Karina sudah duduk di bangku taman itu sejak lima belas menit lalu. Ia bahkan datang lebih awal—sesuatu yang jarang ia lakukan sebelumnya. Ada sesuatu yang bergolak dalam dirinya, sesuatu yang terlalu besar untuk terus dipendam. Tapi menyampaikannya terasa seperti berdiri di tepi tebing tanpa tahu apakah akan terbang atau jatuh.
Saat Priya datang dengan langkah ringan dan senyuman hangat, Karina memaksa dirinya untuk tersenyum. Tak lama kemudian Mei Lin muncul dengan rambut dicepol seadanya, wajah lelah tapi tetap ceria. Lucas terakhir, dengan gaya kasual dan sepatu yang tak pernah sepenuhnya diikat rapi. Mereka duduk di sekelilingnya, seperti biasa. Tapi bagi Karina, hari itu segalanya terasa berbeda.
Ia mendengarkan mereka berbicara, sesekali menimpali dengan anggukan atau senyuman kecil. Tapi pikirannya terus berputar, seperti kaset rusak yang memutar ulang satu kalimat: "Kamu harus bilang. Kamu nggak bisa sembunyi terus."
Seketika, suara Priya membuyarkan lamunannya. “Karina, kamu nggak apa-apa? Dari tadi diem aja.”
Karina tersentak kecil, lalu mengangguk cepat. “Aku cuma... lagi mikir aja.”
Lucas menyipitkan mata. “Mikir tugas? Atau... mikir kehidupan?”
Mei Lin tertawa. “Kalau Karina mikir kehidupan, berarti ini serius banget. Dia biasanya lebih tenang dari kita semua.”
“Iya,” kata Karina pelan. “Ini serius.”
Keheningan langsung turun. Ketiganya menatapnya dengan perhatian. Untuk sekejap, Karina ingin mundur. Ingin bilang bahwa ini bukan waktu yang tepat. Tapi ia tahu, ia sudah terlalu lama menunda. Jika tidak sekarang, kapan?
“Aku baru masuk Islam,” ujarnya akhirnya. “ Masih sekitar 2 minggu lalu .”
Kata-kata itu jatuh seperti batu ke dalam danau. Tidak menimbulkan riak besar, tapi langsung mengubah segala sesuatu di dalam.
Mei Lin terdiam, pupil matanya membesar sejenak. Priya membuka mulut, tapi tak langsung bicara. Lucas—yang biasa paling cepat memberi komentar—justru hanya menatap Karina dengan ekspresi sulit diterjemahkan.
Karina melanjutkan, suaranya gemetar meski berusaha tegar. “Aku tahu ini mungkin bikin kalian kaget. Aku... aku nggak bermaksud merahasiakan hal ini dari siapapun. Aku cuma... takut. Takut kalian menganggap aku aneh. Atau berubah.”
Priya akhirnya bicara. “Karina... kenapa kamu pikir kami akan berubah?”
Karina menggigit bibirnya. “Karena... aku berubah. Dan aku nggak tahu apakah kalian akan tetap lihat aku sebagai Karina yang sama.”
“Karina,” Priya menggeser duduknya mendekat, menatap Karina dalam-dalam. “Kamu memang berubah. Tapi itu bukan hal buruk. Orang berubah setiap hari. Yang penting adalah alasan dan arah perubahan itu. Dan kalau kamu merasa jadi lebih baik, lebih utuh... itu perubahan yang layak dihormati.”
Kata-kata Priya mengalir seperti air hangat ke dalam hati Karina. Tapi sebelum ia bisa membalas, Mei Lin tiba-tiba berdiri, memeluknya dari samping. Pelukannya erat, seperti ingin menyampaikan seribu kata yang tak terucap.
“Kamu tahu,” bisiknya. “Aku dulu pernah takut kehilangan kamu. Waktu kamu mulai menjauh, ngilang, nggak masuk kelas. Tapi sekarang... kamu di sini. Dan aku lihat sesuatu di matamu. Sesuatu yang tenang. Kalau Islam yang membawa itu ke dalam hidup kamu, aku akan pelajari kalau perlu. Bukan karena aku mau pindah keyakinan, tapi karena aku sayang kamu.”
