Loading...
Logo TinLit
Read Story - Intertwined Hearts
MENU
About Us  

Sisa jam pelajaran setelah istirahat pertama terasa berjalan sangat lambat bagi Nara. Matanya menatap papan tulis, tetapi pikirannya melayang entah ke mana. Suara guru di depan kelas terdengar seperti dengungan jauh yang tidak benar-benar ia pahami. Kepalanya penuh, tapi bukan karena rumus atau materi pelajaran. 

Jam istirahat tadi menjadi bukan waktu istirahat yang sesungguhnya—justru menjadi waktu paling melelahkan. Rasanya seperti baru saja dijatuhkan tepat setelah dijanjikan untuk lepas landas dengan aman.

Zevan duduk tepat di belakangnya. Jarak mereka hanya setengah meter, tapi Nara merasa seperti sedang berada di dimensi yang berbeda. Hampa. Dingin. Tak sekalipun ia menoleh ke belakang. Tak ada rasa ingin tahu, apalagi keinginan untuk mendengar penjelasan dari seseorang yang sudah menghancurkan kepercayaannya dalam sekejap. 

Zevan sudah mengakui bahwa ia kembali bersama Melva. Itu saja sudah cukup untuk membuat hatinya runtuh. Untuk membuatnya berhenti berharap, berhenti percaya pada semua kata-kata manis yang pernah Zevan ucapkan.

Tepat setelah bel pulang berbunyi, Nara langsung meraih tas dan keluar dari kelas secepat mungkin, seolah ingin menjauh dari semua yang menyakitinya.

"Ra!" seru Sheyna yang langsung menatap tajam ke arah Zevan sebelum berlari menyusul sahabatnya. Tatapannya tajam, penuh kemarahan yang ditahan.

"Tunggu, Ra!" serunya lagi di koridor sekolah yang mulai dipadati siswa lain.

Ardya yang masih di dalam kelas hanya berdiri mematung sejenak, menatap punggung Nara yang menjauh dan tak menyadari bahwa ia diperhatikan. Ia lalu melirik ke arah Zevan, yang masih duduk dengan ekspresi datar. Namun, Ardya tahu, itu seperti hanya sebuah topeng. Sorot mata Zevan terlihat jelas menyimpan sesuatu. Luka, penyesalan, atau mungkin ... kebingungan. Tapi, ada batasan yang membuatnya tidak mengerti mengapa Zevan melakukan hal ini.

Di luar kelas, Sheyna berhasil menyusul Nara yang berjalan cepat.

"Ra, tunggu dulu, dong!" ucap Sheyna sambil menarik lengan sahabatnya. Nafasnya sedikit tersengal karena mengejar.

"Gue temenin lo balik ya?"

"Nggak usah, Na. Gue nggak papa kok," jawab Nara, tanpa menatap Sheyna.

"Ra ..." Sheyna menggenggam tangan Nara lebih erat. "Gue tahu lo nggak baik-baik aja. Lo nggak perlu pura-pura kuat. Kita ini sahabat, inget? Lo masih inget kan sama janji kita dulu? Kita janji buat selalu jujur, nggak nutupin apa pun."

Nara terdiam beberapa detik sebelum menjawab. Suaranya pelan, nyaris patah. "Gue ... gue cuma masih terlalu bingung buat ngerti semuanya, Na. Rasanya kayak ... gue lagi mimpi buruk, Na." Nara tersenyum getir. "Kasih gue waktu dulu, ya?"

Sheyna menatap Nara dalam diam, lalu menghela napas berat. "Yaudah ... tapi lo janji, Ra. Lo janji lo nggak akan kenapa-kenapa. Dan lo harus inget kalo gue selalu siap kalo lo mau numpahin semuanya. Jangan simpen semua sendiri, oke?"

Nara mengangguk kecil dan tersenyum tipis—senyum yang jauh dari bahagia—lalu berbalik pergi meninggalkan Sheyna.

