Malam itu juga, sepulangnya dari perayaan hari jadi perusahaan RumahWaktu, Surya melakukan konferensi video dengan kalut melalui laptopnya. Ia menghubungi semua rekanan perusahaan yang dikenalnya akrab.
“Kenapa Surya, sampai janjian video conference jam segini?” Adrian, CEO perusahaan Random Walk muncul lebih dulu.
Terlihat Hayashi setia mendampingi di sebelahnya. “Naze da?” tanyanya ke pria pirang itu, sementara yang ditanya mengangkat bahu.
“Aku hadir, Mas!” Anjar, CEO perusahaan Naratama sekaligus adik iparnya ikut bergabung.
“Gue juga diajak nih?” Endry, CTO sekaligus pendiri Random Walk ikut muncul di layar berbeda.
“Ini darurat, Adik gue dikerjain lagi sama Anya, cucu Widuri dari Sentani Jaya. Dia hampir diculik untuk disekap,” Surya memberi tahu.
“Hah, si Suci?” Dinia muncul di sebelah Endry, terkejut. Begitu pula Akasia yang tiba-tiba mendekat dari belakang Adrian.
“Ada apa nih?” Selena yang baru datang menanyakan kepada Akasia, gadis itu harus menjelaskannya terlebih dulu ke Selena yang belum mengetahui apa pun. “Wah keributan, kita harus ikutan nih!” ajaknya kepada Hayashi, suaminya.
“Terus lu maunya gimana? Kan tinggal tunjukin buktinya ke polisi,” Adrian berkata.
“Terlalu mudah,” Anjar menyeringai.
“Gue nggak cukup dengan itu, kita harus menuntut balas. Kita buat perhitungan!” Surya memberi tahu keinginannya.
“Jangan lupa, kita harus ambil keuntungan dari sini,” Anjar mengompori.
“Jadi maunya gimana?” Hayashi mulai bersemangat.
“Kita serbu Sentani Jaya dalam satu pertemuan, kita tekan dengan bukti ini, meminta ganti rugi sekaligus konsekuensi yang jelas untuk perempuan itu,” Surya mengemukakan idenya.
“Ayo, kita sih ikut aja,” Adrian mengangguk bijaksana.
“Jangan lupa, suruh perempuan itu hadir. Kita lihat nyalinya di sana. Sehebat apa sih dia?” Hayashi berpesan.
“Para wanita boleh ikut?” Akasia bertanya ragu.
“Kalian jaga dan hibur adek gue aja,” Surya menganjurkan.
“Yah, nggak asyik,” Selena cemberut, “Gue labrak sendiri boleh ya? Jambak doang kok.”
“Selena,” Hayashi melirik istrinya dengan tatapan penuh makna.
“Iya iya…” Selena menunduk.
-oOo-
Fabian sampai di apartemennya larut malam. Keheningan ini memberinya waktu untuk berpikir. Sebelumnya ia memulangkan Suci ke kontrakannya. Dalam perenungannya, ia baru sadar Suci bisa saja celaka tadi jika benar-benar tertangkap orang-orang suruhan Anya. Dadanya memanas, murka, padahal biasanya ia orang yang tenang. Ia tidak bisa terima ini, lantas menghubungi Anjar lewat sambungan telepon.
“Gimana Suci, Fab?” belum apa-apa Anjar sudah bertanya.
“Sudah di kontrakannya,” sejenak Fabian heran, “Kamu udah tahu?”
“Semua kan dipantau Mas Surya, Suci berhasil lolos juga karena orang suruhan Surya yang menjaga,” Anjar memberitahu.
Fabian sekejap teringat sosok Tobi di tempat kejadian yang tampak kelelahan diantara pria-pria tegap yang bergelimpangan di sekitarnya, “Jadi Tobi orang suruhan Surya?” ia baru mengerti sekarang.
“Ya… nggak mungkin dia lepasin adiknya tinggal di kota lain tanpa pengawasan,” Anjar menjelaskan singkat. “Mas Surya udah atur pertemuan dengan pihak Sentani Jaya besok untuk membicarakan masalah ini, mau ikut?” ia mengabarkan.
“Aku… tenangin Suci aja,” Fabian menahan diri. Ia khawatir akan melakukan perbuatan tercela jika ikut dan melihat Anya di sana. Ia sungguh geram, kini tidak peduli lagi pelakunya wanita atau iblis betina.
-oOo-
Suci terbangun dengan kepala masih berat. Seseorang mengetuk pintu kontrakannya.
“Suci, kamu udah bangun?” suara Fabian terdengar dari depan pintu.
Suci tersadar, matanya membesar. Astaga, Fabian, ngapain pagi-pagi ke sini?’ia bingung, baru ingat semalam ia berada di perayaan hari jadi kantornya, perusahaan RumahWaktu.
