Langit sore itu berwarna jingga pucat. Gedung sekolah tampak lebih megah dari biasanya, dihiasi baliho bertuliskan "Selamat dan Sukses untuk Angkatan Tahun Ini." Karina berdiri di tengah kerumunan siswa dan orang tua, mengenakan toga biru tua dengan senyum tipis yang ia pasang seperti biasa—senyum yang tidak benar-benar sampai ke matanya.
Ia tidak sedang ingin merayakan apa pun. Kelulusan bukanlah akhir dari tekanan, hanya pergantian bentuknya.
Dari kejauhan, seseorang melambaikan tangan. Karina terdiam sejenak saat mengenali sosok itu: Mahesa.
Pria itu melangkah ringan ke arahnya, membawa sebuket bunga lili putih. Karina menyambutnya dengan alis mengernyit.
"Kak Mahesa? Kakak ada di sini juga ternyata"
Mahesa tersenyum sembari mengangkat bahu. "Seperti biasa, tugas penting dari seseorang di Singapura."
Karina tersenyum. Ia tahu siapa yang dimaksud. Alex. "Kak Alex udah bilang sama aku kemarin."
Mahesa mengangguk paham. Lalu ia mengajak Karina untuk pergi makan malam di restoran Jepang favorit Karina.
"Kakak kenapa tiba-tiba ngajak aku ke sini? Aku belum bilang sama Mama Papa, kak."
Mahesa menoleh setelah memesan menu-menu yang mereka inginkan. "Gak apa-apa, Na. Anggap aja ini buat ngerayain kelulusan Lo. Lagian orang tua Lo juga gak akan tahu."
Karina mengangguk ragu.
"Kalaupun nanti orang tua Lo nanya, biar gue yang tanggung jawab."
Karina lagi-lagi hanya mengangguk. Ia menggoyangkan kakinya di bawah meja sembari menatap sekeliling.
Makan malam itu dipenuhi berbagai cerita dan tawa hangat dari Karina maupun Mahesa. Hingga tanpa mereka berdua sadari, waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam dan itu artinya sudah waktunya bagi Mahesa untuk mengantarkan Karina pulang.
"Jangan lupa gosok gigi, cuci tangan, cuci kaki, sama jangan lupa minum susunya." Ujar Mahesa mengingatkan ketika mereka tiba di depan pintu rumah Karina.
Karina memutar bola matanya, tampak sudah sangat terbiasa dengan kebiasaan Mahesa satu ini. "Kak, harus berapa kali aku bilang, aku bukan anak kecil lagi."
"Tapi badan Lo segede botol Yakult, Na. Sadar diri deh. Jadi bagi gue Lo itu tetep anak kecil." Ejek Mahesa
Karina melotot, lalu berbalik untuk masuk tanpa mengucapkan sepatah katapun lagi.
"I love you" Teriak Mahesa dari luar
Kata-kata itu sontak membuat Karina kembali keluar. "Diem, kak. Atau aku panggil satpam sekarang juga biar kakak diseret."
Mahesa tertawa lebar melihat Karina yang berlagak sok galak. "Iya, iya... Gue pulang." Sebelum Mahesa melajukan mobilnya, ia membuka jendela dan melambaikan tangan ke arah Karina "Good night, cantik."
Karina kembali melotot, membuat Mahesa tertawa semakin lebar.
---
Dua bulan terakhir di Jakarta berlalu seperti mimpi yang samar. Mahesa, yang dulu hanya sebatas “teman kakak kelas,” kini menjadi sosok yang hadir nyaris setiap hari—mengantar Karina berbelanja keperluan, menungguinya di depan rumah, atau kadang hanya untuk duduk diam di taman kompleks dan berbicara soal hal-hal ringan.
Karina tidak pernah menanyakan alasan Mahesa begitu rajin. Ia tahu jawabannya pasti: Alex.
Namun, di antara obrolan tentang film, makanan favorit, dan masa depan, Karina mulai merasa aneh. Kehadiran Mahesa tidak terasa seperti “tugas.” Ia benar-benar ada. Mungkin itu yang selama ini ia rindukan—seseorang yang hadir tanpa menuntut apa-apa.
