Karina selalu berpikir bahwa kelas dua belas akan terasa seperti babak akhir dari film coming-of-age—penuh tawa, perpisahan yang manis, dan semangat mengejar mimpi. Tapi realitanya berbeda jauh. Tahun terakhir SMA baginya bukan kisah penuh warna, melainkan lorong panjang dan gelap, penuh suara yang memekakkan telinga dan tekanan dari segala arah.
Hari-harinya dimulai sebelum matahari terbit, dengan jadwal belajar yang tersusun ketat di sticky notes warna-warni di dinding kamarnya. Fisika, matematika, bahasa Inggris, TOEFL, SAT, dan simulasi wawancara beasiswa. Kadang ia bahkan lupa untuk sekadar duduk santai tanpa memikirkan hal lain.
Setiap minggu selalu ada sesuatu yang harus dicapai. Nilai ujian harus sempurna. Deadline pendaftaran harus tepat waktu. Dan setiap pencapaian, seaneh apapun, tidak pernah benar-benar membawa rasa puas.
“Berapa nilaimu kali ini?” tanya Irene saat Karina baru saja pulang dari try out.
“Delapan puluh tujuh,” jawabnya pelan, lelah.
Irene hanya mendecak. “Kamu harus bisa sembilan puluh lima, Karina. Anak-anak yang keterima di NUS itu nilainya di atas rata-rata semua.”
"Ini salah kamu sendiri karena gak mau kuliah di UGM atau UI. Kalau di sana Papa punya kenalan yang bisa bantu kamu masuk sana tanpa banyak effort." Sahut Hartono
Karina menunduk, menggenggam ujung rok seragamnya erat-erat. Tidak ada “terima kasih sudah berusaha” atau “kamu pasti capek.” Hanya angka. Hanya tuntutan.
Selama ini, Hartono dan Irene pun tak jauh berbeda. Mereka jarang bicara, tapi kehadirannya seperti bayangan besar yang tak bisa dihindari. Setiap kali mereka menatap Karina dari balik meja makan, Karina merasa sedang dinilai. Bukan sebagai anak, tapi sebagai proyek yang harus berhasil.
“Kalau kamu gagal, kamu mau jadi apa?” kata Hartono suatu malam saat makan malam.
Pertanyaan itu tidak perlu jawaban. Karena bagi mereka, gagal artinya akhir dari segalanya.
"Apalagi buat masuk jurusan hukum itu gak mudah, Karina." Lanjut Irene
Karina ingin berteriak. Ia ingin mengatakan bahwa ia lelah. Bahwa setiap malam ia menangis diam-diam sambil belajar. Bahwa ia tidak tahu siapa dirinya sebenarnya selain mesin penghafal dan pengejar target.
Tapi yang keluar dari mulutnya hanya: “Iya, Pa, Ma."
---
Malam itu, Karina kembali menghapal pelajaran fisika. Rasanya begitu sunyi, hanya lagu 'Yawn' Seventeen yang perlahan terdengar dari headsetnya. Karina berhenti sejenak. Ia menatap halaman-halaman tebal dari buku yang tengah ia hapal dengan tatapan kosong. Hatinya kembali terasa sakit.
"Jangan membenci dirimu sendiri
Kamu tahu bahwa itu adalah pilihan yang terbaik
Kamu bahkan tidak bisa mengatakan betapa menyakitkannya hal itu hingga kamu hanya mengerang sendirian"
Lirik itu perlahan masuk ke dalam hatinya. Ia kembali menangis hingga air matanya itu membasahi halaman buku yang terbuka.
Tangis itu datang begitu saja. Bukan ledakan, bukan isakan keras—hanya air mata yang terus menetes, pelan tapi tak berhenti. Seperti luka lama yang kembali menganga. Seperti tubuh yang akhirnya menyerah setelah terlalu lama berdiri dalam badai.
Karina memeluk lututnya, headset masih terpasang di telinga, suara Seventeen melantun lirih seolah memahami isi hatinya. Ia tak ingin belajar malam ini. Ia tak ingin berpura-pura kuat malam ini. Tapi besok, ia harus bangkit lagi. Harus berpura-pura lagi. Harus mengejar lagi.
Tangannya perlahan meraih handphone. Jari-jarinya gemetar saat membuka chat dengan Alex. Lama ia menatap layar kosong, sebelum akhirnya mengetik pelan:
[Kak… aku capek banget.]
