Loading...
Logo TinLit
Read Story - Langkah Pulang
MENU
About Us  

Langkah Karina menyusuri trotoar terasa ringan tapi hampa, seolah kakinya bergerak sendiri tanpa tahu arah pasti. Setelah pertemuannya dengan Nadine di taman itu, dunia luar tidak banyak berubah—matahari masih perlahan turun, menyinari ujung-ujung gedung dengan semburat jingga yang lembut—tapi di dalam dirinya, sesuatu telah bergeser.

Hari itu, ia memutuskan untuk tidak pulang ke asrama. Atau setidaknya, tidak ke tempat yang bisa ia sebut rumah. Hotel kecil di distrik Bugis itu bukan tempat menetap, hanya pelarian. Ruang netral, bebas dari tuntutan interaksi sosial, tidak ada teman sekamar, tidak ada tatapan khawatir dari Mei Lin. Hanya dirinya dan keheningan.

Ia melangkah masuk ke kamar 409, mengunci pintu, lalu melemparkan tasnya ke sofa kecil di dekat jendela. Tirai masih terbuka. Dari balik kaca, ia bisa melihat lalu lintas yang terus bergerak, klakson samar-samar, suara roda bis yang melindas aspal. Namun, semua itu seperti berasal dari dunia lain. Dunia yang bergerak tanpa dirinya.

Ia duduk di pinggir ranjang, membuka sepatu, dan meraih remote TV—hanya untuk kemudian meletakkannya lagi tanpa menyalakan apa pun. Tangannya mengusap wajah. Ada jejak debu dari taman. Ada kelelahan yang menempel seperti kabut tipis, tak bisa diseka dengan air atau tidur.

Karina berdiri dan menatap cermin besar di sisi lemari pakaian. Wajahnya memantul, tapi tak menyapa. Matanya yang selama ini menjadi kekuatan dalam presentasi dan diskusi kelas, kini tampak redup. Bibirnya tak menunjukkan senyum atau sedih, hanya datar. Ia bertanya dalam hati, Siapa ini?

Dan entah bagaimana, ingatan itu muncul.

Suara Irene menggema di kepala—lembut, namun tegas. "Rina, cepat mandi. Nanti telat ke gereja. Mama udah siapin gaun putih kamu."

Karina kecil berlari-lari ke kamar mandi, gaun putih dengan pita biru muda tergantung di gagang pintu. Ia senang saat itu. Bukan karena ingin ke gereja, tapi karena suka tampil menyanyi. Apalagi kalau bisa duduk di pangkuan mama setelahnya, sambil makan roti sobek isi cokelat yang dibagikan oleh guru sekolah minggu.

Aroma bangku kayu gereja masih terasa dalam memorinya. Perpaduan pernis, debu, dan entah apa lagi—bau khas ruang ibadah yang ia kenali dengan mata tertutup. Ia ingat duduk berjajar dengan anak-anak lain, kaki kecilnya belum sampai lantai, sambil menyanyikan lagu yang entah apa artinya. 

Ia tahu liriknya. Ia tahu nadanya. Tapi ia tidak pernah tahu siapa Tuhannya itu, dan apa maksudnya Ia menyayanginya. Ia hanya ikut menyanyi karena semua orang melakukannya. Karena senyuman gurunya dan pujian ibunya yang membuatnya bangga. Karena setelah lagu selesai, akan ada hadiah kecil berupa stiker bergambar salib emas.

Namun, ketika pulang ke rumah, realitas berubah. Suara piring pecah, suara pintu dibanting, Hartono yang pulang dalam keadaan tidak sadar, Irene yang mengunci diri di kamar. Karina kecil mendekam di balik selimut, mendekap boneka kelincinya sedangkan Juna menutup telinganya dari belakang agar diri kecilnya tak mendengar pertengkaran orang tua mereka.

Saat itu, Karina kecil mulai merasa bahwa Tuhan yang dia dengar di gereja terasa jauh. Bahkan tak pernah disebut di rumah, selain dalam omelan dan umpatan.

 

Ia menggeleng pelan di hadapan cermin. Napasnya pendek-pendek. Ada sesuatu yang menyumbat tenggorokannya. Ia berjalan ke jendela, membuka kaca, membiarkan angin malam masuk. Udara Singapura di malam hari terasa lembap, membawa aroma laut yang jauh. Di bawah sana, lampu-lampu kendaraan menyala seperti aliran bintang yang mengalir tak kenal lelah.

