Loading...
Logo TinLit
Read Story - Langkah Pulang
MENU
About Us  

Senja merayap perlahan ke balik jendela kamar asrama NUS yang sederhana. Lampu meja belajar yang hangat menciptakan lingkaran cahaya kecil di tengah ruangan yang mulai redup. Di atas meja, tersusun rapi buku-buku kuliah, alat tulis, dan beberapa helai hijab dengan warna lembut yang selama ini menjadi miliknya.

Karina duduk termenung, jemarinya bermain lembut dengan salah satu helai hijab berwarna dusty pink. Selama ini, hijab itu sering ia pakai dalam situasi tertentu, saat ia merasa perlu melindungi diri atau menutup diri dari keramaian. Tapi tidak pernah setiap hari. Tidak pernah konsisten.

Hari ini, sesuatu dalam dirinya berubah. Ada rasa ingin lebih dari sekadar mengenakan hijab sebagai pelindung sementara. Ia ingin menjadikan hijab itu bagian dari dirinya, bukan hanya fisik tapi juga spiritual. Ia ingin berhijrah, menjalani hidup dengan cara yang lebih tulus dan berani.

Dari sudut kamar, pintu terbuka pelan. Mei Lin, teman sekamarnya yang sejak awal kuliah sudah seperti saudara, melangkah masuk membawa segelas teh hangat.

“Kamu kelihatan bimbang, Na. Ada apa?” tanya Mei Lin dengan suara lembut sambil duduk di ujung ranjang.

Karina menoleh, menarik napas panjang, dan mulai mengutarakan isi hatinya. “Lin, aku sudah lama memikirkan ini. Aku mau berhijrah, bukan setengah-setengah lagi. Aku mau pakai hijab setiap hari, konsisten. Aku mau jadi diri sendiri yang baru.”

Mei Lin menatapnya dengan mata penuh pengertian. “Aku tahu kamu sering pakai hijab kadang-kadang, tapi kamu nggak pernah bilang mau konsisten kayak gini. Kenapa sekarang?”

Karina menghela napas. “Aku merasa selama ini aku cuma setengah jalan. Pakai hijab cuma saat aku merasa lagi insecure, atau ketika aku pengen menutup diri. Tapi aku sadar, hijab itu bukan cuma soal menutup kepala. Itu simbol komitmen aku sama diriku sendiri dan Allah. Aku mau ini jadi bagian dari identitasku yang sebenarnya.”

Mei Lin tersenyum, lalu mengangguk pelan. “Aku bangga sama kamu, Na. Tapi kamu tahu nggak, keluarga kamu di rumah gimana? Kamu siap kalau mereka nggak langsung nerima?”

Karina mengangguk mantap. “Aku sudah siap menghadapi itu. Aku tahu keluarga mungkin sulit terima perubahan ini. Tapi aku harus konsisten dan tenang. Aku harus memegang teguh pilihan ini, demi aku sendiri.”

Mei Lin mendekat dan memeluk Karina sebentar. “Kalau kamu yakin, aku dukung kamu sepenuhnya. Kamu nggak sendiri, Na."

Karina merasa hangat dan terharu. “Terima kasih, Lin. Dukungan kamu berarti banget.”

 

---

Hari-hari berikutnya, Karina mulai memakai hijab setiap kali keluar kamar, tanpa ragu. Perubahan ini perlahan menarik perhatian teman-temannya.

Suatu sore di ruang belajar kampus, saat Karina duduk bersama Lucas, Priya, dan Mei Lin. Priya memecah keheningan dengan senyum ramah. “Karina, aku perhatiin kamu sekarang makin sering pakai hijab ya? Apa kamu sudah bener-bener mantap buat berhijrah?”

Karina menatap mereka berdua, sedikit gugup tapi penuh keyakinan. “Iya, aku sudah mantap. Ini bukan cuma soal hijab, tapi tentang siapa aku sekarang. Aku mau konsisten jalani ini dengan sepenuh hati.”

Lucas mengangguk sambil tersenyum. “Baguslah, Na. Aku lihat kamu jadi lebih tenang dan percaya diri. Itu yang penting.”

Mei Lin menambahkan, “Kami di sini selalu siap dukung kamu, ya. Kalau kamu butuh teman cerita atau apapun, jangan sungkan bilang.”

Karina tersenyum lebar. “Makasih banyak. Aku benar-benar butuh dukungan kalian.”

Mereka berempat kemudian melanjutkan belajar, tapi suasana terasa lebih hangat dan penuh rasa percaya.

 

---

Di malam yang sunyi, Karina duduk di depan cermin kecil di kamar asramanya. Ia perlahan mengenakan hijab dusty pink itu. Setiap helai kain terasa seperti ikatan baru antara dirinya dengan keyakinan dan jati dirinya yang mulai tumbuh.