Pesan itu terkirim. Dan hanya dalam hitungan menit, ponselnya bergetar.
[Lo di rumah? Sendiri?]
[Iya. Mama lagi nginep di rumah temennya. Papa lagi dinas ke luar kota.]
[Telepon gue sekarang.]
Karina ragu. Suaranya pasti akan pecah. Tapi ia juga tahu, setidaknya hanya dengan mendengarkan suara Alex, dunia ini terasa sedikit lebih bisa ditanggung. Ia menekan ikon panggilan.
Suara itu datang setelah dua dering. Hangat. Tenang. Biasa saja, tapi bagi Karina, itu seperti tempat yang ia jadikan sebagai pelariannya dari dunia yang menyesakkan.
“Karina,” kata Alex, lembut. Hanya satu kata itu—namanya—dan tangisnya kembali pecah.
“Aku... gak kuat, Kak... semua orang nuntut aku terus… aku ngerasa... kayak bukan diri aku lagi…” Karina terisak pelan.
Di seberang sana, Alex diam. Tapi bukan diam yang mengabaikan. Tapi itu diam yang mendengarkan.
“Kalau lo bisa lari sekarang… lo mau lari ke mana?” tanya Alex pelan.
Karina mengusap air matanya dengan punggung tangan. Ia berpikir. Tapi jawabannya tidak muncul. Karena ia bahkan tidak tahu ke mana arah yang ingin ia tuju.
“Aku cuma… pengen berhenti. Sebentar aja,” bisiknya.
“Kalau gitu... malam ini, lo nggak usah belajar. Tutup bukunya. Dengerin lagu Seventeen kesukaan lo. Tidur.”
Karina menarik napas panjang. Mungkin ini pertama kalinya seseorang berkata padanya untuk berhenti. Dan itu terasa… melegakan.
---
Malam itu, Karina kembali duduk di depan meja belajar seperti malam-malam sebelumnya. Ia menatap soal latihan yang tak kunjung ia sentuh. Otaknya penat. Tubuhnya menggigil pelan karena dingin angin malam yang perlahan berhembus masuk ke dalam lewat jendela yang sedikit terbuka.
Lagu-lagu dari Seventeen soft playlist sebelumnya masih mengalun pelan di handphone, namun kali ini tak ada tangis. Hanya ada kekosongan yang semakin mendalam di hatinya.
Suara notifikasi berbunyi. Satu pesan baru dari Alex.
[Lo masih bangun, Na?]
Karina mengetik dengan lambat.
[Iya. Mau mulai belajar lagi. Besok ada simulasi.]
[Karina… Lo itu masih manusia. Bukan robot. Ngerti? Lagian robot juga kalau terlalu lama bekerja dia akan rusak, Na.]
Ia menatap pesan itu lama sekali, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu benar. Tapi setiap kali ia membiarkan dirinya berhenti, dunia seolah menggigitnya kembali. Ia menutup handphone, mengambil pulpen, dan mulai menulis jawaban dengan tangan yang gemetar.
---
Beberapa minggu berikutnya, hidup Karina berputar di poros yang sama: bangun terlalu pagi, belajar tanpa henti, menghadapi ujian demi ujian. Kadang, ia lupa kapan terakhir kali tertawa dengan tulus. Ia bahkan lupa rasa nyaman dari sekadar makan siang tanpa tergesa.
Di sekolah, teman-temannya mulai memperhatikan perubahan.
"Karina, Lo kelihatan makin kurus" kata Anya suatu hari di kantin saat istirahat.
Karina hanya tersenyum. "Iya ya? Mungkin karena gue terlalu banyak ikut kegiatan."
“Tapi Lo beneran gak apa-apa, kan?” tanya Anya, suara ragu. “Kemarin lo gak jawab chat kita di grup… Padahal kita semua lagi kesusahan ngerjain fisika."
Karina menunduk sambil mengaduk es teh yang sudah cair. Ia ingin bilang bahwa ia merasa hampa. "Maaf, kemarin gue ada les dan baru pulang malam." Dan karena bibirnya yang sudah terlalu terlatih untuk tersenyum dan berkata, “Tapi tenang, gue baik-baik aja, kok.”
Setelah itu, keheningan kembali menyelimuti. Karena siapa yang bisa benar-benar memahami? Bahkan ia sendiri tidak paham apa yang sedang ia perjuangkan.