“Lo kelihatan excited banget, Na. Udah gak sabar ketemu Alex, ya?” Goda Mahesa suatu sore saat mereka duduk di bangku taman, seminggu sebelum keberangkatan Karina ke Singapura.
Karina tertawa lepas, pipinya bersemu merah. “Sebenernya campuran antara excited... dan takut,” jawab Karina pelan. “Aku nggak tahu gimana rasanya hidup tanpa aturan rumah akan seperti apa.”
“Berarti kamu akan hidup versi kamu sendiri,” jawab Mahesa. “Bukan versi orang tua kamu.”
Karina menoleh padanya, sedikit terkejut. Tidak banyak orang yang berani menyentuh luka lamanya dengan cara yang selembut itu.
Mahesa menepuk kepala Karina lembut. "Tenang, karena nanti orang tua Lo gak bisa nganterin ke bandara, gua yang bakal anterin Lo."
Karina hanya mengangguk, tapi dalam hatinya ia merasa sedikit kecewa karena lagi-lagi orang tuanya lebih mementingkan pekerjaan mereka dibandingkan dirinya.
---
Hari itu, terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta dipenuhi suara koper yang diseret, pengumuman keberangkatan, dan pelukan-pelukan hangat dari keluarga. Tapi Karina duduk tanpa keluarga bahkan orang tuanya. Hanya ada Mahesa yang duduk di bangku di dekatnya.
Ia menatap layar ponsel, kemudian melihat Karina yang diam menatap papan keberangkatan.
“Masih sempat berubah pikiran kalau mau,” kata Mahesa setengah bercanda.
Karina menghela napas, menoleh padanya. “Kalau aku pulang sekarang pun, mereka juga nggak akan sadar."
Mahesa terdiam. Ia tahu siapa yang dimaksud Karina.
Orang tua Karina tidak datang hari itu. Alasan mereka sederhana dan tajam: "Kami sibuk." Tidak ada pelukan, tidak ada titipan doa di gerbang keberangkatan. Hanya sebuah pesan dari Irene pagi tadi: "Jangan lupa kabari kalau sudah sampai."
"Atau mungkin cuma ART di rumah dan Pak Asep yang bakal sadar. Tapi aku gak tahu pasti" Lanjut Karina.
Mahesa tak menjawab dan hanya menepuk bahu Karina sebelum akhirnya Mahesa berdiri dan membantu mengangkat koper Karina ke troli.
“Lo tahu gak, Na? Dulu gue mikir, orang yang pergi ke luar negeri itu pasti hebat. Tapi ternyata, kadang mereka cuma pengen pergi sejauh mungkin dari tempat yang nyakitin.”
Karina tersenyum tipis. “Mungkin aku dua-duanya.”
Mahesa menatapnya lama, kemudian mengangguk. “Jaga diri, ya. Kalau butuh apa-apa, tinggal hubungi. Nanti kalau bisa flight hari itu juga, gue pasti langsung pergi."
Karina memeluk Mahesa sebentar. Bukan pelukan keluarga, bukan pelukan kekasih—hanya bentuk rasa terima kasih yang tak bisa diucapkan.
“Thanks, Kak Mahesa. Udah nganterin. Udah nemenin aku selama beberapa bulan terakhir ini dan bahkan nemenin aku di hari kelulusan."
“Udah kewajiban aku buat jagain si cantik satu ini,” jawab Mahesa santai. “Lagian ini juga titipan dari Alex, kan. Dia gak mau calon istrinya kenapa-napa." Mahesa menepuk puncak kepala Karina pelan.
Karina tertawa kecil. Kemudian, ia menarik kopernya menuju pemeriksaan imigrasi, tanpa menoleh ke belakang. Ia tidak membawa apa pun dari rumah—kecuali kenangan yang pelan-pelan ingin ia sembuhkan.
---
Langit siang hari di Changi International Airport cerah tanpa awan. Karina menarik napas panjang saat menuruni pesawat, menatap terminal dengan dada yang terasa kosong tapi juga anehnya ringan. Di pundaknya tergantung tas ransel abu-abu, berisi satu dunia lama yang hendak ia tinggalkan—dan mungkin, dunia baru yang hendak ia pahami.