Sheyna menatap kepergian Nara dalam diam. Dadanya sesak. Rasanya ingin menangis, tapi ia tahu ini bukan saatnya. Tak lama kemudian, Ardya datang menghampiri dan berdiri di sebelahnya.

"Gimana Nara?" tanya Ardya pelan.

"Gimana apanya? Dia pasti shock lah!" jawab Sheyna dengan nada tinggi. Matanya memerah, emosinya jelas tak lagi bisa disembunyikan. "Siapa juga yang nggak shock digituin? Zevan tuh udah ngasih harapan ke Nara. Dia sendiri yang confess ke gue dia suka sama Nara, bilang dia udah nggak mungkin suka sama orang lain. Dan bodohnya gue percaya, makanya gue juga sampe nyuruh Nara buat coba buka hati. Tapi sekarang ... dia malah balikan sama mantannya itu?! Brengsek!"

"Sssttt ... Na, jaga omongan lo," ucap Ardya pelan, mencoba menenangkan.

"Biarin! Emang bener kok! Gue juga nyesel, banget, pernah bilang ke Nara buat buka hati. Gue nyesel, banget, juga pernah suka sama sama tuh orang. Kenapa sih cowok kayak gitu masih ada di muka bumi ini?!" katanya keras-keras, berharap terdengar sampai ke telinga Zevan.

Ardya menggeleng pelan, menatap Sheyna yang semakin emosional. "Mungkin ... dia punya alasan, Na. Gue juga nggak tahu apa, tapi ... lo tahu sendiri Zevan nggak mungkin segampang itu ngelakuin sesuatu tanpa mikir."

Sheyna memutar mata dan menatap Ardya tajam. "Lo ngapain sih masih belain dia?! Udah jelas-jelas dia tuh pembohong besar! Dia jahat tau nggak?! Jangan bilang lo juga masih nganggep dia temen!"

Ardya menghela napas. "Gue nggak belain, Na. Gue cuma ... gue cuma mikir, semuanya pasti ada alasannya. Gue nggak tahu apa, tapi ... tapi udahlah, yuk balik."

Ardya menarik pelan lengan Sheyna, mengajaknya pergi.

Sheyna hanya bisa mendengus, tapi mengikuti langkah Ardya. Dalam hatinya masih penuh amarah. Tapi ia tahu, kemarahan itu tak akan mengubah keadaan.

Di ambang pintu, Zevan diam-diam mendengar semuanya. Ia ingin menjelaskan semuanya, setidaknya kepada Sheyna dan Ardya, tapi ia tahu itu tidak akan merubah apapun. Itu tidak akan menyembuhkan kekecewaan Nara. Ia hanya bisa menghela napasnya kasar. 

 

🍁🍁🍁

 

Langit mulai memudar menuju senja ketika Nara mengeluarkan motornya dari parkiran sekolah. Suasana sekeliling ramai seperti biasa—teman-teman yang tertawa, suara deru kendaraan, obrolan tak penting—semuanya terasa jauh dari dirinya. Helm sudah terpasang, suara mesin motor menyala pelan, dan ia pun melaju meninggalkan halaman sekolah. 

Angin sore menerpa wajah Nara saat motor melaju perlahan di jalanan kota kecil itu. Pandangannya lurus ke depan, tapi pikirannya memutar ulang segalanya. Tatapan Zevan. Senyumnya yang terlihat tulus saat terakhir kali mereka bertemu. Sebelum hari ini, sebelum semuanya menyadarkannya bahwa ... ia mungkin memang tidak boleh berharap kepada seseorang.