Malam harinya, lagi-lagi ia menangis di telepon bersama Alex. Tapi tangis itu tidak lagi meledak. Hanya sesak yang perlahan keluar lewat suara pelan.
“Aku takut, Lex,” bisiknya.
“Takut apa?”
“Takut gagal. Takut kalau ternyata semua ini sia-sia. Takut... aku hilang arah.”
Di seberang sana, Alex terdiam lama. Lalu ia berkata, “Kalau lo hilang arah, gue bakal tetap jadi kompas buat Lo.”
Karina tidak menjawab. Tapi untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, ia tidur tanpa mimpi buruk.
---
Puncaknya terjadi satu bulan sebelum kelulusan.
Hari itu, Karina datang ke sekolah dengan kepala berat. Ia tidak tidur semalaman karena harus menyusun ulang berkas pendaftaran beasiswa. Saat upacara, pandangannya mulai buram. Suara guru yang sedang memberi pidato terdengar jauh, seperti dari dalam air.
Tiba-tiba, semuanya gelap.
Ia pingsan.
Karina terbangun di UKS. Kepala masih pening, tangan dingin. Di sisinya, guru BK duduk sambil memegangi daftar nilai dan data siswa.
“Kamu terlalu memaksakan diri, Karina,” katanya pelan. “Kamu ini anak yang pintar. Tapi kamu lupa istirahat.”
Karina diam saja. Menunduk, manatap lantai dengan tatapan kosong.
“Kamu punya cita-cita yang bagus dan saya bangga sama kamu, tapi kamu juga harus sayang sama dirimu sendiri.”
Ucapan itu, entah kenapa, membuat Karina ingin menangis lagi. Bukan karena sedih, tapi karena akhirnya ada orang yang melihatnya sebagai manusia, bukan mesin.
Setelah hari itu, Karina diberi izin istirahat di rumah selama tiga hari. Tapi istirahat itu bukan pemulihan. Itu hanya pelarian sementara dari medan perang yang lebih besar.
Di rumah, Irene dan Hartono tidak marah, tapi juga tidak menunjukkan simpati. Mereka hanya berkata, “Jangan sampai sakit kayak gitu waktu nanti kamu tes NUS, ya. Kamu harus tetep jaga kondisi.”
Karina mengangguk. Seperti biasa.
---
Tiga hari istirahat terasa ganjil bagi Karina. Ia tidak tahu bagaimana caranya diam. Tubuhnya memang disuruh istirahat, tapi pikirannya tidak pernah benar-benar berhenti.
Hari kedua, ia memutuskan keluar rumah. Bukan untuk hang out atau belanja. Ia hanya ingin tempat yang tenang, di mana suara-suara dari rumah tak bisa menyusulnya. Ia naik MRT, lalu turun di dekat pusat kota, dan berjalan kaki ke perpustakaan umum yang dulu pernah ia kunjungi bersama sekolah dan sering ia kunjungi saat awal masuk SMA. Tempat itu besar dan tenang, dengan aroma buku tua yang mengisi setiap lorongnya.
Ia memilih tempat duduk paling pojok di lantai dua. Membuka buku hukum internasional yang tebal, seolah masih ingin terlihat "produktif". Tapi matanya hanya melintasi huruf tanpa benar-benar membacanya.
“Karina?”
Suara itu membuatnya menoleh cepat. Untuk sesaat, ia bingung. Tapi kemudian ia mengenali sosok itu. Lelaki tinggi dengan rambut sedikit berantakan dan Hoodie hitam sederhana, berdiri dengan senyum hangat yang terasa begitu familiar.
“Kak Mahesa?”
Mahesa tertawa kecil. “Masih inget juga, ya? Gue pikir lo udah lupa sama kakak kelas yang dulu sering nitip absen.”
Karina tersenyum, samar. “Enggak mungkin lupa. Kakak dulu sahabatnya Kak Alex, kan? Yang kemanapun selalu berdua."
Mahesa tertawa. "Iya, ingatan Lo masih bagus ternyata." Ia lalu duduk di kursi seberang tanpa bertanya. Gerakannya tenang, tidak menginvasi. Seperti seseorang yang sudah lama belajar mendengarkan.
Karina ikut tertawa. "Kak, itu baru satu tahun yang lalu, lho"
Mahesa tersenyum “Lo kelihatan capek,” katanya pelan.
