Karina membuka pintu yang berderit pelan. Ia berdiri sejenak di ambang pintu sebelum benar-benar masuk. Karina menyapu ruangan dengan pandangan kosong dan menaruh tas hitamnya tanpa semangat ke kursi. Ia menaruh piala Kemenangannya di atas meja. Tapi lagi-lagi, hatinya terasa hampa karena kemenangan itu. Hari ini sebenarnya Karina memenangkan lomba matematika, hingga ia tidak ikut dalam acara kelulusan semester di puncak.
Handphonenya sejak tadi berdering terus menandakan ada pesan yang masuk. Begitu banyak, hingga layar selalu menunjuk setiap ada pesan masuk. Entah itu dari grup kelas, atau dari teman-temannya.
---
Karina duduk di depan jendela, tatapannya kosong. Sinar surya keemasan kali ini bisa menembus penduduk kota. Sayangnya, keindahan yang seharusnya terasa syahdu itu tidak bisa menyentuh hatinya yang semakin sepi.
Tadi pagi, Ayah dan Ibunya menelepon dari Belanda. Bukan untuk memberi selamat, tetapi untuk memastikan bahwa dirinya benar-benar pergi ke perlombaan dan bukan kabur untuk mengikuti acara kelulusan semester kelasnya.
Karina meraih handphone di atas nakas, bermaksud untuk memutar Seventeen playlist. Tapi ia justru membaca pesan dari Anya:
"Na, kamu hebat banget! Congrats ya, Say. Tapi sedih juga karena kamu gak ikut."
Karina tersenyum tipis tanpa berniat untuk membalasnya.
Malam itu, Karina berdiri di balkon dengan cardigan tipis pemberian mendiang kakaknya. Ia tidak menulis, dan juga tidak menangis seperti biasa. Ia hanya berdiri diam sembari meneguk pagar pembatas dan menatap hamparan bintang yang menghiasi langit malam.
"Kalau aku pergi, siapa yang akan sadar duluan?" pikirnya, tapi ia segera menepis pemikiran itu. Juna akan sangat kecewa jika dirinya menyerah begitu saja.
Karina lalu beralih duduk di kursi rotan. Jarinya sibuk men-scroll layar handphone yang menampilkan pesan-pesan dari teman-temannya yang saling mengucapkan selamat, termasuk Alex:
"Na, congrats ya! Gak nyangka lo bakal menang lagi. Btw, besok kalau ada waktu kita ketemuan di perpus, yuk! Ada yang perlu gue obrolin."
Karina lagi-lagi hanya tersenyum tanpa berniat membalas. Ia sudah punya rencana sendiri besok.
Pagi hari, Karina berdiri di depan cermin. Ia memakai mini dress putih dengan cardigan biru langit dan sepatu sneakers putih. Hari itu ia memutuskan untuk melarikan diri—dengan pergi ke tempat-tempat yang belum pernah ia kunjungi—demi memanfaatkan waktu ketika orang tuanya pergi dalam perjalanan dinas ke luar negeri.
Destinasi pertamanya adalah kafe kecil yang baru saja buka, tapi sudah terkenal di kalangan anak muda seperti dirinya. Ia duduk di dekat jendela, ditemani sepotong matcha cheesecake dan clear matcha favoritnya. Alunan lagu 'Healing' Seventeen terdengar begitu menyenangkan bagi Karina. Ia menggoyangkan kakinya karena merasa bebas setelah sekian lama.
---
Karina menghabiskan hampir satu jam di kafe itu. Tangannya sibuk mencoret-coret jurnal kecil yang selalu ia bawa, menuliskan kata-kata acak yang hanya bisa ia mengerti. Ia menikmati suasana tenang yang tak pernah ia dapatkan di rumah, apalagi di sekolah. Hanya suara dentingan sendok dan lagu-lagu dari playlist Seventeen yang mengalun pelan.
Namun kedamaian itu tak berlangsung lama. Notifikasi dari handphonenya kembali berdenting. Ada pesan dari Alex yang masuk
[“Lagi di mana? Boleh kita ngobrol sebentar?”]
Karina menatap layar beberapa detik, lalu mengembuskan napas panjang. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus menghadapi percakapan itu. Tapi Karina terlalu penuh luka untuk membuka ruang bagi orang lain masuk.
Ia membalas singkat.
[Kita bisa ketemu di taman belakang sekolah sore ini.”]
---
Sore itu, Karina datang lebih dulu. Ia duduk di bangku taman, memandangi bunga kertas yang mulai gugur diterpa angin. Tak lama, Alex datang dengan kemeja yang rapi dan lengan yang digulung hingga sikut.
“Hey,” sapanya pelan.
“Hey,” Karina membalas sambil tersenyum tipis.
