Loading...
Logo TinLit
Read Story - Intertwined Hearts
MENU
About Us  

Nara mengendarai motornya dengan pikiran yang berkecamuk. Ia masih mengingat-ingat ketika Zevan berbicara dengan Melva di taman tadi. Sebenarnya hal itu bukan hal besar. Bisa jadi, mereka memang masih memiliki hubungan dan karena itu, tidak seharusnya Nara merasa sesak di dadanya seperti saat ini.

Jadi mereka masih berhubungan ... 

Sepanjang perjalanan hanya kalimat itu yang berulang kali terlintas begitu saja di pikirannya.

Ketika Nara melewati jembatan, yang dimana setelah itu ada taman yang sering dikunjunginya akhir-akhir ini, ia memutuskan untuk singgah ke sana sejenak. Ia perlu udara segar dan pemandangan indah. Harap-harap, bahwa hal itu bisa membuatnya melupakan apa yang baru saja terjadi.

Diparkirkannya motornya itu di tempat parkir yang disediakan. Belanjaannya, Nara tinggalkan begitu saja di motor. Bukan sengaja, tetapi memang karena ia pikir itu akan aman-aman saja. 

Seperti biasa, Nara duduk di sebuah bangku besi panjang yang sudah ditanam di tanah. Matanya memandang jauh ke depan sambil menghela napas dalam-dalam.

Lagi-lagi, Nara merasa sangat membenci dirinya sendiri. Kenapa ia masih merasakan hal yang seharusnya tidak ia rasakan seperti ini. Perasaan sakit ketika melihat Zevan bersama gadis lain. Perasaan tersakiti yang bahkan seharusnya tak ia rasakan karena memang ia tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Zevan.

Tapi kenapa?

Kilatan kenangan sewaktu Nara di Samantha pun tiba-tba terlintas di pikirannya.

Waktu itu, Nara ingat semua guru tiba-tiba mengikuti rapat dadakan sehingga hari itu jamkos, atau jam kosong, untuk setengah hari. Terdengar sorakan serentak dari semua kelas ketika pengumuman selesai dikumandangkan melalui pengeras suara yang ada di tiap-tiap kelas.

Semua murid di kelasnya pun bersorak gembira, tak terkecuali Nara. 

Bersamaan dengan itu, entah kebetulan atau apa, Nara secara spontan melihat ke arah Zevan, begitu juga dengan Zevan yang juga sedang melihat ke arahnyya. Beberapa detik tatapan itu berlangsung sampai Nara mengakhirinya terlebih dahulu.

Setelah insiden itu, mereka berdua sama-sama tak mengatakan apa-apa dan beralih berbicara dengan teman yang lainnya seakan-akan tidak ada yang terjadi. Baik Nara maupun Zevan sama-sama duduk dengan menghadap ke meja belakang, tetapi masih dengan arah yang saling berhadapan sehingga dalam beberapa kesempatan mereka, masing-masing, masih diam-diam melirik sekilas beberapa kali.

Kemudian di satu waktu berbeda, kelas mereka diberi tugas dimana mereka harus mengerjakan tugas itu di perpustakaan. 

Perpustakaan di Samantha hanya memiliki satu lantai, tidak terlalu besar, tetapi cukup lengkap untuk ukuran sebuah perpustakaan di tingkat SMP. Tentu saja, terdapat beberapa rak dimana tiga diantaranya berada di tengah-tengah ruangan, membentuk lorong-lorong seperti perpustakaan pada umumnya.

Seperti biasa, Nara bersama beberapa temannya mengerjakan tugas tersebut di salah satu spot yang ada di perpustakan. Tepatnya mereka duduk dan meletakkan buku mereka di lantai lorong pertama menghadap ke arah rak buku yang bukan berada di dinding ruangan. 

Mereka kemudian kembali berdiri untuk mencari buku referensi yang dibutuhkan. Mula-mula mereka masih mencari di lorong yang sama. Namun, entah sejak kapan teman-temannya itu sudah berpencar pergi ke lorong lain.

