Sejak hari itu, Karina tidak pernah lagi bertemu dengan Alex. Hanya sesekali ia melihat lelaki itu kini duduk mesra bersama Theana di taman kampus, tangan mereka saling menggenggam seperti tak pernah ada luka atau sejarah. Meski Karina dan Alex tidak pernah benar-benar mengakhiri hubungan mereka secara resmi, pemandangan itu cukup jelas menjadi bukti: tidak ada lagi ruang untuk dirinya di hati Alex. Yang dulu pernah menjadi miliknya, kini hanyalah bayangan yang tertinggal.
Lagi-lagi, hatinya mencelos. Sakit yang samar namun merayap diam-diam. Tanpa sadar, air matanya tumpah di tengah keramaian taman kampus. Priya yang duduk di sampingnya langsung menarik Karina ke dalam pelukannya, memeluk erat seolah ingin menahan dunia agar tak menyakiti lebih dalam. Karina tidak melawan. Ia hanya diam, membeku di dalam pelukan itu, tubuhnya terasa kosong dan berat seperti batu yang tenggelam dalam air.
Dari kejauhan, Mei Lin dan Lucas menyaksikan semuanya. Mereka tak mengatakan apa-apa, hanya saling berpandangan, memahami tanpa kata. Pandangan mereka jatuh pada Priya yang masih mendekap Karina seperti menjaga puing-puing yang tersisa dari seorang sahabat yang mulai retak dari dalam.
---
Hari-hari berikutnya adalah runtutan keheningan yang mencekam. Karina menarik diri dari segalanya. Ia berhenti menjawab pesan-pesan Priya, Lucas dan bahkan Mei Lin. Ia menghapus aplikasi media sosial dari ponselnya. Ia berhenti kuliah, tak menghadiri satu pun kelas, dan tak ada yang tahu ke mana ia pergi. Pihak kampus sempat mencoba menghubungi, tapi Karina sudah memutus semua saluran yang bisa menghubungkannya dengan dunia luar.
Ia memilih untuk menyewa kamar hotel kecil di daerah Geylang, jauh dari keramaian kampus dan hiruk-pikuk kehidupan mahasiswa. Kamar itu sempit, lampunya redup, tirainya selalu tertutup. Tak ada yang tahu di mana ia berada. Tidak ada suara selain detak jam dan dengung AC yang menyala sepanjang malam. Di situlah Karina bersembunyi dari dunia, dan dari dirinya sendiri.
Setiap pagi ia bangun dengan beban yang sama—seolah ada batu besar yang menindih dadanya. Ia menatap langit-langit tanpa tujuan, berharap ada hari yang berbeda, namun semuanya selalu sama: gelap, dingin, hampa. Ia tidak menangis lagi, bahkan air matanya pun seakan kehabisan alasan untuk turun. Ia hanya diam. Mati rasa.
---
Makanan dikirim ke pintu kamar, tapi sering kali hanya disentuh sedikit lalu dibiarkan membusuk. Ia kehilangan minat bahkan untuk sekadar menonton serial drama Korea favorit atau variety show Going Seventeen yang dulu selalu menjadi pelariannya di saat-saat sulit. Beberapa buku novel yang biasa ia baca tetap tertumpuk rapi di dalam koper, tak tersentuh. Musik Seventeen yang dulu menyelamatkannya dari kekacauan kini hanya menjadi noise asing yang membuat kepala terasa sesak.
Di satu malam yang terlalu senyap, Karina berdiri di depan cermin. Matanya menatap bayangannya sendiri—kusut, lingkaran hitam mengitari matanya, rambut tak terurus, bibir kering. Wajah yang tak dikenalnya lagi. Ia mengulurkan tangan ke arah botol kecil di tas toiletrisnya. Botol itu berisi pil-pil tidur yang dulu diberikan dokter ketika insomnia menyerangnya di tahun pertama.
Tangannya gemetar.
"Apa gunanya semua ini?" bisik Karina pada dirinya sendiri. Suaranya nyaris tak terdengar, seperti suara dari dunia lain.