Pelukan itu mematahkan pertahanan Karina. Matanya mulai basah, tapi ia cepat-cepat menghapus air mata dengan punggung tangan. Ia tersenyum kecil. “Makasih banyak, Mei Lin... aku... nggak tahu harus bilang apa.”
Lucas masih belum bicara. Tapi wajahnya berubah. Ekspresi bercandanya hilang, digantikan sesuatu yang lebih dewasa, lebih dalam. Ia menatap Karina lama, lalu berkata, “Aku punya satu hal yang selalu aku pegang: kalau kamu berani jujur tentang siapa kamu sebenarnya, itu artinya kamu udah lebih kuat dari setengah dunia ini.”
Karina mengernyit. “Maksudnya?”
“Maksud aku,” lanjut Lucas sambil menyandarkan tubuhnya, “hidup tuh susah. Orang sibuk pura-pura bahagia, pura-pura kuat, pura-pura baik. Tapi kamu... Kamu jujur. Dan kamu berubah. Kamu milih sesuatu yang nggak populer, sesuatu yang bisa bikin kamu dijudge or anythinglah. Tapi kamu tetap maju. Itu... keberanian, Na.”
Karina tertawa kecil, meski air matanya masih mengalir. “Kamu sekarang serius banget. Aneh, tau gak?”
Lucas mengangkat bahu. “Sekali-sekali boleh lah. Momen bersejarah ini.”
Mereka tertawa bersama, dan tawa itu seperti jembatan yang dibangun kembali. Karina merasa lega, bukan karena semuanya mudah, tapi karena ia tidak harus menanggung ini sendirian.
“Aku nggak minta kalian ngerti semua tentang Islam,” kata Karina perlahan. “Tapi... aku harap kalian tetap mau jadi bagian dari hidupku.”
Priya menggenggam tangan Karina. “Selama kamu nggak berhenti makan martabak manis bareng kita, aku akan tetap di sini.”
Mei Lin mengangguk. “Dan selama kamu tetap jadi Karina yang dengerin keluhanku soal tugas.”
Lucas mengangkat gelas plastiknya. “Untuk Karina yang baru... tapi tetap sama. Cheers.”
Karina tertawa lagi, kali ini lebih lepas. Untuk pertama kalinya sejak mengambil keputusan besar dalam hidupnya, ia merasa ringan. Diterima. Dicintai. Bukan karena ia selalu sempurna, tapi karena ia akhirnya jujur.
Langit sore mulai berubah menjadi senja. Warna keemasan membalut wajah mereka. Burung-burung kecil melintas di udara, dan suara tawa mereka menyatu dengan suara angin yang lembut.
Karina menatap mereka satu per satu, lalu memejamkan mata sejenak. Dalam hati, ia berbisik:
"Aku tak bersalah. Aku hanya memilih untuk kembali pulang. Dan kalian menungguku di sini."
---
Malam itu, Karina menatap layar laptopnya cukup lama sebelum akhirnya menekan tombol video call. Mahesa sudah mengiriminya pesan sejak sore, menanyakan kabar. Tapi Karina menundanya — bukan karena tak ingin bicara, melainkan karena terlalu banyak yang ingin dikatakan dan ia belum menemukan cara yang tepat.
Bunyi nada sambung di aplikasi video call menggema di kamarnya yang sepi. Di layar, wajah Mahesa muncul dalam pencahayaan hangat dari kamar kosnya di Jakarta. Rambutnya sedikit acak-acakan, dan seperti biasa, senyumnya muncul begitu ia melihat Karina.
“Hei,” sapanya ringan. “Akhirnya Lo bisa ditelepon juga.”
Karina tersenyum tipis. “Maaf ya, tadi habis dari taman, ngobrol sama teman-teman.”
Mahesa mengangguk. “Gapapa. Yang penting sekarang Lo kelihatan jauh lebih tenang. Gimana kabar Lo hari ini?”
"Aku baik. Baik banget malah."
Ada jeda setelah itu. Mahesa menunggunya dengan sabar sampai Karina sendiri berani bercerita apa yang sebenarnya terjadi.
Karina menarik napas. “Kak, aku boleh jujur?”
“Selalu.”
