Sisa jam pelajaran setelah istirahat pertama terasa berjalan sangat lambat bagi Nara. Matanya menatap papan tulis, tetapi pikirannya melayang entah ke mana. Suara guru di depan kelas terdengar seperti dengungan jauh yang tidak benar-benar ia pahami. Kepalanya penuh, tapi bukan karena rumus atau materi pelajaran.
Jam istirahat tadi menjadi bukan waktu istirahat yang sesungguhnya—justru menjadi waktu paling melelahkan. Rasanya seperti baru saja dijatuhkan tepat setelah dijanjikan untuk lepas landas dengan aman.
Zevan duduk tepat di belakangnya. Jarak mereka hanya setengah meter, tapi Nara merasa seperti sedang berada di dimensi yang berbeda. Hampa. Dingin. Tak sekalipun ia menoleh ke belakang. Tak ada rasa ingin tahu, apalagi keinginan untuk mendengar penjelasan dari seseorang yang sudah menghancurkan kepercayaannya dalam sekejap.
Zevan sudah mengakui bahwa ia kembali bersama Melva. Itu saja sudah cukup untuk membuat hatinya runtuh. Untuk membuatnya berhenti berharap, berhenti percaya pada semua kata-kata manis yang pernah Zevan ucapkan.
Tepat setelah bel pulang berbunyi, Nara langsung meraih tas dan keluar dari kelas secepat mungkin, seolah ingin menjauh dari semua yang menyakitinya.
"Ra!" seru Sheyna yang langsung menatap tajam ke arah Zevan sebelum berlari menyusul sahabatnya. Tatapannya tajam, penuh kemarahan yang ditahan.
"Tunggu, Ra!" serunya lagi di koridor sekolah yang mulai dipadati siswa lain.
Ardya yang masih di dalam kelas hanya berdiri mematung sejenak, menatap punggung Nara yang menjauh dan tak menyadari bahwa ia diperhatikan. Ia lalu melirik ke arah Zevan, yang masih duduk dengan ekspresi datar. Namun, Ardya tahu, itu seperti hanya sebuah topeng. Sorot mata Zevan terlihat jelas menyimpan sesuatu. Luka, penyesalan, atau mungkin ... kebingungan. Tapi, ada batasan yang membuatnya tidak mengerti mengapa Zevan melakukan hal ini.
Di luar kelas, Sheyna berhasil menyusul Nara yang berjalan cepat.
"Ra, tunggu dulu, dong!" ucap Sheyna sambil menarik lengan sahabatnya. Nafasnya sedikit tersengal karena mengejar.
"Gue temenin lo balik ya?"
"Nggak usah, Na. Gue nggak papa kok," jawab Nara, tanpa menatap Sheyna.
"Ra ..." Sheyna menggenggam tangan Nara lebih erat. "Gue tahu lo nggak baik-baik aja. Lo nggak perlu pura-pura kuat. Kita ini sahabat, inget? Lo masih inget kan sama janji kita dulu? Kita janji buat selalu jujur, nggak nutupin apa pun."
Nara terdiam beberapa detik sebelum menjawab. Suaranya pelan, nyaris patah. "Gue ... gue cuma masih terlalu bingung buat ngerti semuanya, Na. Rasanya kayak ... gue lagi mimpi buruk, Na." Nara tersenyum getir. "Kasih gue waktu dulu, ya?"
Sheyna menatap Nara dalam diam, lalu menghela napas berat. "Yaudah ... tapi lo janji, Ra. Lo janji lo nggak akan kenapa-kenapa. Dan lo harus inget kalo gue selalu siap kalo lo mau numpahin semuanya. Jangan simpen semua sendiri, oke?"
Nara mengangguk kecil dan tersenyum tipis—senyum yang jauh dari bahagia—lalu berbalik pergi meninggalkan Sheyna.
Sheyna menatap kepergian Nara dalam diam. Dadanya sesak. Rasanya ingin menangis, tapi ia tahu ini bukan saatnya. Tak lama kemudian, Ardya datang menghampiri dan berdiri di sebelahnya.
"Gimana Nara?" tanya Ardya pelan.
"Gimana apanya? Dia pasti shock lah!" jawab Sheyna dengan nada tinggi. Matanya memerah, emosinya jelas tak lagi bisa disembunyikan. "Siapa juga yang nggak shock digituin? Zevan tuh udah ngasih harapan ke Nara. Dia sendiri yang confess ke gue dia suka sama Nara, bilang dia udah nggak mungkin suka sama orang lain. Dan bodohnya gue percaya, makanya gue juga sampe nyuruh Nara buat coba buka hati. Tapi sekarang ... dia malah balikan sama mantannya itu?! Brengsek!"