Senja menggantung redup di langit barat saat Nara memarkirkan motornya dan melangkah pelan menuju taman kecil yang biasa ia kunjungi. Tempat itu tidak pernah istimewa bagi siapa-siapa, hanya sebidang rumput yang cukup luas dengan beberapa bangku besi dan pohon rindang yang menghadap ke arah sungai kecil. Meskipun begitu, bagi Nara, tempat ini seperti menjadi pelarian—satu-satunya sudut dunia yang terasa cukup sunyi untuk mengistirahatkan hatinya. Meskipun pada kenyataannya, pikirannya tetap saja riuh di dalam sana.

Nara duduk di bangku favoritnya, tepat di bawah pohon yang daunnya terkadang jatuh karena angin yang menerpa. Angin sore menyentuh wajahnya lembut, membawa aroma tanah dan kenangan yang samar. Di hadapannya, langit mulai berwarna jingga keemasan. Cahaya senja memantul di permukaan air, menciptakan siluet yang tenang—berlawanan dengan isi kepalanya yang penuh, riuh.

Nara menarik napas panjang, lalu memejamkan mata. Segalanya masih terasa berat. Kekecewaan pada Zevan, rasa dipermaikan, dan kebingungan yang seperti tak berujung membuatnya kewalahan. Tapi ... di tengah keruwetan itu, ada suara kecil dalam dirinya yang mulai berbisik.

Apa ini peringatan ya kalau gue harus cinta sama diri sendiri dulu sebelum berharap dapetin itu dari orang lain? Batin Nara merenungi semuanya.

Selama ini, mungkin dengan atau tanpa Nara sadari, ia diam-diam membenci dirinya sendiri. Ia benci dirinya yang tidak pandai berteman, bersosialisasi, dan mempertahankan hubungan—pertemanan khususnya. Ia benci dirinya yang tidak cantik, tidak pernah, dan mau berusaha mempercantik dirinya dengan memakai riasan seperti cewek pada umumnya. Ia benci dirinya yang tidak memikirkan penampilan dan merasa itu hal bagus karena ia ingin 'menjadi' dirinya sendiri. Ia benci dirinya yang pemalu, pendiam, penakut, dan masih banyak sifat lain dalam dirinya yang ia benci.

Mungkin ... selama ini, itulah yang membuatnya tidak pernah merasa cukup dengan dirinya. Dan membuatnya tidak pernah merasa pantas untuk orang lain. Dan itu membawanya ke pengaruh negatif yang terus menggerogoti pikirannya dan membuatnya semakin jauh dari dirinya sendiri.

Iya, gue harus berubah. Harus.

Nara membuka matanya, menatap senja yang kini perlahan berubah ungu. Indah, meskipun sebentar lagi akan menghilang. Sama seperti banyak hal lain dalam hidup. Tapi mungkin, tak semua kehilangan harus menyakitkan. Mungkin, beberapa perpisahan adalah cara semesta memaksanya untuk pulang—kembali ke dirinya sendiri.

Nara menghela napas pelan sambil tersenyum, membiarkan angin sore menyapu wajahnya yang hangat oleh matahari. Ia duduk diam di sudut taman, dikelilingi semak dan pepohonan yang mulai merunduk oleh cahaya keemasan. Jari-jarinya menggenggam ujung jaket yang menutupi seragamnya, matanya kosong menatap senja yang semakin kemerahan.

Tiba-tiba, di antara desir angin dan gemerisik daun, terdengar samar suara seseorang menyanyi. Lirih, tapi cukup jelas untuk menarik perhatiannya. Nara mendongak pelan. Suaranya datang dari arah kanannya, agak jauh.

Seorang cowok tampak duduk di sisi lain taman ini dengan gitarnya. Ia memeluk gitarnya erat, jemarinya bergerak luwes di atas senar. Suara nyanyiannya yang tadi terdengar sayup kini menjadi lebih jelas, meski tetap terdengar seperti gumaman yang pelan dan tak berniat menarik perhatian.