Tiba-tiba, ketika sedang mencari-cari buku yang sesuai, Zevan muncul tepat di depan Nara. Ia berada di lorong tepat di sebelahnya. Lagi-lagi, mata mereka kembali bertemu. Namun, kali ini berbeda. Kali ini mereka tiba-tiba tersenyum sambil sesekali menatap ke arah lain. Nara tidak tahu mengapa Zevan tersenyum seperti itu, tapi ia tahu bahwa ia sedang tersenyum karena malu.

"Apa sih, Ra?" tanyanya kala itu. Namun, sebenarnya itu bukan seperti bertanya, tapi lebih seperti memastikan sesuatu yang memang sudah ia tahu.

"Ya apa?" tanya Nara balik karena tidak bisa memikirkan apa yang harus ia katakan.

Selanjutnya, mereka masih terus saling melempar pertanyaan yang sama sampai beberapa kali sebelum akhirnya teman Nara datang dan membuatnya seketika terdiam dan duduk.

Zevan pun ikut terdiam, tetapi bukannya pergi dari sana, ia malah ikut-ikutan duduk sehingga posisi mereka saat ini saling berhadapan, tetapi terpisah oleh rak buku di depan mereka.

Meskipun hanya sebatas itu, tanpa Nara sadari perasaannya uintuk Zevan jatuh semakin dalam. 

Jujur, pada awalnya Nara berpikir bahwa itu hanyalah cinta monyet anak SMP dan akan hilang seiring berjalannya waktu. Nara memang sangat mahir dalam memahami soal matematika dan bahasa inggris. Namun, dalam memahami perasaannya sendiri, NOL besar.

Ketika Nara tersadar dari penjelajahan waktunya ke masa lalu, ia menengok ke samping, dan tahu apa yang ia lihat? 

Zevan tengah duduk tepat di sebelahnya. Mungkin hanya menyisakan jarak satu meter di antara mereka. Namun, matanya terpejam dengan kepala yang sedikit medongak ke atas. 

Nara buru-buru mengalihkan pandangannya. Ia lalu berniat untuk pergi dari sana dengan tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Bahkan, ia tidak berani menghela napasnya sendiri.

Namun, ternyata Zevan membuka matanya dan menengok ke arahnya. "Ra," panggilnya.

Nara yang baru berdiri langsung membelakangi Zevan dan menggigit bibir bawahnya kesal.

"Ra, lo jangan salah paham soal tadi. Gue sama Melva udah lama nggak ada hubungan apa-apa," ujar Zevan.

Nara tak bergeming. Ia masih memikirkan apa yang harus ia lakukan atau katakan sekarang.

Nara menarik napas panjang sebelum memutuskan untuk berbalik. Ia tidak menatap Zevan, melainkan menatap ke tanah yang kering karena matahari yang semakin terik.

"Gue nggak salah paham soal apapun karena emang itu bukan urusan gue," jawab Nara akhirnya lalu berniat pergi dari sana sesegera mungkin. 

Namun, baru saja Nara berbalik dan hendak melangkah, Zevan dengan cepat menahan tangannya. 

Nara pun berbalik dan pandangan mereka kembali bertemu dengan cara yang dibenci Nara. Ia benci karena berada di situasi dimana ia bisa terpeleset jauh ke jurang yang lebih dalam ketika ia bahwa sudah berada di jurang yang lain.

"Maaf," ujar Zevan melepaskan tangannya dari tangan Nara.

Zevan lalu melangkah pelan dan meletakkan kedua tanggannya di atas pagar. Matanya meneliti aliran sungai yang cukup deras saat itu sambil berkata, "Waktu gue pindah, gue udah putusin dia," kata Zevan tak memedulikan perkataan Nara sebelumnya. "Bukan karena gue nggak bisa LDR, tapi memang ternyata gue nggak bisa suka sama dia."

Nara menyipitkan matanya mendengar hal itu. Entah mengapa ia masih berdiri di belakang Zevan dan bukannya melanjutkan niatnya untuk pergi dari sana.

"Dia cantik, pinter, famous, humble, jadi gue kira bakalan mudah buat suka sama dia. Tapi ternyata gue salah. Perasaan sejenis itu nggak bisa diukur pakai sesuatu yang terlihat aja. Ada beberapa 'unknown things' yang justru jadi faktor utamanya." Zevan berbalik dan menatap Nara dalam.

