Bagi Suci, hari libur tak lagi sepi. Sejak pertemuannya di car free day, ia menjelma pendamping setia Nyonya Widuri di kala senggang. Hari ini, mereka kembali menyusuri mal, santai di antara lorong-lorong butik bermerek. Widuri, dengan blus krem elegan dan rok rempel panjang khas sosialita senior, melangkah ringan menautkan lengannya ke Suci.
“Suci sayang, perempuan itu harus tahu cara menghargai dirinya sendiri lewat penampilan!” petuah wanita bijak itu, mengedipkan matanya ceria. “Jangan cuma tahu pakai seragam kerja. Mari, Nenek ajarkan.”
Tanpa banyak protes, Suci mengikutinya masuk ke butik pakaian. Ia hanya bisa tersenyum malu ketika Widuri memilihkan gaun midi berwarna pastel, blazer chic, jeans potongan high-waist, dan blus sifon lembut. Suci menurut, meski matanya membesar ketika melihat harga-harga baju yang dipajang.
“Nek, ini mahal loh,” Suci mengingatkan, pandangannya terpaku pada tag harga.
“Sstt, jangan banyak protes! Anggap ini tabungan saya yang baru bisa dipakai sekarang. Ibu kamu pasti ingin kamu terlihat cantik, kan?”
Hati Suci bergetar. Sudah lama sekali ia tak mendengar ibunya disebut sehangat itu.
“Aku… sebenarnya nggak pernah diajari soal ini, Nek. Waktu Ibu meninggal aku masih kecil. Nggak ngerti harus gimana jadi cewek. Pakai yang penting rapi aja.”
Widuri menatapnya iba, tapi hangat. “Ya sudah, sekarang waktunya saya jadi guru kamu. Semua perempuan berhak belajar untuk bersinar.”
Suci juga menurut saat Widuri mengajaknya perawatan kulit bersamanya. Mereka facial, dilulur dan sauna bersama, bahkan dipijat bersebelahan. Widuri juga memilihkan rangkaian perawatan kulit lengkap untuk Suci, dari pembersih, toner, serum, krim, sampai masker. Semua dibeli untuk Suci bawa pulang.
“Kulit kamu bagus, cuma belum dimanjakan. Nanti juga makin bersinar,” Widuri tersenyum bangga.
Keduanya singgah di restoran untuk mengisi perut sekaligus beristirahat. Restoran itu bergaya kolonial modern, di salah satu meja dekat jendela Widuri duduk anggun sambil menyisip teh hangatnya sementara Suci di seberangnya duduk sopan tapi tenang. Mereka tetap di sana untuk menurunkan isi perut dulu selepas makan.
“Kamu bilang kerja di RumahWaktu ya? Cucu nenek, Anya, juga kerja di sana loh. Kenal?” Widuri tersenyum ramah.
Suci mengangguk pelan, menyesap es lemon tea-nya. “Iya Nek, kenal. Quantity Surveyor perusahaan.”
Widuri mengangguk bangga, “Pintar dia itu.”
Suci berlagak ragu, “Pintar sih… tapi entahlah, Nek…”
Widuri menatap ingin tahu, “Kenapa dengan Anya?”
“Saya nggak berniat cerita sebenarnya…” Suci menunduk ragu, “Ini tersebar di grup karyawan, sudah jadi buah bibir,” ia mulai menunjukkan video Anya dan Tougo yang sedang berdansa. Musik berdentum keras, pelukan vulgar, dan ciuman mesra.
“Ya Tuhan, siapa pria ini?” wanita tua itu naik pitam.
“Namanya Tougo, Project Manager di perusahaan kami. Mereka memang sering tunjukin kedekatan di kantor. Tapi…dia bukan laki-laki yang setia sih,” Suci sengaja membongkarnya, dalam hati tersenyum senang.
“Apa? Dia bersama laki-laki seperti itu? Saya nggak akan terima,” Widuri murka, tak akan ia izinkan Anya berhubungan dengan pria semacam itu.