Ia melihat bayangan dirinya di cermin — mata yang dulu penuh keraguan kini mulai bersinar dengan tekad dan ketenangan. Bibirnya tersenyum kecil, menyadari bahwa perjalanan ini masih panjang, tapi ia siap melangkah dengan penuh keberanian.

 

---

Suara langkah kaki perlahan terdengar menyusuri jalan setapak di taman dekat SMU yang rindang. Karina melangkah dengan hati berat tapi penuh tekad menuju bangku kayu di bawah pohon besar, tempat Nadine sudah menunggu dengan senyum hangatnya.

“Dila, aku senangakhirnya kita bisa ketemu lagi.” kata Nadine sambil menyodorkan sebotol air mineral. 

Karina menerima dengan tangan sedikit gemetar. Ia duduk, menghela napas dalam, mencoba menenangkan pikirannya. “Nadine, aku merasa saat ini aku udah sampai di titik di mana aku nggak mau lagi setengah-setengah dalam berhijrah."

Nadine menatap Karina penuh perhatian. “Maksudnya?”

“Aku mau benar-benar berhijrah. Aku mau pakai hijab setiap hari, konsisten, bukan hanya saat aku merasa tidak aman atau takut, tapi sebagai bagian dari diriku yang baru,” ucap Karina dengan suara pelan namun penuh tekad.

Nadine tersenyum lembut, “Itu keputusan yang indah, Dila. Aku tahu kamu sudah lama memikirkan ini.”

Karina menunduk sebentar, kemudian mengangkat wajahnya dengan tatapan serius. “Tapi aku takut. Aku takut kalau keluargaku di rumah nggak bisa menerima aku yang sekarang. Aku takut mereka akan kecewa, atau bahkan marah.”

Nadine menggenggam tangan Karina dengan erat, “Perubahan memang tidak selalu mudah diterima orang lain. Tapi kamu harus percaya, perjalananmu adalah untuk dirimu sendiri. Kalau keluargamu sayang kamu, mereka akan belajar menerima, walaupun butuh waktu.”

Karina menahan air mata yang mulai menggenang. “Kadang aku merasa sendirian dalam perjuangan ini, Nadine. Rasanya berat sekali.”

Nadine menatap Karina dengan mata penuh empati. “Kamu nggak pernah sendirian. Aku ada di sini. Kita bisa jalani ini bersama-sama. Kalau kamu pernah merasa lelah, kamu bisa cerita sama aku.”

Karina tersenyum tipis dan mengangguk. “Terima kasih, Nadine. Karena ada kamu yang selalu menemani, aku jadi merasa lebih kuat.”

Mereka duduk berdua dalam keheningan yang nyaman, ditemani suara dedaunan yang bergesekan dan kicauan burung di kejauhan.

Karina merasa beban di dadanya perlahan terangkat. Ia tahu perjalanan ini masih panjang dan penuh tantangan, tapi kini ia tidak takut lagi. Ada sahabat yang selalu siap mendukung, dan ada keyakinan dalam hatinya yang kini lebih mantap.

Langit sore itu berpendar lembut, rona jingga menyapu perlahan dedaunan yang bergoyang pelan di tiupan angin musim panas. Karina dan Nadine masih duduk di bangku taman yang sama, membiarkan waktu berlalu dalam keheningan yang tidak mengharuskan kata-kata. Setelah kejujuran yang baru saja ia sampaikan, Karina merasa seolah separuh beban di dadanya telah terangkat.

Namun, yang lebih berat masih menantinya: pulang.

“Dua minggu lagi aku pulang ke Jakarta, Dine,” ucap Karina perlahan, menatap dedaunan yang melayang jatuh.

Nadine menoleh cepat. “Kamu udah siap? Maksudku… dengan hijab dan semua perubahanmu?”

Karina tersenyum samar. “Aku nggak tahu apakah bisa dibilang ‘siap’. Tapi aku tahu aku nggak mau bersembunyi lagi. Selama ini, aku selalu menyesuaikan diri dengan keinginan orang lain. Aku mau pulang sebagai diriku yang utuh, walau mungkin mereka nggak langsung paham.”

Nadine memiringkan kepala. “Kamu pernah cerita kalau orang tua kamu cukup... keras, ya?”

Karina mengangguk pelan. “Papa konservatif tapi bukan religius. Mama lebih ke penampilan. Pernah waktu aku bilang kalau aku memutuskan buat jadi mualaf, Mama malah bilang, ‘Jangan bercanda, Karina. Kamu tahu kalau sejak dulu kita ada di keluarga yang udah memegang teguh keyakinan kita sebagai umat kristiani.'"