Mendadak ia panik, Setelah itu apa yang terjadi? ia segera mengecek pakaiannya. Ia masih mengenakan gaun yang sama dengan semalam, bahkan riasan wajahnya masih belum dihapus. “Fabian, aku kenapa?” gumamnya bingung.
“Aku masuk ya, supaya aku jelaskan,” Fabian meminta izin. Ia pun membuka pintu, menatap Suci dengan tatapan lembutnya yang biasa, ia tersenyum maklum.
“Semalam aku kenapa? Aku salah minum ya? Tepar? Aku… nggak mempermalukan diri sendiri kan?” Suci langsung menembakkan pertanyaan bertubi-tubi.
Fabian menggeleng. “Sebenarnya ini ulah Anya. Pelayan itu memberi kita whisky, bukan air putih. Setelah kamu meminum itu dan hilang kesadaran, Anya hampir menculik kamu untuk menyekap kamu. Untung kamu lolos,” ia bercerita.
Suci terkesiap mendengarnya. “Terima kasih ya udah selamatkan aku, Fab,” ia terharu.
“Bukan aku, sebenarnya… ini atas pertolongan Kak Surya dan…Tobi,” Fabian bingung bagaimana harus menceritakan tentang Tobi.
“Tetap aja kamu yang membawaku pulang supaya aman di sini kan?” Suci bersikeras.
“Oh iya, ini aku bawa bubur ayam, makan dulu. Aku juga bawa obat untuk meredakan mabuk, diminum setelah makan ya,” Fabian bicara sambil menaruh plastik bawaannya di meja di dekat sana, mencari mangkuk dan sendok untuk menyajikan bubur ayam yang dibawanya. Setelah bubur ayam tersaji di mangkuk, ia membawanya ke kasur, di hadapan gadis itu.
Suci hanya tercengang dengan perhatian Fabian yang totalitas, “Fabian… ini… apa nggak terlalu berlebihan? Aku bisa berharap ketinggian loh.”
Fabian menunduk sambil tersenyum, “Aku cuma lega kamu nggak apa-apa, bisa lolos dari mereka. Semua sudah berusaha keras demi menolong kamu, jadi aku juga mau ikutan,” katanya sambil menyendokkan bubur ke depan mulut gadis itu. “Mau nggak nih?”
“Mau mau!” Suci tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, dengan senang hati ia menerima suapan demi suapan dari Fabian.
Sambil makan Suci menghela napas, “Belum pernah minum, sekalinya mabuk, malah dikerjai orang,” gerutunya pada diri sendiri.
Fabian yang mendengarnya tertawa kecil. “Memang sebelumnya kamu belum pernah minum alkohol?”
Suci menggeleng. “Dengan dua pria protektif di keluargaku? How?”
Fabian menepuk pangkal kepala gadis itu. “Anak baik!” pujinya senang.
“Hei, aku bukan bocah!” Suci menyingkirkan tangan Fabian dari kepalanya, meski dalam hati senang. “Tadi kamu bilang semua repot demi menolongku, maksudnya gimana?”
Senyum Fabian sesaat hilang. “Sekarang Kak Surya bersama Anjar dan rekanan yang lain ke kantor Sentani Jaya untuk membuat perhitungan, karena kamu hampir diculik Anya.”
Suci tersedak, Fabian segera memberinya segelas air yang sudah disiapkannya tadi. “Tapi nggak ada urusannya sama perusahaan Sentani Jaya, kasihan nenek Widuri, Nenek nggak tahu apa-apa,” ia khawatir.
“Aku tahu… kita percayakan aja ke Kak Surya. Aku rasa dia akan cukup bijak soal ini.” Fabian menghela napas pasrah.
“Kita nggak ngantor, apa nggak apa-apa?” heran Suci, khawatir.
“Udah, kita bolos aja dulu. Lagipula kerjaan kita sebenarnya kan nggak mengharuskan datang setiap hari,” Fabian menenangkannya dengan tawa ringannya.
Setelah bubur habis, Fabian memberikan Suci obat pereda mabuk yang dibawanya, Suci menurut dan meminumnya.
“Kamu kok cekatan banget urusin orang mabuk?” Suci heran.
“Terbiasa, dulu aku sering begitu,” jawab Fabian jujur.
Suci terperangah, “Jadi itu yang dimaksud… kehidupan kamu dulunya liar?” ia baru ingat cerita saat bersama Akasia.
Fabian tersenyum geli, “Now you know. Habis gimana, terbawa pergaulan, di Belanda kan kumpulnya ke bar. Tapi sekarang nggak lagi kok,” ia menenangkan gadis itu.
“Tapi seingat saya, kita pertama mengobrol di klub malam tuh Pak, bagaimana penjelasannya?” Suci mendelik, tidak percaya begitu saja dengan penuturannya.