“Aku ada sesuatu yang harus aku bilang... dan aku harap Kakak dengarkan dulu sampai selesai.”
Mahesa mengangguk. Ekspresinya berubah lebih serius. Tapi tetap hangat.
Karina menunduk sebentar, lalu menatap layar. “Aku... memutuskan buat jadi mualaf, kak."
Beberapa detik hening.
Lalu Mahesa berkedip pelan, seolah memastikan ia tak salah dengar. “Lo... udah syahadat?”
Karina mengangguk. “Baru dua minggu yang lalu. Bareng Nadine. Aku... awalnya nggak berniat ke situ. Tapi aku terus gelisah. Terus kosong. Dan waktu aku ketemu dia... dan ikut dia beberapa kali ke masjid... aku ngerasa aneh banget. Tapi aneh yang bikin tenang. Sejak itu, aku mulai belajar. Pelan-pelan.”
Wajah Mahesa tak menunjukkan keterkejutan. Tapi ada air hangat di matanya, dan napasnya sedikit terdengar berat.
“Kenapa Lo nggak bilang dari awal, Na?” tanyanya lembut.
“Aku takut,” aku Karina. “Aku takut kakak pikir aku cuma ikut-ikutan. Atau... kakak merasa ini semua karena aku yang pengen lebih Deket sama kak Mahesa. Padahal ini bukan soal kakak. Ini soal aku. Aku yang kosong, aku yang hilang. Dan... aku yang akhirnya nemu jalan pulang.”
Mahesa mengangguk pelan. Matanya tetap tak lepas dari wajah Karina di layar.
“Lo tahu nggak?” katanya akhirnya. “Dari semua hal yang bisa bikin gue bahagia selama satu Minggu, ini... ini salah satunya. Tapi bukan cuma karena Lo masuk Islam, ya. Tapi karena Lo akhirnya bisa menemukan kedamaian diri Lo sendiri. Dan Lo nemu itu... bukan karena gue nyeret Lo ke sana. Tapi karena Lo sendiri yang jalan ke situ.”
Karina menahan air mata. “Aku takut kakak mikir aku berubah... jadi orang yang kak Mahesa nggak kenal.”
Mahesa tersenyum, hangat dan tenang. “Gue selalu kenal diri Lo, Karina. Bahkan mungkin lebih dari lo kenal diri Lo sendiri. Percaya sama gue, Lo itu selalu punya cahaya, Na. Tapi dulu Lo sering sembunyiin itu. Sekarang... Lo mulai mengizinkan cahaya dalam diri Lo buat bersinar. Dan gue bersyukur bisa lihat itu.”
“Serius?” Karina berusaha tertawa, meski suaranya pecah. “Kakak nggak keberatan?”
Mahesa menggeleng. “Na... Lo tahu kenapa gue dulu nggak pernah ngomong soal agama ke Lo, walaupun gue udah Muslim dari lahir? Karena gue tahu, gue belum sempurna dan karena gue percaya kalau Lo pasti bisa sampai ke sana dengan langkah Lo sendiri. Gue cuma bisa jadi teman di jalan itu. Bukan penunjuk arah. Dan sekarang... Lo sampai di titik ini. Gue bangga.”
Karina terdiam. Air mata akhirnya jatuh juga, tanpa bisa dibendung. Tapi kali ini bukan karena takut. Bukan karena sakit. Tapi karena rasa diterima. Dikenal. Dicintai bukan karena siapa ia berpura-pura menjadi, tapi karena siapa ia sesungguhnya.
“Makasih, Kak,” katanya dengan suara nyaris berbisik. “Makasih karena selalu sabar. Selalu ada. Bahkan waktu aku jauh dan beku.”
Mahesa tersenyum, matanya ikut berkaca-kaca. “Lo nggak pernah benar-benar jauh, Na. Gue selalu tahu kamu selalu mencari. Sekarang... Lo pulang. Dan itu yang terpenting.”
Suara azan dari luar kamar kos Mahesa tiba-tiba terdengar samar-samar.
“Waktu Isya ya?” tanya Karina.
Mahesa mengangguk. “Iya. Lo udah shalat?”
“Udah. Baru belajar, tapi... Nadine sabar banget ngajarin. Aku bahkan udah sampai Iqro 2 sekarang,” katanya dengan sedikit malu.
