"Tunggu." Suara Nara terdengar pelan, tapi tegas.
Raksha yang sudah hampir sampai ke pintu ruang musik, menghentikan langkahnya. Ia menoleh pelan, ekspresinya datar seperti biasa.
“Lo yang nolongin gue?” tanya Nara sambil memandang Raksha lurus-lurus.
Raksha menatap balik. Sorot matanya tajam, seolah menimbang apakah perlu menjawab atau tidak.
“Kenapa emang?” balasnya singkat, hampir terdengar malas.
Nara maju beberapa langkah. Kini hanya berjarak satu meter dari Raksha. Matanya jernih, meski masih sembab. “Kalo iya … gue mau bilang makasih. Karena lo udah nelponin Sheyna dan ngembaliin dompet sama HP gue.” Kalimat itu meluncur tulus. Tak ada embel-embel basa-basi. Hanya terima kasih.
Raksha mengangkat satu alis, seperti tidak mengharapkan ucapan itu. “Oh … oke.” Ia mengangguk pelan dan hendak berbalik sebeum suara Nara kembali menghentikan langkahnya.
"Gue, Nara." ujar Nara tiba-tiba.
Raksha memandang Nara sejenak sebelum menjawab, "Raksha."
“Eh, tapi …” Nara menahan napas, “...ngapain lo bawa gue ke sini?”
Raksha menghela napas. “Lo nggak sadar? Ini tuh jam istirahat. Hampir aja lo ketauan sama banyak orang." Nada suaranya mulai terdengar ketus. "Yaudah, lanjutin gih nangisnya,” lanjutnya datar, lalu berbalik dan berjalan menuju pintu.
Kata-katanya ringan, tapi entah kenapa, justru menampar keras. Nara mematung. Seolah ditelanjangi tanpa diminta. Ia ingin membalas, tapi tak ada kalimat yang cukup tajam untuk melawan kejujuran telak itu.
Pintu tertutup.
Sunyi menyeruak.
Nara menghela napas panjang. Dia sudah tidak mood lagi untuk menangis. Tangisnya tadi sudah cukup membuat matanya berat, dan sekarang tubuhnya seperti kosong. Tapi pikirannya tetap penuh. Ia mencoba berdiri, mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Mata Nara berhenti pada deretan gitar yang berjajar rapi di rak.
Langkahnya ringan menuju salah satu gitar akustik. Tangannya menyentuhnya pelan, seolah meminta izin. “Sebentar aja,” gumamnya dalam hati. “Nggak bakal rusak, kok.”
Ia mengambil satu gitar dan duduk di kursi kayu pendek di sudut ruangan. Tangannya mulai memainkan beberapa chord dasar yang masih ia ingat. Kunci C, G, Am, F. Tangannya sedikit gemetar, tapi suara gitar itu terasa menenangkan. Meski senarnya belum sepenuhnya ditekan kuat dan nadanya masih fals di beberapa bagian, suara itu lebih menenangkan daripada hening.
Di luar ruangan, ternyata Raksha belum benar-benar pergi. Ia berdiri di depan pintu, memandangi lantai dengan tatapan kosong.
Sebenarnya, dari awal Raksha sudah tidak setuju untuk membantu Melva membalaskan dendamnya. Namun, ia tidak memiliki pilihan lain. Ia terikat hutang yang harus dibayar kepada Melva. Hutang masa lalu yang sekarang ditagih oleh gadis itu.
Terlepas dari itu, setelah melihat Nara menangis tadi, ada sesuatu di dalam dirinya yang menolak membiarkan gadis itu hancur begitu saja demi permainan Melva.
Perasaan itu—aneh dan tak biasa—mulai tumbuh. Ia sendiri tak paham. Perasaan aneh itu membuatnya berpikir: "Nggak ... gue nggak boleh ngelakuin itu."
Tanpa sadar, rasa penasaran membawanya untuk membuka sedikit pintu. Pelan, nyaris tanpa suara. Raksha menyisakan celah kecil untuk mengintip.
Di dalam, Nara masih duduk. Tapi ia tidak lagi menangis. Ia memegang gitar, memainkannya perlahan. Suaranya belum sempurna, tapi ada ketulusan dalam tiap petikannya. Seolah itu caranya berbicara.
Raksha menatap. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar menatap.