Karina mengambil handphonenya. Ia membuka galeri foto. Beberapa gambar masa kecil masih tersimpan. Ia menemukan satu—dirinya usia sekitar tujuh tahun, mengenakan gaun putih itu, berdiri di depan mimbar kecil, memegang mikrofon terlalu tinggi untuk ukuran tubuhnya. Di balik kamera, Irene tersenyum, merekam.

Ia memperbesar foto itu. Matanya terpaku pada wajah kecilnya yang bersinar. Apa yang ada di kepala anak kecil itu? Ia bertanya dalam hati. Apakah dia benar-benar bahagia? Atau hanya belum sadar kalau semuanya palsu?

Air matanya jatuh tanpa aba-aba. Satu tetes, dua tetes. Ia tidak berteriak. Tidak mengaduh. Hanya diam, membiarkan pipinya basah, dadanya terasa sesak, dan perutnya tertarik seolah sedang kelaparan yang tak bisa diatasi dengan makan.

Dalam kesunyian itu, kalimat Nadine kembali melintas: “Mencari Tuhan itu bukan tentang mengganti label, tapi kembali pulang.”

 

Pulang. Kata itu seperti duri kecil yang tertancap di antara dadanya. Ke mana pulang? Rumah di Jakarta sudah bukan tempat yang bisa disebut rumah. Gereja hanyalah kenangan kabur yang tak meninggalkan rasa aman. Dan sekarang, bahkan asrama NUS pun terasa asing.

Ia berbisik lirih, "Aku nggak tahu ke mana harus pulang..."

Ia melangkah ke meja kecil, membuka laptop, dan mengetik di mesin pencarian: how to pray when you feel lost. Beberapa tautan muncul—artikel, video, tulisan dari berbagai agama dan aliran. Matanya tertuju pada satu kalimat dari sebuah blog: “Sometimes, the first prayer is simply: Help me.”

Tangannya gemetar. Ia membuka dokumen baru dan mulai mengetik: 

"Kepada Tuhan, siapapun Engkau...

Aku tidak tahu siapa Engkau,

dan aku bahkan tidak tahu siapa aku sendiri.

Aku dibesarkan dalam ritual yang aku hafal,

tapi tidak pernah benar-benar kupahami.

Aku menyebut nama-Mu sejak kecil,

tapi rasanya seperti berbicara ke udara.

Aku merasa kosong.

Dan untuk pertama kalinya, aku mengaku...

bahwa aku butuh bantuan."

 

Tangannya berhenti. Ia membaca ulang kalimat-kalimat itu. Tangisnya pecah lagi. Tapi kali ini, ada kelegaan samar. Seperti membuka pintu yang lama tertutup. Udara baru mulai masuk, meski hanya sedikit.

Jam menunjukkan pukul 21.47. Ia masih duduk di depan laptop, cahaya layarnya menyinari wajah yang belum sempat dibersihkan dari air mata. Ia menutup dokumen itu, menyimpannya dengan nama: Doa yang Tak Selesai.

Ia berjalan ke kamar mandi, membasuh wajah, mengganti baju tidur. Lalu ia duduk di atas ranjang, memeluk lutut, menatap ke luar jendela yang masih terbuka.

“Tuhan, kalau Kau benar ada... kenapa Kau begitu asing bagiku?” pertanyaan itu tak keluar sebagai kata, hanya sebagai suara dalam hati yang nyaris tak terdengar.

Dan malam pun berlalu perlahan, dalam diam yang tidak lagi menakutkan, tapi menyisakan ruang. 

Malam itu, tidurnya memang tidak nyenyak, tapi cukup dalam untuk membawanya pada dunia lain—tempat di mana kenangan dan kehampaan bercampur, samar seperti lukisan air yang diguyur hujan.

---

Ia berdiri di lorong sekolah lamanya. Dindingnya putih kusam, dan cahaya dari lampu langit-langit bergoyang pelan seperti lentera. Suara kaki anak-anak berlarian terdengar, tapi ia tidak melihat siapa pun. Tiba-tiba, pintu ruang kelas terbuka. Di dalamnya, ia melihat dirinya sendiri—Karina usia lima belas tahun—duduk di bangku belakang, kepala tertunduk, bibir cemberut.

Di depan kelas, Irene berdiri. Tapi bukan sebagai orang tua. Ia mengenakan seragam guru sekolah minggu—blus putih dan rok biru tua. Suaranya lembut tapi jelas.

“Karina, kamu mau maju baca ayat hari ini?”

Karina remaja itu menggeleng. “Aku malas, Ma. Itu semua cuma omong kosong.”

Irene tersenyum kaku. Matanya kecewa tapi tak berkata apa-apa.

