Loading...
Logo TinLit
Read Story - Langkah Pulang
MENU
About Us  

Langit sore Singapura menggantung mendung tipis, seolah turut menyerap berat hati Karina. Ia melangkah keluar dari gedung konseling NUS dengan langkah gontai, seperti tubuhnya baru saja dikosongkan dari apa pun yang mampu menyangga. Kata-kata konselor tadi masih berputar di kepalanya—tentang trauma, tentang kehilangan arah, tentang validasi emosi—tapi semua itu terasa seperti gema yang tak bisa ia sentuh, hanya terdengar namun tak benar-benar dipahami.

Ia tidak ingin kembali ke asrama. Tidak juga ke kelas. Dunia terasa terlalu bising, terlalu terang, terlalu menuntut. Maka kakinya mengarah ke sebuah taman kecil di sudut kampus—tempat yang pernah dilaluinya sekilas, tapi belum pernah ia datangi benar-benar.

Taman itu sepi. Sebuah bangku kayu menghadap kolam kecil dengan air yang tenang. Ia duduk, menyandarkan tubuh, membiarkan matanya kosong menatap permukaan air. Wajahnya datar, tapi di balik itu ada sesuatu yang remuk, tak bernama.

Beberapa menit berlalu dalam kesunyian. Lalu, dari sudut matanya, Karina melihat seseorang mendekat. Seorang perempuan muda, mengenakan jilbab berwarna putih dan gamis panjang menjuntai berwarna pink. Ia membawa buku dan sebotol air mineral. Langkahnya tenang, tidak tergesa, tidak ragu. Ia duduk di bangku yang sama, agak di ujung, menyisakan jarak sopan.

Karina sempat menoleh, lalu kembali memandang air. Ia berharap perempuan itu tidak mengajaknya bicara. Ia tidak ingin ditanya “kamu kenapa?” atau “boleh bantu apa?”—ia tidak ingin menjelaskan lagi apa pun.

Tapi justru karena itu, sosok itu berbeda. Ia tidak bertanya. Tidak memulai obrolan. Ia hanya membuka bukunya dan mulai membaca dalam diam.

Beberapa saat kemudian, dengan suara pelan, ia menoleh ke arah Karina dan berkata, “Namaku Nadine. Aku kuliah di SMU.”

Karina menoleh sedikit. SMU. Bukan dari kampus ini.

Karina mengangguk-angguk dan menjawab dengan suara pelan. "Namaku Nadila, Karina Nadila Ernesta." 

Nadine tersenyum tipis. "Nama kita mirip, ya."

Karina tersenyum canggung. "Iya ternyata." 

 “Kamu sering ke taman ini?”

“Baru pertama kali meski taman ini deket sama kampusku,” jawab Karina jujur.

“Aku suka datang ke sini kalau lagi jatuh. Dan Alhamdulillahnya setelah itu aku merasa lebih tenang karena suasana di sini." Setelah itu Nadine kembali menatap bukunya. Tidak ada pertanyaan lanjutan. Tidak ada rasa ingin tahu berlebihan. Hanya keberadaan yang tak menuntut.

Karina melirik ke arahnya. Ada sesuatu yang berbeda dari perempuan ini. Cara duduknya yang santai tapi anggun. Caranya menunduk saat membaca. Ekspresi wajahnya yang tenang, tidak dibuat-buat. Seolah dia tahu Karina sedang terluka, tapi tidak merasa harus menjadi penyelamatnya.

Itu hal yang jarang Karina rasakan belakangan ini. Orang-orang di sekitarnya—bahkan yang tulus sekalipun—selalu ingin tahu, ingin memperbaiki, ingin mengangkatnya dari lubang. Tapi Nadine... hanya duduk di situ. Menjadi ada, tanpa mengganggu.

Karina menarik napas panjang. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, ia merasa tidak perlu memakai topeng.

Mereka duduk bersebelahan dalam hening, dengan suara daun berguguran dan air kolam yang pelan mengalun. Tidak ada percakapan panjang. Tapi ada kedamaian aneh yang mengendap di dada Karina.

Dan untuk hari itu,

itu sudah lebih dari cukup.

---

Langit sudah mulai gelap ketika Karina melangkah kembali ke asrama. Udara malam Singapura terasa lembap, dan lampu-lampu taman mulai menyala satu per satu. Di sepanjang jalan setapak, mahasiswa berlalu-lalang—sebagian baru pulang kuliah, sebagian lainnya mungkin sekadar mencari makan malam atau menepi dari tekanan akademik.

