Matahari Singapura selalu terasa lebih tenang daripada Jakarta. Udara pagi bersih, langkah-langkah di kampus teratur, dan jam-jam kelas berjalan tepat waktu. Di antara ritme yang stabil itu, ada satu hal yang mulai tak teratur dalam hidup Karina: Alex.
Sejak Karina memiliki proyek kelompok di kelas “Contemporary Southeast Asian Politics” dan dia meminta bantuan Alex, kedekatan mereka berkembang alami. Awalnya mereka hanya diskusi ringan sehabis kelas, tapi lama-lama Alex mulai mengajak makan siang bersama, menawarkannya untuk pulang bersama, bahkan tiba-tiba muncul di luar ruang kuliah hanya untuk menyapa.
Karina menyambut perhatian itu dengan hati-hati. Ada bagian dari dirinya yang masih menjaga jarak, tapi sulit untuk tak tersentuh oleh rayuan halus Alex—komentar penuh pujian, tatapan yang dalam, dan caranya membuat Karina merasa didengar.
“Lo sadar gak sih, cara lo ngelihat dunia itu beda,” kata Alex saat mereka duduk berdua di tangga luar perpustakaan utama. “Gue bisa denger lo ngomongin apa pun selama berjam-jam.”
Karina menahan senyum. Ada desir kecil di dadanya setiap kali Alex bicara seperti itu. Ia tidak terbiasa disorot seperti itu, apalagi oleh seseorang yang begitu percaya diri dan mudah bergaul seperti Alex.
Namun di sela waktu bersama Alex, Karina tetap menjaga rutinitasnya dengan Priya, Lucas, dan Mei Lin. Mereka sering makan malam bareng di kantin kampus atau duduk di taman asrama sambil saling bercerita tentang kelas, kehidupan pribadi, dan gosip-gosip kecil. Tapi belakangan, Karina mulai sering datang terlambat, atau bahkan batal ikut.
---
Suatu malam, saat mereka sedang makan mala hotpot di area makan Prince George’s Park, Lucas mengangkat alis sambil menusuk tahu sutra dengan sumpitnya. “Na, kamu masih seorang Karina Nadila Ernesta, kan? Udah seminggu kamu telat terus nongol. Padahal biasanya kamu gak pernah ngaret."
Mei Lin menyambung dengan nada bercanda. “She’s been abducted by that charming political science guy.”
Karina tertawa gugup. “Nggak gitu, kok. Cuma… ya, belakangan banyak tugas aja.”
“Tugas bernama Kak Alex,” gumam Priya pelan sambil menyeruput Thai milk tea-nya. Semua tertawa, tapi ada sesuatu di balik tatapan Priya yang membuat Karina merasa tersentil—semacam perhatian diam-diam dari seseorang yang tahu lebih banyak daripada yang dikatakan.
Karina tak menjawab. Ia hanya tersenyum, lalu menunduk ke mangkuk makannya. Di satu sisi, ia merasa bersalah karena makin menjauh dari mereka. Tapi di sisi lain, bersama Alex terasa seperti melayang—membuatnya percaya bahwa dirinya lebih dari sekadar mahasiswa baru yang bingung mencari tempat berpijak.
---
Hubungan mereka terus berkembang. Alex mulai sering datang menjemput Karina sepulang kelas, membawakan kopi hitam kesukaannya dari kedai kopi kecil dekat kampus. Kadang mereka hanya duduk di taman, membicarakan film, filsafat, atau kenangan masa kecil. Cara Alex memperhatikan setiap detail kecil tentang dirinya membuat Karina merasa spesial.
“Gue suka cara lo mikir, Kar,” kata Alex sambil menatapnya dalam satu malam yang tenang. “Lo... bukan tipe orang yang gampang dibaca. Tapi itu yang bikin lo menarik.”
Ucapan itu seperti mantera. Karina tak pernah merasa begitu diapresiasi secara intelektual sekaligus emosional. Ia mulai lebih sering mengecek ponselnya untuk memastikan tidak melewatkan pesan dari Alex. Bahkan, ada saat-saat ia menunda balas pesan Priya atau Mei Lin karena sedang tenggelam dalam obrolan panjang dengan Alex.
Namun tidak semua momen mereka manis tanpa cela. Sesekali, Alex melontarkan komentar yang membuat Karina menggigit bibir.