Karina yang bermimpi ingin memanggil dirinya sendiri. Ingin berkata, “Jangan keras kepala. Dengarkan Mama.” Tapi suara itu tak keluar. Tubuhnya beku. Ia hanya bisa menyaksikan.

---

Suasana berubah. Mereka kini berada di ruang tamu rumah lamanya. Ada pohon Natal besar di pojok ruangan, lampunya berkedip-kedip dengan cahaya yang indah. Hartono duduk di sofa, menonton berita tanpa suara. Irene di dapur, membalikkan martabak manis sambil mengelap air mata diam-diam.

Karina remaja duduk di meja makan, menatap layar ponsel. Di layar, ada pesan dari temannya di gereja: [Lo ikut retret nggak besok? Seru lho. Ada api unggun.]

Karina mengetik balasan: “Males. Gue nggak cocok sama orang-orang rohani sok suci itu.”

Kemudian ia melempar ponselnya ke meja, berjalan ke kamar, dan membanting pintu. Karina yang bermimpi masih mengikuti dari kejauhan, merasa sakit melihat adegan itu. Tapi ia tahu—semua itu nyata. Bukan rekayasa mimpi semata. Ia pernah hidup dalam tubuh itu, pernah merasa marah, muak, dan tersesat, tapi terlalu sombong untuk mengakuinya.

Tiba-tiba, ia berada di gereja masa kecilnya. Bangku-bangku kayu panjang berjejer rapi, altar diterangi lilin kecil, dan suara paduan suara anak-anak menggema dari kejauhan. Namun gereja itu kosong. Hanya Karina dewasa yang berdiri di tengah ruangan, mengenakan gaun putih yang sama seperti saat berumur tujuh tahun.

Ia berjalan ke depan, menuju mimbar. Di sana, bukan salib yang tergantung—melainkan cermin besar. Ia mendekat, dan mendapati bayangan dirinya tidak mengenakan gaun putih, tapi hoodie gelap. Wajahnya penuh luka yang tak terlihat di dunia nyata—mata sayu, bibir pucat, lehernya memar.

Dalam mimpi itu, ia menatap cermin dan berkata, “Tuhan, kalau Kau ada... kenapa Kau membiarkan aku sampai sebegini rusaknya?”

Tiba-tiba, dari belakang cermin, terdengar suara langkah kaki. Seorang anak kecil muncul—dirinya sendiri, versi tujuh tahun—berlari ke arahnya, lalu memeluknya erat. Karina dewasa terduduk. Air mata mengalir di pipinya.

Anak kecil itu berkata pelan, “Aku dulu percaya pada Tuhan. Tapi aku sendirian.”

Karina memeluk anak kecil itu lebih erat. “Aku juga. Aku juga sendirian sampai sekarang.”

Lalu anak kecil itu berbisik, “Kalau begitu, kita cari Tuhan sama-sama.”

Cahaya mendadak terang, menyilaukan. Lalu semuanya hilang—gereja, cermin, anak kecil itu—semuanya lenyap dalam kabut.

---

Karina terbangun dengan napas terengah. Tubuhnya berkeringat dingin, meski AC masih menyala. Jam menunjukkan pukul 03.17 dini hari. Ia duduk, memeluk bantal. Ada basah di sudut matanya.

Ia menyentuh dadanya. Rasanya seperti baru keluar dari tempat yang sangat jauh. Tapi entah kenapa, dada yang tadi kosong kini terasa penuh... dengan luka, dengan rindu, dengan harapan samar yang belum bisa ia namai.

Ia meraih laptopnya lagi. Membuka file “Doa yang Tak Selesai”. Menambahkan satu kalimat di bawah tulisan terakhir:

"Kalau Kau mau, izinkan aku bertanya.

Apakah Kau masih mau menjemputku?"

 

Kemudian ia menutup laptop, menatap langit di luar jendela. Langit masih gelap, tapi bayangan cahaya fajar sudah mulai merayap di ufuk timur. 

---

Pagi menjelang. Langit Singapura berubah perlahan dari kelabu ke biru keperakan. Karina masih duduk di ranjang, berselimut setengah, memeluk lututnya seperti anak kecil.

Ada perasaan aneh yang tidak bisa ia deskripsikan. Bukan kebahagiaan. Juga bukan kesedihan. Seperti ada sesuatu yang retak semalam, tapi bukan semata luka. Retakan yang memberi jalan bagi sesuatu yang bisa tumbuh.

Ia membuka jendela sedikit. Udara pagi menyeruak masuk, membawa aroma aspal basah dan embun. Suara kendaraan belum ramai. Hanya sesekali terdengar klakson dari kejauhan. Kota yang biasanya menekan kini terasa diam, seakan memberi ruang.

