Pertama kali aku bertemu Layden ialah ketika Hesti membawaku menemui teman-teman SMP-nya untuk merayakan berakhirnya PSBB. Mereka semua berasal dari sekolah dengan label khas umat kristiani. Hanya saja sekolah itu juga banyak diisi oleh siswa-siswa Buddha, Konghucu, Katolik, dan Islam. Teman-temannya cukup keren—saat itu aku belum tahu kalau mereka hanya siswa ordiner—beberapa dari mereka bicara menggunakan bahasa Mandarin, yang baru-baru ini kuketahui dari Lay kalau itu bahasa Hokkian.
Lay biasa menggunakannya ketika bicara dengan akong dan amahnya. Sementara Alex tidak belajar bahasa itu lagi. Katanya bahasa Inggris jauh lebih penting saat ini.
Layden yang pertama mendatangiku. Dengan percaya diri, dia mengajakku berkenalan. Jujur aku membisu karena tak pernah ada laki-laki yang mengajakku berkenalan sebelumnya. Ini pengalaman pertama dan momen pertama, otakku tidak menimbang-nimbang lagi mengenai agama dan budayanya. Aku membiarkan Layden menjadi bagian dari hidupku.
Kami berteman cukup baik. Terutama Paman Hamid—adik ipar Ayah—ternyata tetangga mereka. Layden kemudian sering mengunjungi kelasku dan mengajakku ke rumah atau tokonya. Di situlah aku mulai dekat dengan keluarga yang penuh kehangatan dan rasa toleransi tinggi.
A'i Iin kerap mengajakku makan, tapi selalu melarangku mencicipi masakannya karena takut ada bahan nonhalal. Dia dan Susuk selalu membelikanku makanan luar yang pasti halal. Itu tidak membuatku risi, justru menurutku imut.
Pernah sekali kuceritakan tentang hal itu pada Ibu—bahwa aku makan di rumah orang nonmuslim—tapi responsnya menyebalkan. “Jangan lagi makan di rumah mereka.” Setelahnya, aku tak pernah menceritakan apa pun kepada orang tuaku.
Selama berteman dengan Lay, aku mengenalnya sebagai orang yang selalu berinisiatif. Dia bahkan menyebutkan tipe cewek idamannya tanpa harus kutanya. Katanya, cewek yang menarik ialah Perempuan yang Bermartabat.
“Maksudmu jelas bibit, bebet, dan bobot?” Aku terkekeh dengan fokus yang tertuju pada komik obral Gramedia.
“Tidak, aku punya artian lain tentang Perempuan Bermartabat.” Dia menggangguku dengan memberikan tumpukan komik lima ribuan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Aku melirik jengkel seraya membenarkan masker.
“Jika kau bicara dengan Tera, dia akan menamparmu dengan etimologi KBBI. Dan kau tidak diizinkan untuk membantah.”
Lay terbahak. Aku dapat membayangkan tawa renyahnya di balik masker. “Menurut KBBI, martabat berarti harga diri.” Aku terkesan dia ternyata sempat membaca KBBI. “Tapi menurut teoriku, harga diri yang dijaga bukan hanya harga dirinya. Tapi juga harga diri orang-orang yang ia sayang.”
Kali ini, aku menatapnya dalam. Sorot Mata Lay tiba-tiba berubah menjadi serius.
“Dia menjaga agar orang yang ia sayangi tetap menjadi diri sendiri. Menjadi seperti yang dia inginkan, sebagaimana dia ingin bersinar.”
Aku terkesiap. Di momen tersebut, otakku bahkan tidak bisa menghitung setiap sekon yang kuhabiskan hanya untuk terpaku padanya. Jika ini komik, mungkin ada letupan kembang api, taburan gliter, atau kelap-kelip gemintang yang menari-nari di belakangku sebagai screentone pada panel tokoh. Salah satu tujuannya untuk menggambarkan emosi pada adegan.
Aku tahu Lay tidak mungkin melihat screentone ini—lagi pula dia tidak tahu screentone itu apa—tapi dengan pikiran abstrak dan penuh teori konyol itu, aku yakin dia punya bahasa lain untuk screentone. Mungkin pula dia tahu jika aku saat ini sedang terlibat dengan bahasa lain menurut kamus konyolnya.
“Apakah kau…” Napas pada suaranya terdengar berirama. “Bisa menjadi Perempuan Bermartabat… menurut versiku?”
Gila, gila, gila! Apa ini? Otakku terlalu lumpuh untuk mencernanya. Jika aku waras, pasti aku mengira ini hanya guyonannya yang lain. Namun, tatapan mata itu, bukankah mengartikan hal yang berbeda? Apakah ini sebuah pengakuan? Layden sudah pernah menembakku sebelumnya, tapi yang ini terasa lebih manis.
“Jika bisa, kenapa?” balasku ragu.
Layden memalingkan wajah. Astaga, aku bahkan merasa masker putih yang ia kenakan berubah merah. Layden mengernyitkan dahi dengan gusar, membuat detak jantungku memvalidasi semuanya. Ini bukanlah suatu guyonan.
“Ak-aku akan senang mendengarnya.” Suaranya tiba-tiba gemetar. Layden? Gugup?
“Apakah kau baru saja menyatakan perasaanmu padaku lagi?” tanyaku tiba-tiba. Aku tidak ingin mendefinisikan keadaan ini hanya dari perspektifku.
Layden melotot. Mata kecil itu terlihat lebih lebar dari biasanya. “Emm, jika diterima, maka iya.”
Tanganku otomatis menutup komik. Setelahnya aku tertawa, tawa kecil yang perlahan menjadi gelak. Melihat reaksiku, Layden menggaruk kepala lalu ikut tertawa.
