Loading...
Logo TinLit
Read Story - Intertwined Hearts
MENU
About Us  

Seminggu ini, Nara benar-benar dibuat bingung dengan sikap Zevan. Rasanya seperti menapak tanah yang tiba-tiba berubah menjadi rawa—tak stabil, membingungkan, dan membuatnya nyaris tenggelam dalam tanya. Bagaimana tidak? Bahkan setelah pulang dari rumah sakit, Zevan tidak sekali pun menjenguknya. Setiap Sheyna datang, ia hanya datang sendiri, atau bersama Ardya. 

“Zevan tuh kenapa sih?” tanya Sheyna di kunjungan terakhirnya. “Bukannya ... waktu di rumah sakit itu, dia ngasih sinyal gitu ke lo?”

Nara hanya mengedikkan bahunya waktu itu. Dalam hatinya, ia pun mempertanyakan hal yang sama. 

"Gue masih dan akan terus nunggu lo, Ra." 

Kata-kata Zevan—yang saat itu menggantung di antara sunyi ruang rawat—seolah menjadi undangan untuk Nara agar membuka hatinya. Tapi sekarang, semuanya seperti fatamorgana—indah, tapi semu.

Bukankah seharusnya .... seharusnya Zevan yang lebih sering mengunjunginya? Bukannya Nara berharap ... mungkin sedikit, tapi perkataan terakhir Zevan di rumah sakit, bukankah itu sebuah isyarat bahwa Zevan ingin Nara membuka hati untuknya? Tapi ... tapi kenapa sekarang dia justru tak menunjukkan hal itu? Apa ia salah menafsirkan kalimatnya?

Dan hari ini, ketika rasa nyeri di kakinya mulai berkurang dan hanya menyisakan sedikit pincang, Nara akhirnya memutuskan untuk kembali menjejakkan kaki ke kelas. Meskipun ibunya meminta agar ia diantar jemput, Nara bersikeras untuk naik motor sendiri. Ia tahu, terlalu banyak bergantung hanya akan membuatnya merasa lemah. Lagipula, ayahnya juga tak mungkin selalu tersedia.

Ketika melewati jembatan, Nara merasa sangat merindukan tempat ini. Terutama taman itu yang sekarang menjadi tempat favoritnya untuk ... merenung dan ... memikirkan banyak hal.

Sesampainya di kelas, ternyata Sheyna dan Ardya juga sudah berangkat. Ia segera melangkahkan kakinya menuju ke tempat duduknya. Beberapa temannya menyapa Nara setelah satu minggu ia tidak masuk. 

"Ra! Beneran kaki lo udah baikan?" tanya Sheyna kala melihat Nara benar-benar berangkat.

Nara duduk perlahan sambil tersenyum. Ia mencopot tak punggung yang melekat di tubuhnya. "Iya, Na ... kan gue udah bilang ke lo kemaren kalo gue mulai masuk hari ini."

"Iya sih ..." gumam Sheyna.

Ardya di meja sebelah melihat ke arah mereka berdua. "Btw, lo dianterin atau ..." 

"Gue bawa motor, Dya," jawab Nara.

"Hah? Serius? Lo nggak takut jatuh lagi, Ra?" Sheyna terkejut mengetahui bahwa Nara berangkat dengan mengendarai motor sendiri. Padahal, dari cara berjalannya, gadis itu masih sedikit pincang, sedikit.

"Nggak lah. Masa cuma gara-gara jatuh sekali gue jadi takut naik motor lagi? Malahan katanya kalo bisa naik motor, tapi belum pernah jatuh, kurang afdol tau," ujar Nara sambil tertawa tipis.

"Astaga, jangan gitu ngomongnya, Ra! Gue belum soalnya. Eh jangan sampe deh," timpal Ardya

"Iya-iya, bercanda."

Bel kemudian berbunyi.

Nara kemudian menengok ke belakang untuk memastikan bahwa Zevan memang belum terlihat. Sesekali, pandangannya kembali terarah ke pintu. Berharap Zevan segera muncul walaupun ia tak tahu pasti apa yang akan dilakukannya.