“Belakangan ini juga Anya dihukum kantor, Nek, akibat perbuatannya sendiri,” Suci menambahkan.
“Nenek nggak tahu itu,” Widuri kembali terkesiap. “Kenapa?”
“Dia menjebak karyawan, menuduhnya mau mencuri data perusahaan. Padahal Anya sendiri yang menaruh flashdisk kantor di loker karyawan itu,” Suci menyampaikan garis besarnya.
“Siapa karyawan yang malang itu?” tanya Widuri prihatin.
Suci menarik napas, lalu mengeluarkan ponsel dan membuka folder berita internal kantor yang tersimpan. Di sana, rekaman sidang internal tentang flashdisk kantor yang ditemukan di lokernya. “Sebenarnya korbannya saya,” ia mengaku, membuat Widuri tersentak. “Waktu itu saya hampir dipecat, Nek. Karena dituduh menyimpan data proyek perusahaan tanpa izin. Flashdisk-nya ditemukan di loker saya.”
Widuri menatap Suci serius, “Itu kejahatan berat!” Widuri lalu tertunduk. “Anya memang dimanjakan sejak kecil. Nenek tahu, dia punya ambisi...tapi kalau sampai menjebak orang lain…”
Suci menunduk, menunjukkan penyesalan telah membuka luka. “Maaf, Nek. Saya bukan berniat bicara buruk. Tapi saat semua staf menjauhi saya, dan reputasi saya hancur… saya nggak tahu harus cerita ke siapa.”
Widuri kemudian memantapkan niatnya. “Suci, sebelumnya saya janji akan memindahkan posisi pekerjaan kamu kan. Kapan saya boleh ke kantor kamu? Saya mau membicarakan soal ini ke Arya.”
“Maaf, Nek. Bisa bicarakan itu dengan Pak Arya di luar jam kantor? Saya takut jadi omongan orang sekantor lagi,” Suci berbisik.
Perempuan muda itu kemudian memberikan kartu nama atasannya, Arya Kesuma, Managing Director RumahWaktu. Widuri menerima dan menyimpannya, lalu mengangguk mengerti. “Kamu benar. Besok serahkan ke saya berkas lamaran pekerjaan kamu ya.”
Suci mengangguk sebagai balasan.
Setelah puas menghabiskan waktu berdua, Widuri mengantarkan gadis muda itu pulang ke kontrakannya, membawa berbagai tas belanjaan. “Terima kasih, Nek, atas ajarannya.” Suci menyalim wanita tua yang masih duduk di mobilnya.
“Sama-sama. Kamu udah kuanggap cucuku kok.”
-oOo-
Sebuah rapat internal darurat sedang berlangsung. Suasana begitu tegang. Di ujung meja, Arman, General Manager RumahWaktu, duduk berwibawa dan tenang, meski nadanya tegas. Hadir pula Fabian selaku Arsitek Senior, Tougo sebagai Project Manager, Rina sebagai Kepala Procurement, Yusuf sebagai Kepala Lapangan, Irfan sebagai Kepala Proyek, serta beberapa anggota tim lainnya.
Di tengah meja sebuah flashdisk berwarna hitam tergeletak. Arman memulai rapat.
“Terima kasih sudah hadir dengan cepat. Saya ingin menyampaikan keputusan resmi dari direksi. Efektif mulai hari ini, seluruh kerjasama dengan PT Sentani Jaya dinyatakan batal.”
Ruangan hening, beberapa staf saling pandang.
Arman menatap datar, “Bukti dugaan mark-up harga, pemalsuan spesifikasi material, dan manipulasi laporan kemajuan proyek ditemukan secara valid. Semua ada dalam flashdisk yang diberikan seseorang yang memihak kita.”
“Apa datanya terjamin valid, Pak?” Rina khawatir tipuan.
