Loading...
Logo TinLit
Read Story - Langkah Pulang
MENU
About Us  

Hari itu, langit Singapura mendung, seakan menunggu hujan turun tanpa benar-benar menjatuhkannya. Karina duduk di pojok ruang belajar lantai dua kampus, bukunya terbuka tapi pikirannya melayang entah ke mana. Suara-suara diskusi dari meja sebelah hanya menjadi gema samar yang tak menyentuh fokusnya.

Mei Lin meliriknya sesekali, lalu akhirnya angkat bicara.

"Kamu oke, Na? Dari tadi kamu kayak... kosong."

Karina menoleh pelan, mencoba tersenyum. "Aku cuma... lagi banyak pikiran aja."

Lucas, yang baru datang membawa dua cup kopi, langsung menyodorkan satu ke Karina. "Ambil ini. Kafein selalu jadi solusi jangka pendek untuk beban eksistensial."

Karina tertawa kecil, lalu menerima cup itu. "Thanks, Cas. Tapi... mungkin aku lagi butuh yang lebih dari sekadar kafein."

Lucas mengangkat alis. "Kayak... apa tuh? Retreat ke gunung Himalaya?"

Priya menyela dengan nada menggoda. "Atau... cinta yang menyembuhkan jiwa?"

Mereka semua tertawa pelan dan Karina juga ikut tertawa meski tawa itu terasa sedikit hambat. Dalam hatinya, ia tahu tidak satu pun dari itu yang benar-benar ia cari.

Setelah sesi belajar selesai, Karina berjalan sendirian menuju taman kecil dekat asrama. Ia mengirim pesan singkat ke Mahesa.

[Kadang aku merasa Tuhan jauh banget. Tapi di saat yang sama... aku juga yang menjauh.]

 

Ia menatap layar ponsel, menunggu, tapi tidak langsung ada balasan. Mungkin Mahesa sedang sibuk, mungkin juga sedang merenung seperti dirinya. Karina menarik napas panjang lalu menatap langit yang mulai gelap. Ia memeluk dirinya sendiri, mencoba bertahan dari rasa sepi yang tak bisa dijelaskan. 

 

---

Malam itu, Karina menginap di apartemen Nadine. Sejak sore, hujan turun deras, membuatnya malas kembali ke asrama. Nadine hanya tersenyum ketika Karina mengutarakan niatnya untuk bermalam.

"Nggak apa-apa. Di sini aja. Aku juga senang ada teman." kata Nadine sambil menyeduh pure matcha hangat.

Mereka mengobrol lama, duduk di sofa, membicarakan banyak hal: tentang kuliah, makanan Indonesia yang mereka rindukan, Seventeen yang ternyata sama-sama mereka idolakan, dan entah bagaimana ceritanya bisa tiba-tiba tiba di pembahasan sedikit demi sedikit, tentang pencarian makna yang makin hari makin menguat di hati Karina.

Jam hampir menunjukkan pukul sepuluh ketika Nadine berdiri dan berkata pelan, "Aku mau sholat Isya dulu, ya."

Karina menatapnya sejenak, lalu berkata lirih, “Nadine... boleh nggak aku lihat kamu sholat?”

Nadine menghentikan langkahnya dan menoleh. Tatapannya hangat, tidak menghakimi, hanya mengandung rasa mengerti yang tulus. “Mau ikut juga?”

Karina ragu sejenak, lalu mengangguk. “Kalau nggak apa-apa... aku cuma pengen tahu. Bukan buat main-main, ya.”

"Aku tahu kamu nggak main-main, Dila. Tapi sebelum salat, kita wudhu dulu. Ayo, aku ajarin," kata Nadine sambil mengambil handuk kecil dan menggiring Karina ke kamar mandi. 

Di dalam kamar mandi yang bersih dan tenang, Nadine menunjukkan satu per satu langkah wudhu. Ia menyiram tangan, berkumur, membasuh wajah, mengusap kepala, hingga membasuh kaki dengan pelan dan tertib.

“Setiap gerakan ini... bukan cuma sekedar mensucikan diri kamu, tapi juga hatimu. Kayak... niat mensucikan diri sebelum menghadap Tuhan,” jelas Nadine sambil tersenyum.

Karina memperhatikan serius, lalu menirukan. Saat air menyentuh wajahnya, dingin dan segar, ia merasa seperti dicuci dari sesuatu yang ia sendiri tak bisa namai—kesedihan, kelelahan, ketakutan? Entah. Tapi ada rasa ringan yang mengalir bersama tetes-tetes air itu.

Setelah selesai, mereka berjalan kembali ke ruang tengah. Nadine menggelar dua sajadah di atas lantai kayu, menyiapkan mukena, lalu membantu Karina mengenakannya.

"Yang penting sekarang, kamu ikut gerakan dulu. Bacaan nanti bisa sambil jalan. Ini bukan ujian," katanya dengan senyum menenangkan.

Karina tertawa kecil, mencoba melepaskan gugupnya. “Oke. Aku coba pelan-pelan.” 