Mahesa tertawa kecil. “Iqro 2? Waduh, bentar lagi bisa baca Al-Qur'an sendiri dong.”
Karina tersipu. “Ya... pelan-pelan. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidup, aku nggak ngerasa dikejar-kejar waktu. Aku mau menikmati setiap langkahnya.”
Mahesa mengangguk. “Itu bagus. Agama bukan soal kecepatan. Tapi soal niat dan ketulusan. Tapi Lo rada napsu juga kayaknya. Baru 2 minggu tapi udah iqro 2."
Mereka terdiam sejenak, tapi bukan keheningan yang canggung. Lebih seperti dua jiwa yang akhirnya bicara tanpa kata.
Sebelum menutup panggilan, Mahesa berkata satu hal lagi.
“Na... Lo tahu? Allah itu Maha Menerima Taubat. Tapi lebih dari itu, Dia juga Maha Menyayangi. Gue harap Lo bisa ngerasain cinta itu sekarang. Karena dari wajah Lo malam ini, gue lihat seseorang yang akhirnya mulai memaafkan dirinya sendiri.”
Karina menunduk, tersenyum sambil menyeka sisa air matanya.
“Aku belum selesai berdamai dengan masa lalu aku, Kak. Tapi... untuk pertama kalinya, aku tahu aku nggak sendiri di jalan ini.”
Mahesa menjawab dengan suara pelan namun mantap, “Nggak, Na. Lo nggak sendiri. Lo nggak pernah sendiri.”
---
Hari-hari Karina kini diwarnai rutinitas yang pelan tapi pasti mulai membentuk ritme baru dalam hidupnya. Namun yang membuat proses itu tak terasa terlalu sunyi adalah keberadaan orang-orang di sekelilingnya. Nadine adalah cahaya yang menuntun dalam kegelapan batin yang dulu seolah tak berujung. Tapi Lucas, Mei Lin, dan Priya—mereka adalah jangkar. Teman-teman yang tak pernah menghakimi, hanya hadir… dan itu lebih dari cukup.
---
Suatu siang selepas kelas, mereka berkumpul di kafe kecil dekat perpustakaan kampus. Tempat itu adalah “markas” tak resmi mereka sejak tahun pertama kuliah. Suasana kafe hangat, dengan aroma kopi dan tawa mahasiswa di tiap sudut. Karina datang terlambat karena harus salat Dzuhur terlebih dahulu. Ia sempat ragu-ragu sebelum memutuskan untuk tetap datang dengan tunik hitam sederhana dan rok putih menjuntai serta mengenakan jilbab sederhana warna abu-abu muda pemberian Iffah saat ia resmi masuk Islam.
Mei Lin yang pertama melihatnya, langsung melambai penuh semangat. “Karina! Di sini!”
Karina berjalan ke arah mereka, sedikit gugup tapi tersenyum.
Lucas, yang biasanya suka meledek, justru menyodorkan kursi dengan serius. “Kursi VIP untuk yang habis spiritual recharge.”
Karina terkekeh. “Makasih. Eh… sorry ya, aku telat. Barusan aku sholat Dzuhur dulu.”
Priya mengangguk. “It’s okay. We waited with love.”
Lucas menambahkan, “Kalau kamu terus telat, kami bisa ikut belajar juga supaya ngerti jadwal kamu.” Ia mengedip, lalu meminum kopinya.
Karina menatap mereka satu per satu—tak percaya bahwa ia tak perlu menyembunyikan apa-apa dari mereka. Tidak keimanannya, tidak kebingungannya, tidak kegugupan barunya.
“Btw, Na.” sela Mei Lin sambil menatap kerudung pashmina Karina dengan kagum, “kamu cantik banget pakai itu. Warnanya kalem, kayak kamu.”
Karina tersenyum kecil. “Aku masih belum biasa. Kadang ngerasa kayak... orang baru.”
Priya memiringkan kepalanya. “It’s okay to be new. Sometimes, becoming new is the bravest thing you can do.”
Lucas menambahkan, “Dan asal kamu tahu aja, kamu masih orang yang sama buat kami. Muslimah, atau bukan, kamu tetap Karina yang pernah nangis gara-gara gagal bikin telur ceplok.” Ia tertawa lebar.