Karina mengalihkan pandangannya. “Cuma lagi banyak pikiran aja.”
“Coba gue tebak?” tanya Mahesa dengan nada ringan, tapi tatapannya serius. “Tekanan sekolah, orang tua, beasiswa, dan... hidup yang kayaknya makin nggak masuk akal?”
Karina menahan napas. Rasanya seperti seseorang tiba-tiba membuka pintu kamar yang selama ini ia kunci rapat.
“Kak Mahesa bisa baca pikiran sekarang?” tanyanya mencoba bercanda, tapi suaranya goyah.
Mahesa tertawa sambil menggeleng pelan. “Nggak, cantik. Cuman dulu, gue juga pernah di titik itu. Sama kayak lo. Sama kayak Alex, juga.”
Mata Karina membulat. “Kak Alex?”
“Dia nggak pernah cerita, ya?” Mahesa menatap Karina. “Dulu sebelum dia ke Singapura, dia juga hampir nyerah. Tekanan dari keluarga, ekspektasi orang, semua numpuk. Tapi dia belajar satu hal penting...”
“Apa?” tanya Karina pelan.
“Kalau hidup itu bukan soal lari paling cepat. Tapi soal tahu kapan harus berhenti, duduk sebentar, dan lihat sekeliling.” Ia tersenyum. “Kadang... kita cuma lupa kalau bernapas juga bagian dari perjalanan.”
Karina menatap meja, matanya mulai basah. “Aku nggak tahu harus ngapain, Kak.”
“Gak apa-apa. Serius. Gak apa-apa kalau lo belum tahu. Yang penting, lo masih di sini. Masih bernafas. Masih hidup dan gak menyerah walau gue yakin pasti lo pernah kepikiran buat nyerah, kan"
Sesaat, hening mengisi ruang antara mereka. Tapi itu bukan hening yang canggung. Itu adalah keheningan yang mengizinkan Karina merasa.
“Lo mau ditemenin baca?” tanya Mahesa akhirnya. “Atau cuma duduk bareng juga gak apa-apa.”
Karina mengangguk. Pelan, tapi pasti. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tidak merasa sendiri di dalam sunyi.
---
Sejak pertemuan di perpustakaan itu, Mahesa mulai muncul lebih sering dalam hari-hari Karina—bukan dengan cara yang tiba-tiba, tapi perlahan dan hati-hati. Seolah ia tahu bahwa Karina adalah kaca yang bisa retak kapan saja jika disentuh terlalu keras.
Awalnya hanya sebatas obrolan singkat lewat chat tengah malam, atau saat Mahesa secara kebetulan mampir ke perpustakaan lagi. Tapi suatu malam, saat Karina baru saja pulang dari bimbingan belajar dan membuka handphonenya, ada satu pesan dari Mahesa yang membuatnya diam cukup lama.
[Alex cerita lo lagi berat. Kalau butuh teman buat nemenin belajar, kabarin gue aja.]
Karina menggigit bibir. Ada perasaan hangat, tapi juga rasa bersalah yang tiba-tiba muncul. Ia belum membalas pesan Alex sejak kemarin karena terlalu lelah. Dan kini, Alex malah mengirimkan seseorang untuk menemaninya.
[Makasih ya, Kak Mahesa. Tapi maybe kapan-kapan.]
---
Kapan-kapan itu ternyata datang lebih cepat dari yang Karina duga.
Hari Sabtu sore, langit mendung menggantung di atas kota. Karina duduk di kafe kecil dekat kampus, mencoba memahami soal TOEFL yang entah mengapa hari itu terasa seperti bahasa alien. Ia menatap layar laptopnya kosong, tangannya menopang dagu
“Kayaknya lo butuh matcha, bukan grammar,” suara familiar menyapanya dari samping.
Karina menoleh. Mahesa berdiri dengan satu gelas kopi dan satu gelas clear matcha di tangan, senyum kecil menghiasi wajah tampannya.
"Kakak ngikutin aku?” tanya Karina setengah bercanda.
“Enggak. Tapi Alex yang ngasih tahu tempat favorit lo kalau lagi pusing,” jawab Mahesa sambil duduk di seberangnya. “Gue cuma disuruh jadi bodyguard sementara.”
Karina ingin tertawa, tapi yang keluar hanya senyum tipis. Ia menerima gelas matcha itu. Dinginnya menyentuh telapak tangan. Tapi rasanya justru terasa hangat seperti pelukan diam-diam yang ia butuhkan hari itu.