Nadine berdiri di depan, dan salat pun dimulai. Takbir pertama—Allahu Akbar—mengalun lembut dari mulut Nadine, dan Karina mengikuti gerakannya dengan hati-hati. Tangannya terangkat, kemudian bersedekap.

Setiap gerakan terasa asing tapi tidak mengintimidasi. Rukuk—sujud—duduk di antara dua sujud—semuanya dilakukan dengan perlahan, penuh bimbingan lembut dari Nadine. Karina ikut dalam diam, mencoba memahami rasa yang muncul dalam tubuhnya.

Dan ketika sampai pada gerakan sujud, Karina terdiam. Gerakan itu begitu menyerah baginya seperti yang pertama kali ia rasakan, tapi justru terasa begitu... menenangkan.Tubuhnya menunduk penuh, dahinya menyentuh sajadah. Dalam hening itu, sesuatu dalam dirinya pecah. Air mata mengalir tiba-tiba, pelan tapi tak terbendung.

Ia tidak tahu apa yang sedang ia rasakan, hanya tahu bahwa untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, ia merasa... dilihat. Didengar. Bukan oleh manusia, tapi oleh sesuatu yang jauh lebih besar dan penuh kasih.

Setelah mereka selesai, Nadine tetap duduk, tidak langsung bicara. Karina perlahan melepaskan mukenanya, masih membiarkan air mata mengalir tanpa malu. 

Nadine menatapnya pelan. “Kamu... nangis?” 

Karina menyeka matanya dengan punggung tangan. Suara hujan masih menari di luar jendela apartemen kecil itu. Tirai tipis berkibar pelan tertiup angin dari kipas langit-langit, menambah kesan hening yang hangat di antara mereka. Karina duduk memeluk lutut di atas karpet, sementara Nadine melipat sajadah dengan perlahan, gerakannya nyaris seperti ritual yang dipenuhi penghormatan.

“Maaf, tadi aku... jadi nangis,” kata Karina, suaranya nyaris tenggelam oleh suara hujan.

Nadine berhenti melipat sajadah dan menatapnya lembut. “Nggak perlu minta maaf. Banyak orang nangis di sujud pertama mereka. Aku juga waktu itu nangis.”

Karina mengangkat kepala, matanya masih sedikit bengkak. “Kamu juga?”

Nadine tersenyum, lalu duduk di samping Karina. “Iya. Aku nggak ngerti semua bacaan juga waktu itu. Tapi... rasanya kayak ada sesuatu yang patah di dalam diri aku. Bukan patah yang menyakitkan, tapi kayak... patah yang bikin bisa diisi ulang.”

Karina mengangguk pelan. Matanya menerawang. “Waktu sujud, aku ngerasa kayak... aku bukan siapa-siapa, tapi juga... nggak sendirian.”

“Karena memang begitu.” Nadine memegang tangan Karina. “Di sujud itu, kita sepenuhnya menyerah. Tapi juga sepenuhnya diterima.”

Karina menatap telapak tangannya sendiri, yang masih lembap sisa wudhu tadi. Gerakan wudhu itu begitu sederhana, tapi menyisakan bekas. Ada rasa yang tertinggal di kulitnya—bukan sekadar air, tapi kejernihan yang menempel.

“Waktu kamu ajarin aku wudhu tadi... rasanya air itu bukan cuma sekedar membasuh bagian tubuhku. Tapi... aku ngerasa seperti... diberi kesempatan baru.”

Nadine menatapnya lama. “Nadila... kamu boleh ambil waktu sebanyak yang kamu butuh. Nggak harus tahu semua dulu. Nggak harus langsung yakin. Tapi rasa yang kamu punya malam ini... itu nyata. Dan itu tempat yang indah untuk mulai.”

Karina mengangguk. Ada benjolan di tenggorokannya yang tak bisa ia jelaskan. Rasanya seperti... perasaan rindu yang akhirnya tahu arah pulang.

Mereka duduk dalam diam beberapa saat. Tak canggung. Tak perlu diisi dengan kata-kata. Diam yang saling memahami, saling menguatkan.

“Aku takut,” ujar Karina akhirnya. “Bukan takut sama agama ini. Tapi takut sama diriku sendiri. Takut kalau aku cuma lari... takut kalau ini cuma fase.”

Nadine menarik napas pelan. “Kamu tahu? Dulu aku juga bilang itu ke diriku sendiri. ‘Apa ini cuma fase? Apa aku cuma terpesona sama ketenangan yang ditawarkan?’ Tapi makin aku mengenal, aku sadar... ketenangan itu bukan ilusi. Dia datang dari tempat yang sangat nyata. Dan meskipun kadang aku ragu, aku belajar terus untuk kembali.”

Karina mengusap wajahnya. “Aku pengen belajar. Tapi... aku nggak mau pura-pura. Aku nggak mau jadi orang yang cuma ikut-ikutan karena lagi butuh tempat sembunyi.”