“Datanya terstruktur, lengkap, dengan dokumen pendukung; sangat sulit dibantah. Kami juga sudah bertemu PT Sentani Jaya dan mengonfrontasi mereka—mereka tak bisa mengelak. Saya sudah meminta pembatalan dan ganti rugi proyek; kita tinggal menunggu itikad baik mereka mengirimkan ganti ruginya,” Arman kembali menjelaskan.
Irfan mengangguk, “Saya sudah meninjau kebenarannya di lapangan, dan ternyata memang ada keluhan serupa dari pekerja lapangan. PT Sentani Jaya bukan cuma merugikan kita, tapi juga mencoreng reputasi RumahWaktu sebagai mitra profesional.”
Yusuf bersandar gusar. “Lantas proyek kita bagaimana, Pak? Sentani memegang kontrak struktur utama. Kita bisa mandek tanpa mereka.”
Arman mengangguk, “Karena itu mulai hari ini, saya minta Bu Rina dan tim procurement segera mencari alternatif reknan. Prioritaskan vendor yang sudah pernah bekerja dengan kita, atau yang pernah kita evaluasi sebelumnya.”
Rina mengangguk, “Siap Pak. Saya akan kerahkan tim verifikasi untuk menyortir kandidat. Proyek tetap harus lanjut.”
Tougo masih tampak tidak puas. “Tapi Pak, kita butuh waktu untuk proses tender ulang. Apa kita nggak bisa renegosiasi aja dengan pihak Sentani Jaya?”
“Kita bicara soal integritas, Tougo!” Fabian menyahut cepat, “Jika kita pertahankan mereka, kita juga ikut mencoreng nama baik perusahaan.”
Arman dengan nada dingin menambahkan, “Dan kabar buruk menyebar lebih cepat di industri ini. Kita harus mengambil sikap yang benar dan objektif. Atau kita akan kehilangan klien besar dan reputasi jangka panjang.”
Peserta rapat mengangguk perlahan, sementara Tougo terdiam, menahan gusar.
“Saya sarankan juga segera sosialisasikan keputusan ini kepada tim lapangan, supaya tak ada salah paham di bawah,” Yusuf mengingatkan.
Arman setuju, “Betul, dan satu lagi…” Sejenak semua hening.
“Kita berutang besar pada pihak yang mengungkap kecurangan ini dalam sebuah flashdisk, meski ia menyembunyikan identitasnya. RumahWaktu berdiri karena kepercayaan. Dan kepercayaan itu… baru saja diselamatkan.”
Rapat berakhir perlahan. Fabian menatap flashdisk dengan ekspresi dalam. Di sudut Tougo menggertakkan rahang, tidak senang.
Ruang rapat telah lengang dan redup, hanya cahaya dari jendela besar yang menyinari meja kerja. Fabian berdiri di depan Arman, yang duduk memegang flashdisk dengan wajah berat. Gelas kopi di mejanya tinggal setengah, dibiarkan dingin.
Fabian mendekat, “Anda masih terlihat lelah, Pak. Mau saya buatkan teh?”
Arman menggeleng pelan, “Terima kasih, Fabian. Saya masih teringat momen malam itu.”
Sejenak Fabian ikut terbayang. Ruang rapat kosong, lampu menyala, proyektor menampilkan data di layar besar. Arman berdiri terpaku di tengah ruangan, matanya menatap deretan dokumen mencurigakan, jantungnya berdegup, lalu terduduk lemas. Fabian muncul di pintu, sempat terkejut melihat situasi, lalu berjalan mendekat menenangkan Arman yang jelas syok.
Fabian mengangguk. “Saya tahu malam itu berat, Pak. Tapi beruntung, siapapun orang di balik ini, menyelamatkan kita dari bahaya yang lebih besar.
“Guardian Angel…” Arman mengingatnya, “Itu nama yang muncul di email. Aneh… tapi tanpa dia, mungkin kita justru yang sedang diselidiki.”
Fabian sesaat terdiam, lalu berkata pelan, “Apa anda sempat bertemu dengan orang itu? Atau orang yang mencurigakan?”
