Loading...
Logo TinLit
Read Story - Semesta Berbicara
MENU
About Us  

Ada bara kecil di mata Anya setiap kali melihat Suci. Dan kali ini, ia sudah tahu bagaimana cara meniupnya jadi api. Ia geram melihat Tougo masih saja membela gadis itu. Tiba-tiba ia teringat proposal penting yang ada di mejanya—dokumen yang dipercayakan padanya langsung. Lantas ia sengaja menyuruh Suci menduplikasi proposal itu.

Kemudian Anya berakting panik, mencari proposal asli di tengah tumpukan proposal yang diantar Suci tadi.

“Ini kok proposal aslinya nggak ada? Itu ada tanda tangan resmi dari pimpinan, tahu!” ia memarahi Suci di  depan beberapa pegawai, suaranya meninggi.

“Tapi saya sudah taruh di paling atas tadi,” Suci tetap yakin.

“Kamu yakin nggak main-main, Ci? Ini dokumen penting banget!” suara Anya meninggi, tatapannya menusuk.

Tougo yang tertarik dengan keributan tersebut mendekat. “Suci, jangan kekanakan. Kalau kamu kesal dengan Anya, simpan sendiri, bukan main sabotase kayak begini.”

 

Fabian yang kebetulan lewat melirik ke arah keributan itu. Ia mendekat lalu menyilangkan tangannya di dada.

“Lucu ya… proposal bisa hilang, dan tanpa bukti, semua langsung menunjuk tersangka. Hebat. Saya pikir ini kantor, bukan pengadilan jalanan,” ujarnya tajam.

Suasana langsung senyap. Anya refleks menegakkan bahu, canggung. Tougo tampak gelagapan.

“Itu ada kamera CCTV, jangan drama. Main tuduh aja!” ucapnya sebelum melangkah menjauh. Itu cukup membuka pikiran para pegawai di ruangan itu. Mereka pun mendorong Anya untuk memeriksa CCTV. Anya tak berkutik, ia lupa bahwa setiap gerak mereka diawasi kamera.

Fabian melanjutkan langkah santai keluar ruangan, lalu menatap Suci sekilas, “Kalau semua proposal dihargai segitunya, mungkin memang harus saya desain ulang. Bukan bangunan, tapi sistem kepercayaan tim ini.”

 

Tougo yang diminta Anya mewakilinya memeriksa CCTV mengerti, ini ulah wanitanya lagi. Ia hanya bisa menenangkan pegawai lain, berkata bahwa ini mungkin salah taruh biasa. Ia menawarkan untuk mencarinya hingga ketemu, meski tahu proposal asli sebenarnya masih berada di tangan Anya, sengaja disembunyikan. Ketika keramaian mereda, baru Anya mengumumkan bahwa proposal sudah ditemukan, tanpa rasa bersalah.

 

-oOo-

 

Senja menggantung di langit Bogor yang kuning keemasan. Angin lembut meniupkan aroma hujan sisa siang tadi. Di atas rooftop kantor RumahWaktu, tempat duduk dari beton dan beberapa pot tanaman menghiasi sudut ruangan terbuka itu. Suci duduk sendirian, menyeruput teh dari tumbler. Rambutnya dikuncir sederhana, sweater longgar membungkus tubuhnya.

Langkah pelan terdengar dari tangga. Fabian, dengan kemeja tergulung di lengan dan map tipis di tangan, muncul dan tersenyum tipis, tampak sedikit terkejut melihatnya di sana.

“Kukira cuma aku yang tahu tempat ini enak buat mikir,” kata Fabian sambil mendekat.

Suci terkesima dengan sosok rupawan yang tak ia duga akan muncul di tempat itu.

Apa ini hari keberuntunganku? pikirnya, lalu tersenyum tipis. Ia sedikit menggeser duduknya dengan kikuk. “Kebetulan aku suka cari tempat sepi juga,” katanya berusaha tenang, meski dalam hatinya bersorak gembira.

Fabian duduk di sebelahnya, menyisakan jarak yang sopan. “Lain kali aku pinjam tempat ini ya, kalau kamu nggak keberatan.”

Suci mengangguk. “Asal nggak dijajah terus sih, aku oke.”

“Dikira aku VOC kali!” Fabian tertawa dengan lelucon gadis itu yang tepat mengena pada imejnya. Suci terbawa suasana dan ikut tertawa, suasana mencair. Fabian kemudian menatap langit sejenak, lalu memandang ke arah gadis di sebelahnya.

“Kadang aku iri sama orang yang bisa menikmati hidup pelan-pelan. Kamu kayaknya tipe yang tenang, ya?”