Nara mengerjap sekali. Bukan karena suaranya yang memikat, tapi karena ketenangannya. Cowok itu terlihat larut dalam dunianya sendiri, seakan seluruh taman tak ada artinya selain gitarnya dan lagu yang sedang ia nyanyikan. Ada sesuatu dari caranya duduk, dari posisi kepalanya yang sedikit menunduk, yang membuat Nara ... menoleh dua kali.

Setelah Nara perhatikan baik-baik, ia baru menyadari bahwa itu adalah Raksha. Orang yang tempo hari menolongnya dan juga ... menangkap basahnya sedang menangis seperti orang bodoh.

Nara cepat-cepat mengalihkan pandangan. Matanya kembali menatap ujung sepatunya yang sedikit berdebu, seolah rumput di bawahnya jauh lebih menarik dibandingkan sosok yang baru saja dikenalnya—dan tidak, ia tidak punya perasaan apa pun pada Raksha. Tidak sedikit pun. Tidak mungkin.

Nara hanya ... kaget. Karena dunia ini terlalu kecil untuk bisa berpapasan lagi dengan orang yang sempat melihatnya dalam kondisi paling memalukan.

Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menetralkan detak jantung yang sempat berubah ritmenya. Namun, sebelum sempat tenang sepenuhnya, perasaan bahwa seseorang sedang menatapnya membuatnya perlahan menoleh lagi.

Dan benar saja.

Raksha tengah menatap ke arahnya. Matanya yang tajam tapi tenang itu seakan langsung menangkap pandangannya. Untuk sesaat, keduanya hanya saling diam, jarak di antara mereka cukup jauh untuk membuat suasana tak sepenuhnya canggung—tapi cukup dekat untuk membuat Nara tahu: ia tertangkap basah.

Lagi.

Raksha tidak tersenyum, tidak pula memberi ekspresi yang aneh. Ia hanya mengangguk pelan, sama seperti terakhir kali. Sikapnya masih tenang, masih tidak memaksa.

Nara buru-buru menunduk dan meremas sisi jaketnya. Ia berharap tanah terbuka dan menelannya detik itu juga. Bukan karena dia menyukai Raksha—jauh dari itu. Tapi ada sesuatu dari cowok itu yang membuatnya selalu merasa ... transparan.

Dan ia benci perasaan itu.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • juliartidewi

    Kalau ditulis 'ada keturunan Cina' bisa menyinggung SARA.