Di atas meja, secarik kertas robek dari buku hotel tergeletak. Karina mengambil pulpen. Ia menuliskan kalimat pendek:

"Aku bermimpi memeluk diriku sendiri yang masih percaya."

 

Kenapa rasanya lebih nyata daripada hidupku yang sekarang?

Ia menatap tulisan itu lama, lalu menempelkannya di dinding dengan selotip bening. Di sebelahnya, sticky note lain masih tertempel—yang ia tempel tiga hari lalu dengan tangan gemetar:

"Jangan hilang sebelum sempat pulang."

 

Karina menyalakan air untuk mandi. Sambil menunggu, ia berdiri di depan cermin. Rambutnya berantakan, mata sembab. Tapi ia tidak merasa ingin menutupi apapun. Hari ini, tidak ada kelas. Tidak ada janji. Tidak ada rencana. Tapi juga tidak ada rasa ingin kabur.

Setelah mandi, ia mengenakan hoodie biru dongker dan celana kain longgar. Ia tidak ingin kembali ke kampus, tapi juga tidak ingin mengurung diri. Ia membuka Google Maps, mencari “taman terdekat”. Jarinya berhenti di sebuah titik kecil bernama Fort Canning Park. 

"Aku perlu jalan kaki," gumamnya.

Ia keluar dari kamar hotel, dengan membawa tumbler dan buku catatan yang belum sempat ia isi lalu ia masukkan semuanya ke dalam tote bag. Di lobi, resepsionis menyapanya. Karina membalas dengan senyum kecil. Senyum yang tidak palsu, tapi juga belum utuh.

Langkah kakinya ringan tapi pelan. Ia menyusuri trotoar, menyebrangi jembatan, mengikuti arah papan menuju taman. Sepanjang jalan, pikirannya melayang—bukan lagi pada Mahesa, bukan lagi pada luka-luka yang ia sembunyikan dari Mei Lin dan teman-teman. Tapi pada anak kecil dalam mimpinya. Dan pada pertanyaan yang ia tulis dini hari tadi.

"Apakah Tuhan masih mau menjemputku?"

 

Ia tiba di taman ketika matahari mulai meninggi. Udara masih sejuk, daun-daun berembun. Ia duduk di bangku kayu di bawah pohon besar. Tak jauh dari situ, ada pasangan lansia yang sedang jalan pagi, dan anak kecil yang mengejar burung merpati.

Karina membuka buku catatannya. Di halaman pertama, ia menulis:

"Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi semalam aku bermimpi. Dan mimpi itu... membuatku ingin hidup. Bukan karena aku sudah sembuh. Tapi karena aku ingin tahu: kalau aku datang lagi, kalau aku mengetuk pintu itu lagi... apa Kau akan membukakan?"

 

Ia berhenti menulis. Matanya mulai hangat. Tapi kali ini, ia tidak menyeka air mata yang mengalir. Ia membiarkan dirinya merasakan semuanya—rindu, takut, bingung, dan sedikit... sangat sedikit... rasa pulang.

Handphonenya bergetar. Sebuah notifikasi masuk. Bukan dari Mahesa atau sahabat-sahabatnya. Bukan juga dari grup kampus. Tapi dari Nadine. 

[Pagi, Nadila. Aku nggak tahu kamu sudah siap atau belum, tapi aku mau ke masjid siang ini. Kalau kamu cuma mau duduk di taman sekitar situ, ngobrol sebentar, atau diam pun nggak apa-apa. Aku cuma pengen kamu tahu kamu nggak sendirian.]

 

Karina membaca pesan itu tiga kali. Lalu ia membalas:

[Aku nggak tahu aku siap atau nggak. Tapi aku mau jalan ke sana. Mungkin aku cuma mau duduk dan diam. Tapi aku nggak mau sendirian lagi.]

 

Tangan Karina sedikit gemetar saat menekan tombol kirim. Tapi kali ini, itu bukan karena takut. Melainkan karena keberanian yang baru tumbuh. Kecil. Rapuh. Tapi nyata. 

Ia menutup catatannya, berdiri, dan mulai berjalan ke arah yang Nadine sebutkan. Langkahnya masih pelan. Tapi tidak lagi ragu.

Langit cerah sepenuhnya sekarang. Tak ada lagi kabut atau awan berat. Hanya langit biru bersih, dan matahari yang hangat menyentuh bahunya.

Dan Karina berjalan menuju siang itu—dengan hati yang belum pulih, tapi tak lagi tertutup.