"Sssttt ... Na, jaga omongan lo," ucap Ardya pelan, mencoba menenangkan.
"Biarin! Emang bener kok! Gue juga nyesel, banget, pernah bilang ke Nara buat buka hati. Gue nyesel, banget, juga pernah suka sama sama tuh orang. Kenapa sih cowok kayak gitu masih ada di muka bumi ini?!" katanya keras-keras, berharap terdengar sampai ke telinga Zevan.
Ardya menggeleng pelan, menatap Sheyna yang semakin emosional. "Mungkin ... dia punya alasan, Na. Gue juga nggak tahu apa, tapi ... lo tahu sendiri Zevan nggak mungkin segampang itu ngelakuin sesuatu tanpa mikir."
Sheyna memutar mata dan menatap Ardya tajam. "Lo ngapain sih masih belain dia?! Udah jelas-jelas dia tuh pembohong besar! Dia jahat tau nggak?! Jangan bilang lo juga masih nganggep dia temen!"
Ardya menghela napas. "Gue nggak belain, Na. Gue cuma ... gue cuma mikir, semuanya pasti ada alasannya. Gue nggak tahu apa, tapi ... tapi udahlah, yuk balik."
Ardya menarik pelan lengan Sheyna, mengajaknya pergi.
Sheyna hanya bisa mendengus, tapi mengikuti langkah Ardya. Dalam hatinya masih penuh amarah. Tapi ia tahu, kemarahan itu tak akan mengubah keadaan.
Di ambang pintu, Zevan diam-diam mendengar semuanya. Ia ingin menjelaskan semuanya, setidaknya kepada Sheyna dan Ardya, tapi ia tahu itu tidak akan merubah apapun. Itu tidak akan menyembuhkan kekecewaan Nara. Ia hanya bisa menghela napasnya kasar.
πππ
Langit mulai memudar menuju senja ketika Nara mengeluarkan motornya dari parkiran sekolah. Suasana sekeliling ramai seperti biasa—teman-teman yang tertawa, suara deru kendaraan, obrolan tak penting—semuanya terasa jauh dari dirinya. Helm sudah terpasang, suara mesin motor menyala pelan, dan ia pun melaju meninggalkan halaman sekolah.
Angin sore menerpa wajah Nara saat motor melaju perlahan di jalanan kota kecil itu. Pandangannya lurus ke depan, tapi pikirannya memutar ulang segalanya. Tatapan Zevan. Senyumnya yang terlihat tulus saat terakhir kali mereka bertemu. Sebelum hari ini, sebelum semuanya menyadarkannya bahwa ... ia mungkin memang tidak boleh berharap kepada seseorang.
Senja menggantung redup di langit barat saat Nara memarkirkan motornya dan melangkah pelan menuju taman kecil yang biasa ia kunjungi. Tempat itu tidak pernah istimewa bagi siapa-siapa, hanya sebidang rumput yang cukup luas dengan beberapa bangku besi dan pohon rindang yang menghadap ke arah sungai kecil. Meskipun begitu, bagi Nara, tempat ini seperti menjadi pelarian—satu-satunya sudut dunia yang terasa cukup sunyi untuk mengistirahatkan hatinya. Meskipun pada kenyataannya, pikirannya tetap saja riuh di dalam sana.
Nara duduk di bangku favoritnya, tepat di bawah pohon yang daunnya terkadang jatuh karena angin yang menerpa. Angin sore menyentuh wajahnya lembut, membawa aroma tanah dan kenangan yang samar. Di hadapannya, langit mulai berwarna jingga keemasan. Cahaya senja memantul di permukaan air, menciptakan siluet yang tenang—berlawanan dengan isi kepalanya yang penuh, riuh.
Nara menarik napas panjang, lalu memejamkan mata. Segalanya masih terasa berat. Kekecewaan pada Zevan, rasa dipermaikan, dan kebingungan yang seperti tak berujung membuatnya kewalahan. Tapi ... di tengah keruwetan itu, ada suara kecil dalam dirinya yang mulai berbisik.
Apa ini peringatan ya kalau gue harus cinta sama diri sendiri dulu sebelum berharap dapetin itu dari orang lain? Batin Nara merenungi semuanya.