“Kamu bukan sembunyi,” kata Nadine. “Kamu sedang mencari. Dan mencari itu bukan kelemahan, Karina. Itu keberanian.”

Karina menggigit bibir bawahnya. Matanya mulai kembali basah. Ia mendekatkan tubuhnya ke Nadine, menyandarkan kepala di pundaknya.

“Aku nggak tahu kenapa, tapi malam ini... aku pengen tinggal lebih lama di posisi sujud itu. Rasanya damai banget.” 

Nadine tersenyum pelan. Ia membiarkan Karina bersandar lalu memeluk tubuh adiknya itu, dan membiarkannya merasakan kenyamanan yang selama ini barangkali tak pernah ia beri ruang untuk hadir.

Di luar, suara hujan mulai mereda. Tapi di dalam ruangan itu, dua perempuan muda duduk dalam ruang hening yang hangat. Tidak ada cahaya berlebihan. Hanya lampu temaram di atas dapur dan cahaya kecil dari lilin aromaterapi di rak buku. Tapi justru dalam remang itulah, sesuatu yang terang perlahan menyala di dada Karina.

Bukan ledakan keyakinan. Bukan euforia tiba-tiba. Tapi sebuah getar kecil yang lembut, seperti cahaya lilin yang tidak padam meski angin keraguan terus berembus.

 

 

---

Karina terbangun lebih pagi dari biasanya.

Matahari belum benar-benar naik ketika ia duduk sendirian di balkon apartemen Nadine, membungkus dirinya dengan selimut tipis, secangkir cokelat panas di tangan. Nadine masih tidur di dalam, dan Karina memanfaatkan keheningan itu untuk berpikir.

Ia membuka ponsel dan menulis pesan pada Mahesa:

[Aku nggak tahu bagaimana harus cerita, tapi... tadi malam aku ikut Nadine salat.]

 

Beberapa detik kemudian, balasan masuk dari Mahesa.

[Serius? Gimana rasanya?]

[Aku nangis. Tapi bukan karena sedih. Aku ngerasa kayak... Tuhan akhirnya dengar suara aku, meskipun aku nggak bicara apa-apa.]

 

Ada jeda, lalu balasan datang lagi.

[Kadang diam itu juga doa, Na.]
 

Karina tersenyum. Ia menatap langit yang mulai cerah, merasa untuk pertama kalinya sejak lama... dadanya tidak terlalu sesak. Ia masih bingung, masih takut, masih punya banyak pertanyaan. Tapi ia tidak merasa sepi.

Dan untuk saat ini, itu cukup.

 

---

Sejak malam itu di apartemen Nadine, malam ketika untuk pertama kalinya ia bersujud dan menangis tanpa tahu pasti alasannya, hari-hari Karina berubah. Tidak secara dramatis. Tidak seperti di film-film dengan montage cepat dan musik yang menggugah. Tapi perlahan. Hening. Tegas.

Pagi-pagi setelah Nadine pergi kuliah, Karina duduk sendirian di ruang tamu kecil, menggenggam cangkir teh hangat. Ia membuka ponselnya dan mulai mencari. Awalnya ia tak tahu harus mengetik apa. “Kenapa orang masuk Islam?” atau “Apa itu salat?” atau “Doa-doa pendek untuk pemula.” Ia akhirnya membuka daftar kanal YouTube dan podcast yang Nadine sempat tunjukkan sebelumnya—perlahan, satu demi satu.

Beberapa hari kemudian, Karina kembali ke asrama. Ia tidak bilang banyak hal pada Mei Lin, hanya berkata ia butuh waktu sendiri di tempat yang tenang. Mei Lin mengangguk mengerti. Tidak banyak tanya. Dan untuk pertama kalinya, Karina bersyukur punya teman sekamar yang tidak menuntut penjelasan.

Setiap malam, saat lampu sudah dimatikan, Karina menyalakan ponselnya dalam diam. Ia mulai menonton video singkat tentang tata cara wudhu, gerakan salat, arti dari bacaan-bacaan. Ia juga mencatat doa-doa pendek dalam buku jurnal kecil yang ia beli tanpa rencana—cover berwarna rose quartz dan biru serenity dengan kertas tebal dan bersih.

Jurnal itu menjadi tempat rahasianya. Tempat ia menuliskan pertanyaan-pertanyaan seperti:

"Apa Tuhan benar-benar mendengarku walau aku belum sepenuhnya menjadi Muslim?

Apa aku munafik karena belum yakin tapi sudah belajar salat?

Bagaimana kalau orangtuaaku tahu dan mereka kecewa?

Siapa aku sebenarnya?"

 

Pertanyaan-pertanyaan itu kadang membuatnya ingin berhenti. Ingin kembali pada ketidakpedulian yang nyaman. Tapi setiap kali ia sujud—even hanya dalam latihan, dalam gerakan yang belum ia hafal sepenuhnya—ada sesuatu yang menenangkannya. Ada kejujuran dalam ketundukan itu. Sebuah kejujuran yang tidak pernah ia temukan dalam ibadah masa kecilnya yang penuh rutinitas dan tuntutan sosial.

