Loading...
Logo TinLit
Read Story - Intertwined Hearts
MENU
About Us  

Seperti biasa, hari Senin lagi. Hanya karena ia ada setelah hari Minggu, membuatnya sering dibenci kebanyakan orang. Padahal, ia sendiri tak bisa menentukan kapan ia ingin berada di deretan hari yang terus berulang itu. Senin yang malang.

Langkah Nara terhenti sesaat ia memasuki kelas. Ia melihat Sheyna yang sudah ada di sana. Namun, gadis itu tidak duduk di tempat yang seharusnya, di bangku sebelahnya. Ia malah duduk di baris paling ujung di sisi yang berbeda. 

Semua orang yang sudah berada di dalam kelas itu menatap keheranan ke arahnya. Mungkin, mereka juga bertanya-tanya ada apa dengannya dan Sheyna. Otaknya tidak bisa mencerna pemandangan itu secara tiba-tiba. Bahkan, Sheyna tak balas menatapnya walau hanya sekilas.

Setelah beberapa saat mematung di sana, salah satu teman sekelasnya yang juga baru berangkat menepuk pundaknya. Membuatnya tersadar dan ikut berjalan menuju ke tempat duduknya sendiri.

Nara masih mengulang-ulang pertanyaan: Kenapa? di kepalanya.

Nara kemudian menengok ke arah Sheyna yang masih bercanda gurau di tempatnya. Tak mendapati tanda-tanda bahwa Sheyna akan menengok juga, Nara menatap kedua tangannya di bawah meja yang sedari tadi memainkan kuku ibu jari kirinya dengan tangannya yang lainnya.

Tak lama kemudian, Ardya yang entah kembali dari mana masuk dan menghampirinya. Ia duduk di tempat Sheyna seharusnya.

"Sheyna kenapa, Dya? Dia marah ya sama gue?" tanya Nara pelan.

"Ya seperti yang lo lihat sendiri. Aneh kan kalo dia bukan marah?" jawabnya sambil menengok ke arah Sheyna sejenak.

"Tapi marah kenapa?"

Ardya hanya terdiam. 

Namun, Nara tahu dia bukan diam karena tidak tahu, tapi karena ragu untuk mengatakan yang sebenarnya kepadanya.

"Dya ... Lo pasti tahu kan?" Nara menggoyangkan lengan kiri Ardya yang ada di atas meja.

Ardya menatapnya, lalu menatap ke depan, lalu menatapnya lagi. "Semalem ada orang yang ngirim foto ke Sheyna," ujar Ardya akhirnya.

"Foto?"

Ardya mengangguk pelan, "Foto lo sama Zevan."

Deg. 

Jantung Nara mendadak memompa darah lebih cepat. Tangannya lepas dari lengan Ardya dan jatuh di pangkuannya sendiri. Matanya masih menatap Ardya tak menyangka, tapi ia juga ingin tahu lebih banyak.

"Orang itu juga bilang kalo kalian punya hubungan spesial," lanjutnya.

"Hubungan spesial? Gue sama Zevan nggak pernah ada hubungan apa-apa, Dya." Ketika mengatakan hal itu sebagian diri Nara merasa bahwa ia sedang berbohong. Namun, kenyataannya memang seperti itu. Hubungannya dengan Zevan tak lebih hanya sekadar teman. Teman lama.

"Gue percaya sama lo, Ra. Tapi lo tahu sendiri Sheyna. Apalagi ada foto itu."

"Emang foto apa sih, Dya?" tanya Nara lagi.

Ada jeda sejenak sebelum Ardya menjawab pertanyaan itu. "Ya foto kalian berdua, Ra," jawab Ardya. "Foto kalian di taman sekolah, di parkiran, di kelas, sama ... gue nggak tahu itu dimana, tapi ada sungai di foto itu."

Hah? Taman sekolah, parkiran, kelas, bahkan di taman sungai itu juga? Siapa yang selama ini ngawasin kita?

Nara benar-benar tidak bisa berkomentar. Ia tidak menyangkan bahwa selama ini ada orang yang selalu mengawasinya dan Zevan. Bahkan, sampai mengambil foto mereka? 

Siapa? Maksudnya apa? Kenapa?

"Tapi nggak gitu, Dya. Kita bener-bener nggak ada hubungan apa-apa," ujar Nara.