Mereka tidak banyak bicara. Mahesa hanya duduk di sana, membuka bukunya sendiri. Tapi kehadirannya cukup. Karina merasa tidak sendiri, dan itu lebih dari cukup untuk saat ini.
---
Hari-hari berikutnya, kehadiran Mahesa menjadi semacam jeda dalam dunia Karina yang penuh tekanan. Mereka belajar bersama di perpustakaan, makan siang satu menu berdua di kafe, atau sekadar berjalan-jalan keliling kota Jakarta saat Karina merasa sesak.
Mahesa tidak pernah bertanya terlalu dalam. Tapi ia tahu kapan Karina butuh didengar.
“Gue pernah ngerasa kayak lo,” katanya suatu sore saat mereka duduk di bangku taman dengan hamparan rumput luas di hadapannya. “Waktu gue kelas dua belas, gue juga pernah pingsan karena terlalu maksa diri. Sama... gue juga pernah ngerasa kayak robot.”
Karina menoleh padanya. “Terus kakak lakuin apa biar bisa keluar dari itu semua?”
Mahesa tersenyum kecil. “Gue gak keluar. Gue cuma belajar jalan pelan-pelan di dalamnya. Belajar memaafkan diri sendiri. Dan belajar bilang ‘nggak apa-apa’ kalau emang diri gue udah gak sanggup hari itu.”
Karina diam. Kalimat itu menusuk, seperti membuka pintu yang selama ini ia kunci rapat-rapat.
---
Sejak pertemuan di perpustakaan itu, Mahesa mulai muncul lebih sering dalam hari-hari Karina—bukan dengan cara yang tiba-tiba, tapi perlahan dan hati-hati. Seolah ia tahu bahwa Karina adalah kaca yang bisa retak kapan saja jika disentuh terlalu keras.
Awalnya hanya sebatas obrolan singkat lewat chat tengah malam, atau saat Mahesa secara kebetulan mampir ke perpustakaan lagi. Tapi suatu malam, saat Karina baru saja pulang dari bimbingan belajar dan membuka ponselnya, ada satu pesan dari Mahesa yang membuatnya diam cukup lama.
[Alex cerita lo lagi berat. Kalau butuh teman buat nemenin belajar, kabarin gue aja.]
Karina menggigit bibir. Ada perasaan hangat, tapi juga rasa bersalah yang tiba-tiba muncul. Ia belum membalas pesan Alex sejak kemarin karena terlalu lelah. Dan kini, Alex malah mengirimkan seseorang untuk menemaninya.
[Makasih ya, Kak Mahesa. Tapi maybe kapan-kapan.]
---
Kapan-kapan itu ternyata datang lebih cepat dari yang Karina duga.
Hari Sabtu sore, langit mendung menggantung di atas kota. Karina duduk di kafe kecil dekat kampus, mencoba memahami soal TOEFL yang entah mengapa hari itu terasa seperti bahasa alien. Ia menatap layar laptopnya kosong, tangannya menopang dagu.
“Kayaknya lo butuh matcha, bukan grammar,” suara familiar menyapanya dari samping.
Karina menoleh. Mahesa berdiri dengan satu gelas kopi dan satu gelas clear matcha di tangan, dengan senyum kecil yang menghiasi wajah tampannya.
"Kakak ngikutin aku?” tanya Karina setengah bercanda.
“Enggak. Tapi Alex yang ngasih tahu kalau ini tempat favorit lo kalau lagi pusing,” jawab Mahesa sambil duduk di seberangnya. “Gue cuma disuruh jadi bodyguard sementara.”
Karina ingin tertawa, tapi yang keluar hanya senyum tipis. Ia menerima gelas maycha itu. Dinginnya nya menyentuh telapak tangannya. Namun yang Karina rasakan justru hangat seperti pelukan diam-diam yang ia butuhkan hari itu.
Mereka tidak banyak bicara. Mahesa hanya duduk di sana, membuka bukunya sendiri. Tapi kehadirannya cukup. Karina merasa tidak sendiri, dan itu lebih dari cukup untuk saat ini.
---
Hari-hari berikutnya, kehadiran Mahesa menjadi semacam jeda dalam dunia Karina yang penuh tekanan. Mereka belajar bersama di perpustakaan, makan siang dengan satu menu berdua di kafe, atau sekadar berjalan-jalan keliling kota Jakarta saat Karina merasa sesak.