Alex duduk di sampingnya, menjaga jarak. Beberapa detik, mereka hanya diam. Lalu, Alex membuka percakapan, “Gue tahu lo mungkin udah bisa nebak, gue bakal pindah ke Singapura lusa nanti buat nerusin kuliah di NUS. Dan soal perasaan gue ke Lo, gue janji itu gak akan pernah berubah meski nanti kita jauh."
Karina menoleh, tersenyum tipis, tapi ada dinding tak kasat mata yang belum ia turunkan. “Makasih udah jujur soal perasaan kakak ke aku. Tapi... aku belum bisa. Bukan karena kakak, tapi karena aku masih berusaha ngerti diriku sendiri." Karina menunduk lalu kembali menatap Alex. "Dan selamat karena kakak akhirnya bisa masuk ke kampus impian kakak."
Alex mengangguk. "Makasih. Semoga Lo juga bisa masuk kampus impian Lo di Korea.“ Alex menatap Karina dalam."Dan gue ngerti. Gue cuma pengin lo tahu, kalau Lo itu nggak sendiri. Dan Lo nggak harus terus kelihatan kuat di depan semua orang.”
Karina menggigit bibir bawahnya. Kata-kata itu seperti menyentuh bagian terdalam yang selama ini ia pendam.
“Orang lihat aku ikut lomba, jadi ketua ekskul, ranking satu terus. Tapi mereka nggak tahu, kadang aku bangun pagi dengan perasaan kosong, dan cuma hidup buat nyelesain checklist harian.”
Alex menatapnya dalam diam, memberi ruang untuk Karina berbicara.
“Aku capek pakai topeng. Tapi aku juga takut kalau orang lihat aku apa adanya, mereka bakal kecewa.”
Alex menjawab lembut, “Mungkin bukan lo yang salah, tapi dunia yang terlalu sibuk menuntut tanpa pernah benar-benar melihat.”
Mata Karina mulai berkaca-kaca, tapi ia tahan. Ia menunduk, menarik napas dalam.
“Aku harus pulang,” katanya akhirnya.
Alex mengangguk pelan. “Kalau lo butuh teman buat diem aja bareng pun, gue bakal selalu ada meski nanti cuma lewat online."
---
Malamnya, Karina duduk di meja belajarnya. Ia membuka laptop dan mengetik jurnal pribadi yang selama ini hanya ia simpan untuk dirinya sendiri.
“Hari ini aku mulai belajar bahwa nggak apa-apa kelihatan nggak baik-baik saja. Nggak apa-apa menolak seseorang yang tulus, jika hati memang belum siap. Nggak apa-apa mengakui bahwa aku lelah, meski orang-orang menganggap aku kuat. Aku pengen belajar jadi Karina tanpa topeng. Meski sulit, aku akan coba.”
Ia mengirimkan jurnal itu ke email-nya sendiri. Sebuah kebiasaan kecil yang ia lakukan agar merasa didengar, meski oleh dirinya sendiri.
---
Keesokan harinya, Karina kembali duduk di tempat yang sama di kafe kecil itu. Tapi kali ini, ia membawa jurnal kakaknya—buku bersampul cokelat yang dulu selalu dibawa Juna ke mana pun ia pergi. Karina menemukannya kembali beberapa minggu lalu saat bersih-bersih lemari, tapi belum pernah benar-benar membuka isinya. Ada rasa takut, juga rindu, yang membuatnya menunda.
Namun hari itu, entah kenapa, ia merasa cukup kuat untuk membaca.
Halaman pertama hanya berisi tulisan tangan Juna yang khas:
"Jangan lupa jadi manusia yang merasa, bukan cuma manusia yang sibuk jadi sempurna."
Karina menahan napas. Tangannya gemetar saat membalik ke halaman berikutnya. Ada puisi-puisi singkat, potongan pikiran, dan curhatan yang tidak jauh berbeda dari isi jurnalnya sendiri. Seolah Juna dulu pun pernah merasa seperti dirinya—lelah, tertekan, ingin dimengerti.
Di antara halaman itu, ada satu catatan yang membuat Karina berhenti membaca.
"Kadang gue pengin kabur ke tempat yang nggak ada orang kenal gue. Biar bisa mulai dari nol. Biar bisa bernapas. Tapi setiap kali liat Karina, gue sadar... kalau gue harus tetap di sini, setidaknya sampai dia cukup kuat untuk terbang sendiri."
Karina menutup buku itu, menunduk, dan akhirnya membiarkan air matanya jatuh satu per satu. Di sudut kafe yang sunyi, ia merasa seperti akhirnya menemukan kembali serpihan Juna yang selama ini ia rindukan. Bukan Juna si anak pintar, bukan Juna si kakak sempurna, tapi Juna yang manusia, yang pernah merasa rapuh, dan tetap memilih bertahan demi adiknya.