Raksha menatap dalam diam. Sekilas, ia melihat sosok lain dari Nara—bukan hanya cewek yang sedang patah hati, tapi seseorang yang sedang berusaha kuat. Bertahan.
Hatinya berdesir.
Raksha buru-buru menutup pintu, takut ketahuan. Napasnya tercekat. Ia menunduk, menekuk jemarinya agar tetap tenang. Tapi dadanya berdebar cepat.
Sementara itu, di dalam ruangan, Nara menghentikan permainan gitarnya. Ia mendongak. Hidungnya mencium aroma samar dari parfum yang masih tertinggal di udara. Ia tahu. Seseorang berdiri di balik pintu. Dan ia yakin, itu pasti Raksha.
Namun, Nara tidak ingin menyapanya. Ia membiarkan laki-laki itu tetap di luar, sama seperti ia membiarkan dirinya tetap di dalam.
Nara menunduk lagi, menatap gitar di pangkuannya. Tangannya refleks membentuk kunci G. Tapi suaranya tak keluar. Yang muncul justru adalah ingatan. Tentang Zevan.
Ia memikirkan apa yang harus dia lakukan sekarang. Apa dia harus berpura-pura baik-baik saja? Atau ... apa dia harus meminta penjelasan dari Zevan? Tapi ... apa dia bahkan sebenarnya punya hak untuk itu?
"Gue masih dan akan terus nunggu lo, Ra."
“Iya … dia pacar gue.”
Dua kata-kata Zevan yang bertolak-belakang itu kembali terngiang di pikirannya. Kata-kata itu terputar seperti kaset rusak. Menyakitkan. Membingungkan. Menghantui. Dadanya sesak. Seolah dua kenyataan yang tak bisa berdampingan kini dipaksa untuk ditelan bersamaan.
"Kenapa lo bilang lo nunggu gue?" gumam Nara pelan. “Kalau akhirnya lo balik ke dia?”
Tak ada jawaban. Hanya denting jarum jam dinding yang bergerak pelan. Suara itu terdengar menakutkan dalam kesunyian. Seolah setiap detiknya adalah pengingat bahwa waktu terus berjalan, tapi lukanya tidak ikut sembuh.
Zevan—dengan tatapan matanya yang teduh saat menatapnya, Zevan—dengan senyumnya yang selalu berhasil membuatnya terguncang, tapi sekarang, semua itu terasa palsu.
Kepalanya mendadak terasa berat. Nara menghela napas, panjang dan berat. Pandangannya kosong, menatap jemarinya yang diam di atas senar gitar.
Tangannya mencengkeram leher gitar. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan sesuatu yang ingin sekali ia keluarkan. Entah itu tangis lagi, atau teriakan. Tapi tak ada yang keluar. Hanya diam.
Tok. Tok. Tok.
Tiga ketukan pelan di pintu.
Nara menoleh cepat, jantungnya mencelos. Pintu terbuka pelan, dan Raksha masuk dengan ekspresi datar.
“Udah bel,” katanya singkat. Suaranya rendah, tapi tidak seketus tadi. “Lo nggak mau balik ke kelas?”
Nara memandangnya sebentar. Ada keheningan yang menggantung di antara mereka. Tapi bukan hening yang canggung. Melainkan hening yang penuh pertanyaan—dan mungkin, awal dari sesuatu yang baru.
“Bentar lagi,” jawab Nara akhirnya.
"Gue ke kelas duluan," ujar Raksha yang kembali menutup pintu itu pelan.
Raksha melangkah pelan menyusuri lorong, membiarkan derap langkahnya tenggelam dalam riuh pelan siswa-siswa yang sudah mulai kembali ke kelas. Tapi hatinya tidak tenang. Entah sejak kapan suara gitar tadi—petikan sederhana dan tidak sempurna itu—meninggalkan kesan yang begitu mengganggu pikirannya.
Ada sesuatu dalam cara Nara memegang gitar, dalam cara ia diam di tengah luka, yang membuat Raksha ingin kembali ke ruang musik. Tapi ia juga tidak tahu harus berkata apa. Mereka ... belum sedekat itu.
πππ
Di lorong sekolah yang penuh dengan riuh siswa, Melva berjalan dengan langkah penuh percaya diri, diikuti oleh Zevan yang terlihat lesu dan enggan. Wajahnya masam, matanya tajam menatap ke bawah, berusaha menghindari tatapan orang-orang di sekitarnya.