Tapi di balik bisikan itu, ada bagian kecil dalam dirinya yang berteriak, memohon untuk berhenti. Ia ingat Mahesa, suara lembutnya di hari perpisahan, pelukan terakhirnya di bandara, dan air mata yang ditahan laki-laki itu dengan susah payah. Ia ingat Irene dan Hartono. Orang tuanya, meskipun hubungan mereka rumit dan penuh luka, tetap saja ada bagian kecil yang berharap suatu hari bisa memperbaiki segalanya. Ia ingat kakaknya yang sudah bahagia di sana.
Ia ingat Priya, yang memeluknya dengan tulus saat dunianya runtuh. Ingat Lucas yang selalu berhasil untuk membuatnya kembali tertawa setelah hari yang panjang. Ingat Mei Lin yang pernah berkata, “Kita semua pernah hancur dalam bentuk yang berbeda, tapi bukan berarti kita tak bisa disatukan kembali.”
Tangannya akhirnya menjauh dari botol itu. Ia jatuh terduduk di lantai, menangis tanpa suara. Tangisan itu bukan hanya tentang patah hati karena Alex. Bukan hanya karena pengkhianatan, atau kehilangan. Tapi tentang semua luka yang selama ini dikumpulkannya tanpa pernah benar-benar sembuh.
Karina tertidur di lantai kamar malam itu, masih mengenakan hoodie dan celana training yang sama sejak dua hari sebelumnya. Tubuhnya letih, tapi hatinya lebih letih lagi.
---
Di kampus, Priya mulai panik. Ia sudah mencoba menghubungi Karina berkali-kali. Pesannya tak dibaca, telepon tak dijawab. Mei Lin menyarankan untuk melapor ke petugas kampus, tapi Priya tahu, Karina akan membenci mereka jika salah satu dari mereka melakukan itu. Jadi ia memilih menunggu, dengan kecemasan yang perlahan menggerogoti pikirannya.
Lucas mencoba menghibur, mengatakan mungkin Karina hanya butuh waktu. Tapi Priya dan Mei Lin tahu, ini bukan sekadar ‘butuh waktu’. Karina tenggelam, dan mereka hanya bisa menunggu dari permukaan, tanpa tahu seberapa dalam air yang sudah menelannya.
---
Karina mulai merasakan hari-hari seperti labirin yang tak berujung. Ia mencoba membuka laptop dan membaca e-mail kampus, hanya untuk menyadari betapa banyak deadline yang terlewat. Ia mencoba menulis sesuatu di jurnalnya, tapi setiap kalimat terasa palsu. Ia bahkan mulai merasa kehilangan dirinya sendiri—siapa Karina? Apakah ia benar-benar pantas berada di tempat ini? Apa gunanya semua pencapaian jika pada akhirnya ia tetap merasa hampa?
Di titik itulah ia mulai berpikir bahwa mungkin, tak ada satu pun orang yang benar-benar peduli. Mahesa terlalu jauh. Ibunya tak pernah benar-benar memahami. Alex... sudah menjadi milik orang lain. Dan teman-temannya? Mereka punya hidup mereka sendiri. Priya mungkin akan baik-baik saja tanpa dirinya. Mei Lin akan melanjutkan harinya dengan tawa seperti biasa. Lucas akan kembali tenggelam dalam tugas-tugas teknik sipil.
Pemikiran-pemikiran itu menggigitnya seperti ribuan semut kecil yang tak terlihat tapi menyakitkan. Ia mulai percaya bahwa kehadirannya tidak berarti. Bahwa ketidakhadirannya pun tak akan mengubah apapun.
---
Karina duduk di tepi tempat tidur, menatap jendela yang buram oleh embun dari pendingin ruangan. Sudah satu minggu sejak ia keluar dari peredaran kampus. Ia sudah tak ingat hari keberapa, atau tanggal berapa. Semua waktu terasa datar. Sarapan atau makan malam tak ada bedanya. Ia bahkan sudah lupa bagaimana rasanya tertawa.