"Iya, Ra. Tapi gue rasa lo harus jelasin langsung ke Sheyna."

Nara kembali memandang Sheyna. 

Sesaat kemudian bel tanda masuk berbunyi. Terlihat Zevan yang masuk bersamaan dengan bel itu berbunyi. 

Ardya bangkit dan kembali ke tempat duduknya. 

 

🍁🍁🍁

 

Sepulang sekolah Nara mengejar Sheyna yang sudah terlebih dahulu keluar dari kelas. Ia ingin menjelaskan bahwa ia dan Zevan benar-benar tidak memiliki hubungan apapun. Ia tidak ingin masalah ini semakin berlarut-larut jika tidak segera ia selesaikan.

"Na! Tunggu dulu, Na!" seru Nara sembari menahan pergelangan tangan Sheyna karena ia mencoba menghindarinya. "Gue mau jelasin semuanya, Na."

"Jelasin apa lagi sih, Ra?" Sheyna menepis tangan Nara kasar. 

Ardya yang berada di belakang Sheyna tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi pada akhirnya ia hanya diam.

Kini Nara dan Sheyna saling berhadapan. Beberapa anak dari kelasnya dan kelas lain yang masih belum pulang memandangi mereka berdua karena suara Sheyna yang cukup keras barusan. 

"Gue sama Zevan bener-bener nggak ada hubungan apa-apa, Na ..."

Sheyna menegeluarkan ponselnya dan mulai menunjukkan foto-foto Nara dan Zevan kepadanya. "Terus ini apa?" tanya Sheyna dengan nada dingin.

Nara memandangi foto-foto itu dengan getir. 

Siapa orang yang ngirim foto-foto itu? Darimana dia dapetin foto-foto itu? Apa anak Nusa Bhakti? Pasti iya. Tapi siapa? Dan kenapa dia ngirim foto itu ke Sheyna?

Nara bingung bagaimana menjelaskan apa yang ada di foto itu. Bagaimana jika Sheyna menanyakan apa yang ia dan Zevan bicarakan? Ia harus menjawab apa?

"Kita cuma ngobrol biasa aja, Na."

"Sampe pegang-pegang tangan gitu?" sindir Sheyna yang tanpak sama sekali tidak percaya.

"Nggak, Na—"

"Tapi di sini iya, Ra!"

Nara terdiam. Ia benar-benar bingung dengan apa yang bisa ia katakan supaya Sheyna percaya.

"Oke, sekarang gue tanya. Kalian ngomongin apa dan kenapa sampe ketemu di luar sekolah juga?" tantang Sheyna sembari melipat kedua tangannya di depan dada.

"Kita cuma ..." ucapan Nara menggantung di udara.

Sheyna menatapnya dengan tatapan benci sekarang. "Lo emang munafik tahu nggak! Bisa-bisanya lo nusuk sahabat lo sendiri dari belakang," seru Sheyna sembari mendorong bahu kanan Nara dengan kasar.

Semua orang yang masih ada di sana kini semakin penasaran dengan apa yang terjadi. Semua pasang mata melihat ke arah mereka berdua.

Ardya kemudian menarik Sheyna, mencoba menghalanginya melakukan hal itu lagi. 

Sheyna menepis tangan Ardya dengan kasar juga. "Lepasin!" bentaknya menatap Ardya sejenak sebelum kembali menatap Nara.

"Padahal dari awal lo udah jelas tahu kalau gue suka sama Zevan. Dan gue juga udah tanya ke lo, apa lo juga suka sama dia juga atau nggak. Dan lo bilang NGGAK! Kenapa nggak jujur aja dari awal sih?! Lo pikir gue nggak akan mau temenan sama lo lagi kalo lo jujur sama gue waktu itu?" Sheyna tersenyum pahit. "Denger ya, Ra. Walaupun lo jujur waktu itu, gue akan tetep temenan sama lo dan kita bisa bersaing secara sehat. Tapi lo malah bohong dan sekarang lo malah nusuk gue dari belakang!" 

