Ruang rapat megah di kantor PT Sentani Jaya diisi tiga jajaran direksi. Ketiga bersaudara, Yudha sebagai CEO (Chief Executive Officer), Ardilaga sebagai COO (Chief Operational Officer), dan Ragestya sebagai CFO (Chief Financial Officer), duduk di sisi kepala meja. Rapat sudah berlangsung panas. Semua saling menahan emosi. Di layar LCD menampilkan surat resmi dari RumahWaktu yang menyatakan pemutusan kerjasama dan permintaan ganti rugi.
“RumahWaktu memutus kontrak. Efektif minggu depan. Kita kehilangan tiga proyek besar kita. Tiga, dalam satu waktu.” Yudha menegaskan dengan dingin.
“Ini ulah siapa? Kamu, Rages? Kamu kan yang pegang semua laporan dan transaksi proyek bareng mereka!” Ardilaga berseru menuduh.
“Jangan tuduh aku! Semua transaksi lewat meja kamu juga, Ardil! Jangan lempar tanggung jawab!” Ragestya membantah.
“Cukup! Bukan saatnya saling tuding. Dampaknya lebih dari proyek. Klien pemerintah kita ikut mundur. Kita kehilangan kredibilitas!” Yudha menegaskan.
“Dan ironisnya, RumahWaktu sekarang jauh lebih maju dari kita. Padahal dulu mereka itu cuma vendor kecil yang perusahaan kita bantu,” Ragestya mendecak putus asa.
“Ya karena mereka kerja kompeten, jaga kredibilitas, pakai inovasi. Tim mereka banyak diisi orang-orang muda yang tahu teknologi. Sementara kita masih pakai cara lama dan akal-akalan,” Ardilaga membeberkan.
“Mereka bukan cuma vendor sekarang. Mereka jadi pemimpin sektor restorasi di seluruh Indonesia. Dan kita…malah dicap manipulatif. Belum lagi uang ganti rugi yang harus kita bayar,” Yudha menggumam.
Ketiganya sama-sama duduk tegang. Suasana ruang rapat panas, namun sunyi. Semua sadar, reputasi mereka di ujung tanduk. “Kalau berita ini sampai ke media, semua koneksi politik kita nggak akan cukup buat menahan runtuhnya PT Sentani Jaya,” bisik Yudha pesimis.
-oOo-
Managing Director PT RumahWaktu, sedang menandatangani dokumen. Sekretarisnya masuk pelan, lalu membisikkan sesuatu. Arya langsung berdiri setengah terkejut.
“Ibu Widuri Grace Sentani? Yang benar saja? Silakan masuk, silakan masuk.”
Dengan senyum khas bangsawan yang elegan, Widuri tersenyum. “Maaf kalau mendadak, Arya. Tapi ini penting. Tidak lama.”
Keduanya duduk berhadapan. Arya menahan rasa gugup karena tamu di depannya adalah tokoh legendaris pendiri dan ibu dari pemilik PT Sentani Jaya, mantan rekanan bisnis perusahaan itu.
“Ada yang bisa kami bantu, Bu?” Arya bertanya pelan. ‘Apa ini mengenai pemutusan kerjasama perusahaan kami?’ tebaknya gugup.
“Saya ingin menitip seseorang. Anak muda cerdas, rajin, mandiri. Namanya Suci, dia sekarang bekerja di sini sebagai Asisten Umum Kantor.” Widuri mengungkapkan hal yang cukup membuat Arya terkejut.
“Oh ya saya tahu, saya sering lihat dia mondar-mandir pakai seragam pantry,” Arya mengingatnya. “Apa ada posisi yang Ibu rasa akan cocok dengannya?”
“Iya, dia yang menolong saya ketika kesusahan berjalan di CFD. Dia mempunyai kompetensi lebih untuk bisa menjadi IT support. Saya sering mengobrol dengannya, saya sudah anggap dia keluarga. Saya yakin dia cerdas dan mampu menduduki jabatan itu.” Widuri membuka tas yang dibawanya, lalu mengeluarkan sebuah map.
“Ini berkas lamaran kerjanya, beserta sertifikat kursus yang ia punya. Saya tahu ia lulusan SMA biasa, tapi kemampuannya nyata. Saya ingin dia menjadi IT Support Specialist secepatnya.”