Bel masuk berbunyi nyaring, membuat beberapa siswa langsung duduk rapi, sebagian lagi masih sibuk menyelesaikan obrolan yang tertunda. Nara menegakkan punggungnya, mencoba terlihat tenang meski matanya terus melirik ke pintu. Zevan belum juga muncul. 

Beberapa menit kemudian, Zevan akhirnya muncul. Ia melangkah masuk seolah waktu belum benar-benar berjalan. Kelas sudah tenang, tapi belum ada guru. Beberapa teman sempat menoleh, ada yang menyapa, ada juga yang cuek. Tapi Nara hanya diam. Pandangannya mengikuti langkah Zevan yang semakin dekat.

Saat melewati meja Nara, gadis itu menahan napas. Ada harapan kecil, samar, bahwa Zevan akan menyapanya. Atau setidaknya sekadar menoleh dan mengangguk. Wajar bukan jika ia mengharapkan hal itu?

Namun, ketika Zevan berjalan melewatinya—tanpa lirikan, tanpa sapaan, bahkan tanpa jeda napas yang terasa menyadari kehadiran Nara—hatinya seperti digores pisau tumpul. Pedihnya perlahan, tapi dalam.

Sheyna mengernyit. “Dia kenapa sih? Dari kemarin kayak ngilang dari radar gitu. Terus sekarang ... kayak gak liat lo.”

Nara menunduk, membuka bukunya sembarangan. “Nggak tau …” gumamnya berusaha tak terganggu dengan sikap Zevan. Padahal, sebenarnya ia juga bertanya-tanya mengapa Zevan bersikap demikian. Berbeda sekali dengan pertemuan terakhir mereka di rumah sakit. 

Namun, Nara berusaha berpikir positif. Mungkin ... Zevan memang sedang banyak pikiran. Mungkin dia terlalu lelah. Mungkin ... mungkin Zevan tidak menyadari kalau dirinya sudah kembali masuk kelas—meskipun rasanya tidak masuk akal karena saat ini Nara duduk tepat di depannya.

Seorang guru yang memasuki kelas dengan sapaan klasik: "Selamat pagi," sedikit mengalihkan pikiran Nara—meskipun tak sebanyak itu. Ia menghela napasnya panjang, mencoba menenangkan hatinya sendiri. 

 

🍁🍁🍁

 

Bel istirahat pertama baru saja berbunyi. 

Deru langkah kaki siswa yang meninggalkan bangku mereka mulai memenuhi kelas. Nara menutup bukunya pelan, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.  Tidak ada salahnya jika ... ia yang menyapa lebih dulu. Mungkin ... ini saatnya untuk berhenti ragu.

Baru saja Nara membalikkan badan, sebuah suara asing membuat seluruh kelas menoleh.

"Zevan!" panggil seorang gadis yang berdiri di ambang pintu. Rambutnya panjang, lurus, dengan pita merah muda menghias sisi kanan kepalanya. Wajahnya tak asing dan berhasil membuat Nara membulatkan matanya tak percaya. 

Melva? Kenapa ...?

Tanpa memperhatikan tatapan penasaran seisi kelas, Melva melangkah masuk dan berdiri di samping meja Zevan. "Temenin aku keliling sekolah, yuk. Aku pengen tahu ruangan-ruangannya dimana aja," katanya dengan suara manja, tangannya menggandeng lengan seragam Zevan tanpa ragu.

Seisi kelas terdiam. Beberapa siswa yang sedang berdiri mendadak berhenti berbicara. Suasana berubah canggung dan aneh. Mereka keheranan melihat ada seorang cewek yang tiba-tiba datang dan menempel sedekat itu kepada Zevan. 

Zevan tidak mengatakan apa-apa. Tatapannya kaku, tubuhnya nyaris tidak bergerak. Namun, di bawah meja, tangannya mengepal. Wajahnya menunjukkan sesuatu … seperti ingin menolak, tetapi tak berdaya.