    Comment on chapter 10 || A Threat from The Past
Similar Tags
Jalan Menuju Braga
391      305     4     
Romance
Berly rasa, kehidupannya baik-baik saja saat itu. Tentunya itu sebelum ia harus merasakan pahitnya kehilangan dan membuat hidupnya berubah. Hal-hal yang selalu ia dapatkan, tak bisa lagi ia genggam. Hal-hal yang sejalan dengannya, bahkan menyakitinya tanpa ragu. Segala hal yang terjadi dalam hidupnya, membuat Berly menutup mata akan perasaannya, termasuk pada Jhagad Braga Utama--Kakak kelasnya...
Dalam Waktu Yang Lebih Panjang
351      262     22     
True Story
Bagi Maya hidup sebagai wanita normal sudah bukan lagi bagian dari dirinya Didiagnosa PostTraumatic Stress Disorder akibat pelecehan seksual yang ia alami membuatnya kehilangan jati diri sebagai wanita pada umumnya Namun pertemuannya dengan pasangan suami istri pemilik majalah kesenian membuatnya ingin kembali beraktivitas seperti sedia kala Kehidupannya sebagai penulis pun menjadi taruhan hidupn...
Unexpectedly Survived
104      93     0     
Inspirational
Namaku Echa, kependekan dari Namira Eccanthya. Kurang lebih 14 tahun lalu, aku divonis mengidap mental illness, tapi masih samar, karena dulu usiaku masih terlalu kecil untuk menerima itu semua, baru saja dinyatakan lulus SD dan sedang semangat-semangatnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Karenanya, psikiater pun ngga menyarankan ortu untuk ngasih tau semuanya ke aku secara gamblang. ...
Perjalanan Tanpa Peta
52      47     1     
Inspirational
Abayomi, aktif di sosial media dengan kata-kata mutiaranya dan memiliki cukup banyak penggemar. Setelah lulus sekolah, Abayomi tak mampu menentukan pilihan hidupnya, dia kehilangan arah. Hingga sebuah event menggiurkan, berlalu lalang di sosial medianya. Abayomi tertarik dan pergi ke luar kota untuk mengikutinya. Akan tetapi, ekspektasinya tak mampu menampung realita. Ada berbagai macam k...
Atraksi Manusia
463      342     7     
Inspirational
Apakah semua orang mendapatkan peran yang mereka inginkan? atau apakah mereka hanya menjalani peran dengan hati yang hampa?. Kehidupan adalah panggung pertunjukan, tempat narasi yang sudah di tetapkan, menjalani nya suka dan duka. Tak akan ada yang tahu bagaimana cerita ini berlanjut, namun hal yang utama adalah jangan sampai berakhir. Perjalanan Anne menemukan jati diri nya dengan menghidupk...
Bunga Hortensia
1612      70     0     
Mystery
Nathaniel adalah laki-laki penyendiri. Ia lebih suka aroma buku di perpustakaan ketimbang teman perempuan di sekolahnya. Tapi suatu waktu, ada gadis aneh masuk ke dalam lingkarannya yang tenang itu. Gadis yang sulit dikendalikan, memaksanya ini dan itu, maniak misteri dan teka-teki, yang menurut Nate itu tidak penting. Namun kemudian, ketika mereka sudah bisa menerima satu sama lain dan mulai m...
Ilona : My Spotted Skin
499      358     3     
Romance
Kecantikan menjadi satu-satunya hal yang bisa Ilona banggakan. Tapi, wajah cantik dan kulit mulusnya hancur karena psoriasis. Penyakit autoimun itu membuat tubuh dan wajahnya dipenuhi sisik putih yang gatal dan menjijikkan. Dalam waktu singkat, hidup Ilona kacau. Karirnya sebagai artis berantakan. Orang-orang yang dia cintai menjauh. Jumlah pembencinya meningkat tajam. Lalu, apa lagi yang h...
CTRL+Z : Menghapus Diri Sendiri
120      107     1     
Inspirational
Di SMA Nirwana Utama, gagal bukan sekadar nilai merah, tapi ancaman untuk dilupakan. Nawasena Adikara atau Sen dikirim ke Room Delete, kelas rahasia bagi siswa "gagal", "bermasalah", atau "tidak cocok dengan sistem" dihari pertamanya karena membuat kekacauan. Di sana, nama mereka dihapus, diganti angka. Mereka diberi waktu untuk membuktikan diri lewat sistem bernama R.E.S.E.T. Akan tetapi, ...
Only One
909      638     13     
Romance
Hidup di dunia ini tidaklah mudah. Pasti banyak luka yang harus dirasakan. Karena, setiap jalan berliku saat dilewati. Rasa sakit, kecewa, dan duka dialami Auretta. Ia sadar, hidup itu memang tidaklah mudah. Terlebih, ia harus berusaha kuat. Karena, hanya itu yang bisa dilakukan untuk menutupi segala hal yang ada dalam dirinya. Terkadang, ia merasa seperti memakai topeng. Namun, mungkin itu s...
Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
2341      1078     25     
Romance
Dalam dunia yang menuntut kesempurnaan, tekanan bisa datang dari tempat paling dekat: keluarga, harapan, dan bayang-bayang yang tak kita pilih sendiri. Cerita ini mengangkat isu kesehatan mental secara mendalam, tentang Obsessive Compulsive Disorder (OCD) dan anhedonia, dua kondisi yang sering luput dipahami, apalagi pada remaja. Lewat narasi yang intim dan emosional, kisah ini menyajikan perj...