“Lucas!” Karina melemparkan tisu ke arahnya, dan mereka semua tertawa bersamaan.
---
Mereka tetap mengobrol tentang topik-topik biasa: tugas yang menumpuk, dosen yang menyebalkan, dan rencana akhir pekan. Tapi di antara tawa itu, ada yang berubah. Ada ruang lebih besar dalam lingkaran pertemanan mereka—ruang yang mengizinkan perbedaan tanpa harus menjauh.
Saat Karina pamit lebih awal karena ingin menghadiri kajian kecil bersama Nadine, Priya menatapnya dan bertanya pelan, “Kamu… happy, ya?”
Karina menatapnya. Jujur.
“Bukan selalu happy. Tapi… aku tenang.”
Priya mengangguk, lalu meraih tangan Karina dan menggenggamnya erat. “That’s beautiful.”
---
Hari Sabtu berikutnya, Karina mengundang mereka bertiga ke apartemen Nadine untuk makan malam sederhana. Nadine memasak nasi liwet dan tumis kangkung untuk mereka. Dan mereka duduk melingkar bersama di lantai, menyantap makanan dengan penuh kehangatan.
“Jadi ini Nadine,” gumam Lucas sambil menatap Nadine dengan kagum. “The mysterious angel we keep hearing about.”
Nadine tertawa, “Wah, gelarnya berat ya. Aku biasa aja, kok.”
Karina menatap Nadine dengan mata yang berbinar. “Dia guru sabarku. Satu-satunya yang rela dengerin aku mengeja huruf ‘dzal’ lima kali sebelum benar.”
Mei Lin tertawa. “Kalau aku yang ngajar, kamu udah tak lempar buku dari awal.”
“Dan itu sebabnya kamu bukan guru mengaji,” sahut Priya sambil menyeruput teh panas.
Sore itu mereka mengobrol, tertawa, dan saling berbagi cerita—bukan sebagai orang dengan label agama tertentu, tapi sebagai manusia yang sama-sama mencari makna, kenyamanan, dan rumah.
---
Malamnya, saat semua sudah pulang, Karina tetap memilih untuk tinggal. Akhirnya, saat hampir menunjukkan tengah malam, Karina berdiri sendirian di balkon apartemen Nadine karena tak bisa tidur. Ia memandang langit Singapura yang tak pernah gelap total. Di balik bias lampu kota, ia tetap melihat satu dua bintang.
Ia memikirkan hidupnya—semua luka, semua keputusan, semua perubahan. Lalu ia ingat kata Nadine:
“Allah tidak akan hasil akhir dari setiap perjalananmu. Tapi Dia melihat setiap usaha yang kamu lakukan, bahkan yang paling kecil.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Karina benar-benar percaya: ia tak bersalah. Ia hanya manusia yang sedang pulang. Perlahan. Tapi pasti.
---
Udara pagi menyusup lembut dari celah jendela yang terbuka sedikit. Di apartemen kecil itu, dunia seakan berhenti sejenak. Cahaya matahari belum benar-benar muncul; hanya bayang-bayang samar yang mulai merayap ke dinding. Di ruang tengah, dua perempuan duduk bersebelahan di sofa abu-abu yang empuk, masing-masing menggenggam cangkir keramik berisi matcha panas.
Karina menarik napas pelan, menghirup aroma minuman hijaunya yang menenangkan. Ia duduk bersila, mengenakan mukena tipis yang belum sempat ia lepas sejak salat Subuh bersama Nadine beberapa menit lalu. Nadine tenang di sisinya, mengenakan sweater panjang warna coklat dan jilbab hitam yang sederhana. Tak ada suara selain desis angin dan detak jam dinding yang lembut.
“Subuh kali ini rasanya… beda,” bisik Karina.
Nadine menoleh, tersenyum. “Beda yang gimana?”
Karina mengernyit, mencoba mencari kata. “Aku nggak tahu pasti. Tapi rasanya lebih... dalam. Seperti ada sesuatu yang meresap.”
Mereka terdiam sejenak. Lalu, Karina menunduk, cangkir matcha di tangannya gemetar sedikit. Ia tak menatap Nadine saat berkata:
“Nadine… boleh aku tanya sesuatu?”