Suci sejenak menoleh, Aku tenang? Dalam hati badai dan gempa bumi ini! benaknya menahan degup jantung sambil menatap langit. “Tenang karena harus. Supaya bisa jalan terus. Berhenti bikin aku tenggelam, berlari bikin aku kehilangan arah. Jadi aku jalan pelan.”

Fabian mengangguk paham. “Kamu tinggal di Bogor dari kecil?”

Suci menggeleng cepat. “Nggak, aku dari Jakarta. Pindah sendiri ke sini untuk kerja sekaligus kuliah agar lebih tenang. Mau mulai hidup dengan usaha sendiri.”       

Fabian menatap gadis itu takjub, “Berani juga.”

Suci tersenyum malu sambil menunduk, tak menyangka akan dipuji. “Sebenarnya bukan karena berani, tapi kalau nggak dimulai sekarang, aku takut menyesal seumur hidup.”

Gadis itu mengobservasi Fabian, “Kamu sendiri, datang langsung dari Belanda?”

Fabian tersenyum kecil, “Amsterdam tepatnya, tapi sebelum ini sudah setahun kerja di Jakarta.”

Suci kini mengerti, “Pantas bahasa Indonesianya lancar banget. Hebat.”

Tatapan mata Fabian melembut, “Kamu seperti punya dunia yang orang-orang jarang bisa lihat. Nggak banyak orang  yang bikin aku penasaran… kamu salah satunya.”

Suci tersipu, wajahnya memerah, lalu tertawa kecil menutupi kegugupannya. “Kamu juga, arsitek yang suka melamun sendirian di rooftop. Klise, tapi keren,” balasnya memuji.

Fabian memutar map di tangannya. “Kadang ide bagus datang dari kesendirian. Tapi…mungkin juga bisa dari obrolan kayak begini.”

Mereka terdiam sejenak, menikmati cahaya senja yang berpadu lembut dengan langit merah muda.

“Kalau kamu bukan kerja di kantor ini, kamu pengin jadi apa?” Fabian bertanya penasaran.

Suci menatap langit, lalu menjawab pelan, “Seseorang yang kerjaannya bisa bikin bangga, tanpa harus bilang ‘ini aku yang kerjain loh!’, tapi ini rahasia ya.”

Fabian meletakkan tangan di dada dengan gaya teatrikal, “Disumpah atas nama rooftop sakral ini, akan dijaga!”

Mereka tertawa. Angin sore mengantarkan sejuk dan ketenangan kepada kedua insan itu, mempermainkan anak rambut Suci yang terlepas sedikit dari ikatannya.

Di antara angin sore dan senyum malu-malu itu, Suci mulai merasa, mungkin semesta benar-benar sedang bicara.

 

-oOo-

 

Ruang rapat perusahaan RuangWaktu bernuansa industrial, dengan jendela lebar memperlihatkan taman kecil di luar. Fabian membuka laptopnya sambil menunggu pimpinan PT Naratama, perusahaan kontraktor yang sering dipercaya untuk menangani pengerjaan proyek perusahaan ini secara teknis. Anjar, pemimpin perusahaan sekaligus sahabatnya, sebentar lagi akan datang. Vinda mengumpulkan berkas yang akan mendukung presentasi kali ini, sementara Fabian mencari-cari file presentasi dan mensortir yang akan ditunjukkannya.

“Berkasnya udah siap, Vin?” Fabian memastikan kepada arsitek juniornya itu.

“Udah dong. Tenang aja,” Vinda menjawab santai, seperti biasa.

Suci datang mengantarkan beberapa camilan untuk konsumsi saat rapat berlangsung. Fabian tersenyum. “Terima kasih.”

Suci mengangguk sambil tersenyum, “Udah tugasku.” Ia berpapasan dengan Anjar di ambang pintu dan mengangguk sopan sebelum kembali bekerja.

Fabian dan Anjar duduk berdampingan sambil membahas rencana proyek.

“Bangunan di Braga itu… fasad aslinya masih bisa diselamatkan. Tapi struktur belakang perlu pembongkaran parsial. Aku butuh tim mu untuk urusan pondasi dan struktur utama. Nanti aku kasih desainnya,” Fabian mengungkapkan opininya.

Anjar membolak-balik blueprint, mengangguk mantap, “Setuju, ini bakal jadi proyek cakep, Fab. Gaya art deco-nya masih kuat banget. Tinggal digali cerita lamanya, sentuhanmu selalu bisa hidupin arwah gedung tua.”

Fabian tersenyum, lalu menutup map. “Makanya aku pengin kamu yang handle langsung. Proyek ini punya potensi… dan aku mau hasilnya otentik.”