Rasa hampa itu begitu menusuk. Tidak ada lagi air mata. Tidak ada lagi doa. Tidak ada lagi Karina yang ingin sembuh. Yang tersisa hanyalah tubuh, terperangkap dalam ruang sempit dengan dinding yang seakan menutup perlahan, menekannya dari segala sisi.
Di sudut meja, silet kecil yang ia simpan untuk memotong label baju masih tergeletak, tak pernah dipindahkan. Ia menatap benda itu lama sekali hari itu. Tak berniat menyentuhnya pada awalnya, hanya… memperhatikannya. Tapi lama-lama pikirannya mulai membentuk dialog gelap:
“Kalau ini berakhir sekarang, tak akan ada yang peduli, kan?”
Ia membayangkan dunia tetap berputar, tanpa kehadirannya. Kuliah tetap berjalan, dosen tetap mengajar, teman-temannya tetap melanjutkan hidup. Tidak ada yang berhenti. Tidak ada yang benar-benar akan kehilangan.
Tangan kirinya gemetar saat perlahan menyentuh silet itu. Dingin. Tajam.
Detik itu juga, suara-suara dari masa lalu seakan bangkit dalam kepalanya—bukan suara penghinaan, bukan juga suara Alex, tapi suara Mahesa lewat panggilan video di tengah malam saat ia baru saja jatuh.
"Apapun yang terjadi, Lo harus terus hidup, Karina. Bahkan kalau Lo merasa nggak ada yang mengerti, gue percaya Lo kuat. Mungkin Lo belum tahu caranya sekarang… tapi Lo pasti akan tahu suatu saat nanti. Gue yakin.”
Ia teringat tatapan Mahesa di bandara, sesaat sebelum ia pergi ke Singapura. Air mata yang menggantung di matanya. Pelukan hangat yang tak bisa diulang. Karina menggigit bibirnya, mencoba mengusir ingatan itu. Tapi ingatan lain justru muncul.
Ia teringat tatapan Mahesa di bandara, sesaat sebelum ia pergi ke Singapura. Air mata yang menggantung di matanya. Pelukan hangat yang tak bisa diulang. Karina menggigit bibirnya, mencoba mengusir ingatan itu. Tapi ingatan lain justru muncul.
Ibu dan ayahnya. Walau jauh dan sering dingin, mereka tetaplah orang tuanya. Dua orang yang telah menjaga dan membesarkannya meski dengan cara yang menyakitkan. Ia membayangkan ibunya duduk sendiri di ruang tamu, menatap foto keluarga yang dulu dipajang di dinding. Jika Karina benar-benar pergi, akankah wanita itu menangis? Akankah ia menyesal tidak pernah mengatakan bahwa ia bangga pada putrinya?
Lalu ia dapat membayangkan wajah ayahnya yang selalu diam-diam menatap wajahnya di foto yang selalu ada di atas meja kerjanya di perusahaan maupun di rumah. Jika Karina benar-benar pergi, akankah pria itu menangis seperti saat kakaknya pergi? Akankah ia menyesal karena telah membuat anak semata wayangnya kini terluka akibat luka yang ia torehkan sendiri?
Juna. Kakaknya itu pasti akan sangat kecewa jika tahu bahwa ia tiba-tiba menyerah sebelum benar-benar berhasil menggapai apa yang ia impikan.
Dan Priya. Yang tak pernah lelah mengirim pesan setiap pagi. Lucas yang mencoba bercanda meski sering canggung. Mei Lin yang selalu ada saat Karina menolak berbicara. Orang-orang ini… mereka tidak sempurna, dan mungkin tidak mengerti seluruhnya. Tapi mereka ada.
Silet itu terlepas dari genggaman tangan Karina dan akhirnya terjatuh ke lantai.
Karina jatuh bersimpuh, tubuhnya terguncang. Untuk pertama kalinya, ia menangis sekeras-kerasnya. Bukan lagi air mata diam dan tertahan. Ia meraung, membiarkan semuanya keluar. Kesedihan, kecewa, rasa tak berharga, hancur dalam pelukannya sendiri.