---

Karina tiba di pelataran masjid dengan langkah ragu. Bayangan Nadine yang mengenakan gamis panjang berwarna hijau muda tampak dari kejauhan, sedang duduk di bangku taman di samping pagar masjid. Ia tidak membawa apa-apa, hanya sebuah botol minum dan sebuah tas kecil di pangkuannya. Wajahnya menghadap ke langit, seperti sedang menikmati hembusan angin siang.

Begitu Karina mendekat, Nadine menoleh. Tidak ada ekspresi kaget atau penuh tanya—hanya senyum lembut yang menghangatkan.

“Hey,” sapa Nadine pelan, sambil memberi isyarat untuk duduk.

Karina membalas dengan senyuman kecil. Ia duduk, membiarkan keheningan menyelimuti mereka sejenak. Suara adzan Dzuhur menggema dari handphone Nadine. Lembut, tidak memaksa. Seperti latar musik di film yang hanya ingin mengisi ruang tanpa mengambil perhatian.

Mereka duduk diam beberapa menit. Karina memejamkan mata, membiarkan gema adzan menyusup ke rongga dada yang selama ini terasa kosong. Setelah adzan selesai, Nadine berkata tanpa menoleh, “Kadang aku lupa gimana rasanya shalat pertama kali. Tapi aku ingat perasaan waktu itu... kayak akhirnya ketemu seseorang yang udah lama aku cari.”

Karina menelan ludah. Matanya masih menatap ke depan, tapi hatinya sudah retak lagi.

“Aku iri,” katanya pelan. “Aku dulu juga ikut ibadah. Pergi ke gereja setiap Minggu, paduan suara, doa sebelum makan. Tapi semua itu kayak... rutinitas. Kayak nonton pertunjukan. Aku hafal naskahnya, tapi aku nggak pernah tahu siapa yang nulis.”

Nadine tidak menjawab segera. Ia membiarkan kalimat Karina menggantung di antara mereka.

“Aku dulu Kristen,” lanjut Karina. “Tapi sayangnya bukan Kristen yang benar-benar mengenal Tuhan. Kalau aku jujur... aku bahkan nggak tahu siapa Tuhan itu.” 

Nadine menoleh perlahan. Matanya tidak menyelidik, tidak menilai—hanya mendengarkan. “Itu bukan hal yang aneh,” ujarnya. “Banyak orang lahir dalam agama tapi nggak pernah ketemu Tuhan di dalamnya.”

“Aku bahkan takut buat bilang itu,” kata Karina, suara sedikit bergetar. “Takut dibilang sesat. Takut dibilang labil. Tapi yang paling menyakitkan itu... aku ngerasa ditinggal. Sama Tuhan. Sama orang-orang yang bilang cinta Tuhan. Sama diriku sendiri.”

Nadine mengangguk pelan. “Aku ngerti. Aku pernah juga merasa kayak gitu. Ngerasa kalau Tuhan itu cuma sekedar konsep, bukan pribadi. Kayak... nama yang dipakai buat atur hidup orang, tapi nggak benar-benar hadir.”

Karina menoleh, matanya memerah. “Jadi... menurut kamu aku harus masuk Islam?”

Pertanyaan itu muncul tiba-tiba. Terdengar kaku, bahkan bagi dirinya sendiri.

Tapi Nadine hanya tersenyum kecil. “Nggak,” jawabnya singkat. “Aku nggak di sini buat narik kamu ke agamaku. Aku di sini karena aku tahu rasanya sepi banget sampai suara Tuhan pun kayak gema yang nggak balik.”

Karina menunduk. Air matanya menetes, menodai celana kain-nya.

“Aku nggak tahu siapa aku sekarang. Nggak punya gereja, nggak punya kepercayaan, bahkan nggak tahu apa aku masih percaya sama yang di atas sana.”

“Dan itu nggak apa-apa,” kata Nadine pelan. “Kalau kamu masih berani jujur soal itu, berarti kamu belum benar-benar hilang.”

"Aku baru tahu kalau perjalanan mencari siapa Tuhanku yang sebenarnya itu seberat ini." Karina berkata lirih.

Nadine mengelus punggungnya. "It's okay, Dila. Perjalanan kamu masih panjang sampai kamu bisa menemukan siapa Tuhanmu sebenarnya.

"Perjalanannya memang tidak mudah, tapi pasti akan berbuah indah."

Mereka kembali terdiam. Angin bertiup lembut. Suara burung-burung kecil terdengar dari pepohonan di belakang mereka. Dunia tampak berjalan seperti biasa—tapi tidak bagi Karina. Dunia di dalamnya sedang berubah.

“Aku nggak tahu harus mulai dari mana,” gumam Karina.