“Boleh, dong..”
“Apa Allah juga bisa mencintai orang kayak diriku?” suaranya nyaris seperti gumaman. “Yang terlalu kotor. Terlalu rusak. Terlalu telat untuk berubah.”
Pertanyaan itu menggantung di udara. Nadine tidak langsung menjawab. Ia meletakkan cangkirnya, lalu memiringkan tubuhnya, menghadap Karina sepenuhnya.
“Kenapa kamu berpikir kalau kamu terlalu rusak?”
Karina menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. “Karena dulu aku pernah benci diriku sendiri. Karena aku membiarkan diriku hancur di tempat yang harusnya kulindungi. Karena aku pernah berharap dunia berhenti—bukan karena lelah, tapi karena aku tak tahu lagi apa yang layak diperjuangkan.”
Ia mengusap ujung matanya, tapi air mata sudah jatuh juga.
“Aku tahu aku mualaf sekarang. Aku belajar sholat, aku belajar mengaji. Tapi kadang ada bisikan yang bilang, ‘Kamu cuma pura-pura. Allah nggak akan pernah cinta orang sepertimu.’”
Nadine mengangguk pelan, lalu mengambil tisu dan menyodorkannya. “Kamu tahu, Dila… dalam Islam, ada satu konsep yang sangat besar, bahkan lebih besar dari dosa manusia—yaitu rahmat Allah.”
Karina menatapnya.
“Rahmat-Nya itu… tak terbatas. Bahkan kalau dosamu setinggi langit, lalu kamu datang kepada-Nya dengan taubat yang jujur, Dia ampuni. Allah tidak menunggu kita sempurna. Dia menunggu kita pulang.”
Karina terdiam. Hidungnya mulai memerah. Air matanya jatuh lagi, kali ini tanpa bisa dibendung.
Nadine melanjutkan, suaranya lembut tapi tegas, “Kamu tahu ayat yang bilang: ‘Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu’? Itu artinya segala sesuatu. Termasuk luka kamu. Masa lalu kamu. Kebencian yang pernah kamu tanam di dalam dada. Bahkan rasa takut kamu sendiri.”
Karina memejamkan mata. Dada yang selama ini serasa kosong, kini seperti dipenuhi embun.
“Dan tentang terlalu telat,” lanjut Nadine, “Allah itu tidak pakai jam kita. Dia tahu momen terbaik untuk menarik hati seseorang. Kalau sekarang kamu mulai menoleh pada-Nya, itu bukan karena kamu telat. Tapi karena ini waktu kamu.”
Suasana kembali hening. Tapi hening yang hangat.
Karina menyandarkan kepalanya ke pundak Nadine. Mereka duduk begitu saja, berdua, dalam keheningan spiritual yang tak perlu dijelaskan dengan kata-kata. Dan dalam hati Karina, ada sesuatu yang retak—bukan karena pecah, tapi karena dindingnya.
---
Malam harinya di asrama NUS, setelah Mei Lin tertidur lebih dulu, Karina masih terjaga. Ia duduk bersandar di dinding kamar, selimut menyelimuti tubuhnya hingga ke dada. Lampu temaram menyala samar. Di tangannya ada mushaf kecil pemberian Nadine yang belum ia buka malam itu.
Ia memandang halaman kosong dalam buku jurnalnya, lalu mulai menulis:
“Aku tak tahu bagaimana caranya jadi suci. Tapi aku ingin pulang. Jika Allah mencintai orang-orang yang kembali, maka aku akan berjalan. Meskipun tertatih. Meskipun lambat. Tapi aku akan kembali.”
Air mata jatuh ke halaman itu.
Untuk pertama kalinya, ia tak menangis karena takut. Tapi karena harapan.
---
Hari-hari setelah percakapan itu berubah bagi Karina. Bukan karena dunia luar ikut berubah, tapi karena sudut pandangnya mulai bergeser.
Di balik setiap gerakan wudhu yang masih sedikit canggung, dan bacaan sholatnya yang belum lancar, Karina mulai merasakan sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Seperti ada lapisan kabut yang perlahan-lahan terangkat dari dadanya. Belum hilang semua, tapi cukup untuk melihat cahaya samar di ujung.