Selama ini, mungkin dengan atau tanpa Nara sadari, ia diam-diam membenci dirinya sendiri. Ia benci dirinya yang tidak pandai berteman, bersosialisasi, dan mempertahankan hubungan—pertemanan khususnya. Ia benci dirinya yang tidak cantik, tidak pernah, dan mau berusaha mempercantik dirinya dengan memakai riasan seperti cewek pada umumnya. Ia benci dirinya yang tidak memikirkan penampilan dan merasa itu hal bagus karena ia ingin 'menjadi' dirinya sendiri. Ia benci dirinya yang pemalu, pendiam, penakut, dan masih banyak sifat lain dalam dirinya yang ia benci.
Mungkin ... selama ini, itulah yang membuatnya tidak pernah merasa cukup dengan dirinya. Dan membuatnya tidak pernah merasa pantas untuk orang lain. Dan itu membawanya ke pengaruh negatif yang terus menggerogoti pikirannya dan membuatnya semakin jauh dari dirinya sendiri.
Iya, gue harus berubah. Harus.
Nara membuka matanya, menatap senja yang kini perlahan berubah ungu. Indah, meskipun sebentar lagi akan menghilang. Sama seperti banyak hal lain dalam hidup. Tapi mungkin, tak semua kehilangan harus menyakitkan. Mungkin, beberapa perpisahan adalah cara semesta memaksanya untuk pulang—kembali ke dirinya sendiri.
Nara menghela napas pelan sambil tersenyum, membiarkan angin sore menyapu wajahnya yang hangat oleh matahari. Ia duduk diam di sudut taman, dikelilingi semak dan pepohonan yang mulai merunduk oleh cahaya keemasan. Jari-jarinya menggenggam ujung jaket yang menutupi seragamnya, matanya kosong menatap senja yang semakin kemerahan.
Tiba-tiba, di antara desir angin dan gemerisik daun, terdengar samar suara seseorang menyanyi. Lirih, tapi cukup jelas untuk menarik perhatiannya. Nara mendongak pelan. Suaranya datang dari arah kanannya, agak jauh.
Seorang cowok tampak duduk di sisi lain taman ini dengan gitarnya. Ia memeluk gitarnya erat, jemarinya bergerak luwes di atas senar. Suara nyanyiannya yang tadi terdengar sayup kini menjadi lebih jelas, meski tetap terdengar seperti gumaman yang pelan dan tak berniat menarik perhatian.
Nara mengerjap sekali. Bukan karena suaranya yang memikat, tapi karena ketenangannya. Cowok itu terlihat larut dalam dunianya sendiri, seakan seluruh taman tak ada artinya selain gitarnya dan lagu yang sedang ia nyanyikan. Ada sesuatu dari caranya duduk, dari posisi kepalanya yang sedikit menunduk, yang membuat Nara ... menoleh dua kali.
Setelah Nara perhatikan baik-baik, ia baru menyadari bahwa itu adalah Raksha. Orang yang tempo hari menolongnya dan juga ... menangkap basahnya sedang menangis seperti orang bodoh.
Nara cepat-cepat mengalihkan pandangan. Matanya kembali menatap ujung sepatunya yang sedikit berdebu, seolah rumput di bawahnya jauh lebih menarik dibandingkan sosok yang baru saja dikenalnya—dan tidak, ia tidak punya perasaan apa pun pada Raksha. Tidak sedikit pun. Tidak mungkin.
Nara hanya ... kaget. Karena dunia ini terlalu kecil untuk bisa berpapasan lagi dengan orang yang sempat melihatnya dalam kondisi paling memalukan.
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menetralkan detak jantung yang sempat berubah ritmenya. Namun, sebelum sempat tenang sepenuhnya, perasaan bahwa seseorang sedang menatapnya membuatnya perlahan menoleh lagi.
Dan benar saja.
Raksha tengah menatap ke arahnya. Matanya yang tajam tapi tenang itu seakan langsung menangkap pandangannya. Untuk sesaat, keduanya hanya saling diam, jarak di antara mereka cukup jauh untuk membuat suasana tak sepenuhnya canggung—tapi cukup dekat untuk membuat Nara tahu: ia tertangkap basah.
Lagi.
Raksha tidak tersenyum, tidak pula memberi ekspresi yang aneh. Ia hanya mengangguk pelan, sama seperti terakhir kali. Sikapnya masih tenang, masih tidak memaksa.
Nara buru-buru menunduk dan meremas sisi jaketnya. Ia berharap tanah terbuka dan menelannya detik itu juga. Bukan karena dia menyukai Raksha—jauh dari itu. Tapi ada sesuatu dari cowok itu yang membuatnya selalu merasa ... transparan.
Dan ia benci perasaan itu.
Kalau ditulis 'ada keturunan Cina' bisa menyinggung SARA.
Comment on chapter 10 || A Threat from The Past