Ia berjalan perlahan melewati imigrasi, lalu menyusuri lorong keberangkatan sambil sesekali melirik petunjuk arah. Tak lama kemudian, ponselnya bergetar. Ada satu pesan dari Alex.
[Welcome to Singapore. Gue tunggu di stasiun, ya.]
Karina tersenyum kecil, membalas singkat, [Oke. Makasih, Kak.]
Beberapa menit kemudian, ia melihat sosok jangkung berhoodie putih bersih dan jeans gelap berdiri di dekat papan penunjuk arah stasiun MRT. Alex melambai santai. Tidak ada bunga atau sambutan berlebihan, hanya satu koper yang ia bantu angkat dan obrolan ringan sepanjang perjalanan menuju kampus.
“Gedung tempat tinggal Lo nggak jauh dari kampus. Tapi tetap aja, siap-siap lebih banyak jalan kaki Lo selama di sini,” katanya sambil terkekeh.
Karina mengangguk. “Itu malah bagus, kan? Biar kurus.”
Alex tertawa pelan, lalu menatapnya sebentar. “Lo kelihatan beda. Tapi nggak tahu ya, beda gimana dan sebelah mana.”
Karina tak menjawab. Ia hanya memandangi jendela MRT yang menampilkan bayangan samar wajahnya sendiri. Wajah yang selama satu tahun terakhir ia tata agar terlihat lebih tegar.
Sesampainya di National University of Singapore (NUS), Karina baru benar-benar menyadari betapa jauhnya ia dari Jakarta. Gedung-gedung kampus yang luas, siswa-siswa dengan berbagai warna kulit dan bahasa, dan ritme hidup yang terasa lebih mandiri. Tidak ada Irene yang meneriaki jadwal les, tidak ada Hartono yang menatap sinis jika nilai turun. Di sini, tekanan berubah wujud: menjadi kebebasan yang nyaris asing.
---
Hari-hari pertamanya diisi dengan orientasi kampus, pengurusan dokumen, dan berkenalan dengan rekan-rekan asrama. Ia sekamar dengan seorang mahasiswi dari Tiongkok bernama Mei Lin, yang ramah tapi tidak cerewet. Karina menyukainya justru karena itu. Mereka bisa duduk diam di satu ruangan tanpa merasa canggung.
Suatu malam, saat Karina baru selesai mengatur buku-bukunya, pesan dari Alex masuk.
[Kalau besok lo ada waktu dan sempat, ada street food yang harus lo coba. Gue berani jamin, Lo pasti suka.]
[Jam berapa, Kak? Kalau dari jam 6 pagi sampai 5 sore aku gak bisa.]
[Tenang, jam 6 sore gue jemput]
Esoknya, Karina duduk di bangku taman yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari kampus mereka. Sembari menikmati roti prata yang hangat, Alex duduk di sebelahnya dan mengupas cerita tentang mata kuliah dan dosen favoritnya.
“Mereka nggak akan nanya nilai Lo berapa kayak waktu kita di SMA. Tapi mereka bakal nanya lo baca apa minggu lalu,” ujar Alex sambil menyeruput teh tarik.
Karina mengangguk pelan. Ia belum terbiasa dengan sistem yang lebih terbuka ini, tapi ia menikmatinya. Di sini, ia tak harus selalu benar. Ia bisa salah, dan masih dianggap manusia.
Alex sering mengirim pesan pendek: “Kamu udah makan?”, “Butuh buku referensi nggak?”, atau “Kalau stres, ada taman bagus di belakang perpustakaan.” Tapi ia tidak pernah memaksa. Tidak ada kalimat romantis atau janji-janji manis. Ia hanya hadir, tapi tidak menuntut lebih.
Karina tahu, sebagian dari dirinya masih menahan jarak. Luka yang lama belum benar-benar sembuh, dan ia terlalu takut membiarkan siapapun masuk lebih jauh.
Di ruang kelas, Karina mulai menemukan irama. Ia lebih banyak diam, tapi mulai menyukai diskusi terbuka yang menantang logikanya. Beberapa dosen juga mulai menyadari kecerdasannya, dan rekan-rekan sekelas mulai meminta pendapatnya dalam diskusi kelompok. Rasanya... berbeda.