Ia tetap bertemu Lucas, Mei Lin, dan Priya—bahkan kini ia merasa lebih jujur saat bersama mereka.
Suatu sore, saat mereka duduk di rerumputan taman universitas setelah kelas, Karina membawa bekal kecil dari dapur asrama: salad sayur dan telur rebus. Makanan sederhana, tapi entah kenapa terasa lebih hangat dari biasanya.
Mei Lin menggoda, “Kamu sekarang bawa bekal terus, Na. Sehat-sehat banget. Jangan-jangan habis ikut retreat ke puncak gunung ya?”
Karina tersenyum. “Retreat batin mungkin,” katanya ringan.
Lucas yang sedang membuka bungkus sandwich-nya menimpali, “Retreat batin. Wah, kedengaran kayak judul film indie yang bakal menang penghargaan tapi nggak ada yang ngerti isinya.”
Mereka tertawa. Karina ikut. Tapi kemudian ia menatap mereka satu per satu, senyum menipis menjadi serius. “Aku pernah merasa... hidupku terlalu rusak untuk diperbaiki. Tapi sekarang, aku belajar kalau ternyata… bukan tentang memperbaiki semuanya. Tapi mulai dari satu langkah. Sekecil apa pun.”
Priya menatapnya dalam-dalam. “Dan kamu sudah melangkah jauh, Karina.”
Mereka semua diam sejenak. Tidak canggung, tapi penuh pengertian. Lalu Lucas, dengan gaya khasnya yang sok acuh, berkata, “Kalau suatu saat kamu merasa perlu ditarik balik, kasih tahu aja. Kita akan jadi tali pengaman kamu.”
---
Malam itu, Karina duduk di meja belajarnya, menulis ulang catatan iqro di buku kecil yang ia bawa ke mana-mana. Lampu belajar menyala redup, dan dari laptopnya yang terbuka, suara Mahesa terdengar.
Mereka sedang video call, seperti kebiasaan setiap pekan.
“Jadi gimana rasanya Lo belajar iqro 2 sekarang?” tanya Mahesa dengan mata berbinar.
Karina mengangguk, tersipu. “Masih banyak yang belum lancar sih. Tapi Nadine sabar banget ngajarnya.”
Mahesa mengangguk pelan. “Gue senang banget dengarnya, Na. Kadang... Gue dulu berdoa semoga Lo bisa ketemu jalan ini. Tapi di saat itu gue juga takut kalau itu cuma sekedar ego gue yang pengen Lo jadi seperti yang gue harap.”
Karina memandang layar, hatinya hangat. “Tapi sekarang bukan karena Kak. Ini jalanku. Aku merasa... dicari. Lama. Dan akhirnya ditemukan.”
Mahesa menatap Karina dengan campuran haru dan kagum. “Gue selalu tahu kalau Lo punya kedalaman. Bahkan waktu Lo belum sadar Lo punya itu.”
---
Keesokan harinya, Karina kembali ke apartemen Nadine setelah kelas selesai lebih awal. Di sana, Nadine sudah menyiapkan teh chamomile dan dua buah sajadah kecil yang mereka pakai untuk salat berjamaah.
Setelah salat Maghrib, Nadine menyodorkan satu surat Al-Qur’an yang sudah diberi sticky note: Az-Zumar ayat 53. Ia meminta Karina membaca artinya pelan-pelan.
“Katakanlah: Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Karina terdiam.
“Jangan putus asa,” gumamnya. “Tapi... gimana caranya benar-benar percaya kalau Allah bisa mengampuni semuanya?”
Nadine menatapnya dalam, lalu menjawab pelan, “Dila sayang, setiap manusia pasti punya beban yang mereka tanggung masing-masing. Tapi Allah nggak minta kita sempurna. Dia cuma minta kita datang. Bawa hati yang hancur, air mata, ketakutan, semuanya. Dan Dia akan sambut kita.”
Karina menggigit bibirnya. “Kadang aku takut kalau Allah kecewa.”
“Allah nggak sama seperti manusia. Dia tidak mudah kecewa. Dia Maha Mengetahui luka yang kita bahkan belum tahu kita punya.”