Di kampus, ia tetap bergaul seperti biasa. Priya masih suka mengajaknya makan siang. Lucas masih iseng membalas story-nya dengan komentar konyol. Mei Lin tetap jadi teman diskusi favoritnya di kelas sosiologi. Tapi Karina mulai membatasi diri. Bukan menjauh, hanya... melindungi ruang baru yang sedang ia bentuk.

Suatu sore di kantin kampus, Priya bertanya sambil menyodorkan potongan chicken tikka.

"Na, kamu belakangan ini sering banget sendirian. Everything okay?"

Karina mengunyah pelan sebelum menjawab, "Aku lagi... belajar sesuatu. Buat diriku sendiri."

Lucas menyela dari seberang meja. “Wah, jangan-jangan Karina lagi ikut kelas rahasia ‘How to become a Zen monk in three weeks’?

Mereka semua tertawa. Termasuk Karina. Tapi di dalam hatinya, ia tahu: ini bukan sekadar perjalanan spiritual. Ini pencarian arah. Rumah. Dan meski ia belum punya semua jawabannya, ada ketenangan dalam pencarian itu.

 

---

Malamnya, Karina kembali membuka jurnal kecilnya. Ia menuliskan:

Hari ini aku belum sholat. Tapi aku baca arti bacaan Al-Fatihah dan menangis lagi. Kenapa surat Al-Qur'an sesingkat itu bisa menggetarkan hati? Aku nggak tahu. Tapi aku merasa seperti sedang bicara langsung pada Tuhan—bukan sekadar mengulang kata-kata.

 

Lalu ia menutup jurnalnya. Dan untuk pertama kalinya, ia menyalakan alarm untuk bangun subuh. Bukan karena ingin menjadi sempurna. Tapi karena ingin mencoba—sekali lagi.

 

---

Beberapa minggu setelah malam di apartemen Nadine, Karina mulai menyadari satu hal: hidupnya tetap berjalan di luar, tapi ada dunia baru yang tumbuh pelan-pelan di dalam dirinya.

Ia tetap kuliah, mengerjakan tugas kelompok, menyapa dosen, bercanda dengan Lucas di grup chat. Tapi setiap pagi, sebelum subuh benar-benar merekah, ia sudah terjaga dalam hening. Duduk di sisi tempat tidurnya, menatap jendela yang gelap, dan menarik napas panjang sebelum mengambil air wudhu.

Wudhu yang awalnya terasa canggung kini mulai jadi semacam rutinitas lembut yang ia nikmati: air dingin yang menyapu wajahnya, lengan yang dibasuh perlahan, kaki yang disentuh air terakhir kali sebelum doa pelan ia gumamkan.

Ia belum salat lima waktu penuh. Tapi setiap kali ia sempat, ia mencobanya—kadang hanya satu rakaat, kadang hanya duduk diam di atas sajadah, menirukan gerakan yang ia pelajari dari video. Dan setiap kali itu pula, hatinya seperti disentuh sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

Namun di kampus, semuanya tampak biasa. Seolah tidak ada yang berubah.

Di perpustakaan, Mei Lin melemparkan sebungkus granola bar ke meja tempat Karina duduk.

"You're skipping lunch again, aren't you?" tanyanya sambil duduk di seberang.

Karina tersenyum kecil, menahan tawa. “Aku lagi puasa, Lin.”

Mei Lin mengernyit. “Puasa? Kaya... Ramadhan?”

“Bukan Ramadhan. Cuma... mencoba aja. Temanku Muslim dan dia sering cerita soal puasa. Aku penasaran rasanya kayak apa. Jadi kemarin kita sepakat buat puasa Sunnah bareng-bareng."

Mei Lin mengangguk pelan, lalu membuka laptopnya.

“Well, let me know if you pass out so I can tell the paramedics what you were trying to do.”

Karina tertawa. Tidak ada penilaian di wajah Mei Lin, hanya kekhawatiran biasa seorang teman. Dan itu cukup membuatnya merasa aman.

Di kelas Sosiologi Lintas Budaya, Lucas duduk di sebelahnya seperti biasa. Saat dosen membahas tentang “ritual keagamaan sebagai bentuk ekspresi sosial”, Lucas mencolek lengannya.

"Na, menurutmu ritual itu penting banget, nggak?" bisiknya.

Karina menoleh. “Dalam konteks apa?”

“Ya... kamu tahu kan. Aku punya keluarga Katolik yang super religius, tapi aku pribadi agak longgar. Kadang aku mikir: Tuhan peduli nggak sih kita nyalain lilin atau duduk di gereja?”

Karina menatap papan tulis sebentar, lalu menjawab pelan, “Mungkin Tuhan nggak butuh semua itu. Tapi kadang... kita yang butuh. Biar bisa merasa dekat.”

Lucas mengangguk pelan, dan untuk pertama kalinya tidak menjawab dengan lelucon. Ia hanya menatap catatannya, diam.