Tapi langkah Karina pelan. Ada sesuatu yang tertinggal di taman tadi. Bukan dompet atau handphone, tapi rasa—tenang, aneh, dan sulit dijelaskan. Nadine tak bicara banyak, bahkan hampir tak berbicara sama sekali. Tapi kehadirannya… seolah menyelimuti Karina seperti selimut tipis saat hujan turun, tidak menghangatkan sepenuhnya, tapi cukup untuk membuat tubuh bertahan dari dingin.

‘Namaku Nadine. Aku kuliah di SMU.’

Karina mengulang kalimat itu dalam benaknya berkali-kali. Sederhana. Tapi terasa… akrab. Bukan karena isinya, tapi karena caranya diucapkan—datar tapi tidak dingin. Nadine tidak ingin tahu tentang masa lalu Karina, tidak bertanya soal kuliah, asal-usul, atau kenapa matanya sembab. Ia hanya hadir, lalu diam. Dan anehnya, Karina merasa lebih aman di situ dibanding ruang konseling berdinding pastel dengan sofa empuk dan tisu kotak yang selalu habis.

Ketika Karina membuka pintu kamarnya, lampu sudah menyala. Mei Lin duduk di ranjangnya sambil memegang iPad, masih mengenakan hoodie kuning lemon dan celana pendek kampus. Rambutnya dikuncir asal, dan ada sisa sisa mie instan di wadah styrofoam di meja.

Mei Lin menoleh cepat, lalu berdiri. “Karina! Astaga, kamu ke mana aja?”

Karina menutup pintu perlahan. “Keluar bentar.”

“Bentar dari jam tiga sore sampai sekarang?” Mei Lin mengangkat alis. Suaranya tidak marah. Lebih ke cemas. “Aku udah kirim pesan dua kali dan nelpon kamu lebih dari lima kali, kamu nggak baca dan kamu nggak angkat."

Karina menaruh tasnya di kursi, lalu duduk di ranjang. Ia menyeringai tanpa rasa bersalah. “Aku ada sesi konseling tadi… terus jalan sebentar di taman deket sana. Dan... Kamu tahu sendirilah, handphone aku kan di silent." 

Ekspresi Mei Lin melunak. Ia duduk kembali di ranjangnya, tapi tubuhnya condong ke depan, siap mendengar. “Konselingnya gimana? Ada kemajuan dari Minggu kemarin, atau masih sama." 

Karina mengangkat bahu. “Nggak tahu. Kayak... masih banyak yang ngambang.”

Mei Lin mengangguk pelan. “It’s okay. Emang gitu prosesnya. Yang penting kamu nggak sendiri.”

Karina tersenyum tipis.

“Makasih, Lin.” 

Mereka terdiam sebentar. Di luar, suara kendaraan sesekali melintas, dan dari dapur bersama terdengar bunyi panci diketuk.

Lalu Mei Lin mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat. “Tapi aku senang kamu balik ke kamar malam ini. Kamu sempat hilang tiga hari waktu itu. Aku beneran khawatir. Lucas sampai nanya juga. Dia pikir kamu udah balik Jakarta.”

Karina mengusap wajahnya pelan. “Aku cuma... butuh ruang. Nggak tahu harus ngomong apa.”

“Ngerti,” kata Mei Lin lembut. “Tapi janji ya, kalau kamu butuh ngilang lagi, kabarin aku. At least satu kalimat aja. Biar aku tenang.”

Karina mengangguk. “Oke. Janji.”

Mei Lin tersenyum puas, lalu berdiri. “Mau teh hangat? Aku punya chamomile.”

“Boleh,” jawab Karina. 

Sambil menunggu Mei Lin menyiapkan teh untuk mereka, Karina membuka jendela kecil di dekat tempat tidurnya. Angin malam masuk perlahan, membawa aroma hujan yang menggantung. Dan entah kenapa, wajah Nadine kembali terbayang. Senyumnya. Diamnya. Cara ia menatap tanpa mendesak. Karina bahkan tidak tahu apakah akan bertemu dengannya lagi. Tapi sesuatu dalam dirinya berharap… iya.

Saat Mei Lin kembali membawa dua mug teh, Karina berkata, “Tadi... setelah konseling, aku ketemu seseorang.”

“Oh?” Mei Lin meletakkan teh di meja kecil di antara tempat tidur mereka. “Siapa? Dia cowok?”

Karina menggeleng. “Namanya Nadine. Dia mahasiswa S2 di SMU.”

Mei Lin duduk, mengambil mug-nya. “Teman lama?”

“Enggak. Baru ketemu tadi. Di taman kecil dekat gedung konseling.”

Mei Lin menatapnya penuh perhatian. “Dan kamu ngobrol?”

“Sedikit. Tapi lebih banyak diam bareng. Dan itu... entah kenapa, rasanya bikin tenang.”

Mei Lin tersenyum. “Kadang kita cuma butuh seseorang yang duduk tanpa menuntut kita jadi versi lebih baik dari diri kita.”