Nadine menahan napas, lalu berkata pelan, “Sakit ya, denger begitu?”

Karina menoleh dengan mata yang mulai memerah. “Iya. Waktu itu aku cuma diam tanpa berani membantah. Akhirnya di hari itu aku lepas hijab dan pergi ke kampus tanpa hijab, padahal waktu itu aku lagi semangat-semangatnya belajar sholat. Tapi sekarang... aku nggak mau mundur lagi.”

Nadine menggenggam tangannya. “Kamu kuat, Dila. Dan kamu punya hak untuk jadi versi terbaik dari dirimu sendiri. Sekarang kamu lebih dari sekadar bertahan—kamu sedang bertumbuh.”

Karina menarik napas panjang, menatap langit yang mulai berubah warna. “Kalau mereka tetap menolak keputusaku, aku nggak akan marah. Aku akan tetap tenang. Aku cuma berharap... mereka mau melihat aku, bukan hanya penampilanku.”

Nadine mengangguk. “Dan kalau kamu butuh seseorang untuk bantu kamu tetap waras, datang aja ke rumahku di Bandung. Dua Minggu lagi aku juga pulang." 

Karina tertawa kecil, lalu berkata, “Aku bersyukur banget ketemu kamu di titik hidup aku yang rapuh. Rasanya seperti Allah kasih aku cahaya kecil buat terus jalan.”

Mata Nadine ikut berkaca-kaca. “Kamu juga jadi pengingat buat aku, Dila. Bahwa berhijrah itu bukan tentang jadi sempurna, tapi tentang terus melangkah, meski tertatih.”

Mereka berdua duduk lebih lama, membiarkan percakapan itu meresap ke hati masing-masing. Ada ketakutan yang masih tersisa, tapi juga ada kekuatan yang tumbuh dari kejujuran, dari persahabatan, dan dari ketulusan untuk menjadi diri sendiri.

 

---

Dua Minggu Kemudian – Di Bandara Changi

Koper Karina tergulung pelan di sampingnya, langkahnya mantap walau jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia mengenakan gamis biru lembut dan hijab senada, wajahnya bersih tanpa riasan dan hanya menggunakan sepoles lip balm. Di matanya ada ketenangan yang samar-samar mengalir dari sorot matanya.

Lucas dan Mei Lin mengantar sampai ke pintu imigrasi. Priya menyusul lewat video call dari rumahnya di India.

Lucas menatap Karina lama. “Kamu kelihatan beda.”

Karina mengernyit. “Beda gimana?”

“Dulu kamu banyak menyimpan dalam diam. Sekarang kamu... kayak punya cahaya sendiri. Nggak menyala terang, tapi hangat,” kata Lucas dengan senyum.

Priya tertawa dari layar ponsel. “Lucas dan puisinya lagi.”

Karina tertawa kecil, lalu berkata, “Terima kasih, kalian semua. Aku nggak tahu gimana aku bisa sampai di titik ini tanpa kalian.”

Mei Lin memeluk Karina erat. “Kamu akan baik-baik aja. Ingat, kalau rumah terlalu dingin, kamu selalu punya ‘rumah’ di sini.”

Air mata Karina nyaris jatuh, tapi ia menahan. “Aku pasti kembali lagi ke sini sebagai aku yang lebih utuh.”

 

 

---

Di Pesawat – Dalam Hening

Karina duduk dekat jendela, memandangi awan-awan putih yang terbentang seperti samudra. Di tangannya ada buku kecil catatan doa, dan sebuah surat dari Nadine yang baru ia buka di kabin pesawat.

Tulisan tangan Nadine halus dan penuh kasih:

"Kalau nanti mereka tidak mengerti, itu bukan karena mereka tidak sayang. Mungkin mereka cuma belum tahu bahasa hatimu yang baru. Sampaikan dengan sabar, dengan kasih. Tuhan tak pernah menuntut kamu sempurna, hanya setia."

 

Karina menutup surat itu dengan mata yang kembali basah. Lalu ia menoleh keluar jendela, menatap langit yang tenang.

"Ya Allah... beri aku kekuatan untuk melangkah, tanpa kebencian, tanpa rasa takut. Aku ingin pulang, bukan untuk melawan… tapi untuk membawa damai."

 

---

Jakarta menyambut Karina dengan hawa panas yang lengket dan langit mendung, seolah mengerti bahwa langkah kakinya berat. Di bagasinya hanya ada satu koper, tapi di dadanya mengendap beban yang jauh lebih berat: keberanian untuk tetap teguh meski ditolak oleh orang-orang yang dulu disebut rumah.