“Beres. Kalau kamu minta langsung, aku turun. Kita kan bestie!” Anjar melempar senyum sok imut.

Buddy, Jar. Kalau cowok sebutannya buddy,” Fabian meralatnya dengan tatapan datar.

Whatever deh!” Anjar tak ambil pusing.

“Ada… cerita seramnya nggak?” Vinda yang sejak tadi diam, tanpa disangka bersuara.

“Hah?” Anjar kaget mendengar omongannya.

Sorry, Vinda ini memang horror freak. Menurut dia nggak afdol kalau bangunan tua nggak ada cerita arwah gentayangan,” Fabian meminta pemakluman. Sudah hapal kelakuan aneh juniornya itu.

Anjar tertawa, “Kamu tertarik sama dunia supranatural? Nggak takut?”

Vinda mengangguk semangat, “Nggak, kebiasaan nonton horror dan thriller. Sama hal-hal gore juga nggak takut. Bring it on!”

“Buset ni cewek…” Anjar bergumam takjub, dalam hati kagum.

“Nah, cocok tuh kalian ngobrol berdua, Anjar juga kan bisa lihat setan,” Fabian mendekatkan keduanya sambil senyam-senyum. Ia tahu jelas Anjar dekat dengan dunia supranatural. Pria Jawa itu sering iseng mendeskripsikan arwah di sekitar mereka.

“Arwah, bukan setan!” Anjar meralatnya.

Mata Vinda semakin berbinar, “Yang benar Boss?” ia menatap lekat Anjar yang mulai besar kepala.

“Iya, aku juga pernah hampir mati,” Anjar menceritakan dengan bangga. “Koma sebulan.” Vinda semakin menatapnya penuh ketertarikan, matanya membesar. Pemuda Jawa itu menatap Vinda, memerhatikannya lebih saksama. Rambutnya lurus kecoklatan sebahu, kulitnya putih dan hidungnya mancung, sepertinya punya sedikit darah campuran kaukasia. Bola matanya berbinar hidup. Gadis ini anomali. Dan itu justru yang menarik.

Sementara Suci kembali ke ruangan rapat untuk membawakan mereka nampan berisi tiga cangkir kopi. “Maaf, baru bawa ini sekarang,” Suci meminta pemakluman.

“Santai aja, ini kan ada air putih,” Fabian menenangkannya sambil memegang air mineral di botol kecil. “Nih ambil Ci.” Pria kaukasia itu menyerahkan lemper ke tangannya.

“Nggak usah.” Suci sungkan, segera mengembalikannya.

“Atau pilih sendiri tuh, ada pastel, dadar gulung, maunya yang mana?” Fabian menawarkan pilihan.

“Nggak usah, saya udah cobain duluan tadi,” Suci terpaksa berbohong.

Fabian menyelipkan lemper ke saku seragamnya. “Tips,” ucapnya, senyumnya jahil.

Anjar mengamati interaksi Fabian dan Suci yang menurutnya janggal. Mata Fabian tampak lekat ke arah gadis sederhana berseragam pantry itu. Tatapannya dalam, seolah mengandung sesuatu yang tak terucap.

 

Begitu Suci menghilang dari pandangan, Anjar langsung mendekati Fabian tertarik. “Kamu tertarik sama perempuan itu? Kayaknya kamu hampir wisuda dari sebutan sadboy nih.”

“Ah biasa aja! Kamu tuh yang sadboy!” Fabian membantah.

“Kita berdua sadboy, cuy!” Anjar mengingatkan kesamaan nasib mereka. “Dan sekarang kayaknya kamu mulai move on. Matamu menunjukkan ketertarikan.”

Fabian memandang pintu tempat kepergian Suci. “Entahlah, dia selalu bikin aku penasaran… dan khawatir.”

Anjar tersenyum paham. “Kadang aku kepikiran, memang bisa kita benar-benar move on dari cinta lama yang sudah sangat besar mengambil bagian hati kita?” Anjar melirik Fabian, “Tapi lihat kamu, kayaknya aku jadi optimis kalau kita bisa.”

Vinda yang tidak disertakan dalam obrolan hanya terdiam canggung, “Bisa kok, hati bisa jatuh cinta berkali-kali. Hati dan pikiran punya kemampuan hebat untuk menyembuhkan diri,” ia memberanikan diri mencetuskan.

Kedua pria di ruangan itu menatap gadis itu, terperangah. Merasa tercerahkan.