“Teman-teman lo kayaknya baik, ya… tapi lo gak ngerasa gak nyambung sama mereka?” tanyanya suatu sore.
Karina mengernyit. “Kenapa Kakak bilang gitu?”
“Gue cuma... merasa lo jauh lebih dalam daripada mereka. Gue liat lo bisa tumbuh lebih banyak kalo gak terlalu kecantol sama obrolan-obrolan ringan kayak Mei Lin yang tiap minggu ngomongin skincare.”
Karina tertawa kecil, meski hatinya terasa tak nyaman. “Mei Lin lucu kok. Lagipula, gak semua harus berat.”
Alex hanya tersenyum samar. “Mungkin gue terlalu serius. Tapi lo pantas punya teman yang bikin lo berkembang.”
Kalimat itu menggantung lama di kepala Karina, bahkan setelah mereka berpisah malam itu. Ia tahu komentar Alex tidak sepenuhnya benar—Priya selalu memberinya sudut pandang tajam tentang kehidupan, Lucas punya ketulusan yang jarang ia temui. Tapi cara Alex menyampaikan kata-kata itu, seolah melindunginya dari dunia yang kurang layak, membuat Karina bingung.
---
Beberapa hari kemudian, ketika Karina sedang membaca novel dan Mei Lin sedang membuat jurnal di kamar mereka, tiba-tiba Priya mengirimkan pesan padanya:
[Na, everything okay? Mau ngobrol-ngobrol malam ini? I feel like I haven’t seen the real you lately.]
Karina membaca pesan itu lama. Jarinya hendak membalas, tapi kemudian muncul pesan lain dari Alex:
[I miss you. Mau ketemu sebentar? Gue lagi di taman asrama.]
Tanpa sadar, Karina berdiri. Ia tak membalas Priya malam itu.
Mei Lin yang melihatnya langsung bertanya ketika Karina bersiap keluar. "Mau kemana?"
"Mau ketemu Kak Alex." Balasnya tanpa menoleh sembari tetap mengikat tali sepatunya.
Mei Lin hanya bisa menghembuskan napas dan menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. Matanya tak lepas dari pintu yang baru saja ditutup oleh Karina.
---
Beberapa Minggu kemudian, saat mereka sedang duduk di padang rumput kecil dekat NUS Museum, Alex menggenggam tangannya.
“Gue gak tahu kenapa, tapi lo bikin gue ngerasa nyaman. Kayak… gue gak harus pura-pura jadi siapa-siapa,” katanya pelan, tatapannya lurus ke depan.
Karina menoleh, mencoba membaca ekspresinya. “Sama,” jawabnya akhirnya. “Aku juga selalu ngerasa aman dan nyaman kalau sama kakak.”
"Gue jadi kangen sama Karina yang dulu jual mahal waktu gue confess." Ujar Alex penuh godaan.
Karina tertawa, ia meninju lengan Alex dengan pipi yang memerah. "Itu kan dulu, kak. Aku juga gak tahu sejak kapan mulai ngerasa kayak gini sama kakak."
Itu adalah kalimat yang jujur—atau setidaknya terasa jujur saat itu. Ia memang merasa diperhatikan, dimengerti, bahkan dilindungi. Dan entah sejak kapan, ia mulai mengukur harinya dari seberapa sering Alex menghubunginya.
---
Akhir pekan, Priya, Mei Lin, dan Lucas sempat mengajaknya ke Sentosa untuk healing dan menikmati angin laut setelah mereka ujian pertengahan semester. “Kita butuh vitamin laut,” canda Mei Lin lewat pesan suara. Tapi Karina menolak, beralasan harus menyelesaikan esai.
Padahal sebenarnya, ia duduk di rooftop Alexandra Central Mall bersama Alex, berbagi sepotong pizza sambil memandangi langit jingga. Ia tahu, jika teman-temannya tahu, mereka akan mengomel. Tapi ia juga tahu, mereka tak akan mengerti apa yang ia rasakan saat bersama Alex. Atau mungkin… ia takut mereka akan benar-benar mengerti, dan membuatnya mempertanyakan semua ini.
---
Perhatian yang dulu terasa manis kini mulai berubah bentuk. Awalnya Karina tidak menyadari pergeseran itu. Ia pikir, semua ini hanya bagian dari hubungan yang lebih dalam—bahwa cinta memang datang dengan kelekatan, kerinduan, dan kebutuhan untuk saling tahu.