Karina tidak peduli seberapa lama ia menangis seperti orang gila, ia hanya ingin membuat dirinya merasa lebih tenang meski sedikit.
---
Di malam yang sama, Karina memeluk lututnya erat-erat. Di sekelilingnya, kamar hotel itu berantakan. Selimut terlempar ke lantai, kantong-kantong makanan kosong berserakan di meja, dan baju-baju yang tak tersentuh menggantung di kursi. Tapi yang paling kacau adalah isi kepalanya sendiri.
Handphonenya masih tergeletak di samping bantal, layar menyala menunjukkan panggilan aktif.
"Oke, nggak apa-apa kalau emang Lo butuh waktu, butuh jeda dari semua yang pernah Lo lalui sendirian. Tapi setelah itu jangan lupa buat bangkit lagi, ya cantik."
Suara itu... suara Mahesa. Tenang, tulus, dan penuh empati. Suara yang dulu menemaninya melewati malam-malam sunyi ketika dunia di rumahnya terlalu keras. Suara yang dulu membacakan puisi-puisi absurd lewat pesan suara, hanya agar ia bisa tertawa.
Karina tak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, meski tahu Mahesa tak bisa melihatnya dari ribuan kilometer jauhnya. Tapi dalam hati, ia merasa sesuatu mulai bergerak—pelan, nyaris tak terasa, seperti detak jantung yang perlahan kembali setelah mati suri.
"Gue tahu Lo capek. Tapi gue percaya sama Lo, kalau Lo nggak mungkin dan nggak akan pernah mungkin berhenti di sini. Lo kuat, Na. Bukan karena harus kuat, tapi karena Lo tahu kapan harus jujur sama rasa sakit Lo. Itu kekuatan yang nggak semua orang punya," lanjut Mahesa.
Butiran air mata kembali mengalir, tapi kali ini bukan karena putus asa. Ada rasa hangat yang menetes bersama luka-luka itu. Rasa bahwa dirinya belum sepenuhnya hilang. Bahwa ada bagian dari dirinya yang masih hidup, masih bisa merasakan.
"Kak Mahesa..." suara Karina akhirnya keluar, serak dan nyaris tak terdengar. "Aku capek banget. Aku beneran nggak tahu harus gimana lagi."
"Gue tahu dan gue ngerti banget gimana rasanya," jawab Mahesa pelan. "Tapi Lo nggak sendirian. Lo punya Priya, Mei Lin, Lucas... dan gue. Gue di sini. Nggak ke mana-mana."
Dan di saat itu, Karina tak merasa lebih baik—tidak secara ajaib. Tapi ia merasa cukup untuk tetap hidup malam itu. Cukup untuk tidak menyentuh botol pil itu lagi. Cukup untuk menarik selimut ke atas tubuhnya dan memejamkan mata, membiarkan tangisnya berhenti tanpa harus pura-pura kuat.
---
Hari-hari berikutnya tidak serta-merta menjadi cerah. Tapi setidaknya, Karina mulai membuka tirai kamar setiap pagi. Ia mulai mencuci wajahnya, mengganti pakaian, dan duduk sebentar di dekat jendela, membiarkan udara pagi masuk ke paru-parunya.
Namun jauh di dalam, ia masih sering dihantui oleh pikiran gelap. Ada hari di mana ia merasa sepenuhnya tidak berarti. Hari di mana keberadaannya sendiri terasa seperti beban. Ia tahu Priya, Mei Lin, Lucas, dan bahkan Mahesa peduli padanya. Tapi tetap saja ada ruang di dalam dirinya yang kosong, ruang yang tak bisa diisi siapa pun.
Ia merasa seperti telah kehilangan versi terbaik dari dirinya. Karina yang dulu ceria, tangguh, penuh semangat—semuanya terasa seperti kenangan yang kabur. Ia merasa bukan siapa-siapa. Bahkan dirinya sendiri pun tampak asing.