Arya Kesuma membuka map dan terkejut dengan logo lembaga internasional, dan sertifikat compTIA beserta pelatihan cybersecurity level dasar, disertakan di dalamnya. “Wah, ini cukup kredibel, Bu. Kalau benar dia kompeten, kami bisa pertimbangkan. Tapi prosesnya harus tetap sesuai HR.”
“Tentu saja, saya tidak mau mengganggu sistem. Tapi saya minta dia diuji saja. Berikan dia masa percobaan. Kalau tak memenuhi standar, saya yang akan bilang langsung padanya,” Widuri menganggu setuju.
Arya Kesuma tersenyum kagum pada cara Widuri bicara, tajam, jelas, dan diplomatis. Tidak bisa ditolak. “Baik Bu, saya akan sampaikan ke Kepala Divisi IT untuk mengawasi masa percobaannya. Dan kalau memang mampu…kita promosikan resmi.”
“Saya tahu perusahaan ini menghargai kualitas, bukan asal-usul, terima kasih Arya,” Widuri mengatakan. “Terima kasih juga karena menghargai kerjasama perusahaan kita.”
Arya tersentak, wajahnya kaku. “Maaf Bu, tapi di antara perusahaan kita sudah tidak ada lagi kerjasama,” katanya tegas. “Saya menghargai Ibu secara personal.”
Mata Widuri membesar, terkejut. “Apa maksud kamu, Arya?”
Kali ini Arya yang gugup. “Jadi Ibu belum tahu, PT Sentani Jaya sudah berbuat kecurangan pada PT RumahWaktu?” ia memeriksa reaksi wanita tua dihadapannya.
“Tolong jelaskan,” pinta Widuri, menguatkan diri untuk mendengar kebenarannya.
Di rumah Widuri, Suci yang sudah kembali ke sana setelah mengambil laptopnya di kontrakan, langsung menyalakan laptop di meja yang ada di kamar tamu rumah megah tersebut. Ia memastikan pintu sudah terkunci, sebelum melihat email pemberitahuan promosi internal. Ia membuka folder dengan nama “Foxtools” dan mengecek kembali versi tiruan sertifikat yang ia dapatkan dari menyadap dan mengedit sertifikat kursus yang belum pernah ia ikuti dengan namanya.
‘Maaf ya, Nek. Cuma ini cara agar orang-orang yakin pada kredibilitasku, toh kompetensiku nggak akan mengecewakan. Ini untuk tujuan yang lebih besar, aku bisa mempertanggung-jawabkan risikonya kok,’ pikirnya sedikit tidak enak pada Widuri.
-oOo-
“Suci, apa kamu sudah merasa sehat?” pagi hari itu Widuri mengantarkan makanan pagi untuk cucu angkatnya di kamar tamu rumahnya.
“Ya ampun, Nek, sampai repot-repot. Aku udah sehat kok, bisa bikin sarapan sendiri,” Suci jadi tidak enak hati.
“Nggak apa-apa, kamu kan tamu. Lagipula Nenek senang kamu menginap di sini,” Widuri menenangkan. “Kamu makan deh, kalau memang kamu udah sehat, nanti kita ke salon yuk!”
“Lagi, Nek?” heran Suci, perasaan belum lama sejak ia menemani Nenek Widuri ke salon.
“Kali ini merapikan rambut kamu. Rambut kamu bagus sih, tapi gayanya bosenin,” Widuri berkata jujur, membuat Suci tertegun.
‘Ya ampun, rambutku dibilang bosenin sama seorang nenek-nenek? Mungkin benar aku harus sering memperbarui tampilan,’ benak Suci terguncang.
“Sekalian kita beli gaun-gaun cantik, sepatu heels, dan melengkapi alat make-up kamu untuk ke ulang tahun Nenek nanti. Harus spesial dong!” Widuri mengingatkan agenda penting itu.
Suci tertegun, benar. Itu adalah hari besar dimana ia akan dipertemukan dengan keluarga besar Sentani. Ia akan menunjukkan dirinya secara perdana di sebelah Widuri, nenek angkatnya di depan Anya, dan mungkin juga Tougo. Ini akan menjadi hari yang spesial dan dinanti-nantikannya, ia harus tampil istimewa.
“Ayo deh Nek, kayaknya seru!” Suci menyeringai.
-oOo-
Suci diajak Widuri ke salon langganannya. Para pegawai yang telah mengenalnya memberi pelayanan terbaiknya. Suci didudukkan di kursi potong rambut, berhadapan dengan cermin besar.
“Retno, tolong beri gaya rambut baru untuk Cucu saya!” perintah Widuri kepada hair stylist langganannya.