Sejenak Anjar menatap Vinda takjub, lalu tersenyum kagum. “Kamu mau aku ceritain pengalaman supranaturalku? Lain kali ngopi bareng yuk!” ajaknya penuh harapan. “Nonton film horror bareng juga boleh.”

Vinda tertegun, sementara Fabian menahan senyum, paham. Ia menangkap sinyal pendekatan Anjar pada juniornya itu.

 

-oOo-

 

Malam itu Suci baru saja pulang dan memasuki kontrakannya, seragamnya pun masih melekat, namun dering ponselnya memanggil. Ternyata dari saudara laki-lakinya yang sudah lama tak diidahkan, Surya.

“Halo Kak! Tumben telepon malem-malem,” Suci menyapa heran.

“Hoi anak sultan yang nyamar jadi office girl! Lu sebenarnya kerja di sana demi ngejar gebetan ya? Siapa tuh, si Toge… Ngaku lu!”

“Bukan, buat bikin konten tiktod, ‘Hidup sederhana hati bahagia’, puas?” balas Suci, “Ngarang aja.”

“Bahagia palelu keplintir? Udah dikasih kamar AC, spring bed mahal, makan lima kali sehari, malah milih ngontrak di Bogor. Kerja ngelap meja sambil makan indonmi, bucin parah lu!” Surya masih berasumsi sembarangan.

Padahal justru Suci lebih dulu bekerja di sana. Ia malah yang merekomendasikan lowongan itu pada Tougo, yang saat itu baru lulus. Andai Surya tahu, ia pasti ditoyor dan semakin diledek bucin.

Benar kan, ngeledek! Suci tersenyum mendengar ledekan itu, sesuai perkiraannya. Suci menghela napas. “Aku cuma kebetulan dapat di sini Kak, dan kantornya nyaman. Lagipula Tougo udah punya pacar.”

“Sok idealis sih lu, belagak nggak mau pakai koneksi, susah kan nyari kerjaan modal ijazah SMA? Udah paling bener lu kerja di perusahaan keluarga kita, atau kalau mau kembangin bakatlu, di perusahaan Adrian juga boleh deh, basisnya IT kan,” Surya menawarkan kembali.

“Kak, selain aku nggak mau nepotisme, aku juga ke sini buat buktiin ke Bokap, kalau aku bisa hidup mandiri, nggak perlu diatur kayak bocah terus. Lagian udah bagus aku bisa hasilin uang sendiri, Bapak malah curiga macem-macem,” Suci mengungkapkan isi hatinya.

Kali ini Surya yang menghela napas berat, “Ucapan orang tua jangan terlalu dimasukin hati Ci. Gue rasa Bapak juga udah nyesel curiga sembarangan. Kita juga khawatir lu tinggal sendiri di sana. Lu kan cewek. Gimana kalo dirampok? Gimana kalo… lu kelaparan di sana? Balik aja yuk kemari, biar gue adain pesta penyambutan, bener deh. Bapak juga mau kasih satu rumah buat lu tuh, khusus punya lu.”

Senyum geli terulas di wajah Suci. “Aku lebih kuat dari yang Kakak pikir. Aku masih betah di sini, setidaknya sampai aku lulus kuliah ya. Begitu aku punya gelar dan kompeten, baru aku pulang.”

Surya mempertimbangkannya, “Yaudah kalau maunya gitu, tapi jangan sombong lu sama keluarga. Sering-sering balik ke rumah lah, kayak Bogor-Jakarta jauh aja, padahal naik kereta juga cepet.”

“Iya Kak,” Suci terhenti sejenak, “Thanks ya Kak, udah khawatir.”

“Pokoknya udah gue transfer, ya.” Sambungan telepon terputus sebelum Suci sempat membalas.

“Eeh Kak…” Suci bergumam pelan, “Padahal aku juga bisa cari uang sendiri.”

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (4)
  • papah.al

    Menarik
    Selalu penasaran kedepannya

    Comment on chapter Prolog
  • baba

    Ceritanya mindblowing ya ..

    Comment on chapter 6. Semut pun Bisa Menggigit
  • guardian angel

    Prolognya menarik.

    Comment on chapter Prolog
  • guardian angel

    Mulai seru... hacker perempuan keren bgt!

