang milih buat tinggal. Dan lo nggak perlu mikirin perasaan gue, gue bisa urus perasaan gue sendiri, Ra."
"Gimana bisa gue nggak mikirin perasaan lo, Sha? Gue sayang sama lo, gue udah nganggep lo kayak kakak gue sendiri. Seperti halnya Ardya buat Sheyna. Dan gue nggak bisa terus ada di deket lo kalo yang gue bisa kasih cuma luka tiap detiknya. Gue nggak mau, Sha."
Raksha kehabisan kata-katanya. Ia menatap Nara dalam-dalam.
"Mulai sekarang, kalo kita papasan atau ketemu, nggak perlu pura-pura nggak lihat, nggak perlu menghindar, nggak perlu lari, cukup anggukan dan senyuman kecil aja."
Nara berdiri dari duduknya, lalu memegang kedua bahu Raksha membimbingnya untuk berdiri menghadapnya. Ia menatap Raksha, tersenyum tulus dengan tatapan yang teduh dan nyaman.
"Gue mau lo pelan-pelan lupain gue, Sha. Lo harus nemuin bahagia lo. Lo nggak boleh terjebak sama gue. Kita balik kayak dulu lagi ya, Sha," katanya lalu mengulurkan tangan kanannya.
Raksha menunduk, menatap tangan Nara yang terulur—menggantung di antara mereka seperti jeda yang tak terucap. Ia tahu, itu bukan sekadar uluran tangan, melainkan tanda bahwa gadis itu tengah mengakhiri segalanya.
Di bawah cahaya senja yang lembut, siluet tangan Nara terpatri di tanah, seperti bayangan terakhir dari sesuatu yang pernah tumbuh, tapi harus dilepas dengan lapang dada.
Raksha akhirnya tersenyum. Ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Setidaknya ini berakhir, tidak seburuk yang ia bayangkan.
Di bawah langit senja yang perlahan meredup, Raksha menyambut tangan Nara. Gnggaman tangan mereka terasa hangat—bukan sebagai janji untuk bersama, tapi sebagai perpisahan yang tulus dan damai.
Meskipun tak ada kata cinta yang benar-benar terucap, tapi segalanya telah cukup dipahami tanpa perlu dikatakan.
Raksha tahu, perasaannya tidak sia-sia—karena ia pernah benar-benar merasakannya. Dan Nara tahu, melepaskan bukan berarti tidak peduli, tapi justru karena ia peduli.
Raksha melepas tangan Nara perlahan, membiarkannya pergi. Bukan karena ingin, tapi karena mengerti bahwa beberapa perasaan diciptakan bukan untuk dimiliki, melainkan untuk dikenang.
Kalau ditulis 'ada keturunan Cina' bisa menyinggung SARA.
Comment on chapter 10 || A Threat from The Past