Saat ia bercermin, ia tidak tahu siapa yang menatap balik. Apakah itu Karina yang sama? Atau hanya bayangan dari seseorang yang dulu pernah ada?
Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di malam-malam paling dingin, ketika tak ada yang bisa diajak bicara. Ketika notifikasi sepi dan dunia terasa menjauh. Pada malam-malam seperti itu, ia akan menatap langit-langit kamar dan bertanya pelan, “Apa gunanya aku di sini?”
Tapi yang berbeda kini adalah: ia tidak mencari jawabannya dalam kehampaan.
Kini, ia tahu bahwa tidak punya jawaban bukan berarti semuanya berakhir. Ia mulai menyadari bahwa tidak apa-apa jika belum bisa bangkit sepenuhnya. Bahwa sekarat secara emosional bukan berarti ia lemah. Ia hanya manusia. Dan menjadi manusia artinya bisa jatuh. Tapi juga bisa memilih untuk tidak tinggal terlalu lama di dasar.
---
Pagi itu, Karina keluar dari balkon kamarnya dan menatap langit biru Singapura. Bersih, tanpa awan. Seperti ada yang ikut terangkat dari dadanya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia bisa menarik napas dalam-dalam tanpa merasa sesak.
Handphonenya berdering. Sebuah notifikasi masuk dari Mahesa.
[Hei, besok ada waktu? Malam nanti gue flight ke Singapore. Jadi rencananya besok gue mau ngajak Lo jalan.]
[Hitung-hitung sebagai healing. Kasian diri Lo dari waktu itu mengurung diri mulu.]
Karina tersenyum kecil. Senyum yang tidak dipaksakan, senyum yang datang begitu saja dan tumbuh dari dalam. Ia menatap pesan itu lama, lalu membalas:
[Boleh. Tapi besok malam nggak apa-apa, kan? Aku mau balik ke asrama malam ini.]
Tak butuh waktu lama, Mahesa membalas:
[Serius, Na?! Lo bakal balik ke asrama? Akhirnya...]
[Iya, dong. Aku capek menghilang dari peradaban terus.]
Mahesa mengirimkan emoji tawa besar. Karina tersenyum lagi. Kali ini senyumnya bertahan lebih lama.
---
Tepat di malam itu, Karina memutuskan untuk kembali ke asrama. Bukan karena ia sudah sembuh. Tapi karena ia butuh tempat di mana rasa sakit bisa dihadapi, bukan dihindari. Ia kembali larut malam, mengenakan hoodie abu-abu dan membawa koper kecil berisi pakaian seadanya. Ia tahu Mei Lin dan Priya sering menghabiskan waktu di ruang bersama lantai dua setelah makan malam, jadi ia memanfaatkan waktu ketika kamar dipastikan kosong.
Benar saja, suara tawa pelan terdengar samar dari tangga saat ia membuka pintu kamar. Nafasnya tertahan sejenak. Ia berdiri di ambang pintu cukup lama, seakan kamar itu bukan miliknya. Tapi akhirnya ia masuk juga, dan menutup pintunya perlahan.
Kamar itu masih sama. Kasurnya masih rapi, boneka kecil dari Mahesa sudah dikembalikan ke sudut bantal oleh tangan siapa pun yang merawat ruang itu saat ia tak ada. Bahkan ada secarik kertas kecil di meja belajarnya: tulisan tangan Mei Lin.
“Dear Karina... We don't know where you are right now, but we're still waiting for you to come home."
– Mei Lin, Priya, Lucas
Tangannya gemetar. Ia tak tahu bagaimana perasaannya. Terharu? Marah pada dirinya sendiri? Atau hanya ingin menangis? Tapi ia tidak menangis. Ia hanya duduk diam di tepi kasur, menunduk. Dunia terasa berat, tapi ada sesuatu yang mulai tumbuh di dalam heningnya: keberanian untuk tetap bertahan.