Namun malam-malam tetap sepi. Saat lampu kamar dipadamkan, dan hanya ada suara pendingin ruangan, Karina menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang berkelana: tentang kakaknya, tentang rumah, tentang dirinya sendiri yang perlahan mencoba hidup sebagai diri sendiri.
Suatu sore, ia duduk di tepi danau kampus, membuka jurnal kecil yang selalu ia simpan sejak SMA sambil mendengarkan alunan lagu 'Home' Seventeen
Perlahan, tangannya mulai bergerak di atas halaman buku itu. Ia menulis:
"Sejak aku ada di sini, aku gak pernah lagi menangis waktu mau tidur. Itu sudah jadi sebuah kemajuan, kan?
Di sini semua orang gak pernah menatapku seperti aku harus selalu benar dan gak boleh melakukan kesalahan sedikitpun.
Kak Alex baik, masih tetap kak Alex yang dulu aku kenal dan confess hari itu. Tapi aku masih belum siap buat memulai cinta dengan siapapun di saat aku juga masih belajar mencintai diriku sendiri.
Mungkin, hari ini cukup ditutup dengan mencintai diriku sendiri meski sedikit.”
---
Hari demi hari, Karina belajar bahwa “bebas” bukan berarti tanpa arah. Ia belajar bahwa menjadi kuat bukan berarti tak pernah goyah. Kadang, kekuatan justru datang dari keberanian mengakui kelemahan—dan tetap melangkah.
Ia masih menyimpan foto kakaknya di meja belajar. Tapi kini, tatapannya ke arah foto itu tidak lagi penuh luka. Ada rasa rindu, tentu. Tapi juga ada penerimaan.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Karina mulai bertanya, bukan pada orang tua atau guru—tapi pada dirinya sendiri:
"Aku mau jadi siapa dan apa?"
Dan hari itu, pertanyaan itu terasa cukup. Ia tak butuh jawaban sekarang.
Karina menutup jurnalnya, tersenyum kecil, dan kembali berjalan ke kamar. Lampu-lampu jalan menyala perlahan, dan langit Singapura menyambut malam dengan tenang.
---
Hari-hari berikutnya berlalu seperti aliran sungai yang tenang—kadang deras dengan tugas, kadang hening dengan renungan. Karina mulai membiasakan diri bangun pagi tanpa suara Irene dari lantai bawah atau ketukan pintu keras dari pembantu rumahnya yang memintanya untuk cepat bersiap. Di asrama, segala sesuatu lebih teratur, tapi juga lebih sunyi. Kebebasan datang bersama kesepian, dan Karina mulai belajar menyeimbangkannya.
Ia mengikuti mata kuliah-mata kuliah wajib dengan tekun, mencatat rapi, dan lebih sering bertanya dalam diskusi. Awalnya, ia hanya menjawab jika ditanya. Tapi lama-kelamaan, ia mulai mengangkat tangan lebih dulu. Ada rasa aneh setiap kali dosennya mengangguk dan berkata, “Good point, Karina.” Seolah-olah suara yang selama ini ia sembunyikan mulai terdengar dan dihargai.
Teman-teman sekelasnya datang dari berbagai latar belakang: ada Priya dari India yang sangat ekspresif, Lucas dari Prancis yang selalu membawa roti isi ke kelas, dan tentu saja teman sekamarnya Mei Lin yang cenderung diam tapi selalu bisa menguasai semua materi. Mereka berbeda dari teman-temannya di Jakarta yang penuh basa-basi dan kompetisi tersembunyi. Di sini, semua orang sibuk menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri—bukan versi yang diharapkan orang lain.
---
Suatu siang, setelah kuliah Filsafat Politik yang cukup menantang, Priya menghampiri Karina di kantin kampus.
“Kamu tadi keren banget pas ngangkat soal kontrak sosial Rousseau. Kita lagi mau bikin diskusi informal tiap Jumat sore, kamu mau join?”
Karina sempat ragu. Insting lamanya ingin menolak, bersembunyi di balik kesibukan atau alasan-alasan klise. Tapi akhirnya ia mengangguk. “Boleh. Di mana tempatnya?”
Priya tersenyum lebar. “Di rooftop perpustakaan. Biasanya kita bawa kopi sendiri dan ngobrol santai. Nggak usah formal-formal amat.”