“Nggak, ruangan kosong. Cuma proyektor menyala dan flashdisk di meja. Seolah dia punya akses masuk ke kantor kita, dan tahu kalau malam CCTV di bagian dalam kantor dimatikan,” pria paruh baya itu membeberkan.
Fabian berpikir dengan sorot mata tajam, Tapi aku tahu seseorang juga ada di kantor malam itu. Yang tampak panik dan kabur saat bertemu denganku, Suci.
Semua terlalu rapi untuk jadi sekadar kebetulan, pikirnya, tersenyum tipis.
“Kalau dia mendengar ucapan terima kasih Anda, mungkin dia akan tersenyum dari balik layar,” Fabian menanggapi.
“Saya hanya berharap, siapapun dia, tetap di pihak kita.” Arman menghela napas.
-oOo-
Kantor RumahWaktu sibuk namun tetap tampak santai seperti biasa. Suci mengantarkan dokumen ke ruang kerja arsitek. Ia menikmati, ralat, mensyukuri pekerjaan ini. Karena dengan begini, ia punya alasan untuk melihat Fabian bekerja.
Benar saja, Fabian duduk di belakang meja kerjanya dengan ketampanan yang menyerupai dewa Yunani. Ia fokus dengan laptopnya, seperti terjerat dalam dunianya sendiri. Suci melirik dari sudut matanya. Tampaknya pemuda itu sedikit kesusahan.
Setelah Suci menaruh dokumen di meja yang ditentukan, ia berinisiatif melongok ke laptop Fabian, mencari tahu masalahnya.
“Ada apa?” tanyanya penasaran.
“Aku nggak bisa temukan file yang kubutuhkan, aku yakin taruh di folder ini. Apa kehapus ya?” Fabian menjawab.
“Coba aku cari,” Suci dengan mantap mengambil alih laptop, membuka recycle bin, lalu menunjukkannya ke Fabian. “Coba, ada nggak di sini?”
Fabian mengamati baris demi baris nama file di dalamnya. “Nggak ada.”
Suci lalu terbersit sebuah solusi. Dilihatnya File Explorer, klik tab view, lalu centang ‘hidden items’. Tampilan folder pun diperlihatkan ke Fabian.
“Nah itu dia!” Fabian lega menemukan nama file yang dicarinya.
“Berarti nggak sengaja ke-hide,” Suci pun tenang, menegakkan tubuhnya kembali.
“Terima kasih Suci,” Fabian berkata sambil meliriknya.
“Sama-sama,” Suci menarik diri, lalu menjauh. Kembali kepada kesibukannya.
Fabian terus melirik Suci dengan penasaran. Sejak memergoki Suci di kantor larut malam itu, ia sedikit curiga Suci bukan petugas asisten fasilitas kantor biasa. Apalagi dengan kemampuannya mengatasi masalah komputer seperti tadi. Sebenarnya tadi ia hanya menguji gadis itu, seberapa akrab ia dengan sistem komputer. Ternyata gadis itu tak bisa disepelekan, tak sesederhana penampilannya.
-oOo-
Anya baru saja tiba di rumah, melangkah masuk dengan rambut tergerai dan ekspresi letih setelah proyek. Tasnya baru diletakkan, ketika suara tinggi mamanya memecah keheningan.
“Jangan libatkan aku! Aku sudah bilang jangan terlalu percaya pada anak buahmu itu! Lihat sekarang, perusahaan di ambang kebangkrutan.”
“Bukan bangkrut, aku cuma ingin kamu menekan pengeluaran. Pemberhentian kerjasama dengan RumahWaktu berdampak besar bagi perusahaan kita, tapi aku yakin bisa mengatasinya. Kamu juga sabar dong, jadi istri jangan bisanya ngomel aja!” papanya membalas.