Tanpa bisa Nara hindari ia pun membalas tatapan itu. Padahal, ia sudah bertekad untuk tidak lagi melakukan hal itu. Ia tahu kapasitasnya. Ia tahu bahwa ia akan semakin goyah nantinya. Namun, ia sudah tidak bisa kembali. Ia sudah terperangkap sekarang. 

"Gue jadi sadar kalau semua standar itu baru muncul setelah perasaan itu ada lebih dulu. Dan nggak bisa sebaliknya. Setidaknya, dalam kasus gue," lanjutnya.

Nara mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia tidak tahu harus berkata apa. Tidak bisa ia hindari bahwa saat ini ... ia berpikir bahwa ... lagi-lagi Zevan sedang menyatakan perasaannya kepadanya. 

Namun, perasaan yang muncul, lebih banyak perasaan takut daripada perasaan senang. Ia merasa takut jika Zevan akan benar-benar menyatakan perasaannya dengan kalimat yang lebih jelas.

Nara masih merasa bahwa dirinya tidak pantas untuk Zevan. Dulu ada Melva, dan sekarang ada Sheyna yang juga jelas-jelas lebih baik daripada dirinya.

Nara selalu merasa bahwa dirinya tidak cukup cantik, tidak cukup terkenal, tidak cukup pandai berteman, dan masih banyak ketidakcukupan tak bernama lainnya untuk bersama Zevan. Dan hal itu selalu menjadi permasalahan utama, terlepas dari Sheyna—sahabatnya.

"Lo tahu, Ra? Entah kenapa gue masih yakin kalau perasaan gue nggak bertepuk sebelah tangan." Nara kembali menatap Zevan tanpa sadar. "Tapi gue nggak akan maksa dia, Ra. Gue bakalan nunggu dia."

Nara untuk sepersekian detik terkesan dan merasa sangat berharga mendengar kalimat itu. Ada perasaan aneh ketika Zevan mengucapkan kata 'dia' yang mana tertuju pada Nara. 

"At least, gue bakalan nunggu dia ngasih alasan yang logis kenapa dia terus menghindar dan menyangkal perasaanya sendiri."

"Udah mau dzuhur, gue pulang dulu."

Pada akhirnya, Nara benar-benar tidak bisa mengatakan apapun. Ia memilih pergi tanpa sepatah kata berarti yang ingin Zevan dengar dari mulutnya.

Saat itu, Zevan benar-benar melupakan apa yang terjadi beberapa menit yang lalu. Tanpa ia sadari, sedari tadi seseorang memperhatikan mereka berdua dari dalam mobil.

Orang itu tersenyum getir karena merasa diremehkan. "Oke, kalo itu mau lo, Van," gumamnya sambil membenarkan posisi kacamata hitamnya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • juliartidewi

    Kalau ditulis 'ada keturunan Cina' bisa menyinggung SARA.