Fabian cengengesan, “Itu cuma penasaran, pengin studi banding, bedanya klub di sini dan di Belanda apa,” ia beralasan. “Tapi aku nggak mabuk kok, buktinya aku bantu kamu kan ambil video Tougo,” ia tersenyum mengenangnya.
“Udah lama juga ya…” Suci ikut tersenyum teringat kenangan itu. “Jangan lupa, tinggal sebulan lagi!” ia mengingatkan.
“Apanya?” Fabian bingung.
“Jawaban untuk pernyataanku,” Suci menepaknya kesal. “Masa udah lupa aja? Ingat, tanggal 3 September, kita harus ketemu dan kamu harus kasih aku jawaban sejujurnya!” ia mengultimatum.
“Iya tenang,” Fabian tersenyum, lalu mengacak-acak rambutnya sebelum bangkit dan hendak keluar pintu kamar kontrakannya.
“Eeh mau kemana?” Suci memanggilnya heran.
“Kamu perlu mandi kan, aku keluar dulu lah untuk kasih kamu ruang,” Fabian menjelaskan sambil melongokkan lagi kepalanya dari pintu. “Masa aku menunggu di dalam kamar? Atau… begitu mau kamu?” ia menatap Suci dengan senyum menggoda.
“Enak aja, sana keluar!” Suci mengusirnya dengan wajah yang memerah.
Fabian hanya tertawa-tawa sambil menuju ke mobil dinasnya, berniat untuk berkeliling sebentar, mencari makanan yang kiranya enak dicoba.
-oOo-
Pagi hari yang seharusnya biasa berubah tegang ketika rombongan pimpinan korporat memasuki lobi PT Sentani Jaya. Surya di depan, wajahnya dingin. Di belakangnya Endry (Chief Technology Officer dan pendiri Random Walk), Adrian dan Hayashi (jajaran direktur Random Walk), serta Anjar (Direktur Utama PT Naratama). Mereka diterima dengan gugup oleh staf, sebelum diantar langsung ke ruang rapat khusus.
Widuri Grace Sentani (Chief Executive Officer), Yudha Richardo Sentani (Co-Chief Executive Officer), serta beberapa direksi lainnya telah menunggu. Ketika para tamu duduk, tidak ada basa-basi. Surya langsung membuka suara, nada tajam namun tertahan.
“Kami datang bukan untuk diskusi biasa. Kami datang sebagai mitra yang dikhianati secara moral,” Surya berkata dingin.
Endry menatap Yudha tegas, “Anak Anda, Anya Eileen Sentani, bukan hanya mencemarkan nama baik perusahaan Anda, tapi hampir mencelakakan adik Surya. Itu tidak bisa kami diamkan.”
“Kami punya bukti cukup. Suci hampir diculik dalam kondisi tidak sadar. Dan Anda tahu siapa dalangnya.” Adrian menunjukkan layar ponselnya, berisi video percakapan Anya dan pria-pria suruhannya di sekitar Suci yang terbaring tidak sadar.
“Jika Sentani Jaya tidak segera mengambil tindakan tegas, kami mempertimbangkan penarikan saham kami dari perusahaan Anda, secepatnya!” Hayashi berkata penuh tekanan.
Widuri terdiam, Yudha ingin bicara namun segera disela oleh Anjar.
“Kalian ingat kan, tiga perusahaan kami ini investor strategis PT Sentani Jaya?” dengan tajam Anjar mengingatkan. “Sebagai bentuk penghargaan pada integritas, kami menuntut dua hal,”
“Pertama, ganti rugi moral atas trauma yang dialami Suci. Jumlah bisa dibicarakan asal setimpal. Kedua, Anya harus menghilang dari hidup adik saya, selamanya, tanpa pengecualian!” Surya mengambil alih pembicaraan.
Ruangan sunyi, Widuri memejamkan mata, seolah mengukur beban situasi. Yudha mencoba membuka suara. “Dia masih anak saya. Kita tidak bisa sembarangan-”
“Diam, Yudha!” Widuri memotong kencang, meski wajahnya tenang.
Ia mengalihkan pandangannya ke Surya dan rekan-rekannya. Tatapannya mantap. “Saya benar-benar meminta maaf atas nama keluarga saya. Saya akan urus ini. Anya akan dikirim ke luar negeri untuk waktu yang tidak ditentukan. Dan mengenai kompensasi, saya akan pastikan semua berjalan secepatnya.”
“Kami menghargai keputusan Ibu Widuri. Tapi Anda harus tahu bahwa ini satu-satunya kesempatan. Jika ada lagi kejadian Suci diusik, kita akan bertindak lebih jauh!” Endry memperingatkan.
Para tamu berdiri. Satu per satu memberi anggukan dingin. Surya yang terakhir menatap langsung ke mata Widuri.