Tiba-tiba suara langkah kaki terdengar mendekat. Ia panik, tapi tak sempat menyembunyikan diri. Pintu kamar terbuka perlahan, dan wajah Priya muncul di ambang pintu, diikuti Mei Lin. Priya terdiam. Matanya membesar, begitu pula Mei Lin. Tidak ada satu pun dari mereka yang berbicara dalam beberapa detik yang seperti membeku itu.
Kemudian Mei Lin mendekatinya tanpa sepatah kata. Ia langsung memeluk Karina. Pelan, tapi erat. Seakan ingin memastikan bahwa yang ia peluk itu benar-benar ada, benar-benar kembali. Karina tidak menangis, tapi tubuhnya bergetar dalam pelukan itu.
“Aku... maaf,” bisiknya nyaris tak terdengar.
Mei Lin menggeleng cepat. “Nggak apa-apa, Na. Yang penting kamu pulang.”
Priya duduk di sisi lain tempat tidur, menatap Karina dengan mata yang memerah. “Kita semua ngelewatin hal buruk. Tapi kamu nggak harus lewatin itu sendirian."
Karina tak menjawab. Tapi dalam diamnya, ada ikatan yang mulai kembali terbentuk. Tidak dengan kata-kata, melainkan dengan keberadaan yang utuh dan nyata. Ia masih belum merasa utuh, tapi untuk pertama kalinya, ia tidak merasa sendirian sepenuhnya.
---
Malam itu mereka tidak bicara banyak. Priya hanya mengambilkan air putih dan sepotong biskuit. Karina memakannya pelan. Seolah sedang belajar kembali bagaimana rasanya menjalani hari. Mei Lin meletakkan selimut di atas kaki Karina, tak berkata apa-apa. Dan ketika akhirnya mereka semua berbaring, kamar itu terasa hangat—bukan karena suhu, tapi karena kehadiran.
Namun saat lampu padam dan Mei Lin sudah terlelap dengan dengkuran halusnya, Karina tetap terjaga. Kepalanya masih sesak oleh suara-suara yang tak berhenti membisikkan kegagalan dan luka. Tapi di balik semua itu, ia juga mendengar suara Priya yang lembut: “Kamu nggak sendirian.” Ia mengulang kalimat itu dalam hatinya, seperti mantra yang bisa mengusir rasa takut.
Pagi harinya, Karina bangun lebih awal. Ia berjalan ke kamar mandi dan menatap wajahnya di cermin. Masih terlihat lelah, tapi ada seberkas sinar yang pelan-pelan muncul di balik matanya. Bukan harapan besar, hanya keinginan untuk hidup satu hari lagi. Itu cukup. Untuk saat ini, itu cukup.
Ia belum siap kembali ke kelas. Belum siap menghadapi dosen, tugas, atau bahkan sekadar berjalan di koridor kampus. Tapi ia membuka laptopnya dan membaca ulang materi yang tertinggal. Tangannya gemetar saat mengetik pesan pendek ke dosen pembimbing:
"Maaf, saya mengalami kondisi pribadi. Saya akan berusaha kembali mengikuti kelas. Terima kasih atas pengertiannya.”
Setelah itu, ia hanya duduk di sana, menatap layar kosong dan membiarkan air matanya mengalir—bukan karena sedih, tapi karena untuk pertama kalinya, ia mengambil langkah kecil menuju cahaya.
---
Keesokan malamnya, Karina berdiri di depan gedung kampus tempat Mahesa menunggu. Ia mengenakan blus biru muda dan jeans sederhana, rambutnya dibiarkan tergerai. Tidak terlalu berdandan, tapi jelas terlihat lebih segar daripada beberapa minggu terakhir.
Mahesa melambaikan tangan dari kejauhan. Ia masih sama—tinggi, tenang, dengan ransel tersampir di bahu. Tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda di matanya: rasa khawatir yang tulus dan penuh harap.
"Na," sapanya sambil tersenyum lebar. "Akhirnya bisa lihat Lo lagi. Asli, gue hampir beli tiket pulang kalau Lo nggak bales-bales pesan gue lagi."