Sejak mengabari Irene dan Hartono lewat video call bahwa ia telah menjadi mualaf, Karina tahu sikap mereka tak akan mudah dilunakkan. Tapi ia tetap berharap bahwa waktu telah melunakkan sikap mereka. Bahwa jarak akan membuat mereka lebih bisa menerima. Harapan itu hancur begitu ia melangkah ke teras rumah.

Begitu pintu dibuka, Irene berdiri mematung. Pandangannya langsung jatuh pada hijab yang Karina kenakan—jilbab syar’i berwarna cokelat muda yang menenangkan bagi Karina, tapi justru membangkitkan kemarahan yang lama ditekan dalam diri Irene.

“Kamu bener-bener serius jadi mualaf dan sekarang keputusan kamu bulat buat pakai itu?” tanya Irene, tanpa menyapa lebih dulu.

Karina menarik napas dalam. “Iya, Ma.”

“Kamu pikir kita bakal senang lihat kamu pulang kayak begini?”

“Ma, Karina pulang bukan buat nyakiti siapa-siapa. Karina cuma... ingin tetap jujur jadi diri sendiri.”

Hartono muncul tak lama kemudian, berdiri di belakang istrinya. Tatapannya dingin, suara rendahnya justru terdengar lebih menusuk. “Kami sudah cukup sabar waktu kamu bilang pindah agama. Tapi kami kira kamu masih bisa... kompromi.”

“Papa,” suara Karina bergetar, “hidup Karina bukan soal kompromi. Ini tentang kebenaran yang Karina yakini.”

“Kebenaran? Kamu anak yang dibaptis di gereja. Kamu tumbuh besar dengan ikut kebaktian setiap kali diadakan, nyanyi lagu pujian. Sekarang kamu bilang semuanya itu salah?”

“Bukan salah, Pa. Karina cuma... sekarang tahu arah pulangnya ke mana.”

Mama mengangkat tangan, gelas di tangannya bergetar. “Kamu bisa tinggal di rumah ini, tapi jangan pakai itu. Jangan tampak seperti orang asing di rumah sendiri!”

Karina diam. Ia tahu pertarungan ini bukan soal argumen, tapi keyakinan—dan luka. 

 

---

Hari-hari berikutnya berjalan seperti menginjak pecahan kaca. Karina tetap tinggal di rumah. Ia berusaha hadir, membantu di dapur, menyapa lebih dulu, menjaga tutur kata. Tapi setiap upayanya seperti memantul dari dinding batu.

“Kenapa sih kamu harus pakai itu terus?” celetuk Irene saat sarapan suatu pagi, merujuk pada hijab Karina. "Kan Mama udah bilang kalau kamu jangan pake itu di rumah ini." 

“Karena ini bagian dari siapa Karina sekarang, Ma,” jawabnya lembut.

“Padahal kamu dulu cantik, loh. Sekarang ketutup semua. Kalau kayak gini mana ada cowok yang bakalan naksir kamu, Rina."

Hartono jarang bicara, tapi tiap kali ia menatap Karina, ada rasa kecewa yang tak terucap, seperti menatap seorang putri yang telah hilang dari peta keluarga.

 

---

Setiap malam, Karina duduk di kamar lamanya, sendirian. Dinding yang dulu dipenuhi foto-foto SMA dan sertifikat-sertifikat penghargaannya dulu kini terasa asing. Ia membaca surat-surat pendek yang ia hapalkan dengan pelan-pelan, berusaha menenangkan hati yang lelah. Tapi di balik tiap ayat, ada sesak yang tak bisa dihindari: ia telah menjadi orang asing di rumah sendiri.

Sementara Nadine yang sudah lebih dulu berada di Indonesia tetap rutin mengiriminya pesan.

[Gimana kabarmu di rumah?]

[Capek, Dine. Tapi aku masih coba bertahan.]

[Aku bangga kamu tetap lembut meski diperlakukan keras. Tapi kamu gak harus terus kuat sendirian, Dila.] 

 

---

Hingga pada akhirnya di hari ketujuh, Karina duduk di meja makan. Mama dan Papa sedang sarapan, dan suasana seperti biasa—dingin dan penuh batas. Ia mencoba bicara.

“Ma, Pa... Karina gak minta kalian setuju. Karina cuma pengin tetap diakui sebagai anak kalian.”

Mama meletakkan sendoknya dengan keras. “Kami gak pernah buang kamu. Tapi kamu sendiri yang menjauh dari ajaran kami.”

“Karina gak pernah berhenti mencintai Mama Papa... Tapi Karina gak bisa bohong tentang keimanan yang Karina yakini sekarang.”