---
Malam itu, saat Karina kembali ke asrama, ia duduk lama di kamar. Cahaya dari layar laptop menerangi sebagian wajahnya. Ia membuka folder lama berisi foto-foto masa SD hingga SMP saat kakaknya Juna masih ada. Karina tersenyum pahit melihat potret dirinya dan kakaknya itu.
Waktu itu mereka masih sering tertawa, sebelum semuanya berakhir saat Juna meninggal akibat kecelakaan.
Karina mengelus layar.
"Kak Juna, aku tahu sekarang kita jauh. Tapi aku pengen belajar memaafkan diriku sendiri setelah kepergian kakak. Bukan karena apa-apa, tapi karena aku cuma ingin tenang tanpa dihantui rasa bersalah."
Kemudian ia menutup laptop, menggelar sajadah, dan berdiri untuk salat Isya.
Ketika sujud terakhir, tubuhnya gemetar. Tangis turun dalam diam.
Bukan lagi karena dosa. Tapi karena ia mulai percaya, ia masih bisa dicintai.
Dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia bisa berkata dalam hati:
“Aku tak bersalah. Aku hanya pulang terlambat.”
---
Hari itu, Karina berjalan santai menuju kafe kecil di sudut kampus—tempat yang hampir selalu jadi markasnya bersama Lucas, Mei Lin, dan Priya. Jemarinya menggenggam tali tas selempang berwarna krem, dan langkahnya ringan. Langit Singapura sore itu teduh, dan udara membawa aroma kopi dari jendela kafe yang terbuka.
Tapi saat ia membelok melewati deretan pohon flamboyan, langkahnya terhenti.
Di kejauhan, seorang lelaki tinggi dengan kemeja abu-abu berdiri membelakangi jalan. Ketika lelaki itu menoleh, mata mereka bertemu—dan waktu seperti melambat sesaat.
Alex.
Mata pria itu membesar seketika. Rahangnya sedikit turun, dan alisnya naik, seperti baru melihat hantu dari masa lalu.
Karina berdiri tenang. Gamis hitam sederhana membungkus tubuhnya, dan kerudung putih bersih menaungi wajah yang tampak lebih damai dari yang pernah Alex ingat.
“Karina?”
Karina tersenyum sopan. “Kak Alex. Apa kabar?”
Alex seperti baru tersadar cara bernapas. “Aku… aku baik.” Matanya menelusuri sosok Karina dari ujung kerudung ke ujung sepatu. “Kamu… kelihatan beda sekarang.”
“Alhamdulillah,” jawab Karina pelan, tapi mantap. “Baru beberapa bulan lalu aku memutuskan untuk menjadi mualaf.”
Alex mengangguk, ekspresinya tak bisa dibaca. Ada keraguan, ada rasa bersalah, dan mungkin juga tak percaya.
Hening sejenak, sebelum Alex membuka suara lagi, sedikit tergagap. “Ngomong-ngomong, aku mau minta maaf soal yang waktu itu… soal cara aku memperlakukan kamu dulu. Aku tahu aku nyakitin kamu, dan—”
Karina mengangkat tangannya lembut, memotong kalimat itu. “Nggak apa-apa, Kak. Aku sudah maafin kok.”
Ia tersenyum tipis, tanpa getir.
“Lagipula… semua itu sudah jadi bagian dari masa lalu kita. Aku nggak ingin hidup dengan membawa luka lama terus.”
Alex menunduk, lalu menatap Karina lagi. “Kamu berubah ya…”
Karina mengangguk pelan. “Semoga berubah jadi lebih baik.”
Mereka terdiam beberapa detik. Kali ini bukan karena kejanggalan, tapi karena masing-masing sadar: mereka berdiri di dua dunia yang tak lagi sama.
Akhirnya, Karina menyentuh tali tasnya, bersiap melanjutkan langkah.
“Maaf, aku harus ketemu teman-teman. Semoga Kak Alex selalu dalam kebaikan, ya.”
Alex hanya bisa mengangguk. “Kamu juga… Karina.”
Dan ketika Karina berbalik dan berjalan pergi, angin sore menyapu kerudung putihnya yang berkibar ringan. Tak ada bayangan yang tersisa di langkahnya—hanya arah baru, dan hati yang mulai utuh.
---