Karina mengangguk, memandangi uap dari cangkirnya. “Dia Islam dan dia berhijab, Lin.”

“Oh.”

“Dan... aku malah merasa dia yang paling nggak ngehakimi.”

Mei Lin tertawa kecil. “Stereotip runtuh ya.”

Karina tersenyum. “Iya.” 

Mereka meminum teh masing-masing dalam diam. Kehangatan minuman dan kehadiran satu sama lain adalah kemewahan sederhana yang Karina rindukan. Dunia tidak terlalu bising malam itu. Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, ia tidak ingin tidur untuk lari dari hidup. Ia ingin tidur... agar esok bisa melihat lagi apakah akan bertemu Nadine.

Atau setidaknya, apakah damai yang sama bisa ia temukan lagi.

---

Dua hari berlalu sejak pertemuan pertama itu, tapi bayangan Nadine tetap tinggal di benak Karina. Bukan hanya wajahnya yang lembut dan senyum yang tak menuntut, tapi juga caranya hadir—diam-diam tapi utuh. Seolah kehadiran tak selalu harus dibuktikan dengan kata-kata.

Karina kembali ke taman itu di sore hari, sekitar waktu yang sama. Bukan karena berharap terlalu besar, tapi karena ada sesuatu yang tertinggal di sana. Angin yang lembut, kolam yang tenang, dan kemungkinan bertemu seseorang yang tak akan menghakimi.

Hari itu, taman kosong. Ia duduk sendirian di bangku yang sama, menatap permukaan air. Kali ini, ia membawa buku, meski tak benar-benar membacanya. Sesekali ia melirik ke kanan, ke jalur pejalan kaki, berharap sosok itu muncul.

Tapi tidak.

Hari berikutnya ia datang lagi. Kali ini lebih awal. Masih sama—bangku kosong, kolam diam, dan angin yang membawa wangi rumput basah. 

Hingga hari ketiga, ketika ia hampir menyerah, suara lembut itu datang dari belakang.

“Kamu suka taman ini juga, ya?”

Karina menoleh cepat. Nadine berdiri di sana, mengenakan blouse biru pucat dan rok polos. Di tangannya, botol air dan buku yang sama seperti sebelumnya.

Karina tersenyum kecil. “Iya… kayaknya mulai suka.”

Nadine duduk di tempat yang sama seperti dulu, memberi jarak tapi tak terasa jauh. “Aku sering ke sini sejak tahun pertama. Tempat paling sunyi di antara kampus-kampus sibuk.”

Mereka terdiam sejenak.

Karina memberanikan diri. “Kamu baca apa?”

Nadine menunjukkan sampul bukunya. “The Prophet” karya Khalil Gibran.

“Oh,” kata Karina. “Aku pernah denger, tapi belum pernah baca.”

“Kalimat-kalimatnya... lembut tapi dalam,” ujar Nadine sambil menatap sampulnya. “Kadang kata-kata yang tepat bisa jadi pintu.”

Karina mengangguk, lalu berkata pelan, “Tapi kadang aku merasa... bahkan kata-katapun nggak cukup.” 

Nadine tidak menimpali langsung. Ia menutup bukunya perlahan, lalu berkata, “Kamu pernah merasa... kosong, tapi justru makin takut diisi?”

Karina menoleh, agak terkejut.

“Kadang aku begitu,” lanjut Nadine. “Seperti ada ruang kosong dalam diri, tapi waktu ada yang mau masuk, rasanya malah pengen kabur.”

Karina mengangguk, perlahan. “Aku merasa seperti itu. Beberapa bulan ini.”

“Aku nggak tahu apa yang kamu alami,” kata Nadine lembut. “Tapi aku percaya... kadang, yang kita butuhkan bukan jawaban, tapi tempat aman untuk bertanya.”

Karina menunduk. Dadanya terasa hangat—bukan dari matahari, tapi dari pengertian yang tak dibuat-buat.

Beberapa menit kemudian, Nadine berkata, “Kalau kamu mau, minggu ini aku dan teman-teman mau kumpul kecil. Nggak ramai. Cuma makan bareng, terus ngobrolin satu dua hal soal hidup. Nggak wajib, nggak formal. Kamu boleh datang.”

Karina terdiam sebentar. “Itu… semacam kajian?”

Nadine tersenyum, tapi tidak memaksa. “Semacam itu. Tapi nggak berat. Nggak seperti ceramah di TV. Kadang kita cuma bahas satu ayat, atau bahkan cuma saling dengerin.”

Karina menimbang. Lalu berkata jujur, “Tapi aku bukan Muslim.” 

“Dan itu nggak masalah sama sekali,” kata Nadine cepat. “Nggak ada yang akan tanya-tanya. Kamu bisa diam aja, atau tanya, atau cuma dengar. Kami cuma… ya, manusia juga.” 