Papa akhirnya bicara, nadanya datar. “Kalau kamu terus kayak begini, kamu pikir kamu bisa nyaman tinggal di sini?”

Itulah titik ketika hati Karina benar-benar lelah. Ia tidak ingin membenci rumahnya. Tapi ia tahu, memaksakan diri tinggal di sana hanya akan melukai semua orang lebih dalam.

Malam itu, Karina membuka pesan Nadine lagi. Lama ia memandang layar ponsel sebelum akhirnya mengetik:

[Dine... tawaranmu ke Bandung masih berlaku?]

[Selalu. Kamu tinggal naik kereta aja, nanti aku jemput di stasiun. Rumahku rumahmu juga, Dila.]

 

---

Langit Bandung menyambut dengan mendung yang lembut. Mobil Nadine tampak sudah terparkir di depan stasiun. Tanpa banyak kata, mereka saling mendekap. Bukan pelukan ramai-ramai ala reuni, tapi pelukan hening yang mengalirkan kehangatan. Dada Karina bergetar. Napasnya tersendat.

"Aku capek banget, Nadine," lirihnya, suara yang tercekat di antara helaan napas.

"Aku tahu," jawab Nadine lembut. "Kamu enggak harus bilang apa-apa dulu. Masuk, ya."

Lalu hanya dalam waktu 10 menit, mobil yang mereka tumpangi perlahan berhenti di depan sebuah rumah mungil dua lantai, dicat krem dengan pagar besi hitam yang terawat. Hawa dingin menyeruak saat pintu mobil terbuka. Ia menghela napas pelan, menggenggam koper kecilnya dan menatap rumah itu sejenak—seperti memastikan bahwa langkah ini nyata.

Karina masuk ke rumah itu seperti masuk ke pelukan yang lebih besar. Aroma kayu, wangi teh melati, dan suasana tenang langsung menyelubunginya. Nadine membantunya membawa koper ke kamar tamu di lantai atas. Kamar itu sederhana: ranjang single dengan sprei biru langit, rak kecil dengan beberapa buku, dan sajadah terlipat rapi di pojok. Jendela menghadap halaman belakang tempat pohon jambu berdiri.

"Kalau butuh apa-apa, tinggal bilang. Tapi kamu juga boleh diam dulu kalau belum ingin bicara," kata Nadine sambil tersenyum hangat.

Karina mengangguk. Dadanya terasa penuh. Untuk pertama kalinya setelah seminggu berdiam diri dalam rumah yang terasa asing, ia merasa tubuhnya boleh lelah. Jiwanya boleh istirahat.

 

 

---

Malam itu, mereka duduk di ruang tengah sambil menyeruput teh hangat. Karina mengenakan hoodie longgar dan celana santai, sementara Nadine tetap dengan gamis dan selimut tipis di lututnya. Hujan rintik-rintik mulai turun di luar jendela.

"Aku enggak ngerti lagi cara jadi anak mereka, Dine," kata Karina pelan, memecah sunyi. "Aku selalu berusaha buat hadir, tapi mereka seakan nggak menganggap kehadiranku."

Nadine menatapnya, tidak buru-buru merespons.

"Mereka enggak marah-marah. Tapi tiap kata mereka, tiap tatapan mereka, selalu kayak... menusuk. Bukan soal aku masuk Islam, sebenarnya. Tapi soal aku ‘berubah’."

"Berubah itu bukan dosa, Dila," ujar Nadine. "Tapi kadang orang lain mengira kita menjauh, padahal kita baru sedang mencari arah yang lebih jujur."

Karina menghela napas panjang. "Aku udah bilang semuanya sejak dulu di video call, tapi begitu pulang, atmosfer rumah berubah. Aku kayak tamu di rumah sendiri. Aku ngaji harus sembunyi-sembunyi. Shalat harus cepat-cepat selesai sebelum Mama naik ke kamar. Bahkan jilbab yang aku gantung di belakang pintu dikomentari kayak... 'Kamu yakin banget, Rina, begini-begini terus?'"

Nadine menatap teh di tangannya, lalu mendongak. "Dan kamu masih bertahan satu minggu di sana. Kamu kuat." 

Karina menggeleng pelan. "Enggak tahu itu kekuatan atau cuma aku numpuk luka."

 

 

---

Beberapa hari berlalu di rumah Nadine. Karina tidak langsung kembali bersemangat. Ia lebih banyak diam, menulis catatan pendek di jurnal kecil yang dibawanya. Kadang membaca buku-buku Nadine—novel Islam kontemporer, tafsir ringan, kisah hijrah dari para mualaf lain.