Mendengar hal itu, Nara semakin takut dan tidak tahu harus berbuat apa lagi. Sebagian dari perkataan Sheyna salah, dan sebagian lainnya ... benar. Memang benar Nara tidak jujur soal perasaannya waktu itu. Tapi waktu itu ia memang belum yakin dengan perasaannya karena Zevan datang lagi ke kehidupannya dan itu terlalu tiba-tiba. Tapi sekarang pun ia sama sekali tidak berniat sedikitpun untuk menusuk Sheyna dari belakang. Semua itu terjadi begitu saja dan situasi menjerumuskannya ke dalam kesalahpahaman ini.

Tepat setelah Sheyna menyelesaikan kalimatnya, Zevan muncul di belakang Nara dan menatap ke mereka berdua.

"Wahh," Sheyna menyisir rambutnya ke belakang ketika melihat Zevan. Sementara, Nara masih tidak menyadari kedatangan Zevan.

Sheyna meletakkan kedua tangannya di pinggang, menatap ke lantai seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Udah ya. Gue nggak mau ngabisin tenaga gue cuma buat cowok doang!" ujar Sheyna menekan perkataannya sambil melirik Zevan di belakang Nara. "Sekarang, silakan lo mau ngapain aja, gue nggak peduli. Tapi satu hal, pertemanan kita cukup sampe sini!" tegas Sheyna lalu meninggalkan Nara yang masih terdiam.

Nara ingin mengejar Sheyna, tapi ia sendiri juga bingung bagaimana meluruskan semuanya.

Ardya menghampiri Nara lalu berkata, "Ra, gue bakalan coba ngomong juga ke Sheyna ya. Gue nyusul dia dulu," kata Ardya. Ia sempat melirik ke arah Zevan sejenak dengan tatapan seperti mengatakan, gue tahu ini bakal terjadi, sebelum akhirnya pergi menyusul kembarannya.

Untuk beberapa menit, Nara masih terdiam di sana. Beberapa anak yang menonton mereka pergi satu per satu meninggalkan Nara sendirian, kecuali Zevan yang masih berdiri di belakangnya tanpa mengatakan apapun.

"Ra." Zevan akhirnya buka suara.

Nara berbalik dengan ekspresi terkejut ketika mendapati Zevan ada di sana.

"Dari kapan lo di sini?" tanya Nara.

Zevan hanya terdiam. Ia tidak bisa mengatakan bahwa sedari tadi ia menyaksikan semuanya.

Namun, sepertinya Nara bisa mengetahui jawaban itu tanpa perlu Zevan katakan sediri. Ia memejamkan matanya sambil memegang dahinya karena merasa frustasi dengan semua ini.

"Kenapa ... kenapa lo bikin semuanya jadi tambah rumit sih, Van?" ujar Nara memelas. 

"Maafin gue, Ra. Gue nggak tahu semuanya bakalan jadi serumit ini. Gue juga nggak expect kalo ada yang fotoin kita."

"Sekarang lo udah tahu kan masalahnya dimana?"

"Iya, Ra. Gue akan jelasin bahwa semua yang Sheyna bilang tentang lo itu nggak bener. Gue—"

"Nggak, Van. Yang perlu lo jelasin adalah bahwa kita emang nggak pernah punya hubungan apa-apa."

Setelah mengatakan itu, Nara pergi dari sana. Saat ini perasaannya sangat kalut. Ada rasa sesak di dadanya ketika meminta Zevan menjelaskan hal itu, tapi hanya itu satu-satunya cara supaya Sheyna percaya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • juliartidewi

    Kalau ditulis 'ada keturunan Cina' bisa menyinggung SARA.