Karina tertawa kecil. “Kedengarannya... aman.”

Nadine berdiri. “Kalau kamu mau, aku bisa kirim tempat dan waktu. Nggak harus jawab sekarang.”

Karina mengangguk. “Oke.”

Sebelum beranjak, Nadine menatapnya sebentar. “Hidup nggak harus dijalani sendiri, Nadila. Ada kalanya kita harus berani buat meminta bantuan."

Lalu ia pergi. Dan sore itu, taman terasa tak sepi lagi.

---

Tiga hari setelah pertemuan mereka yang kesekian di taman, sebuah pesan dari Nadine masuk ke handphone Karina.

[Malam ini ada kumpul kecil. Di flat temanku di Buona Vista. Baju bebas aja. Santai. Bawa dirimu sendiri.]

 

Pesan itu singkat, khas Nadine—selalu ringan tapi bermakna. Karina menatapnya lama sebelum akhirnya mengetik, [Oke. Aku datang.]

Sore itu, Karina berdiri di depan cermin cukup lama. Ia mengenakan kaus panjang berwarna biru tua dan rok panjang di atas mata kaki. Rambutnya ia biarkan tergerai, meskipun sempat ragu apakah ia harus mengikatnya. Tidak ada aturan tertulis, tapi ia merasa harus tetap sopan. Ia bukan lagi Karina yang beberapa minggu lalu tak ingin melihat siapa pun. Tapi ia juga belum tahu siapa dirinya yang sekarang.

Perjalanan MRT dari Kent Ridge ke Buona Vista hanya sekitar dua puluh menit. Tapi waktu terasa melambat. Karina duduk diam dalam kereta, menatap refleksinya di jendela. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Ini bukan kelas, bukan pesta, bukan pula terapi. Ia akan mendatangi tempat yang asing, bertemu orang-orang baru, dan membuka diri pada sesuatu yang belum pernah ia sentuh sebelumnya—tapi anehnya, ia tidak ingin mundur.

Begitu tiba di flat berlantai dua itu, Nadine menyambutnya dengan senyum lebar di depan pintu.

“Pas banget, yang lain baru mulai kumpul. Masuk aja,” ujarnya sambil memberi isyarat lembut.

Karina melepas sepatunya dan melangkah masuk ke ruang tamu yang sederhana tapi hangat. Karpet tipis digelar di lantai, dan beberapa orang duduk melingkar di atasnya. Ada sekitar tujuh orang—tiga perempuan berhijab, satu tanpa, dan tiga laki-laki dengan pakaian kasual. Tak ada nuansa yang mengintimidasi. Hanya wajah-wajah ramah yang menoleh dan menyambut Karina dengan senyum.

“Eh, ini Nadila ya?” tanya salah satu perempuan yang mengenakan kerudung krem dan gamis longgar. “Aku Iffah.”

Karina menjabat tangan perempuan itu dan mengangguk kecil. “Iya, hai.”

“Duduk aja di sini,” kata Nadine, menepuk tempat di sebelahnya.

Di meja kecil di sudut ruangan ada makanan ringan: potongan buah, biskuit, dan beberapa minuman kotak. Seseorang sedang menuangkan teh panas ke cangkir-cangkir kecil.

Tak lama, seorang laki-laki berwajah lembut membuka pertemuan itu dengan membaca satu ayat dari Al-Qur’an. Suaranya tenang, nadanya penuh kehati-hatian seolah ia tahu di ruangan itu ada jiwa-jiwa yang sedang rapuh dan mencari pijakan.

 “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS Al-Insyirah: 6)

 

Setelahnya, Nadine mengangkat wajah dan bertanya pada mereka semua, “Apa yang kalian rasakan saat mendengar ayat ini?”

Yang terjadi selanjutnya bukan ceramah. Bukan pula diskusi kaku.

Satu per satu mulai angkat bicara. 

"Beberapa tahun kemarin, aku sempat kehilangan pekerjaan karena di PHK oleh perusahaan tempatku bekerja di masa-masa Covid-19. Dan ayat ini menguatkan aku ditengah-tengah masa sulit itu." Ujar seorang laki-laki di seberang Karina. 

Lalu Iffah mengangkat tangannya. "Untuk aku pribadi, dulu ibuku meninggal di masa-masa Covid-19 juga. Sebelum itu, aku merasa udah gak ada harapan lagi kalau ibuku akan sembuh. Tapi setidaknya, lewat ayat ini aku belajar untuk lebih banyak bersabar di saat Allah menguji. Bahkan akhirnya setelah ibuku meninggal, aku mencoba untuk mendalami ayat ini bersama guruku dari Mesir." 