“Anya, kamu juga! Nggak usah terlibat terlalu banyak dengan RumahWaktu, mereka bukan lagi rekanan kita. Atau kamu keluar aja dari sana, kan bisa bekerja di perusahaan keluarga kita!” papa melirik Anya yang lewat.
“Jangan libatkan Anya dalam kegagalan kamu! Terserah dia mau bekerja di mana. Kamu juga nggak kompeten, diam aja saat mereka mulai main harga. Semua jadi kena getahnya sekarang!” mamanya tak puas-puasnya menyalahkan kepala keluarga itu.
Rumah itu dulunya punya prestise, kini penuh pekikan. Padahal Anya pulang ke rumah orang tuanya dengan niat menghabiskan waktu bersama mereka, sekaligus mencari kesempatan memperkenalkan Tougo kepada orangtuanya. Ia ingin membahas rencana masa depannya bersama Tougo.
Anya melangkah pelan ke atas, masuk kamarnya, dan mengunci pintu. Ia duduk di ranjang sambil menghela napas berat, lalu meraih ponsel dan membuka chat dengan Tougo. Anya mengirimkan chat,
Anya :
Hun, di rumahku chaos. Aku capek banget.
Papa & mama ribut terus karena kerjasama proyek dengan RumahWaktu gagal.
Tak kunjung mendapat jawaban, Anya tidak heran. Tougo memang begitu, menghubunginya saat sedang ingin saja, selebihnya ia sering tidak ingin diganggu dengan alasan sibuk. Seharusnya Anya mengerti, tapi ia tetap sedih. Kemudian Anya memutuskan mengirimkan voice note:
“Kayaknya seminggu ini aku butuh kamu banget, Go. Seminggu lagi ulang tahun Nenek Widuri. Aku mau ajak kamu ke acara keluarga, supaya mereka tahu kamu orang yang bisa diandalkan. Sekalian kamu akrabkan diri ke keluargaku.”
Anya melihat centang dua bertanda biru, tanda pesannya tadi sudah dibaca.
“Bisa kan? Tolong banget ya, jangan lupa. Aku pengin kamu tampil terbaik,” Anya menambahkan di voice note-nya.
Di tempat lain, Tougo membaca dan mendengar pesan Anya. Ekspresinya yang awalnya datar, kemudian matanya membesar. Widuri Grace Sentani, nenek Anya, kan orang terpandang di dunia bisnis! Ia menyeringai mengingat nama itu. Jiwa oportunisnya muncul. “Iya aku bisa kok, tenang ya,” jawabnya dalam voice note.
PT Sentani Jaya yang kini dikenal sebagai salah satu perusahaan konstruksi dan pengadaan terbesar di wilayahnya, dulunya hanya usaha keluarga kecil. Namun segalanya berubah saat perusahaan jatuh ke kepemimpinan Surtoyo Adhi Sentani, sosok visioner yang tak pernah berjalan sendiri. Di sisinya ada Widuri, perempuan cerdas dan bersahaja yang bukan sekadar istri, tapi juga penasihat setia dan mitra strategis dalam membangun imperium bisnis mereka.
Widuri bukan hanya nama yang tertulis di silsilah perusahaan, melainkan jiwa yang turut menentukan arah kebijakan dan jalinan relasi perusahaan. Keputusan dan nalurinya tajam, empatinya sering membuka pintu rezeki bagi banyak pengusaha baru—terutama RumahWaktu, yang di tahun-tahun awalnya banyak menerima sokongan, baik moral maupun finansial, dari pasangan legendaris ini.
Meski tak lagi aktif di garis depan, suara Widuri masih bergema kuat di dunia bisnis hingga kini. Ia adalah sosok yang dihormati, bukan hanya karena sejarah kejayaannya, tetapi karena nilai yang ia wariskan : kebijaksanaan, integritas, dan rasa keadilan yang tak bisa dibeli. Siapa yang dekat dengannya bisa ikut terpandang, dan Tougo ingin memanfaatkan itu.
Menarik
Comment on chapter PrologSelalu penasaran kedepannya