    Comment on chapter 10 || A Threat from The Past
Similar Tags
Survive in another city
127      106     0     
True Story
Dini adalah seorang gadis lugu nan pemalu, yang tiba-tiba saja harus tinggal di kota lain yang jauh dari kota tempat tinggalnya. Dia adalah gadis yang sulit berbaur dengan orang baru, tapi di kota itu, dia di paksa berani menghadapi tantangan berat dirinya, kota yang tidak pernah dia dengar dari telinganya, kota asing yang tidak tau asal-usulnya. Dia tinggal tanpa mengenal siapapun, dia takut, t...
Semesta Berbicara
1060      649     10     
Romance
Suci adalah wanita sederhana yang bekerja sebagai office girl di PT RumahWaktu, perusahaan di bidang restorasi gedung tua. Karena suatu kejadian, ia menjauh dari Tougo, calon tunangannya sejak kecil. Pada suatu malam Suci memergoki Tougo berselingkuh dengan Anya di suatu klub malam. Secara kebetulan Fabian, arsitek asal Belanda yang juga bekerja di RumahWaktu, ada di tempat yang sama. Ia bersedia...
Trust Me
58      51     0     
Fantasy
Percayalah... Suatu hari nanti kita pasti akan menemukan jalan keluar.. Percayalah... Bahwa kita semua mampu untuk melewatinya... Percayalah... Bahwa suatu hari nanti ada keajaiban dalam hidup yang mungkin belum kita sadari... Percayalah... Bahwa di antara sekian luasnya kegelapan, pasti akan ada secercah cahaya yang muncul, menyelamatkan kita dari semua mimpi buruk ini... Aku, ka...
Deep Sequence
584      468     1     
Fantasy
Nurani, biasa dipanggil Nura, seorang editor buku yang iseng memulai debut tulisannya di salah satu laman kepenulisan daring. Berkat bantuan para penulis yang pernah bekerja sama dengannya, karya perdana Nura cepat mengisi deretan novel terpopuler di sana. Bisa jadi karena terlalu penat menghadapi kehidupan nyata, bisa juga lelah atas tetek bengek tuntutan target di usia hampir kepala tiga. N...
Tumbuh Layu
388      253     4     
Romance
Hidup tak selalu memberi apa yang kita pinta, tapi seringkali memberikan apa yang kita butuhkan untuk tumbuh. Ray telah pergi. Bukan karena cinta yang memudar, tapi karena beban yang harus ia pikul jauh lebih besar dari kebahagiaannya sendiri. Kiran berdiri di ambang kesendirian, namun tidak lagi sebagai gadis yang dulu takut gagal. Ia berdiri sebagai perempuan yang telah mengenal luka, namun ...
FaraDigma
844      488     1     
Romance
Digma, atlet taekwondo terbaik di sekolah, siap menghadapi segala risiko untuk membalas dendam sahabatnya. Dia rela menjadi korban bully Gery dan gengnya-dicaci maki, dihina, bahkan dipukuli di depan umum-semata-mata untuk mengumpulkan bukti kejahatan mereka. Namun, misi Digma berubah total saat Fara, gadis pemalu yang juga Ketua Patroli Keamanan Sekolah, tiba-tiba membela dia. Kekacauan tak terh...
Is it Your Diary?
161      127     0     
Romance
Kehidupan terus berjalan meski perpisahan datang yang entah untuk saling menemukan atau justru saling menghilang. Selalu ada alasan mengapa dua insan dipertemukan. Begitulah Khandra pikir, ia selalu jalan ke depan tanpa melihat betapa luas masa lalu nya yang belum selesai. Sampai akhirnya, Khandra balik ke sekolah lamanya sebagai mahasiswa PPL. Seketika ingatan lama itu mampir di kepala. Tanpa s...
Heavenly Project
507      350     5     
Inspirational
Sakha dan Reina, dua remaja yang tau seperti apa rasanya kehilangan dan ditinggalkan. Kehilangan orang yang dikasihi membuat Sakha paham bahwa ia harus menjaga setiap puing kenangan indah dengan baik. Sementara Reina, ditinggal setiap orang yang menurutnya berhaga, membuat ia mengerti bahwa tidak seharusnya ia menjaga setiap hal dengan baik. Dua orang yang rumit dan saling menyakiti satu sama...
Senja di Balik Jendela Berembun
18      18     0     
Inspirational
Senja di Balik Jendela Berembun Mentari merayap perlahan di balik awan kelabu, meninggalkan jejak jingga yang memudar di cakrawala. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membasahi kaca jendela kamar yang berembun. Di baliknya, Arya duduk termangu, secangkir teh chamomile di tangannya yang mulai mendingin. Usianya baru dua puluh lima, namun beban di pundaknya terasa seperti telah ...
That's Why He My Man
821      562     9     
Romance
Jika ada penghargaan untuk perempuan paling sukar didekati, mungkin Arabella bisa saja masuk jajan orang yang patut dinominasikan. Perempuan berumur 27 tahun itu tidak pernah terlihat sedang menjalin asmara dengan laki-laki manapun. Rutinitasnya hanya bangun-bekerja-pulang-tidur. Tidak ada hal istimewa yang bisa ia lakukan di akhir pekan, kecuali rebahan seharian dan terbebas dari beban kerja. ...