Sore itu, Priya mengajaknya duduk di taman setelah kelas selesai. Priya menatap Karina lekat-lekat, lalu berkata, “Kamu kelihatan beda, tahu nggak?”

Karina tertawa kecil. “Beda gimana?”

“Bukan jelek. Justru... kamu lebih tenang sekarang. Kaya bukan Karina yang dulu, yang selalu panik soal nilai atau cerita cinta dirinya sendiri.”

Karina menghela napas. “Aku lagi belajar pelan-pelan buat ngerti diriku sendiri. Itu aja.”

Priya mengangguk sambil menggoyang-goyangkan kaki.

“Tapi jangan ilang ya. Jangan jadi Karina yang terlalu tenang sampai nggak mau ngobrol lagi.”

Karina menoleh dan tersenyum. “Nggak akan. Aku masih suka nonton drama Korea, aku masih suka Seventeen dan aku juga masih suka curhat soal tugas kok.”

Mereka tertawa bersama, dan senja jatuh dengan lembut di antara pepohonan kampus.

---

Malam itu di asrama, Karina duduk sendirian di ruang baca. Lampu temaram membuat bayangan buku menari di dinding. Ia membuka jurnal kecilnya dan menulis sembari mendengarkan lagu Seventeen melalui earphone

"Hari ini aku nonton ceramah tentang pencarian Tuhan. Bukan yang memaksa. Justru lembut sekali. Katanya, "Kadang orang merasa jauh dari Tuhan bukan karena Tuhan menjauh, tapi karena kita menutup pintu perlahan-lahan dan tak sadar bahwa cahaya masih menunggu di luar."

 

Aku menulis kalimat itu di post-it dan kutempel di cermin. Aku ingin mengingat: "aku bukan lari. Aku mencari."

Handphonenya bergetar. Lucas mengirim voice note:

“Kamu nulis caption yang kamu share itu dari mana sih? Deep banget. Bisa tolong kirimin link-nya nggak? I might need some soul food too.”

Karina tersenyum. Ia tidak sendirian.

 

---

Esok paginya, sebelum kelas, Karina sarapan dengan Priya dan Mei Lin. Mereka tertawa soal tugas yang deadline-nya mepet. Tapi di sela-sela tawa itu, Karina memperhatikan: meskipun ia sedang dalam perjalanan sunyi, sahabat-sahabatnya tidak menjauh. Dunia lamanya tidak sirna, hanya bergeser pelan memberi ruang pada dunia baru yang mulai tumbuh.

Dan ia tidak perlu memilih salah satunya. Ia hanya perlu jujur. Pelan-pelan. 

 

---

Beberapa hari setelah obrolan dengan Priya di taman, Karina kembali menginap di apartemen Nadine. Tidak sering, hanya sesekali saat akhir pekan tiba dan ia merasa butuh ruang yang lebih sunyi dari gemuruh kampus dan lorong-lorong asrama yang tak pernah benar-benar tidur. Nadine selalu menyambutnya dengan hangat, seperti rumah kecil yang tenang di tengah kesibukan dunia.

Malam itu, mereka duduk di atas karpet ruang tamu, masing-masing dengan secangkir teh hangat. Di dinding tergantung kaligrafi sederhana, ayat pendek dalam bahasa Arab yang Karina belum bisa baca, tapi ia suka bentuknya. Simetris. Menenangkan.

“Aku kadang bingung,” kata Karina pelan. “Aku belum yakin sepenuhnya, tapi kalau aku lama nggak salat atau dengerin kajian, aku ngerasa... kehilangan sesuatu. Kayak perasaan kosong yang dulu sering ada, sekarang muncul lagi begitu aku berhenti.”

Nadine mengangguk, matanya lembut. “Itu hal yang sangat manusiawi, Dila. Iman naik turun. Nggak ada yang stabil selamanya. Tapi rasa kehilangan itu mungkin tanda bahwa hatimu udah mulai peka.” 

Karina mengangguk pelan. Lalu bertanya dengan suara nyaris berbisik, “Kamu pernah takut waktu pertama kali ngerasa yakin banget sama pilihanmu?”

Nadine tersenyum. “Pernah. Tapi takut itu nggak selalu buruk. Kadang takut datang karena kita sadar ini penting.”

Karina diam, lalu menatap ujung cangkirnya. “Aku juga takut sama Mama dan Papa. Aku nggak tahu mereka bakal bilang apa kalau mereka tahu aku lagi... belajar semua ini.”

“Wajar,” jawab Nadine. “Tapi jalanmu bukan buat menyenangkan semua orang. Jalanmu adalah buat menemukan siapa kamu sebenarnya.”

---

Hari-hari berikutnya, Karina mencoba lebih konsisten sholat lima waktu. Ia masih sering terlambat, kadang lupa, kadang bingung arah kiblat jika sedang di luar asrama. Tapi ia tidak berhenti mencoba. Bahkan jika hanya mampu dua waktu dalam sehari, ia melakukannya dengan sungguh-sungguh. Dan setiap kali bersujud, ia merasa seperti ditarik lembut ke dalam ruang yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Pada suatu pagi, Lucas mengajaknya sarapan di kantin kampus. Lucas, dengan gaya sok nyentriknya, datang dengan hoodie besar dan kacamata hitam padahal cuaca mendung.