Ia menghapus air mata, menatap jendela. Langit mendung, tapi tidak hujan. Sama seperti hatinya, berat, tapi tidak tumpah.
---
Sore harinya, Karina pergi ke pantai. Di laut itulah dulu Karina selalu bermain bersama Juna dan di sanalah ia menghabiskan momen terakhir bersama Juna sebelum sang kakak melanjutkan S2 ke Belanda dan akhirnya meninggal dalam tragedi itu.
Karina berhenti di ayunan. Duduk perlahan di ayunan yang sampai kini masih kokoh. Kakinya yang telanjang menyentuh pasir putih lembut. Ia hanya duduk sembari melihat matahari yang sudah condong ke arah barat dan sesekali memperhatikan beberapa orang menikmati waktu bersama keluarganya di liburan kali ini.
"Kak... Adek masih disini... Masih nunggu matahari tenggelam kayak yang biasa kita lakuin dulu."
"Kak... Jujur adek kadang masih marah sama diri adek sendiri karena jadi menyebab kakak pergi. Kadang adek juga masih sering menghukum diri adek dengan cara yang seharusnya gak pernah adek lakuin."
"Maaf, tapi cuma itu cara supaya adek bisa tenang tanpa harus terus merasa bersalah sama kakak yang udah bahagia disana."
Lirihnya pelan. Air matanya mulai kembali jatuh di pipi. Tanpa ia sadari, sejak tadi pak Asep berdiri di belakangnya tanpa berniat mengganggu.
---
Karina kembali ke rumah saat langit mulai gelap. Angin laut yang tadi sempat menenangkan hatinya kini berganti menjadi dingin yang menusuk kulit. Di dalam kamar, ia meletakkan jurnal Juna di samping bantal, lalu menatap bayangannya di cermin.
Wajah yang tampak sempurna. Rambut yang selalu rapi. Senyum yang tak pernah hilang.
Tapi hanya Karina yang tahu, semua itu cuma topeng.
Topeng yang dipakai bertahun-tahun demi memenuhi ekspektasi.
Topeng yang mulai retak.
---
Malam itu, Karina kembali menulis di laptopnya. Tapi kali ini, bukan jurnal untuk dirinya sendiri.
To: juna.writes@gmail.com
Subject: Dari Karina
"Kak Juna,
Adek harap Kakak baca ini, entah di mana pun Kakak sekarang.
Adek menang lomba matematika kemarin. Tapi rasanya biasa aja. Karena Kakak nggak ada buat ngasih pelukan selamat.
Adek mulai ngerti sekarang... hidup ini bukan soal jadi sempurna. Tapi soal jadi nyata. Kakak pernah bilang, adek harus belajar terbang sendiri. Hari ini, aku baru ngerasain angin pertamaku.
Terima kasih sudah jadi alas kaki adek selama ini.
Adek akan belajar terbang dengan cara adek sendiri. Pelan-pelan. Tapi pasti."
Love,
Karina
Ia tak pernah kirimkan email itu. Tapi menulisnya sudah cukup. Sudah cukup untuk membuatnya merasa bahwa ia tidak sepenuhnya sendiri.
---
Libur kenaikan kelas akhirnya usai. Langit Jakarta pagi itu tampak cerah. Tapi tidak dengan suasana hati Karina. Meski ini adalah hari pertama ia menginjakkan kaki di kelas dua belas, tetap saja yang ia rasakan adalah kosong dan hampa meski sudah bersekolah di sekolah yang sama selama tiga tahun berturut-turut.
Tapi setidaknya hatinya merasa sedikit lebih lega karena akhirnya tidak ada lagi kakak kelas yang selalu mengganggunya setiap jam istirahat, Alex.
Laki-laki itu sudah pindah ke Singapura sejak satu Minggu yang lalu. Dan meski kini laut memisahkan jarak mereka, Alex tetap menghubungi Karina hampir setiap hari tanpa alasan yang jelas.
Suara bel pagi menyambut semester baru dengan cara yang tak istimewa. Gedung sekolah masih sama, lorong-lorongnya tetap penuh suara sepatu dan celoteh teman-teman yang saling bertukar cerita liburan. Tapi bagi Karina, semuanya terasa berbeda. Bukan karena ia naik kelas, tapi karena kini ia merasa bebas dari sosok Alex.
Karina membuka loker lamanya dan mengambil buku dengan gerakan tenang lalu berjalan melewati koridor sekolah dengan earphone yang menggantung di telinga. Begitu ia masuk ke kelas barunya, Anya langsung melambaikan tangan dan menyuruh Karina untuk duduk di sebelahnya.