“Bisa nggak, kalau dirapiin aja ujungnya?” Suci bergumam ragu. “Aku masih pengin rambutku panjang.”
“Lalu ubah warna rambutnya…hmm…bagaimana kalau burgundy? Itu lagi trend kan?” Widuri mulai mempertimbangkan.
“Nek, itu warna rambut udah pasaran banget. Aku bisa ketuker sama teteh-teteh random di jalan,” Suci menolak takut-takut.
“Kalau begitu…strawberry blonde aja, bagaimana?” Widuri mengungkapkan idenya.
“Kayak Anya gitu, serius, Nek? Aku nggak mau kayak gulali.” Suci menolak.
“Kamu kok nawar melulu sih, tadi bilangnya mau ganti penampilan?” Widuri kehilangan kesabaran. “Yaudah nih, kamu aja yang pilih,” Ia menyodorkan katalog warna rambut di salon itu.
“Ujung bawahnya aja bisa kan ya?” Suci bertanya ragu ke stylist yang menanganinya.
“Bisa banget, kak. Ombre gitu malah keren!” Retno, hair stylist yang menanganinya menjawab ramah. “Jadi kakak mau ujungnya diwarnai apa?”
Suci menunjuk contoh rambut berwarna ungu di katalog, “Ini deh, biar agak gelap.”
“Oh orchid, kayaknya memang cocok sama kakak. Baik, laksanakan.” Hair stylist itu mengambil cat rambut dan semua peralatan yang diperlukan.
Setelah Suci menyelesaikan prosesnya, dan rambutnya selesai di-blow, ia dibawa ke hadapan Widuri yang terperangah. Warna ungu orchid di ujung rambut bergelombang Suci benar-benar memberi kesan yang berbeda padanya. Wajahnya tampak lebih cerah, dan tampilannya menjadi lebih sophisticated.
“Ternyata begini cocok banget sama imejmu, Suci!” Widuri terperangah kagum, begitupun para pegawai salon yang lain.
“Jujur ya, Nyonya. Saya baru kali ini melihat perubahan sedikit di rambut bisa mengubah orang begitu drastis. Kecantikannya makin terpancar,” Retno sendiri mengagumi hasil kerjanya.
Suci pun takjub melihat hasilnya, tidak menyangka rambutnya bisa seindah ini, dan ia mulai menyukainya. “Terima kasih ya, aku merasa jadi orang yang berbeda. Jadi lebih percaya diri.”
“Baguslah Suci, karena perubahan secantik apapun akan percuma kalau itu tidak menambah kepercayaan diri kamu,” Widuri tersenyum puas. “Astaga, kamu cantik sekali. Benar-benar Cucu Nenek.”
Mereka berdua menertawakan reaksi masing-masing.
“Sekarang tinggal pilih gaun dan sepatu pesta untuk kamu, Suci. Yuk lanjut lagi!” Widuri mengajak dengan semangat. Suci hanya bisa pasrah digandengnya.
-oOo-
Suci terpana melihat deretan gaun yang terpajang di butik langganan Widuri. Tampaknya semua model gaun dengan segala macam warna terdapat di sini. Widuri asyik berbincang pada pemilik butik mengenai gaun pesanannya untuk perayaan ulangtahun Nyonya besar itu yang ternyata sudah siap, tinggal dicoba lalu dibawa pulang. Setelah selesai, ia menghampiri Suci.
“Silakan kamu pilih salah satu gaun di sini, Suci!” Widuri mempersilakan.
“Memang acaranya formal banget ya, Nek? Sampai harus pakai gaun segala?” Suci bertanya bingung.
“Of course, ini waktunya untuk show off gaya kita yang paling maksimal. Pakai gaun ala red carpet pun nggak apa-apa. I like birthday with style,” ucap Widuri dengan kerlingan mata.
“Ih Nenek gaya banget!” Suci memuji sambil terkekeh geli.
Ia melihat-lihat gaun sambil mencocokkan ke warna lengannya, mencoba mencari warna yang paling cocok dengan kulit kuning langsatnya.
“Selamat sore, Kak. Mau mencari gaun yang sesuai dengan warna kulit Kakak ya?” seorang pegawai wanita yang ramah dan berpakaian seragam rapi menghampiri.
“Iya, soalnya kulit saya kayak bunglon. Kalau salah pilih warna bisa kelihatan kusam banget,” Suci berkata dengan gestur malu-malu.