"Kamu kenapa sih akhir-akhir ini sering nggak ikut nongkrong? Mei Lin sampe mikir kalau kamu akhirnya punya cowok rahasia setelah Alex,” kata Lucas sambil menyendok bubur.

Karina tertawa. “Nggak ada cowok rahasia. Aku cuma... lagi banyak mikir aja.”

Lucas menatapnya lama, lalu berkata, “Kamu kelihatan beda, Na. Tapi yang aneh... bedanya itu bagus.”

Karina diam. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan bahwa perubahan itu bukan karena seseorang dari luar, tapi karena sesuatu yang tumbuh dari dalam. Ia hanya berkata pelan, “Makasih, Cas.”

 

---

Setiap malam, Karina masih menulis di jurnal yang sama. Di halaman terakhir, ia mulai menempelkan kutipan-kutipan yang ia temukan dari kajian atau podcast yang ia dengar. Salah satunya berbunyi:

“Allah tidak pernah memaksa Hamba-Nya untuk mencintai-Nya. Tapi jika seorang Hamba mencintai Allah, maka balasannya surga."

 

Kata-kata itu sederhana, tapi membuatnya menangis malam itu.

Ia ingat masa kecilnya di gereja, duduk diam di bangku kayu panjang, memandangi jendela kaca patri yang memantulkan cahaya sore. Tapi semua itu terasa seperti lukisan yang indah tapi jauh. Ia tidak pernah merasa benar-benar mengenal Tuhan saat itu. Hanya mengikuti ritme—berdoa, bernyanyi, lalu pulang.

Sekarang, ia tidak punya jendela kaca patri. Tidak ada bangku panjang atau paduan suara. Tapi ada sajadah kecil, air wudhu yang menyejukkan, dan lantai yang dingin saat ia bersujud.

Dan dalam ketundukan itu, ia mulai percaya bahwa Tuhan tak pernah jauh.

 

---

Suatu siang saat makan siang, Priya menatap Karina sambil memainkan sendoknya. “Na, aku nggak tahu kamu lagi ada di fase apa, tapi... kamu bisa cerita ke aku kapan pun. Bahkan kalau itu tentang Tuhan. Kamu gak perlu sungkan cuma karena aku atheis.”

Karina tersenyum. “Makasih banyak buat perhatiannya, Priya. Tapi buat sekarang, aku belum bisa cerita semua hal. Aku masih meraba-raba juga.”

“Aku ngerti. Asal kamu tahu aja, you don’t have to carry it all alone.

Kata-kata itu menyentuh Karina lebih dalam daripada yang Priya sadari.

 

---

Malam berikutnya, Karina bermimpi.

Ia berdiri di tepi danau yang sangat tenang. Kabut tipis menggantung di permukaannya. Di seberangnya ada cahaya kecil, seperti lentera, yang tak padam. Ia melangkah perlahan, dan setiap langkah membuat air bergelombang halus di bawah kakinya. Tapi cahaya itu tetap di sana. Menunggunya. Tak mendekat, tapi juga tak menjauh.

Saat terbangun, dadanya sesak—bukan karena takut, tapi karena rindu. Ia tidak tahu rindu pada apa.

Pagi itu, sebelum subuh, ia mengambil air wudhu dalam diam. Kemudian salat sendiri di pojok kamar asramanya. Tanpa bantuan Nadine, tanpa siapa pun. Dan saat ia sujud, air matanya lagi-lagi mengalir.

Bukan karena ia yakin sepenuhnya. Tapi karena ada sesuatu dalam ketundukan itu yang menenangkan. Seolah dunia yang berat ini bisa diangkat, walau hanya sejenak.

Dalam jurnalnya, ia kembali menulis:

"Mungkin aku belum siap memberi nama pada perjalanan ini. Tapi aku tahu aku sedang berjalan. Dan setiap langkahnya, meski pelan, terasa benar."

 

---

Sore itu, langit Singapura terlihat bersih, nyaris tanpa awan. Karina melangkah perlahan di halaman sebuah masjid besar yang berdiri megah tak jauh dari kawasan Bugis—masjid yang dulu hanya ia datangi karena rasa ingin tahunya terhadap Islam, tanpa pernah membayangkan akan masuk ke dalamnya untuk sebuah momen yang akan mengubah hidup.

Ia mengenakan tunik biru muda sederhana dan pashmina lembut berwarna putih, dililit seadanya oleh Nadine beberapa menit sebelum mereka berangkat. Tangannya dingin sejak dari MRT. Jantungnya berdegup tidak beraturan.

“Teman-teman dari Buona Vista udah di dalam. Kita nggak usah buru-buru,” kata Nadine sambil menggenggam pergelangan tangannya lembut.