Namun akhir-akhir ini, notifikasi dari Alex terasa seperti alarm darurat. Jika ia tidak langsung membalas, akan muncul pesan-pesan susulan:
[Lagi sama siapa?]
[Sibuk banget ya sekarang, sampe gak bisa bales.]
[Atau gue emang gak sepenting itu buat lo?]
Ia merasa seperti harus terus-menerus membuktikan bahwa ia peduli. Meski kadang Karina hanya sedang berjalan dari kelas ke perpustakaan, atau duduk dengan Priya, Mei Lin dan Lucas sambil makan siang bersama di kantin, tapi tetap saja ada rasa bersalah yang menghantui jika belum sempat membalas.
Pernah, ketika ia sedang berdiskusi kelompok dengan Lucas, Mei Lin, dan Priya lalu Alex menelepon. Ia menolak panggilan itu karena tidak ingin terlihat tidak profesional. Sepuluh menit kemudian, ada lima pesan masuk bertubi-tubi. Karina menghela napas, meminta izin ke toilet, dan membalas cepat.
[Sorry, masih diskusi kelompok. Aku telpon nanti ya.]
Lalu tak lama Alex kembali membalas, [Serius? Gak bisa sebentar aja?]
[Lo bisa ketawa bareng mereka tapi gak ada waktu lima menit buat gue?]
Ia sempat membalas, [Tolong jangan gitu, Kak. Aku lagi capek banget hari ini.]
Tapi balasan Alex justru membuat dadanya semakin sesak:
[Oh. Jadi gue beban, ya. Maaf karena gue udah ganggu hidup lo.]
Karina menatap layarnya lama, merasa seperti terjebak dalam jaring halus yang tak kasat mata. Ia kembali ke meja diskusi, senyum paksa di wajahnya, tapi pikirannya tersedot habis.
Priya sempat memandanginya tajam, seolah ingin bertanya, tapi memilih diam. Lucas melanjutkan penjelasannya tentang struktur laporan, dan Karina hanya mengangguk-angguk kosong.
---
Akhir pekan itu, ia berjanji akan makan malam dengan teman-temannya. Sudah lama mereka tidak berkumpul lengkap. Tapi beberapa jam sebelumnya, Alex mengirim pesan: [Gue lagi kacau. Bisa ketemu gak? Butuh lo banget sekarang.]
Karina bingung. [Aku udah janji sama mereka. Tapi kakak kenapa?]
[Gak penting. Lo sama mereka aja. Gue cuma pengen cerita, tapi ternyata gue emang bukan prioritas.]
Kepalanya berat. Tapi Hatinya lebih berat lagi. Ia membatalkan rencana makan malam, dengan alasan sakit kepala. Dan saat Mei Lin sudah keluar cukup lama dari kamar mereka, Karina bergegas menemui Alex.
Malam itu mereka duduk di bangku taman, tidak banyak bicara. Alex hanya melamun sembari memandangi langit yang penuh bintang di malam hari dengan pandangannya yang kosong. Setelah lama hening, ia berkata, “Gue cuma ngerasa sendirian. Tapi mungkin itu karma ya. Karena terlalu berharap sama orang yang gak pernah beneran lihat gue.”
Karina ingin marah, ingin berkata bahwa ia sudah mencoba melihat, hadir, mengerti. Tapi kata-kata itu mati di tenggorokan. Ia malah menggenggam tangan Alex, seolah menyalahkan dirinya sendiri karena tidak cukup berada di samping kekasihnya itu.
---
Hari-hari berikutnya menjadi seperti medan yang dipenuhi ranjau. Ia harus hati-hati memilih kata saat mengirim pesan, memperhitungkan jeda waktu, menyusun alasan dengan logika yang bisa diterima. Satu kata yang terdengar salah bisa memicu keheningan panjang, atau kalimat-kalimat pasif-agresif dari Alex.
Kadang Alex datang membawa kehangatan yang membuat Karina kembali leleh. Membawakan kopi favoritnya ke perpustakaan, menunggu di luar kelas hanya untuk berjalan pulang bersama. Tapi keesokan harinya, bisa saja Alex mendadak berubah—dingin, sarkastik, menyindir setiap keputusan kecil yang Karina ambil.
“Kak, aku mau ikut workshop tentang climate policy minggu depan,” kata Karina suatu siang.