“Kalau begitu, saya sarankan di antara warna ini, Kak. Gaun-gaun di bagian ini sudah kami kumpulkan khusus untuk kulit kuning langsat seperti Kakak,” Pegawai itu menunjuk sebagian deretan gaun. Ada gaun-gaun indah dan mewah berwarna pink pastel, merah marun, hijau botol, biru navy, terakota, bahkan cokelat muda. Suci tertarik dengan gaun hijau botol off shoulder dengan rok bergaya mermaid line dihiasi ruffle. Kilauan payet dan rhinestonenya mencampur warna emas, cokelat, hitam, oranye, dan hijau-hijauan. Lapisan luarnya berbahan brukat berpola ranting yang mewah merambat dari atas sampai bawah, dengan hiasan bunga mungil berbagai bentuk dan warna, ramai. Sementara bagian dalamnya dari kain mengilap yang jatuh lembut berwarna hijau metalik. Suci menariknya dari gantungan untuk memerhatikan lebih saksama.
“Nah itu cantik, Ci. Ambil aja!” Widuri mendukung pilihannya.
“Tapi aku mau coba dulu supaya pas,” Suci mengutarakan niatnya.
“Nggak perlu,” Widuri mengibaskan tangan. “Mbak, tolong ukur badan cucu saya, supaya gaunnya di-adjust agar pas di badannya!” Widuri memerintahkan dengan cepat.
“Nggak gitu dong, Nek. Aku juga mau cobain langsung supaya tahu bagaimana jatuhnya di badanku,” Suci bersikeras dengan keinginannya.
Widuri menghela napas. “Oke, ukurnya sambil dia coba gaunnya aja ya,” ia kemudian meralat komandonya pada pegawai itu.
Suci mengganti pakaiannya di ruang ganti butik yang telah disediakan. Ia memandangi dirinya yang mengenakan gaun emerald berkilauan itu. Ia tampak seperti batu zamrud hijau, mewah dan berkelas. ‘Sepertinya untuk menonjolkan detail gaunnya, lebih baik disanggul,’ pikirnya sambil mulai menyanggul rambutnya.
Ia kemudian keluar dari ruang ganti. Widuri yang melihat penampilannya dengan gaun itu terpukau.
“Ini benar Suci? Kamu kelihatan bersinar, sayang!” Widuri tak henti-hentinya mengagumi. Sementara satu pegawai mendekati Suci dan mulai mengukurnya. “Gimana, suka yang itu?” tanya nyonya besar itu.
“Iya, ini aja, Nek. Bagus banget!” Suci mengangguk. ‘Sebenarnya aku juga malas cari-cari lagi, capek,’ keluhnya dalam hati. “Nek, nggak tanya harganya dulu?” bisik Suci mengingatkan.
“Kamu ini, kayak orang susah aja!” Widuri menanggapi dengan tawa. “Yaudah, bungkus yang ini aja satu ya Mbak, tolong di-adjust. Jadi tinggal cari sepatunya ya.” Widuri mengingatkan.
Suci memutar bola matanya. “Nenek aja yang pilihin ya, pokoknya ukuran kakiku 38,” pesan Suci menyerah.
“Eeh, harus dicoba dong mana yang nyaman. Yuk ikut lagi!”
Suci menghembuskan napas pasrah.
Selesai berbelanja gaun dan sepatu, Suci pulang ke rumah megah Widuri lagi. Di perjalanan Nenek kerap menawarkan gadis itu untuk tetap tinggal disana, untuk meminimalisir pengeluaran kontrakan serta memastikan keamanannya.
“Tapi aku kan bukan anggota keluarga Nenek. Gimana kata orang nanti, Nek? Aku nggak mau dibilang numpang tinggal,” Suci tidak enak hati. “Begini aja, aku kan kerja, nanti aku bayar sewa ke Nenek ya. Anggap aja aku anak kos,” Ia mengemukakan idenya.
Widuri tersenyum melihat gadis itu punya harga diri yang tinggi. “Ya terserah kamu deh, mau bayar berapa. Pokoknya kamu temani Nenek tinggal di sini ya!” Ia tidak keberatan.
“Tapi Nenek nggak boleh tolak uangku ya!” Suci memastikan.
“Kamu juga harus mau diurus ya!” Widuri membalas.
“Iya deh, Nek,” Suci tersenyum lega.
Menarik
Comment on chapter PrologSelalu penasaran kedepannya