Sheyna yang duduk di depannya berbalik menatap Zevan meminta penjelasan, “Siapa, Van?”

Melva menjawab cepat sebelum Zevan sempat bersuara, “Gue pacarnya Zevan. Kita emang sempet putus, tapi sekarang kita udah balikan lagi. Iya kan, Van?” Suara Melva meluncur ringan, seolah tanpa beban. Tapi dampaknya seperti petir di siang bolong bagi mereka yang mendengarnya. Terutama Nara.

Melva sempat melirik sekilas ke arah Nara dengan tatapan seolah-olah ia sudah mengalahkan Nara dari sesuatu.

Sementara Zevan masih terdiam kaku dan tak berani menatap Nara. Ia tahu, ia sangat menyakiti perasaan Nara sekarang. Ia tahu gadis itu akan sangat membencinya. 

Sheyna membelalakkan mata. Ardya yang sedari tadi hanya diam dan bertanya-tanya ikut terpaku. “Serius, Van?” tanya Ardya tak percaya, lalu menoleh ke arah Nara yang kini berdiri membatu, wajahnya memucat.

Zevan menatap Nara sejenak—sangat singkat, tapi penuh tekanan. Saat ia membuka mulutnya sedikit, Melva langsung melirik tajam ke arahnya. Zevan langsung mengalihkan pandangan dan menjawab pelan, “Iya … dia pacar gue.”

Ardya, Sheyna, dan seisi kelas terbelalak untuk kesekian kalinya dengan jawaban Zevan. Apalagu Ardya dan Sheyna masih tidak percaya karena setahu mereka, Zevan menyukai Nara. Namun, sebenarnya apa yang terjadi? Apa ada yang salah dengan ingatan Zevan?

Di antara mereka semua, Naralah yang paling terkejut. Ia merasa sangat bodoh karena percaya dengan kata-kata manis yang keluar dari mulut Zevan. Ia benci terhadap dirinya sendiri yang mengira bahwa hubungannya dengan Zevan akhirnya akan berakhir dengan bahagia kali ini. Ia benci mengharapkan bahwa Zevan adalah seseorang yang benar-benar menyukainya, yang benar-benar mau menunggunya. 

Nara berbalik cepat, melangkah keluar dari kelas sebelum ada yang sempat menahan. Matanya panas. Di lorong yang sepi, ia mempercepat langkah, mencari tempat untuk menyembunyikan perasaannya yang remuk.

Tangisnya pecah begitu saja. Sinar matahari menembus kisi-kisi jendela, memecah lantai dengan bayang-bayang patah seperti hatinya.

Nara menekuk lutut, menyandarkan tubuh ke dinding dingin. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya, mencoba meredam suara tangis yang nyaris meledak. Namun, ia tak bisa. Ia tak sanggup lagi berpura-pura kuat. Ada beban di dadanya yang begitu sesak, seperti karung pasir yang tiba-tiba dijatuhkan dari ketinggian tepat ke jantungnya. Berat, menusuk, dan menyakitkan.

"Bodoh … bodoh!" bisik Naraa di sela isakannya. "Kenapa gue bodoh banget sih?"

Nara menggigit bibir, berharap rasa perih itu bisa menandingi sakit yang menjalari hatinya. Tapi ternyata, rasa itu tak sebanding. Sakit hatinya jauh lebih tajam dari ujung pisau. Ia merasa seperti ditarik jatuh dari ketinggian tanpa siapa pun yang berusaha menangkapnya. Ia jatuh sendirian, keras, tanpa ampun.

Nara masih ingat dengan jelas kata-kata Zevan di rumah sakit. Kata-kata yang begitu lembut, begitu meyakinkan—seolah hanya Nara yang ada di hatinya. Zevan menatapnya dengan lembut dan berkata, “Gue masih dan akan nunggu lo, Ra." Dan Nara, dengan segala keberaniannya, mencoba melakukannya. Ia membiarkan pertahanan hatinya perlahan runtuh. Ia membiarkan Zevan masuk.