“Kami datang sebagai teman. Tapi kami tidak akan ragu menjadi lawan, jika keluarga Anda masih bermain kotor!” ia menutup.
Semua melangkah pergi. Wajah Widuri menegang, dan Yudha tampak terpukul. Mereka tahu bahwa tahta keluarga mereka benar-benar mulai retak.
-oOo-
Suci dan Fabian melihat rekaman pertemuan Surya dan rekan-rekannya dengan pihak PT Sentani Jaya yang dikirimkan ke ponsel Fabian. Mereka duduk di bangku restoran soto Betawi, dengan semangkuk soto daging kuah santan di hadapan masing-masing dari mereka. Matahari sudah tepat berada di atas langit.
“Intens banget ya, aku nggak menyangka reaksi Kak Surya akan begini besar,” Suci merasa terbebani.
“Itu karena mereka peduli dengan kamu, Suci. Mereka nggak terima kalau ada yang menyakiti kamu,” Fabian memberi pengertian, ‘Aku pun begitu,’ benaknya menambahkan menahan kesal. Ia memasang senyumnya kembali, “Kamu berharga untuk mereka.”
“Untuk kamu?” Suci menggodanya.
Fabian tercekat, “Yah… lumayan,” jawabnya gengsi.
“Baru lumayan ya?” Suci mengangguk pasrah. “Eh rekaman itu siapa yang ambil?” ia penasaran.
“Tobi,” Fabian mengungkap kebenarannya. Ia paham keterkejutan gadis di depannya yang baru teringat mengenai sahabat sejawatnya itu. “Tobi bekerja untuk Kak Surya.”
“Berarti…Tobi berteman dengan aku bukan karena tulus, tapi karena…dibayar?” Suci merasa dikhianati.
“Belum tentu,” Fabian menenangkannya bijak. “Aku yakin tanpa disuruh Kakakmu, dia juga akan bertindak kalau kamu dalam bahaya.”
“Aku nggak tahu harus bersikap gimana di depan dia. Aku nggak tahu mana yang bisa dipercaya,” Suci menggeleng pesimis.
“It’s okay. Kamu nggak perlu memaksakan diri. Kalau kamu nggak nyaman, jauhi,” Fabian mengemukakan pendapatnya.
Suci menatap wajahnya dengan pandangan aneh, “Kayaknya enteng banget ya jadi kamu. Bisa bertindak tanpa mikirin perasaan orang lain dulu. Orang lain biasanya akan bilang, ‘bagaimanapun kalian udah lama berteman, kasihan kalau dia ditinggalkan begitu aja, yang penting niatnya baik’.”
Fabian tersenyum, “Mungkin beda mindset ya, menurutku ketenangan pikiran itu penting. Kalau nggak mau berteman, ya nggak usah dipaksakan berteman, daripada jadi beban pikiran. Apa dia bisa dipercaya? Apa sekarang dia berbohong atau jujur? Apa dia tulus? Apa dia akan menyebarkan omongan ini ke orang lain? Daripada kepikiran begitu terus, yang capek kan kita, bukan yang nasihatin,” ia berkata blak-blakan.
“Iya juga sih,” Suci mengangguk.
“Belajar memprioritaskan ketenangan diri, bukan perasaan orang lain. Kita nggak mampu menyenangkan semua orang, cukup diri sendiri dulu.” Fabian memberi wejangan berharga.
“Itu yang aku sering lupa, terima kasih ya,” Suci menatapnya terharu. “Makan sotonya dulu, keburu dingin!” ia mengingatkan.
Sesaat ponsel Fabian berdering. Ia bangkit dan sedikit menjauh untuk mengangkatnya.
“Halo… apa Ma?” Fabian membeku syok, “Oma… meninggal?”
Meski Suci tidak mengerti bahasa Belanda yang Fabian ucapkan, ia bisa menangkap itu bukanlah kabar baik.
Fabian jatuh bersimpuh, Suci yang cemas segera mendekatinya dan merangkulnya. Ia tahu ada hal yang sangat buruk terjadi.
“Oma… udah nggak ada,” gumam Fabian dalam bahasa Indonesia, membuat Suci tercekat dan ikut prihatin. Ia segera mengelus punggung Fabian untuk menguatkannya. Pemuda itu tak menangis, hanya kehampaan yang tampak di matanya.
“Fabian, kita ke apartemen kamu sekarang. Kamu langsung berkemas, lalu urus kepulanganmu ke Belanda,” Suci menyarankan Fabian yang pikirannya tampak kosong.
“Iya, aku mengerti. Aku bisa sendiri, aku pulangkan kamu dulu,” Fabian memutuskan sambil bangkit, lalu berlalu ke mobilnya, seperti kehilangan jiwanya.
Menarik
Comment on chapter PrologSelalu penasaran kedepannya