Yang berubah perlahan adalah pagi harinya. Di rumah Nadine, Karina bisa bangun lebih tenang. Bisa salat subuh berjamaah, tanpa takut digedor pintu. Bisa menangis saat zikir, tanpa harus menahan suara.

Pernah suatu malam, usai isya, Karina berkata, "Nadine, kalau aku bilang... aku belum bisa maafin Mama Papa, itu dosa ya?"

Nadine menggeleng pelan. "Enggak, itu manusiawi. Proses memaafkan itu bukan satu tombol. Tapi perjalanan."

Karina menatap langit-langit. "Tapi aku juga rindu mereka. Aku tahu mereka sayang. Tapi aku juga capek harus memilih antara keinginan mereka dan kebenaran yang aku rasa."

"Aku enggak akan bilang kamu harus kuat terus. Tapi aku akan bilang: Allah Maha Melihat. Rasa sakitmu itu tidak sia-sia."

Karina menangis malam itu. Tangis yang ia tahan selama seminggu, meledak dalam pelukan Nadine.

 

---

Di akhir minggu, Karina mulai bicara dengan lebih ringan. Ia membantu Nadine memasak, ikut membersihkan halaman, bahkan mengajari Nadine beberapa istilah Singlish yang lucu dari NUS. Mereka tertawa lebih sering. Tapi ketika Karina hendak kembali ke Singapura, Nadine memberinya satu pertanyaan lembut yang menggantung:

"Dila... kamu sudah berdamai dengan keputusanmu?"

Karina terdiam lama. Ia menatap ke arah jendela, melihat langit Bandung yang cerah setelah hujan. Pelan-pelan ia mengangguk.

"Belum sepenuhnya. Tapi aku tahu... ini bukan fase. Ini jalan pulang."

 

---

Malam sudah larut. Lampu-lampu rumah telah dimatikan, kecuali satu di kamar Nadine. Di atas meja kayu kecil yang menghadap jendela, sebuah jurnal bercover hijau tua terbuka, dan pena bergerak perlahan di atasnya.

Nadine menulis dalam diam, hanya ditemani suara hujan ringan dan detak jarum jam.

"1:12 AM

Aku menulis ini karena ada yang sesak di dada.

Karina sudah tidur. Wajahnya damai sekali. Lebih damai daripada saat pertama kali datang. Tapi aku tahu luka di hatinya belum sembuh.

Dan aku di sini, menyembunyikan luka lain—yang bukan tentang iman, tapi tentang ikatan darah.

Ya Allah, aku belum pernah mengatakannya pada siapa pun. Tapi malam ini aku ingin menuliskannya.

Karina adalah adikku. Bukan sekadar teman seperjalanan iman, tapi adik kandungku.

Mama dan Papa Karina adalah orang tuaku juga.

Tapi mereka memberiku pada sahabat mereka saat aku baru berusia tiga tahun. Saat itu, orang tua angkatku belum punya anak, dan mereka adalah orang baik.

Aku tumbuh penuh cinta, dan aku bersyukur atas semua itu. Tapi saat usiaku menginjak 17 tahun, sebelum orang tua angkatku meninggal karena kecelakaan, mereka memberi tahu semuanya.

Tentang akta kelahiran yang disimpan, tentang perjanjian yang dibuat secara diam-diam antara dua keluarga.

Tentang aku yang sebenarnya lahir di Jakarta, bukan di Bandung seperti yang selalu mereka katakan.

Sejak saat itu, aku tahu siapa keluarga asliku. Tapi aku tak pernah punya keberanian untuk mendekat.

Aku lihat Karina dari jauh—media sosial, artikel kampus, bahkan ketika dia pertama kali masuk NUS.

Waktu aku bertemu dengannya di taman, aku tahu... itulah saatnya. Tapi aku tetap diam. Aku tidak ingin menyakiti dia.

Tidak ingin membuat luka lamanya makin rumit.

Tapi kini dia ada di rumahku. Tidur di kamarku. Mencari perlindungan dari rumah yang seharusnya juga rumahku.

Aku ingin memeluknya sebagai kakak. Tapi sampai kapan aku bisa menahan rahasia ini?"

 

Pena Nadine terhenti. Ia menarik napas panjang, memejamkan mata.

"Mungkin belum saatnya," bisiknya sendiri.

Ia menutup jurnal itu perlahan dan menyelipkannya di bawah tumpukan buku tafsir di raknya. Lalu ia bangkit, berjalan menuju tempat tidur, dan menatap sejenak ke arah kamar tamu di seberang lorong.

Dalam remang cahaya malam, Nadine hanya bisa berdoa: semoga hatinya cukup kuat untuk jujur—pada waktunya.