Karina tertawa kecil. "Maaf ya... Aku emang sempat menghilang. Tapi aku mulai belajar muncul lagi sekarang."
Mahesa menatapnya sebentar. Tak ada kata-kata sok bijak. Hanya satu kalimat pelan, "Gue senang Lo mau kembali."
Tapi baru saja mereka hendak berjalan menuju stasiun MRT, terdengar suara dari belakang.
"Ehem!"
Mereka berdua menoleh. Di sana berdiri Priya dengan tangan terlipat di dada, Lucas dengan senyum kaku, dan Mei Lin yang tampak mencoba terlihat santai sambil menyapa dengan lambaian pelan.
Karina membelalak. "Kalian ngapain di sini?"
Mei Lin mencoba tersenyum tak bersalah. "Kita... cuma lagi jalan-jalan aja. Kebetulan lewat sini."
"Dan kebetulan juga ikut kereta yang sama?" Mahesa mengangkat alis, separuh geli.
Priya maju selangkah. "Kami cuma mau... ngawasin. Bukan apa-apa kok, kak. Tapi... yah, Kakak ngerti kan? Kami agak trauma aja setelah... ya, Kakak tahu."
Mahesa tertawa. "Gue ngerti. Serius. Gue malah lega Karina punya orang-orang yang peduli gini."
Lucas menambahkan, "Tapi tenang aja, kami bakal jaga jarak. Nggak bakal ganggu date kalian. Anggap aja... pengawalan diam-diam."
Karina menutup wajahnya dengan tangan, setengah malu, setengah terharu. "Kalian ini... gila sih. Lagian kita berdua ini bukan mau date."
Mei Lin menggeleng cepat. "No. Kita harus tetep jadi bodyguard kamu, Karina sayang..."
Karina menghela napas pasrah, sedangkan Mahesa tertawa geli. Dalam hatinya, ia benar-benar bersyukur karena Karina memiliki sahabat-sahabat yang begitu perhatian pada gadis itu.
Mereka pun akhirnya berangkat bersama. Karina dan Mahesa berjalan agak di depan, sementara tiga pengawal tak resmi itu mengikuti dari kejauhan. Mereka bahkan sempat masuk ke restoran yang sama—Mei Lin dan Priya duduk di pojok belakang dengan menu yang sama sekali tidak mereka pesan, sementara Lucas pura-pura memainkan handphonenya tapi jelas sekali bahwa ia sedang mengawasi dan malah diam-diam iri dalam hati karena sampai saat ini ia belum juga memiliki kekasih.
Meski awalnya canggung, Karina malah merasa hangat. Ia tahu maksud mereka bukan untuk mengganggu, melainkan menjaga. Dan Mahesa juga tidak tersinggung. Justru, sepanjang malam itu ia menunjukkan pada dirinya sendiri betapa berbedanya ia dari Alex meski mereka adalah sahabat dekat sejak kecil.
Mahesa tidak menuntut Karina untuk tertawa ketika ia belum siap. Ia tidak memaksa Karina membuka semua luka atau menjawab semua pertanyaan. Ia hanya ada—utuh dan hangat, hadir tanpa syarat.
Saat mereka duduk di taman kecil dekat Marina Bay, Karina mengangguk pelan.
"Kak Mahesa... Makasih banyak udah datang jauh-jauh... dan nggak menyerah sama aku."
Mahesa menoleh. "Gue nggak akan pernah capek sama Lo, Na. Karena dari dulu, bahkan sebelum Lo kenal dunia yang rumit ini... gue tahu Lo pantas bahagia."
Jantung Karina berdebar pelan. Ia tidak menjawab, hanya memandangi gemerlap lampu di kejauhan. Tapi hatinya tahu: ia sedang disembuhkan, perlahan, oleh kebaikan yang tidak meminta apa-apa sebagai balasan.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam sekian lama, Karina pulang dengan hati yang tak sepenuhnya sunyi.