Satu minggu telah berlalu sejak sore itu—sejak pertama kali tatapan mereka bertemu dalam diam, lalu tumbuh menjadi percakapan-percakapan kecil yang perlahan membuka ruang nyaman di antara keduanya.
Kini, setiap sore sepulang sekolah, Raksha akan membawa gitarnya. Nara juga. Mereka tak pernah janjian, tapi entah bagaimana, selalu saja datang di waktu yang hampir bersamaan. Di taman itu. Di bangku yang sama. Di bawah pohon yang sama, dengan sinar matahari sore yang perlahan turun ke balik cakrawala.
Beberapa kali, mereka bahkan menggelar pertunjukan dadakan—hanya untuk bersenang-senang. Ada yang lewat dan berhenti sebentar, ikut bertepuk tangan atau sekadar tersenyum. Kadang, Sheyna dan Ardya juga ikut bergabung. Mereka duduk di atas tikar kecil, membawa camilan, berbagi cerita dan lagu. Empat orang, yang entah bagaimana, terasa saling melengkapi. Seolah taman itu menjadi ruang kecil tempat mereka boleh jadi apa saja, tanpa takut dihakimi.
Mereka berempat menjadi lingkaran kecil yang hangat.
Dan Nara … ia merasa hidupnya mulai berubah. Bukan dalam bentuk besar yang heboh dan dramatis. Tapi perlahan, seperti tetes hujan pertama di musim kemarau. Ia mulai tertawa lagi tanpa harus berpura-pura. Ia juga sudah mengeluarkan semua unek-uneknya kepada Sheyna, dan Sheyna mendengarkan, seperti sahabat seharusnya.
Nara ... bahagia.
Dan semua itu ... karena Raksha.
Nara belum pernah merasa seterhubung ini dengan dirinya sendiri. Kini ia tidak hanya mendengarkan musik diam-diam lewat earphone—tapi menyanyikannya. Ia tidak lagi menyimpan suara itu dalam kepala. Berkat Raksha, ia mulai berani membuka mulut, membiarkan suaranya terdengar oleh dunia, meski pelan dan kadang gemetar.
Sementara Raksha …
Seumur hidupnya, Raksha tak pernah merasa memiliki rumah. Ia tumbuh di antara ruang-ruang hampa yang dipenuhi suara pertengkaran orang tua, atau sunyi panjang yang dibiarkan mengendap. Ia biasa sendiri. Biasa menyimpan semuanya sendiri. Namun, sekarang ... Raksha seperti menemukan rumah dalam kehadiran Nara dan kedua temannya. Kehangatan yang dulu tak pernah ia dapat dari siapa pun.
Tapi di balik semua itu, ada bagian kecil dari Raksha yang pelan-pelan tumbuh dan diam-diam menusuknya dari dalam: perasaannya sendiri.
Raksha tak pernah menyangka akan begini. Dulu, alasan ia mendekati Nara jelas: Melva. Tugas. Manipulasi. Walaupun samar-samar ia sudah merasakan ada sesuatu yang aneh dengan perasaannya. Tapi kini, semua itu benar-benar jelas. Dan ia lupa akan misinya. Ia lupa akan kebohongan yang dulu ia buat. Karena saat melihat Nara tersenyum, saat mendengar Nara menyanyikan lagu yang biasanya ia nyanyikan sendiri, ia merasa—untuk pertama kalinya—dilihat. Diterima. Didengar.
Bersama Nara, ia merasa seperti ... pulang.
Sayangnya, tidak bagi Nara. Ia menyayangi Raksha, tentu saja. Namun, seperti seorang teman. Seperti seseorang yang membuatnya nyaman dan kuat, tapi tidak pernah menimbulkan getaran yang membuat hatinya bingung atau canggung. Ia menghargai kehadiran Raksha. Sungguh. Bahkan, ia sangat berterima kasih atas keberanian yang kini tumbuh dalam dirinya karena Raksha.
Namun, tidak lebih.
Tidak pernah lebih dari itu.
Nara tidak tahu bahwa setiap tawa yang ia bagi, setiap nada yang mereka mainkan bersama, membawa harapan di hati Raksha. Harapan kecil yang tumbuh diam-diam, nyaris tak terdeteksi … kecuali oleh Raksha sendiri.
Dan Raksha juga tahu. Ia tahu betul bahwa Nara tidak punya perasaan yang sama.
Tapi Raksha tidak bisa berhenti.
Jadi, Raksha memilih untuk tetap di sana. Menjadi teman. Menjadi seseorang yang selalu ada. Meskipun, setiap senyuman Nara kadang terasa seperti pelukan hangat yang tak pernah bisa ia balas dengan pelukan yang sama. Meskipun hatinya selalu sedikit sakit saat Nara menyanyikan lagu-lagu tentang cinta, dan matanya tak pernah menoleh ke arahnya.
Dan suatu saat nanti, ia tahu ... ia tahu bahwa hubungannya dengan Melva pasti akan terbongkar.