Di lingkaran ini, tak ada yang merasa perlu menggurui. Tak ada suara yang meninggi. Hanya percakapan—tenang, jujur, dan mengalir.

Karina mendengarkan. Ia tidak bicara malam itu, tapi pikirannya penuh. Setiap kalimat yang melintas terasa seperti mengetuk sesuatu dalam dirinya yang sudah lama tertutup. Bukan jawaban yang ia temukan malam itu, tapi semacam kehadiran. Suasana yang tidak menghakimi, tidak menuntut. Hanya ruang—ruang untuk menjadi, dan mungkin, ruang untuk bertumbuh.

---

Setelah sesi diskusi ringan itu selesai, suasana menjadi lebih santai. Sebagian bergurau, yang lain mencicipi makanan ringan. Beberapa memutar lagu pelan dari speaker kecil di sudut ruangan—instrumental gitar yang lembut, bukan lagu religi, bukan pula lagu pop. Hanya suara-suara yang membungkus malam dengan kenyamanan.

Nadine menghampiri Karina yang duduk sambil menggenggam cangkir teh hangat.

“Gimana?” tanyanya perlahan.

Karina mengangkat bahu. “Aku nggak ngerti semua… tapi aku suka suasananya.”

Nadine tersenyum. “Itu udah lebih dari cukup, Dila."

Hening sejenak. Lalu Karina menatapnya.

“Mereka semua kayak… tenang banget, ya? Bukan karena hidup mereka gampang, tapi… mereka kayak punya jangkar.”

“Karena mereka percaya ada yang lebih besar dari segalanya. Yang tetap ada, bahkan saat kita nggak kuat berdiri,” jawab Nadine.

Karina menggigit bibir bawahnya pelan. Lalu bertanya, “Aku boleh datang lagi minggu depan?”

Nadine menepuk punggung tangannya lembut. “Sure. Kapan pun kamu siap." Nadine tersenyum hangat. "Kita selalu terbuka bahkan di luar pertemuan ini.”

---

Malam itu, saat kembali ke asrama, Karina tak langsung naik ke kamar. Ia duduk dulu di bangku kecil dekat taman kecil kampus. Udara malam lembap, tapi tak mengganggu. Ia membuka buku catatannya:

"Mungkin aku tidak sedang mencari jawaban. Tapi sedang belajar mendengarkan keheningan yang selama ini ku tolak."

 

Lalu, hampir tanpa sadar, ia membuka aplikasi Al-Qur’an terjemahan yang sempat diunduhnya saat dalam perjalanan pulang. Ia membuka ke surat yang tadi dibacakan, Al-Insyirah. 

Ia membaca artinya dengan suara lirih:

"Bukankah Kami telah melapangkan dadamu, (Muhammad)?

Dan Kami pun telah menurunkan beban darimu.

Yang memberatkan punggungmu?

Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan." 

(QS. Al-Insyirah: 1-5)

 

Tanpa ia bisa tahan lagi, air matanya menetes diam-diam.

Karina tidak tahu apakah suatu saat nanti akhirnya ia akan masuk Islam dan menjadi seorang Muslim. Ia tidak tahu apakah sebenarnya ia sedang dalam perjalanan menuju cahaya yang ia cari selama ini, atau hanya sedang menambal luka dengan hal baru. Tapi satu hal yang ia tahu pasti: untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa... tidak sendirian. 

 

---

Di hari-hari berikutnya, ia mulai rutin bertemu Nadine. Kadang hanya untuk makan siang cepat di kafe kecil di dekat kampus SMU, kadang sekadar berjalan-jalan di taman Botanic Gardens. Tak selalu bicara soal agama. Kadang bicara soal buku, musik, kenangan masa kecil, dan hal-hal sepele lain yang justru membuat hati terasa ringan.

Semua sahabat Karina terutama Mei Lin, yang mulai melihat Karina sering keluar dan pulang dengan wajah lebih hidup, sesekali menggoda, “Kamu ada teman baru ya?”

Karina hanya tersenyum dan menjawab, “Ada. Namanya Nadine. Dia baik banget.”

"Baguslah, Na. Setidaknya kamu harus bisa cari sesuatu yang bisa bikin diri kamu tenang lebih dari ketika kamu konseling." Timpal Priya lembut. 

Lucas yang duduk di seberang mereka bertiga hanya mengangguk setuju sembari menyeruput Americano. 

Mereka semua tidak banyak bertanya setelah itu. Tapi ketika mereka melihat perubahan itu, dan mereka semakin bersyukur dalam diam. 

 

---

Suatu siang, ketika Nadine dan Karina duduk di bawah pohon di taman kampus, Karina bertanya pelan, “Kalau seseorang masuk Islam… apa dia harus tahu semua dulu? Maksudku… apa harus yakin seratus persen sebelum melangkah?”