“Dari mana aja boleh,” jawab Nadine. “Asal kamu datang bukan buat memenuhi standar orang lain, tapi karena kamu rindu. Karena diri kamu sendiri."

Karina mengangguk perlahan. Ia merogoh tas kecilnya, mengambil buku catatan. Ia membuka halaman yang tadi ia tulis di taman, lalu menunjukkan pada Nadine.

"Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi semalam aku bermimpi.

Dan mimpi itu... membuatku ingin hidup.

Karena aku ingin tahu: kalau aku datang lagi, kalau aku mengetuk pintu itu lagi...

apa Tuhan akan membukakan?"

 

Nadine membaca dalam diam. Lalu ia menatap Karina yang kini tertawa dengan tawa yang getir, tapi juga penuh lega. “Aku belum bisa doa. Bahkan aku lupa gimana rasanya berdoa.”

Nadine menggenggam tangan Karina sebentar. Hangat dan mantap. “Kalau kamu belum bisa berdoa, kamu bisa diam. Dan kalau kamu belum bisa bicara sama Tuhan, kamu bisa bilang aja, ‘Tuhan, aku nggak tahu harus bilang apa.’ Itu pun sudah cukup.”

Karina terdiam. Ia membiarkan kata-kata itu meresap. Untuk pertama kalinya, sejak ia tiba di Singapura, sejak ia kabur dari asrama, sejak ia kehilangan arah... ia merasa tidak sepenuhnya sendiri.

Langit siang semakin cerah. Nadine bangkit pelan. “Aku harus masuk buat sholat Dzuhur. Tapi kamu boleh tunggu di sini kalau mau. Atau ikut duduk di halaman belakang, di sana adem.”

Karina mengangguk. “Aku... nggak akan shalat. Tapi aku mau duduk di sana. Diam aja.”

“Diam pun bisa jadi doa, Karina,” kata Nadine sambil tersenyum.

Karina mengikuti Nadine berjalan ke halaman belakang masjid. Di sana ada deretan bangku kayu di bawah pohon, dikelilingi tanaman yang rapi. Tidak ada suara gaduh, hanya langkah lembut para perempuan yang bersiap untuk beribadah. Karina duduk, menarik napas panjang.

Ia membuka catatannya, dan menuliskan:

"Aku belum sembuh. Tapi hari ini aku tahu: ada ruang untuk pulang, bahkan kalau aku lupa jalannya.

Dan mungkin, aku akan mulai dari diam."

 

---

Sore itu, Karina tiba lebih awal di “Ink & Brew,” sebuah kafe kecil di sudut kampus yang punya reputasi sebagai tempat ‘healing’ mahasiswa semester akhir. Lampu gantung bernuansa kuning temaram berayun lembut di atas meja-meja kayu yang ditata rapi. Dindingnya dipenuhi rak buku, kutipan sastra, dan lukisan-lukisan kecil dari seniman lokal.

Karina memilih duduk di sudut dekat jendela, tempat favoritnya dulu sebelum semuanya mulai runtuh. Ia memesan clear matcha, lalu mengeluarkan laptop dari tas dan menatap layar kosong. Di luar, langit berwarna jingga keemasan, menyisakan bayangan pohon-pohon kampus yang bergoyang pelan ditiup angin.

Beberapa menit berlalu dalam diam. Ia tidak membuka dokumen tugas. Hanya menatap layar, lalu kembali memandangi jendela. Tapi tidak ada tekanan. Tidak ada bisikan cemas yang berkata ia harus produktif. Hari ini, duduk di sini saja sudah terasa seperti pencapaian.

Pintu kaca kafe terbuka. Suara lonceng kecil di atasnya berdenting, diikuti suara riuh yang sangat ia kenal.

“Karina!” seru Mei Lin sambil melambai seperti anak kecil melihat balon. Ia mengenakan hoodie warna navy dan celana training. Di belakangnya, Priya tersenyum lebar, membawa segelas kopi yang sudah setengah habis. Lucas menyusul di belakang mereka, rambut acak-acakan dan tangan sibuk menyeimbangkan laptop serta charger yang nyaris terjatuh dari pelukannya.

Mereka bertiga langsung mengelilingi Karina, seolah-olah ia adalah satu-satunya hal penting di ruangan itu.

“Long time no see!” Lucas berseru sambil menarik kursi.

Mei Lin tidak buang waktu dan langsung memeluk Karina sepintas, hangat dan cepat. “You disappeared on us! I was about to text your emergency contact!”

Karina tertawa kecil, tulus. “Sorry. Aku cuma... butuh waktu sendiri.”