    Comment on chapter 10 || A Threat from The Past
Similar Tags
Suara yang Tak Pernah Didengar
336      203     9     
Inspirational
Semua berawal dari satu malam yang sunyi—sampai jeritan itu memecahnya. Aku berlari turun, dan menemukan hidupku tak akan pernah sama lagi. Ibu tergeletak bersimbah darah. Ayah mematung, menggenggam palu. Orang-orang menyebutnya tragedi. Tapi bagiku, itu hanya puncak dari luka-luka yang tak pernah kami bicarakan. Tentang kehilangan yang perlahan membunuh jiwa. Tentang rumah yang semakin sunyi. ...
Dalam Waktu Yang Lebih Panjang
351      262     22     
True Story
Bagi Maya hidup sebagai wanita normal sudah bukan lagi bagian dari dirinya Didiagnosa PostTraumatic Stress Disorder akibat pelecehan seksual yang ia alami membuatnya kehilangan jati diri sebagai wanita pada umumnya Namun pertemuannya dengan pasangan suami istri pemilik majalah kesenian membuatnya ingin kembali beraktivitas seperti sedia kala Kehidupannya sebagai penulis pun menjadi taruhan hidupn...
Finding My Way
672      429     2     
Inspirational
Medina benci Mama! Padahal Mama tunawicara, tapi sikapnya yang otoriter seolah mampu menghancurkan dunia. Mama juga membuat Papa pergi, menjadikan rumah tidak lagi pantas disebut tempat berpulang melainkan neraka. Belum lagi aturan-aturan konyol yang Mama terapkan, entah apa ada yang lebih buruk darinya. Benarkah demikian?
Smitten Ghost
186      149     3     
Romance
Revel benci dirinya sendiri. Dia dikutuk sepanjang hidupnya karena memiliki penglihatan yang membuatnya bisa melihat hal-hal tak kasatmata. Hal itu membuatnya lebih sering menyindiri dan menjadi pribadi yang anti-sosial. Satu hari, Revel bertemu dengan arwah cewek yang centil, berisik, dan cerewet bernama Joy yang membuat hidup Revel jungkir-balik.
I Found Myself
43      39     0     
Romance
Kate Diana Elizabeth memiliki seorang kekasih bernama George Hanry Phoenix. Kate harus terus mengerti apapun kondisi Hanry, harus memahami setiap kekurangan milik Hanry, dengan segala sikap Egois Hanry. Bahkan, Kate merasa Hanry tidak benar-benar mencintai Kate. Apa Kate akan terus mempertahankan Hanry?
Langit Tak Selalu Biru
69      59     4     
Inspirational
Biru dan Senja adalah kembar identik yang tidak bisa dibedakan, hanya keluarga yang tahu kalau Biru memiliki tanda lahir seperti awan berwarna kecoklatan di pipi kanannya, sedangkan Senja hanya memiliki tahi lalat kecil di pipi dekat hidung. Suatu ketika Senja meminta Biru untuk menutupi tanda lahirnya dan bertukar posisi menjadi dirinya. Biru tidak tahu kalau permintaan Senja adalah permintaan...
Yang Tertinggal dari Rika
1626      912     10     
Mystery
YANG TERTINGGAL DARI RIKA Dulu, Rika tahu caranya bersuara. Ia tahu bagaimana menyampaikan isi hatinya. Tapi semuanya perlahan pudar sejak kehilangan sosok paling penting dalam hidupnya. Dalam waktu singkat, rumah yang dulu terasa hangat berubah jadi tempat yang membuatnya mengecil, diam, dan terlalu banyak mengalah. Kini, di usianya yang seharusnya menjadi masa pencarian jati diri, Rika ju...
Fidelia
2073      894     0     
Fantasy
Bukan meditasi, bukan pula puasa tujuh hari tujuh malam. Diperlukan sesuatu yang sederhana tapi langka untuk bisa melihat mereka, yaitu: sebentuk kecil kejujuran. Mereka bertiga adalah seorang bocah botak tanpa mata, sesosok peri yang memegang buku bersampul bulu di tangannya, dan seorang pria dengan terompet. Awalnya Ashira tak tahu mengapa dia harus bertemu dengan mereka. Banyak kesialan menimp...
Sendiri diantara kita
934      570     3     
Inspirational
Sendiri di Antara Kita Arien tak pernah benar-benar pergi. Tapi suatu hari, ia bangun dan tak lagi mengingat siapa yang pernah memanggilnya sahabat. Sebelum itu, mereka berlima adalah lingkaran kecil yang sempurna atau setidaknya terlihat begitu dari luar. Di antara canda, luka kecil disimpan. Di balik tawa, ada satu yang mulai merasa sendiri. Lalu satu kejadian mengubah segalanya. Seke...
Kelana
649      470     0     
Romance
Hidup adalah perjalanan tanpa peta yang pasti, di mana setiap langkah membawa kita menuju tujuan yang tak terduga. Novel ini tidak hanya menjadi cerita tentang perjalanan, tetapi juga pengingat bahwa terbang menuju sesuatu yang kita yakini membutuhkan keberanian dengan meninggalkan zona nyaman, menerima ketidaksempurnaan, dan merangkul kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Selam...