Di ruang tamu rumah nenek, foto hitam putih kakek tergantung di dinding, dibingkai kayu coklat tua dengan kaca yang mulai buram. Kakek mengenakan seragam PNS tempo dulu—dasi longgar, rambut sisir belah pinggir, dan senyum malu-malu. Setiap cucu yang mampir ke rumah ini tahu: itulah wajah yang menjadi cerita utama setiap pertemuan keluarga.
Kakek Arifin, guru sekolah dasar pertama di keluarga mereka. Dulu, ia anak petani dari desa terpencil yang nyaris putus sekolah. Tapi ia bersikeras melanjutkan pendidikan. Ia lulus dari sekolah guru dan menjadi PNS di zaman ketika gaji belum seberapa, tapi kehormatan luar biasa. Sejak itu, cerita tentang "bagaimana kakek mengubah nasib keluarga" diwariskan dari mulut ke mulut, meja makan ke ruang tamu, dari orang tua ke anak, dari anak ke cucu.
Dan sekarang, cucu-cucunya tumbuh dengan pemahaman yang sama: pegawai negeri adalah puncak pencapaian hidup.
Arzul hafal betul kisah itu. Ia bisa menceritakannya ulang dengan versi yang lebih dramatis daripada pencerita aslinya. Ia mendengar kisah itu sejak masih pakai seragam merah putih, duduk bersila mendengarkan ayah dan paman-pamannya bercerita tentang "kakek yang membuat garis nasib keluarga kita berubah."
Masalahnya, makin ke sini, cerita itu tidak lagi memberi inspirasi, tapi tekanan. Warisan itu bukan hanya nilai atau kebanggaan—ia telah menjelma menjadi standar hidup. Dan Arzul, satu-satunya cucu yang belum "membuktikan darah" itu, merasa seperti kegagalan yang tak disebutkan dalam cerita keluarga.
Di meja ruang belajar rumahnya, Arzul menatap tumpukan buku latihan soal CPNS yang warnanya mulai pudar. Di salah satu buku, ada coretan tangan kakaknya, Farid. Di buku lain, bekas stabilo milik Rizal. Buku-buku warisan belajar ini seperti kitab suci yang diturunkan dari kakak ke adik, simbol estafet keberhasilan.
Namun, semakin lama Arzul menatap buku itu, semakin ia merasa tidak mengenali isinya. Bukan karena soalnya sulit, tapi karena hatinya kosong.
Sore itu, saat membantu ayah membereskan barang di gudang, Arzul menemukan sebuah kardus lama berisi benda-benda milik kakeknya. Di dalamnya ada piagam penghargaan, pulpen emas, dan map kulit coklat bertuliskan nama lengkap kakek. Tapi yang paling menarik perhatian Arzul adalah satu lembar kertas yang sudah menguning, bertuliskan tangan kakeknya sendiri:
“Jangan menjadi sesuatu hanya karena orang lain ingin kau jadi itu. Tapi jadilah seseorang yang bisa membuat pilihanmu sendiri berarti.”
Arzul terdiam lama membaca tulisan itu. Rasanya asing. Tak pernah ada yang menyebut kutipan ini dalam cerita-cerita tentang kakek. Padahal, mungkin ini adalah warisan kakek yang paling jujur.
Malam itu, Arzul menuliskan kutipan itu di dinding kamarnya. Tepat di atas meja belajar, menggantikan catatan target nilai ujian yang selama ini menempel.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia bertanya pada diri sendiri:
"Kalau kakek tahu aku mencoba ini bukan karena ingin, tapi karena merasa harus—apa beliau akan tetap bangga padaku?"