“Van, jangan pasang muka gitu ya! Lo pacar gue sekarang, ingat itu!” suara Melva menyipitkan mata, hampir terdengar seperti ancaman yang disamarkan dalam nada manja. “Lo harus tunjukin ke semua orang, biar mereka tau.”
Zevan menghela napas berat, mencoba menelan rasa kesalnya. “Mel, gue nggak ngerti kenapa lo balikan sama gue, sementara tujuan lo mau bales dendam ke gue.”
“Lo nggak perlu ngerti sebenernya, tapi ... oke gue jelasin. Gue bakal bikin semua orang tau kalau lo pacar gue. Terutama Nara. Supaya lo nggak bakal bisa deketin dia lagi. Singkatnya gitu lah.” Senyum Melva mengembang, tapi penuh kepahitan dan dendam yang menggerogoti.
Zevan menahan emosi. Rahangnya mengeras.
Di sepanjang lorong, banyak mata siswa beralih ke mereka, bisik-bisik kecil terdengar. “Eh, Zevan sama si anak baru?”, “Pacaran, serius?”, “Gila, Zevan beneran ya?” dan bisikan-bisikan lain tentang Zevan lainnya.
Suasana tiba-tiba berubah tegang ketika mereka berjalan melewati ruang musik.
Pintu ruang musik terbuka pelan. Nara keluar, dengan mata sedikit sembab, dan langkah pelan yang masih menyisakan sisa emosi yang belum sepenuhnya reda.
Tatapan mereka bertemu walaupun sedetik kemudian Zevan berpaling.
Waktu seolah berhenti. Sekejap. Canggung. Menghantam keras ke dada masing-masing.
Melva cepat-cepat memasang ekspresi ramah yang dibuat-buat. “Eh, lo Nara kan? Kata Zevan, lo dulu temen sekelasnya Zevan di Samantha ya? Baru tahu gue,” katanya sambil menekan kata 'teman'. Ia menyapa dengan nada manis yang menyiratkan ejekan terselubung.
Nara tak menjawab. Matanya masih menatap Zevan yang bahkan tak berani menatapnya. Ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Zevan yang dulu berkata akan menunggunya … kini menggandeng tangan Melva, dengan ekspresi pasrah seperti itu.
“Lagi ngapain di ruang musik?” tanya Melva lagi, matanya melirik cepat ke arah mata Nara yang sembab. "Lo nggak abis nangis di dalem kan?"
Zevan berdehem, tak tahan. “Mel …”
Namun, Melva justru mencubit pelan lengannya, memberi isyarat agar diam. Lalu, ia mendekat sedikit ke arah Nara, suaranya diturunkan, nyaris seperti berbisik, "Zevan punya gue."
Nara mengerjapkan mata. Sakitnya belum reda, kini ditambah racun halus dari perempuan yang berdiri di hadapannya. Tapi tubuhnya mematung kaku. Apa Melva tahu dia menyukai Zevan? Kenapa ia bersikap seperti ini kepadanya?
Sementara Zevan ingin sekali memotong semuanya. Ingin memegang bahu Nara dan menjelaskan kalau semua ini bukan keinginannya. Tapi ... matanya melihat bagaimana sorot Nara berubah. Dari bingung, jadi kecewa. Lalu … dingin.
Zevan berdiri di samping Melva, ragu-ragu. Matanya beralih ke Nara, seolah ingin berkata sesuatu, tapi tidak menemukan kata yang tepat. Ia merasa terjebak di antara Melva yang memaksa dan Nara yang diam, tapi penuh arti.
Nara hanya menatap tajam ke arah Melva, hatinya membara oleh perasaan campur aduk—marah, kecewa, dan terluka.
Melva tertawa kecil, lalu menarik tangan Zevan pelan, “Ayo, Van. Anteri gue balik ke kelas.”
Zevan mengikuti, masih menatap Nara yang kini mematung menatap lantai. Penyesalan dan rasa bersalah seketika menyeruak ke dalam hatinya. Sementara Melva—dengan langkah penuh kemenangan— menyeretnya meninggalkan ruang musik. Meninggalkan Nara tanpa sepatah kata di sana.
Di belakang mereka, bisik-bisik semakin menjadi, dan Nara berdiri diam, mencoba menenangkan diri.
Kalau ditulis 'ada keturunan Cina' bisa menyinggung SARA.
Comment on chapter 10 || A Threat from The Past