 

---

Sudah lima hari Karina tinggal di rumah Nadine. Hujan di Bandung datang hampir setiap sore, seperti menyelaraskan dengan hatinya yang perlahan-lahan mencair.

Ada ketenangan yang tak ia rasakan sejak lama. Nadine selalu ada, tak banyak bertanya, tapi tahu kapan harus hadir. Menyediakan teh hangat saat Karina terdiam lama di balkon, menyalakan lampu kamar sebelum Karina masuk, bahkan tak pernah lupa menyiapkan sajadah dan mukena di sudut ruangan.

Namun, di balik semua itu, Karina mulai merasakan sesuatu yang... tak biasa.

Misalnya, satu sore saat Karina sedang membantu menata rak buku di ruang kerja Nadine.

Ia melihat satu foto kecil tersembunyi di balik rak paling atas. Bingkainya sudah agak tua. Foto itu menunjukkan sepasang pria dan wanita dengan seorang balita yang tengah digendong.

Karina mengangkat alis. “Ini… siapa, Nadine?”

Nadine menoleh sejenak, lalu tersenyum samar. “Itu… orang tuaku. Waktu aku masih kecil.”

Karina mengangguk, tapi entah mengapa dadanya terasa sedikit sesak. Ia tak tahu kenapa.

 

---

Malam itu, setelah salat isya, Nadine datang membawakan susu hangat dan duduk di tepi tempat tidur Karina.

“Makasih udah mau tinggal di sini sementara,” ucap Nadine lembut. “Aku tahu, pasti rasanya berat banget setelah seminggu di rumah kamu.”

Karina mengangguk, memeluk bantal di pangkuannya. “Kalau nggak ada kamu, aku nggak tahu harus ke mana.”

Nadine tersenyum, tapi matanya tak sepenuhnya bisa menyembunyikan sesuatu. Seperti air yang tertahan di bendungan—hanya menunggu waktu.

“Karina…” Nadine membuka suara pelan, “…kalau suatu hari kamu tahu ada hal yang aku sembunyikan, apa kamu akan membenciku?”

Pertanyaan itu datang seperti angin dingin yang tiba-tiba menyusup di sela kehangatan.

Karina terdiam. “Kenapa nanya gitu?”

Nadine cepat-cepat menggeleng dan tersenyum, “Nggak, cuma… kadang kita menyimpan sesuatu karena kita nggak mau kehilangan yang kita sayang. Tapi aku tahu, itu nggak selalu benar.”

Karina menatap Nadine lama, seolah ingin membaca lebih dalam. Tapi Nadine hanya mengelus rambutnya pelan, lalu bangkit.

“Selamat tidur, Nadila.”

“Selamat tidur, Kak…”

Karina tertegun sendiri. Dia tak tahu kenapa kata “Kak” bisa keluar begitu saja.

 

---

Besok paginya, saat Nadine keluar sebentar untuk mengajar kelas online dari kafe, Karina tinggal di rumah sendiri. Ia merasa lelah, tapi bukan lelah fisik—lebih seperti hati yang mulai sadar ada sesuatu yang belum selesai.

Ia masuk ke ruang kerja Nadine untuk mencari charger yang biasa ditaruh di situ.

Di sana, di atas meja, sebuah jurnal berwarna hijau tua tergeletak terbuka. Karina tidak berniat membaca. Tapi pandangannya tak sengaja menangkap nama yang sangat ia kenal:

"Nadila… sudah tidur. Wajahnya damai sekali…"

 

Tangannya gemetar. Ia duduk pelan, dan membaca dari awal entri itu. Setiap kalimat terasa seperti anak tangga menuju kebenaran yang tak pernah ia duga.

Saat ia sampai pada bagian:

"Karina adalah adikku. Bukan sekadar teman seperjalanan iman, tapi adik kandungku…"

 

Air matanya tumpah. Ia tak bisa menahan. Bibirnya bergetar, dan dunia di sekitarnya terasa berhenti sejenak.

Ia berdiri, membawa jurnal itu ke kamarnya, memeluknya erat-erat.

Bukan karena marah. Tapi karena, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa... ditemukan.