Hari itu kami resmi berpacaran. Dan sebagai Perempuan Bermartabat, aku tak akan menghancurkannya dengan membocorkan hal ini pada keluargaku—meski Layden kebelet menemui mereka.
Sayangnya, seperti yang sudah diketahui. Aku gagal memenuhi tugas sebagai Perempuan Bermartabat.
***
Butuh waktu berminggu-minggu bagiku untuk memberitahu Ayah dan Ibu mengenai daftar kandidat ketua ekskul. Meski keluarga Layden menganggap hal itu sebagai pencapaian yang terkesan prestisius, aku agak meragukan hal ini pada orangtuaku. Yah, mungkin saja mereka akan bereaksi sama meski dua menit kemudian melupakannya.
Setidaknya aku sudah memberitahu.
“Jadi begitulah, harus menunggu enam bulan lagi.” Bang Joule mengakhiri cerita tentang bagaimana sistem perusahaan BUMN tempatnya bekerja, menetapkan dia sebagai pegawai tetap. Aku yakin jika Ayah tidak memaksanya bercerita di makan malam penuh ketegangan ini—setiap malam penuh ketegangan—Bang Joule enggan buka suara.
Ibu kemudian mengomentari abangku yang supersabar itu untuk lebih sabar lagi dalam pekerjaannya, karena begitulah asam garamnya menjadi pegawai baru. Bang Joule pasti sudah muak mendengar hal itu, belum lagi Ibu menyertakan embel-embel tes CPNS.
Kemudian Tera menyergap pembicaraan dengan bercerita mengenai praktik Biologi di sekolahnya. Ia mendapatkan nilai A plus-plus dengan mudah karena membantu seluruh kelompok lain membelah perut si kodok.
Terkadang aku yakin sebenarnya dia psikopat.
Ibu kembali berkomentar dan menyarankan Tera menjadi ahli bedah. Tera terlihat begitu senang setelah minggu lalu sempat mendapat saran untuk menjadi ilmuwan sosial, karena tergabung sebagai wakil OSN Provinsi di pelajaran IPS.
Setelah Tera selesai bercerita, aku rasa ini waktuku. “Ngomong-ngomong… aku masuk kandidat calon ketua ekskul.”
Semua orang tiba-tiba terdiam dan menatapku.
Tanganku saling mengepal dan pandanganku menilik wajah kaku mereka satu-satu.
“Ekskul apa? KIR?” Pertanyaan Ayah membuat mentalku ciut.
“Ekskul komik.” Mbak Esla yang justru menjawab. “Dia bergabung dalam ekskul komik.”
Ibu terlihat sibuk mengunyah dan fokus pada ikan bandeng santan yang sedikit asin. Tidak ada komentar sama sekali.
“Apakah sudah pasti terpilih?” Ayah kembali bertanya.
“Y-ya…” Aku menahan napas. “Maksudku, belum. Tapi… ada kemungkinan terpilih.”
“Ngomong-ngomong, kau sudah memeriksa aplikasi SNMPTN-mu?” Ibu tiba-tiba menginterogasi Mbak Esla. Mbak Esla terlihat kebingungan dan menjawab dengan ragu.
“Pilihan pertama dan keduamu kedokteran, bukan?” Ayah turut menimbrung.
“Ya, tentu.” Mbak Esla terlihat kurang nyaman.
“Apakah pilihan pertama dan kedua harus kedokteran semua?” Bang Joule tampaknya mencoba menjadi pahlawan bagi adiknya.
Aku menundukkan pandangan perlahan. Meneliti bulir nasi basah yang berminyak karena kuah santan dan daging bandeng yang tidak mengundang selera. Setelahnya, terdengar suara Ibu yang membantah Bang Joule.
Kemudian terjadilah perdebatan mengenai Bang Joule yang protes akan hak untuk memilih dan Ibu yang bersikukuh tentang hal terbaik untuk dipilih. Argumen Bang Joule selalu dimentahkan dengan wejangan tentang pengalaman hidup kesulitan finansial.
“Aku mengisi pilihan pertama untuk Unila dan kedua Unsri.” Mbak Esla mencoba menghentikan amarah Ibu pada Bang Joule. Namun, kelihatannya tak berhasil.
“Unila?” Ibu dan Ayah sama-sama meninggikan suara. “Seharusnya dua-duanya pilih Unsri.”
“Bukankah kita sudah membicarakan tentang kuliah di tempat jauh? Itu berbahaya.” Ibu berdecak.
“Mbak Esla pasti mau bebas berpacaran.” Tera terkikik dan memperburuk suasana.
“Jangan ikut campur!” Mbak Esla menunjuk gadis itu. Setelahnya, Ibu memarahi Mbak Esla karena tipisnya kemungkinan lulus Unsri gara-gara dia menempatkan Unsri di posisi kedua. Ibu dan Ayah, atau mungkin seluruh orang di rumah ini, memang tidak ingin Mbak Esla berkuliah jauh dari rumah. Mereka ingin mengontrol semuanya dengan berbagai alasan yang tak masuk akal.
“Dengar, aku peduli padamu. Dan aku peduli dengan kalian semua. Di sana tidak ada kerabat yang bisa diminta bantuan—”
“Kami sudah cukup dewasa untuk menjaga diri.” Bang Joule bersikeras.
“Esla belum. Itu sebabnya kami peduli dan memberi perhatian kepada kalian semua. Kalian semua,” tekan Ayah tak mau kalah.
Aku menghela napas dan menarik piring. Meletakkannya ke wastafel dapur lalu menaiki tangga menuju kamar.