Karina mengangguk, menatap ke arah kubah masjid yang tampak tenang di bawah sinar senja. Ini bukan sekadar langkah ke dalam sebuah bangunan. Ini adalah langkah ke dalam dirinya sendiri—bagian yang selama ini kosong dan perlahan terisi.

Setelah melepas alas kaki dan memasuki area dalam masjid, mereka disambut oleh seorang ustaz yang tersenyum hangat. Di sisi belakang, di tempat yang telah disediakan, tujuh teman dari komunitas Buona Vista duduk bersila, menyambut Karina dengan anggukan dan tatapan penuh dukungan. Raisa, Iffah, Sarah, dan Aulia duduk bersebelahan, sedang Yusuf, Fadli, dan Amir duduk sedikit lebih ke belakang. Semuanya hadir sebagai saksi, bukan hanya secara lahiriah, tapi juga batiniah.

Ustadz tersebut mempersilakan mereka duduk di ruangan kecil khusus pembimbingan. Ruangan itu sederhana, dengan dinding putih dan kaligrafi elegan bertuliskan “La ilaha illallah” tergantung di tengah.

Karina duduk di seberang seorang ustadz. Nadine di sampingnya, menggenggam tangannya erat.

“Sudah yakin, Nadila?” tanya ustaz lembut.

“Masih banyak yang belum aku tahu,” jawab Karina jujur, “Tapi aku tahu aku mau melangkah.”

“Itu yang paling penting. Islam adalah perjalanan, bukan garis akhir.”

Karina menarik napas panjang. Air matanya nyaris menetes hanya karena kalimat itu.

Kemudian ustadz itu mulai membimbingnya:

“Silakan ulangi perlahan,” katanya.

“Asyhadu alla ilaha illallah…”

Karina mengulang, suaranya bergetar.

“Wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah.”

 

Begitu kata terakhir keluar dari mulutnya, waktu seolah berhenti.

Karina menunduk dalam-dalam. Air matanya mengalir deras. Ia tidak mencoba menahannya kali ini. Ia ingin mengingat rasa ini selamanya: rasa diterima, rasa pulang, rasa menjadi utuh meski belum sempurna.

Satu per satu teman-temannya dari Buona Vista berdiri dan memeluknya. Nadine yang pertama, lalu Aulia, Sarah, dan yang lainnya menyusul. Kecuali Yusuf, Fadli dan Amir yang sudah tahu batasan mereka.

 “Alhamdulillah. Kamu sekarang saudara kami.” Bisik Nadine lembut. 

Sang Ustadz lalu memberikan mushaf kecil berwarna hijau lembut dan sehelai sajadah kecil sebagai tanda kenang-kenangan. “Ini awal baru, Nadila. Jaga cahaya ini baik-baik, ya.”

Setelah selesai, mereka keluar bersama. Langit sore telah berganti senja, lampu-lampu kota mulai menyala. Karina berdiri di tangga masjid, memandangi sekelilingnya, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa ringan. Tidak karena semua masalahnya selesai, tapi karena ia tahu ke mana langkah selanjutnya akan dibawa. 

 

---

MRT melaju tenang, membelah malam Singapura yang gemerlap. Karina duduk di dekat jendela, memandangi pantulan lampu kota yang berlari di kaca. Di sebelahnya, Nadine duduk tanpa banyak bicara, membiarkan keheningan bekerja seperti pelukan yang tak terlihat.

Karina menyentuh pashmina di kepalanya pelan-pelan. Ia belum tahu apakah ia akan memakainya setiap hari. Belum tahu bagaimana akan menjelaskan semuanya pada orangtuanya. Tapi malam ini, ia tidak ingin memikirkan itu dulu.

Malam ini, ia hanya ingin menyimpan perasaan hangat yang memenuhi dadanya. Bukan karena ia merasa telah menjadi orang baru. Tapi karena untuk pertama kalinya, ia merasa menjadi dirinya sendiri.

Suara mesin MRT bergema lembut, berbaur dengan suara pengumuman stasiun. Saat kereta melambat dan berhenti di Commonwealth, Karina mengangkat wajah, menatap pantulan dirinya di jendela. Ada mata yang masih sembab karena menangis, tapi di dalamnya ada sesuatu yang berbeda—ketenangan yang belum pernah ia kenali sebelumnya.

Ia ingat kata-kata ustaz tadi: “Islam adalah perjalanan, bukan garis akhir.”

Dan malam ini, Karina tahu: perjalanannya baru saja dimulai.

---

Catatan Jurnal – Ditulis Karina malam itu:

"Hari ini, aku melangkah ke tempat yang dulu asing.

Tapi anehnya, aku merasa seperti sedang kembali—

bukan ke masa lalu,

tapi ke rumah yang selama ini belum pernah kutemukan.

Aku tidak tahu harus bagaimana menghadapi semuanya nanti:

Papa, Mama, teman-temanku, dunia luar.

Tapi di dalam diriku, ada sesuatu yang tidak bisa dipadamkan.

Hari ini, aku bersyahadat.

Bukan karena aku sudah sempurna.