Alex menoleh dari ponselnya. “Workshop? Emangnya lo peduli sama isu-isu kayak gitu? Gue pikir lo lebih suka yang artsy-artsy gitu.”
“Emangnya gak boleh punya dua interest?”
Alex tertawa kecil, bukan dengan nada gembira. “Yaudah. Terserah lo. Lo kayaknya lagi nyari validasi banget akhir-akhir ini.”
Perlahan, komentar seperti itu membuat Karina mempertanyakan pilihannya sendiri. Apakah ia terlalu mencari perhatian? Apakah ia memang tidak tahu apa yang ia inginkan?
---
Sedangkan teman sekamarnya, Mei Lin mulai bersikap lebih waspada. Suatu sore, saat mereka sedang duduk di kantin, ia bertanya pelan, “Na, kamu oke gak sih akhir-akhir ini?”
Karina tersentak. “Kenapa nanya gitu?”
“Gak tahu. Kamu kelihatan kayak... mikir terus. Dan jarang cerita. Kita dulu bisa ngobrol berjam-jam tentang apapun. Sekarang kamu kayak... jauh.”
Karina tersenyum paksa. “Cuma lagi banyak tugas aja, Lin.”
Tapi ia tahu Mei Lin tidak percaya. Priya juga pernah melontarkan candaan yang menusuk, “Si misterius itu berhasil nyeret Karina ke dunia astralnya. Mana temen aku yang dulu?”
Mereka tertawa bersama, tapi Karina merasakan ada benarnya. Dirinya yang dulu mulai mengabur.
---
Malam itu, Karina duduk di kamarnya sendirian, lampu hanya menyala temaram. Ia menatap layarnya kosong, membaca ulang percakapannya dengan Alex.
Setiap pesan terasa seperti teka-teki: mana yang benar, mana yang manipulasi, mana yang cerminan rasa sayang, mana yang hanya perangkap emosi?
Ia mendengar suara Lucas dari luar kamar, bercanda dengan teman sekamarnya. Tawa mereka terdengar ringan, bebas. Karina menutup mata.
Ia rindu rasa ringan itu. Rindu tertawa tanpa khawatir menyinggung. Rindu merasa cukup hanya dengan menjadi diri sendiri.
Tapi setiap kali ia hampir mengambil jarak, Alex datang lagi—dengan kalimat yang seolah hanya bisa keluar dari novel: “Lo satu-satunya orang yang bisa bikin gue ngerasa berarti.”
Dan Karina, yang masih belajar mencintai dirinya sendiri, terlalu mudah percaya bahwa makna hidup seseorang bisa bergantung padanya.
---
Beberapa minggu terakhir, Karina merasa seperti sedang berjalan di atas jembatan tali—tak tahu apakah pijakannya akan kuat atau tiba-tiba patah.
Ada hari-hari ketika Alex bersikap sangat hangat. Ia menjemput Karina sepulang kelas, membawakan matcha dan roti kesukaannya dari kedai kecil di dekat kampus, atau mengirim pesan suara berisi cerita lucu yang membuat Karina tertawa di tengah malam. Dalam momen-momen itu, Karina merasa dihargai, dilihat, bahkan disayangi.
Namun, hari-hari manis itu tak pernah bertahan lama.
Keesokan harinya, Alex bisa tiba-tiba berubah. Tidak membalas pesan Karina, atau membalas dengan satu dua kata seolah terpaksa. Ketika Karina menanyakan apakah ia sedang sibuk atau ada yang salah, Alex menjawab singkat, “Lo terlalu sensitif, Na. Lagian gak semua hal harus kita bahas. Gue juga butuh privasi."
Kalimat itu menggantung seperti kabut, tidak membuahkan kejelasan, hanya perasaan bersalah yang samar tapi terus menggigit.
---
Namun, beberapa hari setelahnya, saat berjalan pulang dari kelas, Alex tiba-tiba menghampirinya dan berkata dengan nada bersalah, “Maaf ya, gue akhir-akhir ini aneh. Gue cuma ngerasa lo gak sepenuhnya milik gue. Tapi itu salah gue, kok. Gue yang overthinking karena gue takut Lo ninggalin gue, Na."
Karina terdiam. Di satu sisi, ia lega karena Alex mengakui kesalahannya. Tapi di sisi lain, ia merasa kalimat itu seperti jebakan lembut—membuatnya kembali merasa bersalah karena tidak “cukup memberi”.