Nadine terdiam sejenak. Lalu menjawab, “Islam itu bukan tentang tahu semua, tapi tentang berserah. Bahkan yang lahir sebagai Muslim pun nggak semua paham, Kar. Tapi iman itu kadang muncul bukan karena mengerti, tapi karena hati yang tiba-tiba percaya.”

Karina menunduk. Matanya berkaca. “Aku nggak tahu kenapa... tapi setiap kali aku dengar ayat, atau lihat kamu shalat... ada sesuatu di sini yang... gemetar. Tapi hangat.”

Nadine hanya tersenyum. Tak mendesak. Tak mendikte.

Dan Karina tahu, perjalanan itu mungkin masih panjang. Tapi ia tidak lagi takut. Karena kini, untuk pertama kali dalam hidup, ia berjalan bukan sendirian.

 

---

Setelah beberapa kali pertemuan di flat Buona Vista itu, Karina mulai merasa ada sesuatu yang tumbuh dalam dirinya. Bukan semacam keyakinan utuh—bukan pula harapan membuncah yang meledak-ledak. Tapi seperti aliran air kecil yang menyelinap tenang di antara bebatuan luka. Ia belum bisa menjelaskan, tapi ia tahu, sesuatu sedang bergerak dalam dirinya.

Sore itu, mereka duduk lagi di taman kecil dekat SMU. Nadine membawa dua roti lapis dari kantin. Karina membawa dua botol air mineral dari minimarket. Langit mendung tapi tak hujan, dan mereka memilih bangku yang setengah teduh.

Setelah beberapa obrolan ringan—tentang kelas yang melelahkan dan mahasiswa yang suka telat submit tugas—Karina terdiam. Ia menatap rumput, lalu beralih menatap tangan Nadine yang sedang membuka bekalnya.

“Nadine… boleh aku nanya sesuatu?”

Nadine menoleh, senyumnya lembut seperti biasa. “Boleh. Tanya apa aja.”

Karina menelan ludah. “Kenapa kamu bisa percaya pada Tuhanmu dan yakin bahwa Tuhanmu itu ada?”

Nadine tidak kaget. Ia meletakkan kotak makan di pangkuannya, lalu mengusap tangannya dengan tisu.

“Waktu aku SMA,” katanya perlahan, “Aku kehilangan ayah karena kecelakaan. Dan setelah itu, hidupku kayak runtuh. Semua orang bilang, ‘Sabar ya, ini ujian dari Allah. Kamu pasti kuat’ Tapi jujur, waktu itu aku marah. Banget. Aku ngerasa Allah nggak adil. Kalau Dia memang ada, kenapa Dia nyakitin kita?”

Karina mengangguk pelan. “Aku ngerti perasaan itu.”

Nadine melanjutkan, “Tapi suatu malam, aku nggak tahan. Aku udah nangis berhari-hari. Aku capek banget. Terus, aku sujud. Bukan karena aku yakin waktu itu. Tapi karena aku nggak punya tempat lain buat lari. Dan anehnya… justru di saat aku paling kosong, aku ngerasa... ada yang dengerin.”

Ia tersenyum kecil, mengenang.

“Waktu itu bukan doa yang panjang. Aku cuma bilang: ‘Kalau Engkau bener ada, tolong aku.’ Dan sejak malam itu, aku mulai bangun pelan-pelan. Bukan karena hidupku langsung enak. Tapi karena aku nggak ngerasa sendirian lagi.”

Karina diam lama. Kata-kata Nadine seperti meresap perlahan, tak langsung menjawab tapi membekas. Ia memandangi langit yang mulai redup.

“Kadang aku iri sama kamu,” gumamnya. “Kamu kelihatan tenang. Kayak tahu arah hidup kamu ke mana."

Nadine tertawa kecil. “Tenang itu bukan karena hidupku tanpa badai, Dila. Tapi karena aku percaya ada pelabuhan.”

Karina mengangguk pelan. Lalu kembali menatap rumput. Kali ini dengan sorot yang lain. 

---

Di malam hari, Karina membuka aplikasi Al-Qur’an terjemahan yang masih tersimpan di ponselnya. Ia ingat Nadine pernah berkata, “Kalau bingung mulai dari mana, coba baca surat Maryam. Tentang seorang perempuan. Mungkin kamu bisa merasa terhubung.”

Ia mengetuk layar.

“Dan ceritakanlah (Muhammad) kisah Maryam di dalam Al-Qur’an…”

 

Karina membaca pelan, ayat demi ayat.