Dan dari situlah, lingkaran kecil Karina perlahan terbentuk.
Setiap Jumat sore, ia duduk di atas rooftop dengan lima atau enam mahasiswa lainnya, membahas banyak hal—dari filsafat eksistensial sampai budaya populer. Di sana, tidak ada yang menghakimi jika pendapatmu berbeda. Karina merasa aman untuk berpikir keras, bertanya, bahkan salah.
---
Suatu sore, setelah diskusi yang cukup intens, Lucas menawarkan karina sebungkus pain au chocolat. “Bikin sendiri, loh. Tapi jangan harap rasanya seenak di Paris.”
Karina menerima bungkus roti itu dengan tawa kecil. “Terima kasih. Kalau aku kasih kamu martabak, pasti kamu juga nggak akan bilang rasanya seenak Jakarta, kan?”
Lucas tertawa. “Deal. Tapi Martabak itu apa?”
Karina tampak berpikir sejenak, “Next time aku bawain deh.”
Hubungan-hubungan kecil itu—roti, tawa, diskusi santai—mulai mengisi celah dalam hidup Karina yang sebelumnya kosong. Ia masih sering menulis di jurnal kecilnya, tapi isi jurnalnya kini bukan hanya keluhan dan luka lama. Ia mulai menuliskan hal-hal yang ia syukuri: “Hari ini aku bisa ketawa lagi tanpa adanya rasa bersalah kayak dulu.” atau “Aku suka cara Mei Lin mendengarkan meski dia gak banyak menanggapi."
Suatu akhir pekan, Karina dan teman-temannya memutuskan untuk mengikuti volunteering event kampus—membersihkan taman komunitas di area Queenstown. Saat mencabut ilalang dan membersihkan sampah plastik, tangan Karina kotor, bajunya terkena tanah, dan keringat menetes deras. Tapi entah kenapa, ia merasa hidup. Tidak mewah, tidak teratur, tapi nyata.
Priya berseru sambil menunjuk seekor burung kecil yang hinggap di pagar taman. “Lihat deh! Spotted dove!”
Lucas mengangkat alis. “Apa itu artinya kita bakal dapet keberuntungan?”
Karina terkekeh sambil menyeka peluh dari dahinya. “Kalau iya, burungnya harusnya udah muncul dari semester satu.”
Mereka semua tertawa.
Malam harinya, saat Karina kembali ke asrama dan mandi air hangat, ia merasa capek tapi puas. Ia membuka jurnalnya lagi. Dengan ditemani alunan lagu 'To You' Seventeen ia mulai kembali menulis di atas halaman kosong:
“Aku mulai menyukai diriku yang bisa kotor, capek, dan tetap merasa cukup.”
---
Suatu waktu, Mei Lin mengajaknya ikut klub diskusi sastra di kampus. Mereka bertemu seminggu sekali untuk membahas buku-buku dari berbagai negara. Di situlah Karina mulai menyuarakan cintanya pada Pramoedya, meski dalam bahasa Inggris yang belum sepenuhnya lancar.
Di forum itu, ia mendengar puisi India, cerpen Korea, dan novel Jepang. Ia membaca, menganalisis, dan menanggapi. Suaranya, yang dulu hanya jadi gema dalam kamar, kini jadi bagian dari ruang publik. Satu kali, setelah ia membacakan esai refleksi tentang Bumi Manusia, moderator diskusi hanya berkata, “You should publish this.”
Karina hanya tersenyum kecil, tapi hatinya bergemuruh.
---
Minggu keempat, Alex mengajak Karina ke toko buku kecil di daerah Tiong Bahru. Di sana, suasananya sepi dan dindingnya dipenuhi rak-rak kayu berisi buku dalam berbagai bahasa. Mereka duduk di pojok sambil menyeruput kopi dan membaca dalam diam.
“Gue suka tempat ini karena gak banyak yang tahu,” ujar Alex pelan.
Karina mengangguk. “Aku ngerti kenapa. Di sini, kayak semua bisa berhenti sebentar.”
Alex memandangnya lama. “Lo jauh lebih tenang sekarang.”