Ia membalas pelan, “Aku gak ke mana-mana, kak. Aku di sini. Tetap akan jadi pacar kakak apapun yang terjadi."
Alex tersenyum samar. Tapi tak ada pelukan. Tak ada kata pasti. Hanya janji-janji yang samar, dan kabut yang belum juga menghilang tapi justru terasa semakin pekat.
---
Pada akhirnya, Karina seperti terombang-ambing dalam arus yang tidak pernah ia pahami. Ia mulai kehilangan arah, tidak tahu harus memegang bagian mana dari dirinya sendiri. Antara kenangan-kenangan manis dan luka yang diselipkan dalam senyuman, antara janji untuk menunggu dan sikap yang terus menjauh.
Cinta, yang dulu ia kira akan memberinya tempat untuk tumbuh, justru mulai mencabut akarnya sendiri.
---
Hari-hari seperti itu datang tanpa aba-aba, seperti cuaca buruk yang tak terdeteksi radar. Semua berjalan biasa saja, lalu tiba-tiba—sunyi. Alex tak lagi menghubungi Karina seperti biasa. Tidak ada pesan di pagi hari, tidak ada obrolan ringan sebelum tidur, bahkan tidak ada tanda bahwa ia masih hadir di kehidupan Karina.
Awalnya Karina mencoba memahami. Mungkin Alex sedang sibuk. Mungkin ada tugas berat, atau sekadar ingin menyendiri. Tapi semakin hari, semakin terasa bahwa ini bukan sekadar jeda. Ini keheningan yang disengaja.
Ia mengirim pesan. Satu. Dua. Tiga.
[Kak, kakak baik-baik aja, kan? Tolong jangan bikin aku khawatir]
[Kalau kakak butuh waktu sendiri, aku ngerti kok. Cuma pengen tahu kalau kakak emang baik-baik aja.]
[Aku kangen, kak.]
Tapi semua pesan itu hanya centang biru. Tanpa balasan. Tanpa penjelasan yang jelas yang membuat Karina semakin sakit.
---
Waktu seolah bergerak lebih lambat dalam ketidakpastian. Karina menjalani hari-hari kuliah seperti robot. Ia hadir secara fisik, tapi pikirannya selalu melayang-layang ke satu titik kosong yang tak bisa ia isi. Suara dosen terdengar seperti gema jauh. Makanan terasa hambar. Bahkan tawa Priya dan celoteh Mei Lin tak lagi bisa menyentuhnya.
Lucas sempat bertanya dengan nada prihatin, "Kamu nggak apa-apa, Na?”
Karina hanya mengangguk. "Cuma kurang tidur, Cas. Don't worry."
Tapi sejujurnya, bukan kurang tidur. Ia tidur banyak—atau tepatnya, berusaha kabur ke dalam tidur karena terjaga terasa lebih menyakitkan.
Lucas menggeleng cepat. "Mata kamu gak bisa bohong, Karina. Ada apa, sih? Atau jangan-jangan gara-gara Alex lagi?"
Karina terdiam. Ia menunduk sembari meremas lututnya dengan air mata yang mulai mengalir
---
Di malam hari, ia membuka ulang pesan-pesan lama mereka. Rekaman suara, foto-foto waktu jalan sore di taman, emoji-emoji konyol yang dulu membuatnya tertawa. Semua itu kini seperti reruntuhan kota yang pernah hidup.
“Kenapa kak Alex berubah?” bisik Karina pada dirinya sendiri. “Apa aku terlalu menuntut? Terlalu posesif? Terlalu… aku?”
Ia mencoba membedah dirinya, mencari celah, mencari salah. Tapi tak ada yang benar-benar bisa ia pahami.
---
Beberapa hari setelah keheningan itu dimulai, Karina akhirnya menghubungi Mahesa. Mereka jarang berbicara sejak ia pindah ke Singapura—lebih karena Karina menjaga jarak, takut menimbulkan harapan yang tidak bisa ia balas. Tapi malam itu, ia butuh seseorang yang bisa mengingatkannya bahwa ia tidak sepenuhnya sendirian.
“Karina?” suara Mahesa terdengar lewat panggilan video. Wajahnya muncul dengan latar kamar sederhana di Jakarta, penuh buku dan gitar yang dulu sering mereka dengarkan bersama.
Karina langsung menangis.