“Kami sempat khawatir,” kata Priya dengan suara lebih lembut. “Tapi kami tahu, kadang yang paling dibutuhkan itu bukan keramaian, tapi ruang.”

Karina menatap mereka satu per satu. Di mata mereka tidak ada tuduhan. Tidak ada tuntutan untuk menjelaskan. Hanya kehadiran yang lembut dan sabar.

“Aku belum sepenuhnya baik,” katanya jujur, suaranya agak pelan. “Tapi aku pelan-pelan kembali.”

Lucas mengangkat gelas kopinya. “Untuk teman kita yang pelan-pelan kembali!”

Yang lain mengikutinya, mengangkat gelas masing-masing dan bersulang. Tidak ada suara gaduh, hanya tawa kecil yang membuat ruangan terasa lebih hangat.

Mereka mulai membuka laptop masing-masing, menata buku catatan, dan berdiskusi soal tugas kelompok yang sempat terbengkalai. Mei Lin membuka dokumen Google Docs dengan ekspresi dramatis. “Alright, team. We have three days to save our grades. Time to pretend we’ve been productive all along.”

Priya terkekeh. “Kita nggak harus pura-pura. Kita cuma... mengumpulkan kekuatan di babak awal.”

Karina tersenyum. Ia ikut membuka dokumen itu, melihat paragraf-paragraf yang sempat ia tulis berminggu lalu, sebelum semuanya berubah. Jarinya mulai menyentuh keyboard, ragu, lalu perlahan mengetik ulang satu kalimat.

Di tengah diskusi, kadang mereka menyimpang. Lucas tiba-tiba bertanya, “By the way, kalau kamu bisa teleport ke mana aja sekarang, kamu mau ke mana?”

Karina berpikir sebentar. Dulu jawabannya pasti Tokyo atau Paris. Tapi hari ini, ia berkata, “Ke rumah.”

“Rumah kamu di Jakarta?” tanya Mei Lin.

Karina mengangguk. “Iya... rumah dalam segala bentuknya.”

Priya tersenyum, seolah paham tanpa perlu penjelasan lebih.

Obrolan mengalir ringan. Mereka bergantian memberi ide, membahas referensi, kadang bercanda soal dosen killer atau mahasiswa yang ‘ngilang’ pas presentasi. Karina tidak bicara banyak, tapi ia mendengar. Ia tertawa. Ia menjawab ketika ditanya. Dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia tidak merasa harus berpura-pura kuat.

Di sela-sela diskusi, Karina membuka jendela chat di ponselnya dan melihat grup mereka bertiga: Chaos Trio. Ia belum sempat membuka pesan selama berhari-hari. Ada puluhan pesan dari Mei Lin dan Priya—mulai dari meme konyol sampai, [If you need space, it’s okay. But we’re here.]

Ia mengetik pelan:

[Makasih udah nggak maksa aku cerita waktu itu. Tapi makasih juga karena masih di sini. 💙]

 

Mei Lin yang duduk di sebelahnya membaca notifikasi di ponselnya, lalu memiringkan kepala, tersenyum, dan menggenggam punggung tangan Karina sebentar.

“Selalu ada tempat buat kamu di meja ini,” katanya pelan.

Karina mengangguk. Dadanya menghangat. Ia menatap layar laptopnya yang kini tak lagi kosong. Kata-kata mulai mengalir perlahan—tidak terburu-buru, tidak demi nilai, tapi karena ia tahu ia sedang kembali. Bukan hanya ke kampus, bukan hanya ke lingkaran teman, tapi juga ke dirinya sendiri.

Langit di luar mulai gelap. Lampu-lampu jalan menyala. Musik jazz di kafe kini berganti menjadi petikan gitar akustik yang lebih tenang. Kafe itu tak lagi sekadar tempat minum teh dan kerja kelompok—tapi jadi ruang peralihan, tempat Karina belajar bahwa kehidupan tidak selalu harus sempurna untuk dijalani.