Tapi sekarang apa? Saat hatinya sudah terbuka, Zevan justru datang dengan pisau di tangan. Bukan untuk membela, tapi menusuk. Dalam.

Kenapa? Kenapa Zevan tega ngelakuin ini? Perhatiannya? Kata-katanya? Itu semua ... bohong?

Langkah kaki terdengar dari kejauhan. Nara buru-buru menghapus air matanya dengan lengan baju, meskipun wajahnya masih merah dan basah. Ia tidak ingin ada yang melihatnya seperti ini—lemah, rapuh, dan hancur.

Namun belum sempat ia berdiri dan menyembunyikan wajahnya, seseorang tiba-tiba meraih pergelangan tangannya. Sentuhannya tegas, tapi tak menyakitkan. Nara mendongak dengan panik, napasnya tercekat ketika matanya bertemu dengan sepasang mata asing yang tajam tapi tidak menghakimi.

"Ikut gue." Suara itu dalam, tenang, dan tanpa penjelasan.

"Ke—kenapa?" Nara tergagap, belum sepenuhnya sadar.

Namun orang itu tak menunggu. Ia menariknya pelan tapi pasti, melewati lorong yang masih lengang. Nara yang masih terguncang tidak mampu melawan. Ia hanya mengikuti langkahnya, seperti tertarik oleh magnet yang tak bisa dijelaskan. Jantungnya masih berdebar, kali ini bukan hanya karena emosi, tapi juga karena bingung dan canggung.

Mereka berhenti di depan sebuah ruangan dengan tulisan kecil di atas pintu: Ruang Musik. Pintu itu dibuka dengan mudah, dan seketika, suara hiruk-pikuk sekolah teredam begitu mereka masuk. Ruangan itu gelap dan sepi, hanya ada deretan alat musik yang berjajar rapi di sudut, dan aroma kayu tua yang khas menyelimuti udara.

"Lo kalo masih mau lanjutin nangis mending di sini," ucapnya datar sambil melepaskan pegangan tangan Nara. Ia lalu berbalik, hendak meninggalkan ruangan begitu saja.

Namun, pandangan Nara tertumbuk pada badge nama di dada seragam orang itu. Tulisan kecil yang baru saja terbaca jelas: Raksha Dylan Sadewa.

Nara sontak menegakkan tubuhnya. "Tunggu." Suaranya terdengar pelan, tapi tegas menghentikan langkah pemuda itu. “Lo yang nolongin gue?”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • juliartidewi

    Kalau ditulis 'ada keturunan Cina' bisa menyinggung SARA.