Bukan yang dramatis, bukan terisak, hanya diam, air mata jatuh satu per satu seperti hujan gerimis.
“Hei... hei, ada apa?” tanya Mahesa panik. “Lo sakit? Alex nyakitin Lo?”
Ia menggeleng. “Aku cuma... nggak tahu. Aku lagi ngerasa bodoh. Dan sendirian banget.”
Mahesa diam sejenak, menatap layar seakan ingin menembus jarak ribuan kilometer.
“Lo nggak sendirian, Na. Gue di sini.”
Itu kalimat sederhana, tapi terasa seperti pelampung di tengah laut. Karina menarik napas panjang dan mulai bercerita—tentang Alex, tentang kehangatan yang berubah dingin, tentang pesan yang tak dibalas, tentang perasaan hampa yang menyesakkan.
Mahesa tidak menyela. Ia mendengarkan, dengan sabar dan tenang, seperti yang selalu ia lakukan sejak dulu.
“Aku takut, Kak,” bisik Karina. “Aku takut semua ini karena aku nggak cukup.”
“Bukan lo yang nggak cukup,” jawab Mahesa pelan. “Kadang orang datang ke hidup kita cuma buat nunjukin apa yang seharusnya kita hindari. Bukan buat tinggal.”
Karina terdiam. Kata-kata itu terasa pahit tapi benar. Ia menatap Mahesa, dan untuk sesaat, merasa lebih utuh.
---
Waktu berlalu, dan keheningan Alex tetap berlanjut.
Suatu sore, saat Karina duduk sendiri di taman kampus, ia kembali menelpon Mahesa. “Kak Mahesa lagi sibuk?”
“Buat Lo? Nggak pernah,” jawab Mahesa ringan.
Mereka berbicara lama. Tentang hal-hal kecil: makanan kantin, cuaca Jakarta, kebodohan teman-teman SMA mereka yang dulu. Tapi di sela tawa itu, ada ruang aman. Ruang tempat Karina bisa menjadi dirinya, tanpa harus merasa dinilai atau harus "cukup".
“Kadang aku mikir... kamu tuh kayak jangkar,” ucap Karina tiba-tiba.
“Jangkar?”
“Iya. Di saat aku hanyut, kamu yang bikin aku tetap nempel ke dasar.”
Mahesa tertawa kecil. “Kalau aku jangkar, kamu jangan jadi kapal yang menjauh. Tetap di dermaga aja.”
Karina ikut tertawa. Tapi hatinya menghangat. Pelan-pelan, luka itu tidak lagi terasa tajam—lebih seperti bekas goresan yang masih perih, tapi mulai mengering.
---
Satu bulan setelah itu, saat Karina lewat di depan gedung administrasi kampus, ia melihat Alex—berdiri di bawah pohon besar, tertawa bersama seorang perempuan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Perempuan itu tampak nyaman, menepuk bahu Alex sambil bercerita dengan penuh semangat. Alex menatapnya dengan ekspresi yang dulu pernah ia tujukan pada Karina: penuh perhatian, sedikit takjub, dan benar-benar hadir.
Karina membeku.
Ia tidak berani mendekat. Hanya berdiri beberapa langkah di belakang tiang kampus, cukup jauh untuk tidak terlihat, cukup dekat untuk menyaksikan.
Setelah perempuan itu pergi, Karina tetap berdiri di situ, tidak tahu harus berbuat apa. Hatinya terasa seperti disobek pelan-pelan.
"Apa karena ini kak Alex pergi?" Pikirnya dalam perjalanan pulang.
---
Hari berikutnya, kabar itu sampai lewat Mei Lin.
“Namanya Theana, sahabat masa kecil Alex,” jelas Mei Lin. “Baru balik dari Australia. Mereka dulu barengan dari TK katanya. Jadi ya... mungkin karena itu, Alex jadi sibuk.”
Karina hanya mengangguk. Tapi dalam dirinya, ada dentingan kecil yang retak.
Malam itu ia menelpon Mahesa lagi. Tidak menangis, tidak mengeluh. Hanya butuh didengar.
“Dia ketemu sahabat lamanya,” ucap Karina sambil menatap langit-langit kamarnya.
“Dan Lo ngerasa digantiin?”
Ia mengangguk, meski tahu Mahesa tak bisa melihat. “Aku nggak tahu kenapa aku se-bodoh ini.”