    Comment on chapter 1. Kekecewaan Menghentak
Similar Tags
Accidentally in Love!
457      305     1     
Romance
Lelaki itu benar-benar gila! Bagaimana dia bisa mengumumkan pernikahan kami? Berpacaran dengannya pun aku tak pernah. Terkutuklah kau Andreas! - Christina Adriani Gadis bodoh! Berpura-pura tegar menyaksikan pertunangan mantan kekasihmu yang berselingkuh, lalu menangis di belakangnya? Kenapa semua wanita tak pernah mengandalkan akal sehatnya? Akan kutunjukkan pada gadis ini bagaimana cara...
Senja di Balik Jendela Berembun
29      28     0     
Inspirational
Senja di Balik Jendela Berembun Mentari merayap perlahan di balik awan kelabu, meninggalkan jejak jingga yang memudar di cakrawala. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membasahi kaca jendela kamar yang berembun. Di baliknya, Arya duduk termangu, secangkir teh chamomile di tangannya yang mulai mendingin. Usianya baru dua puluh lima, namun beban di pundaknya terasa seperti telah ...
ISTRI DADAKAN
740      472     3     
Romance
Orang sering bertanya, kapan aku akan menikah. kujawab "Sudah." Kupikir ini selesai saat orangtuaku ingin tahu bagaimana sih bentuk isteriku itu. Kujawab "Iya, nanti Mam," aku kelimpungan sendiri. ditanya sejak kapan kujawab saja setahun yang lalu. Eh gak tahunya KTP dimintain sebagai tanda bukti. Kubilang saja masih proses. Sialnya lagi karena aku belum menikah ayah mengaju...
Merayakan Apa Adanya
616      430     8     
Inspirational
Raya, si kurus yang pintar menyanyi, merasa lebih nyaman menyembunyikan kelebihannya. Padahal suaranya tak kalah keren dari penyanyi remaja jaman sekarang. Tuntutan demi tuntutan hidup terus mendorong dan memojokannya. Hingga dia berpikir, masih ada waktukah untuk dia merayakan sesuatu? Dengan menyanyi tanpa interupsi, sederhana dan apa adanya.
Lantunan Ayat Cinta Azra
1105      649     3     
Romance
Perjalanan hidup seorang hafidzah yang dilema dalam menentukan pilihan hatinya. Lamaran dari dua insan terbaik dari Allah membuatnya begitu bingung. Antara Azmi Seorang hafidz yang sukses dalam berbisnis dan Zakky sepupunya yang juga merupakan seorang hafidz pemilik pesantren yang terkenal. Siapakah diantara mereka yang akan Azra pilih? Azmi atau Zakky? Mungkinkah Azra menerima Zakky sepupunya s...
Ikhlas Berbuah Cinta
1488      924     0     
Inspirational
Nadhira As-Syifah, dengan segala kekurangan membuatnya diberlakukan berbeda di keluarganya sendiri, ayah dan ibunya yang tidak pernah ada di pihaknya, sering 'dipaksa' mengalah demi adiknya Mawar Rainy dalam hal apa saja, hal itu membuat Mawar seolah punya jalan pintas untuk merebut semuanya dari Nadhira. Nadhira sudah senantiasa bersabar, positif thinking dan selalu yakin akan ada hikmah dibal...
Matahari untuk Kita
1653      674     9     
Inspirational
Sebagai seorang anak pertama di keluarga sederhana, hidup dalam lingkungan masyarakat dengan standar kuno, bagi Hadi Ardian bekerja lebih utama daripada sekolah. Selama 17 tahun dia hidup, mimpinya hanya untuk orangtua dan adik-adiknya. Hadi selalu menjalani hidupnya yang keras itu tanpa keluhan, memendamnya seorang diri. Kisah ini juga menceritakan tentang sahabatnya yang bernama Jelita. Gadis c...
A Missing Piece of Harmony
366      275     3     
Inspirational
Namaku Takasaki Ruriko, seorang gadis yang sangat menyukai musik. Seorang piano yang mempunyai mimpi besar ingin menjadi pianis dari grup orkestera Jepang. Namun mimpiku pupus ketika duniaku berubah tiba-tiba kehilangan suara dan tak lagi memiliki warna. Aku... kehilangan hampir semua indraku... Satu sore yang cerah selepas pulang sekolah, aku tak sengaja bertemu seorang gadis yang hampir terbunu...
Sang Musisi
391      255     1     
Short Story
Ini Sekilas Tentang kisah Sang Musisi yang nyaris membuat kehidupan ku berubah :')
Lovebolisme
204      175     2     
Romance
Ketika cinta terdegradasi, kemudian disintesis, lalu bertransformasi. Seperti proses metabolik kompleks yang lahir dari luka, penyembuhan, dan perubahan. Alanin Juwita, salah seorang yang merasakan proses degradasi cintanya menjadi luka dan trauma. Persepsinya mengenai cinta berubah. Layaknya reaksi eksoterm yang bernilai negatif, membuang energi. Namun ketika ia bertemu dengan Argon, membuat Al...