Tentang Maryam yang menjauh dari keluarganya. Tentang rasa takut, kesendirian, dan keterkejutan saat malaikat menyampaikan berita kehamilan. Tentang bagaimana ia harus menghadapi dunia—seorang diri, dipandang hina, dijauhi. Tapi di tengah semua itu, Tuhan tidak meninggalkannya. Ada pohon kurma yang diguncang, air yang mengalir, dan suara lembut yang menenangkannya: “Jangan bersedih.”

Air mata Karina jatuh tanpa ia sadari.

Bukan karena ia mengerti semua makna ayat. Tapi karena ada bagian dari dirinya yang merasa dilihat. Dirinya yang takut, yang hancur, yang pernah merasa dikhianati dan kotor—seakan diberi ruang untuk bernapas kembali.

Malam itu, Karina mengirim pesan pada Nadine.

“Aku baca surat Maryam. Aku nangis. Aku ngerasa kayak Maryam itu... aku. Tapi dia nggak sendiri. Allah selalu ada sama dia.”

 

Nadine membalas hanya dengan satu kalimat.

“Dan Allah juga ada bersamamu, Nadila.”

 

--- 

Beberapa hari kemudian, Karina menelepon Mahesa. Suaranya terdengar pelan dan agak ragu, tapi ia ingin bicara. Mahesa, seperti biasa, menyimak dengan sabar.

“Aku lagi deket sama temen baru,” kata Karina.

“Temen cowok atau cewek?” tanya Mahesa, setengah bercanda.

“Cewek. Namanya Nadine. Muslimah. Tapi beda... dia nggak kayak yang dulu-dulu.”

“Hm? Gimana maksudnya?” Mahesa tidak langsung paham.

“Dia nggak maksa, nggak ceramahin aku. Tapi... tenang banget. Dan... entah kenapa, aku mulai tertarik. Sama Islam.”

Mahesa terdiam cukup lama sebelum berkata, “Lo tahu kalau gue nggak akan ngehakimi apa pun pilihan Lo, kan?”

“Iya. Makanya aku cerita ke kakak dulu.”

“Kalau Lo memang merasa lebih damai... terusin. Cari tahu. Tapi tetap pelan-pelan. Jangan karena euforia. Tapi karena Lo benar-benar merasa dipanggil.”

Karina mengangguk pelan meski Mahesa tak bisa melihat. “Iya. Makasih ya, kak.”

“Selalu, Na.”

 

---

Hari-hari Karina berubah sedikit demi sedikit. Ia masih kuliah, masih bercengkerama dengan teman-temannya seperti Lucas, Priya dan Mei Lin, tapi kini ada waktu-waktu khusus yang ia luangkan untuk membaca. Bukan textbook teknik sipil atau laporan riset, tapi terjemahan Al-Qur’an, tulisan-tulisan reflektif dari penulis Muslimah kontemporer, dan rekaman kajian online yang Nadine kirim pelan-pelan. Tidak semua ia pahami. Tidak semua langsung terasa masuk akal. Tapi ada bagian dari dirinya yang kini mau diam dan mendengar.

Suatu sore, ia kembali ke taman di mana mereka pertama kali bertemu. Nadine sudah menunggu, duduk dengan sebuah buku dan dua minuman kotak di tangannya.

Karina duduk di sampingnya dan bertanya tanpa basa-basi.

“Nadine. Kalau aku… kalau aku mulai serius memikirkan Islam… apa aku harus ganti semuanya? Pakaian, cara bicara, teman-teman, semuanya?”

Nadine menoleh, senyumnya tenang.

“Islam itu bukan perubahan instan. Bukan ganti baju terus langsung jadi suci. Tapi tentang membangun hubungan. Sama Tuhan, sama diri sendiri. Yang lain akan mengikuti.”

Karina diam sejenak. Lalu berkata, “Aku takut... kalau ini cuma fase. Atau cuma sekedar pelarian aja."

“Itu wajar. Tapi pertanyaan itu justru menunjukkan kamu nggak main-main. Kalau memang cuma pelarian, kamu nggak akan sejujur ini.”

Karina menarik napas panjang. “Aku nggak tahu kenapa... tapi aku ngerasa... aku udah terlalu jauh untuk mundur. Tapi belum cukup siap untuk melangkah.”

Nadine menggenggam tangannya. Hangat. “Maka jangan mundur. Tapi juga jangan buru-buru. Kita jalan bareng, ya?”

Karina mengangguk. Matanya berkaca.