Dan mungkin, dari sinilah ia bisa mulai melangkah lagi. Pelan-pelan, tapi tidak sendiri.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Andai Kita Bicara
674      520     3     
Romance
Revan selalu terlihat tenang, padahal ia tak pernah benar-benar tahu siapa dirinya. Alea selalu terlihat ceria, padahal ia terus melawan luka yang tak kasat mata. Dua jiwa yang sama-sama hilang arah, bertemu dalam keheningan yang tak banyak bicaratetapi cukup untuk saling menyentuh. Ketika luka mulai terbuka dan kenyataan tak bisa lagi disembunyikan, mereka dihadapkan pada satu pilihan: tetap ...
Perjalanan yang Takkan Usai
396      319     1     
Romance
Untuk pertama kalinya Laila pergi mengikuti study tour. Di momen-momen yang menyenangkan itu, Laila sempat bertemu dengan teman masa kecil sekaligus orang yang ia sukai. Perasaan campur aduk tentulah ia rasakan saat menyemai cinta di tengah study tour. Apalagi ini adalah pengalaman pertama ia jatuh cinta pada seseorang. Akankah Laila dapat menyemai cinta dengan baik sembari mencari jati diri ...
Warisan Tak Ternilai
606      245     0     
Humor
Seorang wanita masih perawan, berusia seperempat abad yang selalu merasa aneh dengan tangan dan kakinya karena kerap kali memecahkan piring dan gelas di rumah. Saat dia merenung, tiba-tiba teringat bahwa di dalam lingkungan kerja anggota tubuhnya bisa berbuat bijak. Apakah ini sebuah kutukan?
Langkah yang Tak Diizinkan
195      163     0     
Inspirational
Katanya dunia itu luas. Tapi kenapa aku tak pernah diberi izin untuk melangkah? Sena hidup di rumah yang katanya penuh cinta, tapi nyatanya dipenuhi batas. Ia perempuan, kata ibunya, itu alasan cukup untuk dilarang bermimpi terlalu tinggi. Tapi bagaimana kalau mimpinya justru satu-satunya cara agar ia bisa bernapas? Ia tak punya uang. Tak punya restu. Tapi diam-diam, ia melangkah. Dari k...
Merayakan Apa Adanya
488      351     8     
Inspirational
Raya, si kurus yang pintar menyanyi, merasa lebih nyaman menyembunyikan kelebihannya. Padahal suaranya tak kalah keren dari penyanyi remaja jaman sekarang. Tuntutan demi tuntutan hidup terus mendorong dan memojokannya. Hingga dia berpikir, masih ada waktukah untuk dia merayakan sesuatu? Dengan menyanyi tanpa interupsi, sederhana dan apa adanya.
Fidelia
2157      940     0     
Fantasy
Bukan meditasi, bukan pula puasa tujuh hari tujuh malam. Diperlukan sesuatu yang sederhana tapi langka untuk bisa melihat mereka, yaitu: sebentuk kecil kejujuran. Mereka bertiga adalah seorang bocah botak tanpa mata, sesosok peri yang memegang buku bersampul bulu di tangannya, dan seorang pria dengan terompet. Awalnya Ashira tak tahu mengapa dia harus bertemu dengan mereka. Banyak kesialan menimp...
Langit Tak Selalu Biru
83      70     4     
Inspirational
Biru dan Senja adalah kembar identik yang tidak bisa dibedakan, hanya keluarga yang tahu kalau Biru memiliki tanda lahir seperti awan berwarna kecoklatan di pipi kanannya, sedangkan Senja hanya memiliki tahi lalat kecil di pipi dekat hidung. Suatu ketika Senja meminta Biru untuk menutupi tanda lahirnya dan bertukar posisi menjadi dirinya. Biru tidak tahu kalau permintaan Senja adalah permintaan...
GEANDRA
444      357     1     
Romance
Gean, remaja 17 tahun yang tengah memperjuangkan tiga cinta dalam hidupnya. Cinta sang papa yang hilang karena hadirnya wanita ketiga dalam keluarganya. Cinta seorang anak Kiayi tempatnya mencari jati diri. Dan cinta Ilahi yang selama ini dia cari. Dalam masa perjuangan itu, ia harus mendapat beragam tekanan dan gangguan dari orang-orang yang membencinya. Apakah Gean berhasil mencapai tuj...
Let Me be a Star for You During the Day
1077      583     16     
Inspirational
Asia Hardjono memiliki rencana hidup yang rapi, yakni berprestasi di kampus dan membahagiakan ibunya. Tetapi semuanya mulai berantakan sejak semester pertama, saat ia harus satu kelompok dengan Aria, si paling santai dan penuh kejutan. Bagi Asia, Aria hanyalah pengganggu ritme dan ambisi. Namun semakin lama mereka bekerjasama, semakin banyak sisi Aria yang tidak bisa ia abaikan. Apalagi setelah A...
Senja di Balik Jendela Berembun
25      24     0     
Inspirational
Senja di Balik Jendela Berembun Mentari merayap perlahan di balik awan kelabu, meninggalkan jejak jingga yang memudar di cakrawala. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membasahi kaca jendela kamar yang berembun. Di baliknya, Arya duduk termangu, secangkir teh chamomile di tangannya yang mulai mendingin. Usianya baru dua puluh lima, namun beban di pundaknya terasa seperti telah ...