Karina tak langsung menjawab. Tapi dalam hatinya, ia mengiyakan. Bukan karena semuanya sudah selesai, tapi karena ia sedang dalam proses—dan untuk pertama kalinya, proses itu tidak menakutkan.
Saat mereka keluar dari toko buku, langit Singapura sudah berwarna ungu kebiruan. Lampu-lampu jalan menyala satu per satu, menyinari jalanan yang perlahan ramai.
Karina menatap langit dan berpikir: Dulu aku ingin lari sejauh mungkin dari rumah. Sekarang aku ingin berjalan pelan, menuju diriku sendiri.
Dan langkah-langkah itu sudah ia mulai.
---
Hubungan Karina dan Alex perlahan menemukan ritme yang alami. Tidak ada pernyataan eksplisit, tidak ada permainan kata-kata manis atau rayuan gombal. Tapi kehadiran Alex terasa konstan. Ia ada saat Karina butuh teman belajar, ada saat Karina ingin diam di kafe sambil membaca, dan bahkan ada saat Karina tidak tahu bahwa dirinya sedang butuh ditemani.
Suatu sore, saat Karina kelelahan usai presentasi yang membuatnya cemas semalaman, Alex menunggunya di luar ruang kelas dengan dua minuman dingin di tangan.
“Matcha latte, no sugar,” katanya sambil menyerahkan satu gelas.
Karina menatapnya, heran. “Kok kakak tahu aku butuh ini?”
Alex hanya mengangkat bahu. “Feeling, Na. Lagian gue tahu Lo selalu suka matcha."
Bukan kalimat luar biasa. Tapi caranya mengatakan itu, cara ia duduk di samping Karina tanpa mendesak bicara, membuat Karina merasa… terlihat. Dan perasaan itu sudah lama tidak ia rasakan dari siapa pun.
---
Hari-hari berikutnya semakin sering diwarnai momen-momen kecil. Saat Karina stres karena tugas essay dan merasa tulisannya buruk, Alex membaca drafnya lalu berkata, “Lo nulis kayak air tenang. Dalam. Tapi sabar. Orang yang baca pasti ngerasain.”
Karina terdiam lama. Pujian itu tidak seperti komentar sosial media atau kata-kata manis dari orang yang ingin menyenangkan hatinya. Itu datang dari seseorang yang betul-betul membaca, memahami, lalu menghargai.
Dalam pertemuan-pertemuan kecil mereka, Alex tidak pernah menuntut. Ia tidak memaksa Karina untuk bercerita, tapi selalu hadir jika Karina memilih untuk membuka diri. Dan Karina, yang selama ini terbiasa menjaga jarak, mulai menurunkan pertahanannya sedikit demi sedikit.
Pernah, saat malam turun dan mereka berjalan menyusuri taman kampus setelah selesai nonton film screening, Karina berkata pelan, “Dulu aku selalu mikir kalau dekat sama orang itu bikin lemah. Tapi sekarang aku sadar… mungkin justru bikin kuat.”
Alex tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap langit yang dipenuhi bintang samar, lalu berkata, “Kita gak harus sendiri buat jadi kuat. Kadang, kekuatan justru muncul karena ada yang nemenin kita jalan.”
Langkah mereka terus beriringan.
Karina tahu bahwa perasaan ini tidak datang tiba-tiba. Ia tahu bahwa ia sedang jatuh hati—bukan karena Alex memperlakukannya bak tokoh utama film romantis, tapi karena Alex memperlakukannya seperti manusia yang utuh.
Bukan Karina si anak ambisius. Bukan Karina si anak yang selalu bisa diandalkan. Bukan Karina si mahasiswi dari Indonesia. Tapi Karina, sebagaimana dirinya. Dengan seluruh kerumitannya, diamnya, dan semangat kecilnya yang perlahan menyala kembali.
Malam itu, di kamar asramanya yang remang, Karina menulis di jurnal:
“Kalau perasaan ini emang benar, aku gak mau terburu-buru. Tapi aku juga gak mau mengingkari perasaan ini. Aku gak tahu apakah aku siap untuk memulai cinta. Tapi untuk pertama kalinya… aku gak takut.”
Dan mungkin, itu awal yang paling jujur dari semuanya.
---