Mahesa tidak pernah bertanya terlalu dalam. Tapi ia tahu kapan Karina butuh didengar.
“Gue pernah ngerasa kayak lo,” katanya suatu sore saat mereka duduk di bangku taman dengan hamparan rumput luas di hadapannya. “Waktu gue kelas dua belas, gue juga pernah pingsan karena terlalu maksa diri. Sama... gue juga pernah ngerasa kayak robot.”
Karina menoleh padanya. “Terus kakak lakuin apa biar bisa keluar dari itu semua?”
Mahesa tersenyum kecil. “Gue gak keluar. Gue cuma belajar jalan pelan-pelan di dalamnya. Belajar memaafkan diri sendiri. Dan belajar bilang ‘nggak apa-apa’ kalau emang diri gue udah gak sanggup hari itu.”
Karina diam. Kalimat itu menusuk, seperti membuka pintu yang selama ini ia kunci rapat-rapat.
---
Malam itu, setelah Mahesa mengantarnya pulang, Karina membuka pesan dari Alex untuk pertama kalinya setelah dua hari.
[Lo baik-baik aja kan, Na? Maaf belum bisa sering telepon atau kasih pesan kayak dulu. Jadwal ngampus gue makin padat.]
[Gak apa-apa, kak. Lagian ada Kak Mahesa juga sering nemenin aku belajar sekarang. Thank you ya udah kirim dia.]
Beberapa detik kemudian, balasan masuk.
[Gue senang lo gak sendiri. Mahesa itu orang yang paling gue percaya.]
Karina membaca pesan itu berkali-kali. Dadanya hangat—antara rasa lega, bingung, dan sedikit takut. Ia belum tahu ke mana arah hubungan ini. Tapi untuk malam ini, ia merasa tidak sepenuhnya hancur. Tidak sepenuhnya sendirian.
Dan mungkin, itu sudah cukup.
---
Malam itu, ketika lampu kamar meredup dan dunia di luar jendela mulai tenggelam dalam keheningan, Karina duduk termenung dengan pandangan yang mengambang antara layar-layar chat yang tak kunjung sepi. Di sana, Mahesa yang selalu hadir dengan kehangatan sederhana, dan di sana pula Alex yang penuh perhatian dan harapan. Dua sosok yang membawa warna berbeda dalam perjalanan hidupnya yang penuh liku dan keresahan.
Di tengah gelap yang melingkupi, hatinya berbisik pelan, mengingatkan bahwa kekuatan bukanlah soal selalu berdiri tegak tanpa goyah. Kadang, kekuatan itu justru terletak pada keberanian untuk membuka diri, mengakui lelah dan kerinduan yang tersimpan rapat dalam dada.
Dia menarik nafas panjang, membiarkan udara malam yang sejuk merayapi setiap sudut jiwa yang mulai terasa berat. Angin itu seolah menyapu segala kegelisahan yang selama ini menempel, membawa ketenangan yang tak bisa didapat dari kata-kata manapun.
Dalam kesunyian itu, Karina merasakan secercah harapan yang tumbuh perlahan, seperti bunga liar yang mekar di antara reruntuhan. Bukan harapan yang besar dan penuh janji, tapi yang sederhana—harapan untuk bisa menerima dirinya apa adanya, dengan segala kekurangan dan kerentanannya.
Hari esok mungkin akan membawa badai yang lebih dahsyat, dengan tuntutan yang tak berujung dan bayang-bayang ketakutan yang terus mengintai. Namun malam ini, di dalam pelukan sunyi, ia menemukan ruang kecil untuk beristirahat. Ruang yang membebaskannya dari topeng sempurna yang selama ini ia pakai, ruang yang membiarkannya merasa cukup, walau hanya untuk sementara.
Dan di sana, dalam keheningan malam, Karina menyadari satu hal yang sederhana namun berat maknanya: bahwa ia tidak pernah benar-benar sendiri. Ada tangan-tangan yang siap menggenggamnya, ada hati-hati yang rela menunggu di saat ia terluka, dan ada cahaya-cahaya kecil yang tetap setia menuntun jalannya pulang—ke dirinya sendiri.
Dengan sejumput senyum yang lembut, Karina menutup matanya. Di balik gelap, di balik lelah, ada harapan yang tak pernah padam. Dan untuk saat ini, itu sudah cukup.