Bukan hanya oleh Tuhan. Tapi juga oleh darahnya sendiri. 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Perjalanan yang Takkan Usai
344      288     1     
Romance
Untuk pertama kalinya Laila pergi mengikuti study tour. Di momen-momen yang menyenangkan itu, Laila sempat bertemu dengan teman masa kecil sekaligus orang yang ia sukai. Perasaan campur aduk tentulah ia rasakan saat menyemai cinta di tengah study tour. Apalagi ini adalah pengalaman pertama ia jatuh cinta pada seseorang. Akankah Laila dapat menyemai cinta dengan baik sembari mencari jati diri ...
Izinkan Aku Menggapai Mimpiku
116      93     1     
Mystery
Bagaikan malam yang sunyi dan gelap, namun itu membuat tenang seakan tidak ada ketakutan dalam jiwa. Mengapa? Hanya satu jawaban, karena kita tahu esok pagi akan kembali dan matahari akan kembali menerangi bumi. Tapi ini bukan tentang malam dan pagi.
Help Me Help You
1683      991     56     
Inspirational
Dua rival akademik di sebuah sekolah menengah atas bergengsi, Aditya dan Vania, berebut beasiswa kampus ternama yang sama. Pasalnya, sekolah hanya dapat memberikan surat rekomendasi kepada satu siswa unggul saja. Kepala Sekolah pun memberikan proyek mustahil bagi Aditya dan Vania: barangsiapa dapat memastikan Bari lulus ujian nasional, dialah yang akan direkomendasikan. Siapa sangka proyek mus...
PUZZLE - Mencari Jati Diri Yang Hilang
457      353     0     
Fan Fiction
Dazzle Lee Ghayari Rozh lahir dari keluarga Lee Han yang tuntun untuk menjadi fotokopi sang Kakak Danzel Lee Ghayari yang sempurna di segala sisi. Kehidupannya yang gemerlap ternyata membuatnya terjebak dalam lorong yang paling gelap. Pencarian jati diri nya di mulai setelah ia di nyatakan mengidap gangguan mental. Ingin sembuh dan menyembuhkan mereka yang sama. Demi melanjutkan misinya mencari k...
Let Me be a Star for You During the Day
968      501     16     
Inspirational
Asia Hardjono memiliki rencana hidup yang rapi, yakni berprestasi di kampus dan membahagiakan ibunya. Tetapi semuanya mulai berantakan sejak semester pertama, saat ia harus satu kelompok dengan Aria, si paling santai dan penuh kejutan. Bagi Asia, Aria hanyalah pengganggu ritme dan ambisi. Namun semakin lama mereka bekerjasama, semakin banyak sisi Aria yang tidak bisa ia abaikan. Apalagi setelah A...
Konfigurasi Hati
453      320     4     
Inspirational
Islamia hidup dalam dunia deret angka—rapi, logis, dan selalu peringkat satu. Namun kehadiran Zaryn, siswa pindahan santai yang justru menyalip semua prestasinya membuat dunia Islamia jungkir balik. Di antara tekanan, cemburu, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan, Islamia belajar bahwa hidup tak bisa diselesaikan hanya dengan logika—karena hati pun punya rumusnya sendiri.
Kelana
628      467     0     
Romance
Hidup adalah perjalanan tanpa peta yang pasti, di mana setiap langkah membawa kita menuju tujuan yang tak terduga. Novel ini tidak hanya menjadi cerita tentang perjalanan, tetapi juga pengingat bahwa terbang menuju sesuatu yang kita yakini membutuhkan keberanian dengan meninggalkan zona nyaman, menerima ketidaksempurnaan, dan merangkul kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Selam...
Batas Sunyi
1814      817     108     
Romance
"Hargai setiap momen bersama orang yang kita sayangi karena mati itu pasti dan kita gak tahu kapan tepatnya. Soalnya menyesal karena terlambat menyadari sesuatu berharga saat sudah enggak ada itu sangat menyakitkan." - Sabda Raka Handoko. "Tidak apa-apa kalau tidak sehebat orang lain dan menjadi manusia biasa-biasa saja. Masih hidup saja sudah sebuah achievement yang perlu dirayakan setiap har...
Langkah yang Tak Diizinkan
162      138     0     
Inspirational
Katanya dunia itu luas. Tapi kenapa aku tak pernah diberi izin untuk melangkah? Sena hidup di rumah yang katanya penuh cinta, tapi nyatanya dipenuhi batas. Ia perempuan, kata ibunya, itu alasan cukup untuk dilarang bermimpi terlalu tinggi. Tapi bagaimana kalau mimpinya justru satu-satunya cara agar ia bisa bernapas? Ia tak punya uang. Tak punya restu. Tapi diam-diam, ia melangkah. Dari k...
Fragmen Tanpa Titik
42      38     0     
Inspirational
"Kita tidak perlu menjadi masterpiece cukup menjadi fragmen yang bermakna" Shia menganggap dirinya seperti fragmen - tidak utuh dan penuh kekurangan, meski ia berusaha tampak sempurna di mata orang lain. Sebagai anak pertama, perempuan, ia selalu ingin menonjolkan diri bahwa ia baik-baik saja dalam segala kondisi, bahwa ia bisa melakukan segalanya sendiri tanpa bantuan siapa pun, bahwa ia bis...