“Boleh aku pinjam mukena? Aku pengen coba... sujud. Bukan karena tahu, tapi... karena pengen ngerasain yang kamu rasain dulu.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Batas Sunyi
1684      753     106     
Romance
"Hargai setiap momen bersama orang yang kita sayangi karena mati itu pasti dan kita gak tahu kapan tepatnya. Soalnya menyesal karena terlambat menyadari sesuatu berharga saat sudah enggak ada itu sangat menyakitkan." - Sabda Raka Handoko. "Tidak apa-apa kalau tidak sehebat orang lain dan menjadi manusia biasa-biasa saja. Masih hidup saja sudah sebuah achievement yang perlu dirayakan setiap har...
Kelana
563      426     0     
Romance
Hidup adalah perjalanan tanpa peta yang pasti, di mana setiap langkah membawa kita menuju tujuan yang tak terduga. Novel ini tidak hanya menjadi cerita tentang perjalanan, tetapi juga pengingat bahwa terbang menuju sesuatu yang kita yakini membutuhkan keberanian dengan meninggalkan zona nyaman, menerima ketidaksempurnaan, dan merangkul kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Selam...
Langit Tak Selalu Biru
67      57     4     
Inspirational
Biru dan Senja adalah kembar identik yang tidak bisa dibedakan, hanya keluarga yang tahu kalau Biru memiliki tanda lahir seperti awan berwarna kecoklatan di pipi kanannya, sedangkan Senja hanya memiliki tahi lalat kecil di pipi dekat hidung. Suatu ketika Senja meminta Biru untuk menutupi tanda lahirnya dan bertukar posisi menjadi dirinya. Biru tidak tahu kalau permintaan Senja adalah permintaan...
FaraDigma
699      408     1     
Romance
Digma, atlet taekwondo terbaik di sekolah, siap menghadapi segala risiko untuk membalas dendam sahabatnya. Dia rela menjadi korban bully Gery dan gengnya-dicaci maki, dihina, bahkan dipukuli di depan umum-semata-mata untuk mengumpulkan bukti kejahatan mereka. Namun, misi Digma berubah total saat Fara, gadis pemalu yang juga Ketua Patroli Keamanan Sekolah, tiba-tiba membela dia. Kekacauan tak terh...
Broken Home
28      26     0     
True Story
Semuanya kacau sesudah perceraian orang tua. Tak ada cinta, kepedulian dan kasih sayang. Mampukah Fiona, Agnes dan Yohan mejalan hidup tanpa sesosok orang tua?
Langkah yang Tak Diizinkan
149      126     0     
Inspirational
Katanya dunia itu luas. Tapi kenapa aku tak pernah diberi izin untuk melangkah? Sena hidup di rumah yang katanya penuh cinta, tapi nyatanya dipenuhi batas. Ia perempuan, kata ibunya, itu alasan cukup untuk dilarang bermimpi terlalu tinggi. Tapi bagaimana kalau mimpinya justru satu-satunya cara agar ia bisa bernapas? Ia tak punya uang. Tak punya restu. Tapi diam-diam, ia melangkah. Dari k...
Help Me Help You
1509      881     56     
Inspirational
Dua rival akademik di sebuah sekolah menengah atas bergengsi, Aditya dan Vania, berebut beasiswa kampus ternama yang sama. Pasalnya, sekolah hanya dapat memberikan surat rekomendasi kepada satu siswa unggul saja. Kepala Sekolah pun memberikan proyek mustahil bagi Aditya dan Vania: barangsiapa dapat memastikan Bari lulus ujian nasional, dialah yang akan direkomendasikan. Siapa sangka proyek mus...
GEANDRA
378      299     1     
Romance
Gean, remaja 17 tahun yang tengah memperjuangkan tiga cinta dalam hidupnya. Cinta sang papa yang hilang karena hadirnya wanita ketiga dalam keluarganya. Cinta seorang anak Kiayi tempatnya mencari jati diri. Dan cinta Ilahi yang selama ini dia cari. Dalam masa perjuangan itu, ia harus mendapat beragam tekanan dan gangguan dari orang-orang yang membencinya. Apakah Gean berhasil mencapai tuj...
Fragmen Tanpa Titik
42      38     0     
Inspirational
"Kita tidak perlu menjadi masterpiece cukup menjadi fragmen yang bermakna" Shia menganggap dirinya seperti fragmen - tidak utuh dan penuh kekurangan, meski ia berusaha tampak sempurna di mata orang lain. Sebagai anak pertama, perempuan, ia selalu ingin menonjolkan diri bahwa ia baik-baik saja dalam segala kondisi, bahwa ia bisa melakukan segalanya sendiri tanpa bantuan siapa pun, bahwa ia bis...
Perjalanan yang Takkan Usai
294      247     1     
Romance
Untuk pertama kalinya Laila pergi mengikuti study tour. Di momen-momen yang menyenangkan itu, Laila sempat bertemu dengan teman masa kecil sekaligus orang yang ia sukai. Perasaan campur aduk tentulah ia rasakan saat menyemai cinta di tengah study tour. Apalagi ini adalah pengalaman pertama ia jatuh cinta pada seseorang. Akankah Laila dapat menyemai cinta dengan baik sembari mencari jati diri ...