Tapi karena aku ingin terus belajar untuk mencintai dengan jujur… termasuk mencintai Tuhan."

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Konfigurasi Hati
456      323     4     
Inspirational
Islamia hidup dalam dunia deret angka—rapi, logis, dan selalu peringkat satu. Namun kehadiran Zaryn, siswa pindahan santai yang justru menyalip semua prestasinya membuat dunia Islamia jungkir balik. Di antara tekanan, cemburu, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan, Islamia belajar bahwa hidup tak bisa diselesaikan hanya dengan logika—karena hati pun punya rumusnya sendiri.
Fragmen Tanpa Titik
42      38     0     
Inspirational
"Kita tidak perlu menjadi masterpiece cukup menjadi fragmen yang bermakna" Shia menganggap dirinya seperti fragmen - tidak utuh dan penuh kekurangan, meski ia berusaha tampak sempurna di mata orang lain. Sebagai anak pertama, perempuan, ia selalu ingin menonjolkan diri bahwa ia baik-baik saja dalam segala kondisi, bahwa ia bisa melakukan segalanya sendiri tanpa bantuan siapa pun, bahwa ia bis...
Broken Home
29      27     0     
True Story
Semuanya kacau sesudah perceraian orang tua. Tak ada cinta, kepedulian dan kasih sayang. Mampukah Fiona, Agnes dan Yohan mejalan hidup tanpa sesosok orang tua?
Batas Sunyi
1818      818     108     
Romance
"Hargai setiap momen bersama orang yang kita sayangi karena mati itu pasti dan kita gak tahu kapan tepatnya. Soalnya menyesal karena terlambat menyadari sesuatu berharga saat sudah enggak ada itu sangat menyakitkan." - Sabda Raka Handoko. "Tidak apa-apa kalau tidak sehebat orang lain dan menjadi manusia biasa-biasa saja. Masih hidup saja sudah sebuah achievement yang perlu dirayakan setiap har...
Let Me be a Star for You During the Day
968      501     16     
Inspirational
Asia Hardjono memiliki rencana hidup yang rapi, yakni berprestasi di kampus dan membahagiakan ibunya. Tetapi semuanya mulai berantakan sejak semester pertama, saat ia harus satu kelompok dengan Aria, si paling santai dan penuh kejutan. Bagi Asia, Aria hanyalah pengganggu ritme dan ambisi. Namun semakin lama mereka bekerjasama, semakin banyak sisi Aria yang tidak bisa ia abaikan. Apalagi setelah A...
Help Me Help You
1693      997     56     
Inspirational
Dua rival akademik di sebuah sekolah menengah atas bergengsi, Aditya dan Vania, berebut beasiswa kampus ternama yang sama. Pasalnya, sekolah hanya dapat memberikan surat rekomendasi kepada satu siswa unggul saja. Kepala Sekolah pun memberikan proyek mustahil bagi Aditya dan Vania: barangsiapa dapat memastikan Bari lulus ujian nasional, dialah yang akan direkomendasikan. Siapa sangka proyek mus...
Fidelia
2069      890     0     
Fantasy
Bukan meditasi, bukan pula puasa tujuh hari tujuh malam. Diperlukan sesuatu yang sederhana tapi langka untuk bisa melihat mereka, yaitu: sebentuk kecil kejujuran. Mereka bertiga adalah seorang bocah botak tanpa mata, sesosok peri yang memegang buku bersampul bulu di tangannya, dan seorang pria dengan terompet. Awalnya Ashira tak tahu mengapa dia harus bertemu dengan mereka. Banyak kesialan menimp...
Senja di Balik Jendela Berembun
18      18     0     
Inspirational
Senja di Balik Jendela Berembun Mentari merayap perlahan di balik awan kelabu, meninggalkan jejak jingga yang memudar di cakrawala. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membasahi kaca jendela kamar yang berembun. Di baliknya, Arya duduk termangu, secangkir teh chamomile di tangannya yang mulai mendingin. Usianya baru dua puluh lima, namun beban di pundaknya terasa seperti telah ...
Warisan Tak Ternilai
478      177     0     
Humor
Seorang wanita masih perawan, berusia seperempat abad yang selalu merasa aneh dengan tangan dan kakinya karena kerap kali memecahkan piring dan gelas di rumah. Saat dia merenung, tiba-tiba teringat bahwa di dalam lingkungan kerja anggota tubuhnya bisa berbuat bijak. Apakah ini sebuah kutukan?
Langkah yang Tak Diizinkan
162      138     0     
Inspirational
Katanya dunia itu luas. Tapi kenapa aku tak pernah diberi izin untuk melangkah? Sena hidup di rumah yang katanya penuh cinta, tapi nyatanya dipenuhi batas. Ia perempuan, kata ibunya, itu alasan cukup untuk dilarang bermimpi terlalu tinggi. Tapi bagaimana kalau mimpinya justru satu-satunya cara agar ia bisa bernapas? Ia tak punya uang. Tak punya restu. Tapi diam-diam, ia melangkah. Dari k...