“Lo nggak bodoh, Na. Lo cuma pengen mempercayai seseorang setelah semua luka yang kamu dapatkan dari orang tua kamu. Dan itu bukan kelemahan.”
Hening sejenak.
“Kadang aku iri,” lanjut Mahesa. “Iri sama orang-orang yang punya kesempatan buat deketin kamu langsung. Tapi kalau mereka nyakitin kamu, aku jadi pengen terbang ke sana dan—”
“Dan?”
“Dan gantiin mereka.”
Karina menelan ludah. Kalimat itu hangat. Bukan rayuan. Bukan manipulasi. Tapi kebenaran yang sederhana.
“Makasih banyak, Kak.”
“Selalu, cantik."
---
Di malam yang sama, setelah Mahesa mematikan panggilan video dengan Karina, ia lanjut menelpon Alex.
"Alex, Lo kenapa, sih? Lo apain Karina sampai dia jatuh lagi!" Nada suaranya berubah tinggi.
Di ujung sana, Alex tampak tersenyum tipis meski tak terlihat. "Cewek itu... Cewek itu terlalu polos sampai gampang banget gue bohongin."
Mahesa menggeram. "Ternyata Lo bener-bener gak berubah, Lex. Lo tetep Alex yang dulu dikenal sebagai playboy."
Alex terkekeh. "Oh, jelas. Itu udah jadi takdir hidup gue."
Mahesa mengepalkan tangannya, meski tak ada yang bisa ia pukul selain udara kosong. Napasnya memburu.
“Lo tahu nggak, Lex? Karina itu... dia berjuang keras buat pulih dari hidup yang terus ngeremukin dia. Lo dateng cuma buat nambah satu luka lagi.”
Alex terdiam sejenak, lalu menjawab ringan, “Ya salah dia sendiri, kan? Gampang banget percaya sama gue. Gimana gue nggak manfaatin?”
“Lo gila! Bahkan lebih dari itu!"
“Gue cuma realistis, Mahesa..."
Kalimat itu seperti tamparan. Bukan karena kata-katanya, tapi karena ketenangan yang menyertainya—seolah Alex benar-benar tidak merasa bersalah sedikit pun. Seolah perasaan orang lain bukan hal yang layak dipedulikan.
Mahesa menggeleng, tak percaya. “Gue pikir... lo udah berubah. Di NUS, lo keliatan lebih dewasa, lebih sopan. Ternyata itu cuma topeng, ya?”
“Topeng yang cukup berhasil bikin cewek lo jatuh ke gue, kan?” balas Alex, kali ini dengan nada tajam, penuh ejekan.
“Dia bukan cewek gue,” ucap Mahesa pelan, tapi tegas. “Tapi kalau gue bisa jagain dia dari orang kayak lo, gue bakal lakuin semua yang gue bisa.”
Alex tertawa kecil, seperti meremehkan. “Ah, Mahesa si pahlawan moral. Nggak capek jadi orang baik terus?”
Mahesa menarik napas dalam-dalam. “Capek. Tapi jauh lebih baik daripada jadi orang kayak lo, yang cuma puas kalau berhasil ngerusak seseorang.”
Terdengar suara langkah dari sisi lain telepon, lalu keheningan yang berat. Ketika Alex bicara lagi, suaranya sedikit lebih datar, hampir dingin.
“Lo nggak akan ngerti. Gue dan Karina? Itu cuma... permainan yang udah berakhir.”
Saat panggilan berakhir, Mahesa menatap layar ponselnya lama. Matanya tajam, rahangnya mengeras. Hatinya berdenyut antara marah dan kasihan. Tapi lebih dari itu, ia tahu satu hal pasti: ia tidak akan membiarkan Karina kembali jatuh ke dalam lingkaran yang sama.
Bukan selama ia masih ada.
---
Di sisi lain, Karina masih terdiam di tempatnya. Lalu ia memberanikan diri untuk mengambil kembali handphonenya yang tergeletak di atas nakas dan mengetikkan pesan untuk Alex:
[Kalau memang kakak gak mau kita lanjut, aku gak keberatan. Tapi setidaknya aku pengen kakak yang bilang langsung di depan aku tentang akhir hubungan kita ini. Jangan cuma digantung gini aja.]
Tangannya bergetar ketika ia mengetik pesan itu. Saat pesan itu terkirim, tak ada yang berubah. Tetap terkirim tapi tak pernah sekalipun dibalas.