    Comment on chapter 10 || A Threat from The Past
Similar Tags
Kini Hidup Kembali
72      62     1     
Inspirational
Sebenarnya apa makna rumah bagi seorang anak? Tempat mengadu luka? Bangunan yang selalu ada ketika kamu lelah dengan dunia? Atau jelmaan neraka? Barangkali, Lesta pikir pilihan terakhir adalah yang paling mendekati dunianya. Rumah adalah tempat yang inginnya selalu dihindari. Namun, ia tidak bisa pergi ke mana-mana lagi.
Ada Apa Esok Hari
202      156     0     
Romance
Tarissa tak pernah benar-benar tahu ke mana hidup akan membawanya. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang sering kali tak ramah, ia hanya punya satu pegangan: harapan yang tak pernah ia lepaskan, meski pelan-pelan mulai retak. Di balik wajah yang tampak kuat, bersembunyi luka yang belum sembuh, rindu yang tak sempat disampaikan, dan cinta yang tumbuh diam-diamtenang, tapi menggema dalam diam. Ada Apa E...
Rumah Tanpa Dede
133      83     1     
Inspirational
Kata teteh, Bapak dan Mama bertengkar karena Dede, padahal Dede cuman bilang: "Kata Bapak, kalau Bi Hesti jadi Mama kedua, biaya pengobatan Dede ditanggung Bi Hesti sampai sembuh, Mah." Esya---penyintas penyakit langka Spina Bifida hanya ingin bisa berjalan tanpa bantuan kruk, tapi ekonomi yang miskin membuat mimpi itu terasa mustahil. Saat harapan berwujud 'Bi Hesti' datang, justru ban...
Di Punggungmu, Aku Tahu Kau Berubah
1529      709     3     
Romance
"Aku hanya sebuah tas hitam di punggung seorang remaja bernama Aditya. Tapi dari sinilah aku melihat segalanya: kesepian yang ia sembunyikan, pencarian jati diri yang tak pernah selesai, dan keberanian kecil yang akhirnya mengubah segalanya." Sebuah cerita remaja tentang tumbuh, bertahan, dan belajar mengenal diri sendiri diceritakan dari sudut pandang paling tak terduga: tas ransel.
Hello, Me (30)
19271      942     6     
Inspirational
Di usia tiga puluh tahun, Nara berhenti sejenak. Bukan karena lelah berjalan, tapi karena tak lagi tahu ke mana arah pulang. Mimpinya pernah besar, tapi dunia memeluknya dengan sunyi: gagal ini, tertunda itu, diam-diam lupa bagaimana rasanya menjadi diri sendiri, dan kehilangan arah di jalan yang katanya "dewasa". Hingga sebuah jurnal lama membuka kembali pintu kecil dalam dirinya yang pern...
Sendiri diantara kita
927      570     3     
Inspirational
Sendiri di Antara Kita Arien tak pernah benar-benar pergi. Tapi suatu hari, ia bangun dan tak lagi mengingat siapa yang pernah memanggilnya sahabat. Sebelum itu, mereka berlima adalah lingkaran kecil yang sempurna atau setidaknya terlihat begitu dari luar. Di antara canda, luka kecil disimpan. Di balik tawa, ada satu yang mulai merasa sendiri. Lalu satu kejadian mengubah segalanya. Seke...
Rania: Melebur Trauma, Menyambut Bahagia
166      137     0     
Inspirational
Rania tumbuh dalam bayang-bayang seorang ayah yang otoriter, yang membatasi langkahnya hingga ia tak pernah benar-benar mengenal apa itu cinta. Trauma masa kecil membuatnya menjadi pribadi yang cemas, takut mengambil keputusan, dan merasa tidak layak untuk dicintai. Baginya, pernikahan hanyalah sebuah mimpi yang terlalu mewah untuk diraih. Hingga suatu hari, takdir mempertemukannya dengan Raihan...
Batas Sunyi
1823      819     108     
Romance
"Hargai setiap momen bersama orang yang kita sayangi karena mati itu pasti dan kita gak tahu kapan tepatnya. Soalnya menyesal karena terlambat menyadari sesuatu berharga saat sudah enggak ada itu sangat menyakitkan." - Sabda Raka Handoko. "Tidak apa-apa kalau tidak sehebat orang lain dan menjadi manusia biasa-biasa saja. Masih hidup saja sudah sebuah achievement yang perlu dirayakan setiap har...
FaraDigma
843      487     1     
Romance
Digma, atlet taekwondo terbaik di sekolah, siap menghadapi segala risiko untuk membalas dendam sahabatnya. Dia rela menjadi korban bully Gery dan gengnya-dicaci maki, dihina, bahkan dipukuli di depan umum-semata-mata untuk mengumpulkan bukti kejahatan mereka. Namun, misi Digma berubah total saat Fara, gadis pemalu yang juga Ketua Patroli Keamanan Sekolah, tiba-tiba membela dia. Kekacauan tak terh...
Psikiater-psikiater di Dunia Skizofrenia
1039      659     0     
Inspirational
Sejak tahun 1998, Bianglala didiagnosa skizofrenia. Saat itu terjadi pada awal ia masuk kuliah. Akibatnya, ia harus minum obat setiap hari yang sering membuatnya mengantuk walaupun tak jarang, ia membuang obat-obatan itu dengan cara-cara yang kreatif. Karena obat-obatan yang tidak diminum, ia sempat beberapa kali masuk RSJ. Di tengah perjuangan Bianglala bergulat dengan skizofrenia, ia berhas...