Dan saat itu tiba, ia takut. Takut kehilangan Nara. Takut kepercayaan Nara kepadanya hancur berkeping-keping. Takut Nara melihatnya bukan sebagai teman lagi, melainkan sebagai pengkhianat. Takut Nara berpaling dan pergi—pergi untuk selamanya.
Malam-malam Raksha kini dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban. Bagaimana jika Nara marah? Bagaimana jika ia tak mau mendengarkan penjelasannya?
Tapi ada satu hal yang jelas di dalam hati Raksha: ia ingin jujur. Ia ingin mengatakan semuanya kepada Nara. Tentang siapa dia sebenarnya, tentang permintaan Melva, dan tentang bagaimana ia dari awal tidak pernah ingin menuruti permintaan Melva. Meski itu berarti mengambil risiko kehilangan yang selama ini membuatnya merasa seperti punya rumah.
Raksha tahu, kejujuran adalah satu-satunya jalan. Tapi ia juga tahu, kejujuran itu berat—lebih berat dari senar gitar yang ia petik setiap sore di taman itu.
Dan di tengah keraguan itu, Raksha tetap memilih untuk bertahan. Tetap memilih berada di dekat Nara, menikmati tiap detik kebersamaan yang tak pasti.
Karena bagaimanapun, kini Nara adalah rumahnya. Dan ia tak ingin kehilangan rumah itu.
🍁🍁🍁
Di sisi lain, Zevan masih mencoba bersabar.
Sudah seminggu sejak semuanya berubah—sejak ia memutuskan untuk menuruti permintaan Melva, untuk berpura-pura menjalin hubungan yang tak pernah benar-benar ia inginkan. Dan kini, semakin hari, semuanya terasa makin melelahkan.
Melva selalu punya cara untuk membuat segalanya tampak sempurna di mata orang lain. Terutama di sekolah. Di koridor, di kantin, di lapangan, bahkan di perpustakaan—Melva akan menggenggam tangan Zevan erat-erat, seolah ingin dunia tahu bahwa ia miliknya.
Seolah ingin memastikan Nara tahu.
Seolah ingin menancapkan kenyataan itu ke dada Nara, dalam-dalam.
Dan Zevan tahu.
Ia melihatnya—bagaimana mata Melva akan dengan sengaja melirik ke arah Nara saat ia menarik lengan Zevan lebih dekat, atau ketika ia menyuapkan makanan ke mulut Zevan di kantin sambil tertawa keras. Segalanya yang dibuat-buat, terasa seperti sebuah panggung sandiwara yang murahan.
Tapi Melva cantik, percaya diri, dan cerdas. Semua orang menyukainya. Dan karena itu tak ada yang curiga dengan hubungan mereka. Tak ada yang bertanya-tanya mengapa Zevan mau berpacaran denganya. Karena hal itu sudah tidak perlu diragukan lagi.
Sementara, Zevan hanya bisa diam atau mengikuti apa kata Melva. Ia tak pernah benar-benar menyukai keramaian, apalagi menjadi pusat perhatian. Namun sejak bersama Melva, seolah tak ada ruang untuk menjadi dirinya sendiri. Ia hanya bagian dari citra yang ingin Melva bangun—pasangan sempurna, hubungan ideal.
Dan itu melelahkan.
Terutama saat Nara ada di sana.
Saat tatapan mereka sempat bertemu, walau hanya sekilas. Saat Nara berpaling lebih cepat dari biasanya. Saat senyum Nara yang awal-awal tampak dipaksakan, dan kini mulai terasa tulus, seperti sudah berdamai dengan keadaan ini. Tapi bagi Zevan, tetap ada yang belum sembuh sepenuhnya dari antara mereka.
Terkadang, di malam hari, Zevan memutar kembali semua percakapan terakhirnya dengan Nara. Tentang dirinya yang menyuruh Nara untuk egois dan memikirkan kebahagiaanya sendiri di atas kebahagiaan orang lain. Tentang menyuruhnya mencintai dirinya sendiri.
Namun, nyatanya sekarang Zevan bahkan tidak bisa melakukan hal itu.
Zevan ingin keluar dari semua ini. Ingin mengatakan pada Melva bahwa ini sudah cukup. Namun, Melva bukan tipe yang bisa ditolak begitu saja. Ia manipulatif. Licik dalam cara yang anggun. Ia tahu cara menahan orang dengan kata-kata yang tampak baik, tapi penuh jebakan dan ancaman.
Jadi untuk saat ini, Zevan bertahan. Demi Nara. Setidaknya dalam sudut pandangnya sendiri.
Menahan semua genggaman tangan yang terlalu erat. Senyuman palsu. Pujian kosong. Dan tatapan Nara yang mulai menjauh dan ... merelakan.
Zevan tidak tahu sampai kapan bisa begini. Namun, satu hal yang ia tahu, semakin lama ia membohongi dirinya sendiri, semakin sesak rasanya berada di samping Melva—dan semakin besar keinginannya untuk menarik kembali semua waktu yang pernah ia sia-siakan bersama Nara.
Kalau ditulis 'ada keturunan Cina' bisa menyinggung SARA.
Comment on chapter 10 || A Threat from The Past