"Akhirnya Lo datang juga. Lo gak tahu aja kalau sejak tadi gue ngelarang banyak murid lain buat duduk di sini karena ini tempat Lo."
Karina duduk di dekat jendela sebelah kursi Anya. "Padahal biarin aja, Nya. Lo gak bosen duduk sama gue terus setiap tahun?"
"Mana bisa gue bosen duduk di sebelah Lo, Na. Walaupun Lo kadang nyebelin karena gak bales chat gue kayak kemarin."
Benar, hanya Anyalah satu-satunya teman yang sampai saat ini bisa tetap bertahan di sisinya meski kadang Karina menutup diri. Karina tersenyum tipis. "Ya, maaf. Kemarin gue sibuk nyiapin bahan belajar buat hari ini."
"Gila! Lo gak capek?"
Karina mengangkat bahu. "Mau gimana lagi"
Di sekeliling mereka, teman-teman lain mulai saling menebak soal pilihan kampus, persiapan UTBK, dan bimbel mana yang paling bagus. Karina hanya mendengarkan, sesekali mengangguk tanpa ikut banyak bicara.
“Na, lo udah daftar bimbel belum?” tanya Anya sambil menyenggol bahunya dan membuat lamunan Karina seketika buyar.
“Udah,” jawab Karina singkat. Ia tidak mengatakan bahwa orang tuanya baru saja mendaftarkannya di bimbel baru dengan sistem belajar yang sama.
Ia membuka jurnal Juna yang kini hampir selalu ia bawa, mencatat hal-hal kecil: mimpi semalam, rasa gugup yang datang tanpa alasan, atau potongan lirik lagu yang tiba-tiba terngiang.
“Hari pertama kelas dua belas. Semua orang sibuk jadi dewasa. Aku masih belajar jadi utuh.”
Suara guru wali kelas kembali membuyarkan lamunannya. “Selamat datang di tahun terakhir kalian di SMA, anak-anak. Tahun ini mungkin tidak akan mudah seperti tahun-tahun sebelumnya. Tapi ibu harap kalian bisa menjalaninya dengan jujur, terutama kepada diri sendiri.”
Kata-kata itu menyentuh Karina, entah kenapa.
---
Hari-hari berikutnya berlalu dengan cepat. Jadwal penuh, simulasi UTBK, latihan soal, konseling jurusan. Karina mulai lebih sering ke perpustakaan. Bukan hanya untuk belajar, tapi karena itu satu-satunya tempat di sekolah yang cukup sepi untuk bernapas.
Di sela-sela belajar, sesekali ia membuka chat Alex yang sudah menumpuk karena jarang ia baca semenjak Kakak kelasnya itu pindah.
[“Hari ini kelas gue bahas tentang artificial intelligence. Lo pasti suka deh.”]
[“Kangen banget ngobrol langsung sama lo.”]
“[Gue tahu lo lagi sibuk. Semangat ya, Na. Jangan lupa istirahat.”]
Karina membaca semua itu, tapi tidak membalas. Bukan karena ia tak peduli. Tapi karena ia sedang belajar menata dirinya sendiri. Kadang, mencintai seseorang juga berarti memberi jarak agar masing-masing bisa tumbuh.
---
Hari itu, sepulang sekolah Karina duduk diam di sofa dekat jendela besar di kamarnya. Menatap kota Jakarta yang berwarna oranye karena matahari yang mulai tenggelam perlahan. Tiba-tiba handphonenya berdering dan menampilkan nama 'Kak Alex' di sana.
Karina menatap handphonenya cukup lama, ragu untuk menjawab panggilan Alex hingga akhirnya ia menjawab dengan sedikit enggan.
"Na?" Suara Alex terdengar sedikit berisik. Ia tengah berada di rooftop asrama kampus.
Karina menatapnya datar. "Kakak kalau lagi sibuk kenapa nelpon?"
"Cuma lagi pengen denger suara Lo, Na."
Karina menggeleng pelan. "Aku gak punya cerita apa-apa hari ini."
Alex mengangkat bahu. "Ya udah nggak apa-apa. Yang penting udah liat muka sama suara Lo."
Karina menggeleng. Ia kembali menatap keluar jendela, mengabaikan Alex yang tampak sedang sibuk dengan sesuatu.
"Na, liat deh"
Karina kembali menoleh ke arah Alex yang tengah mengangkat secarik kertas bertuliskan:
"Kalau Lo mau istirahat dulu, istirahat aja. Gue juga bakal nemenin Lo meski sekarang gue cuma bisa nemenin dari jauh."
Karina tertawa kecil. "Thanks kak"
---
Malamnya, Karina menulis lagi.
“Hidup di kelas dua belas kayak lomba maraton yang semua orang pikir kamu siap ikuti. Padahal kamu bahkan belum yakin sepatu kamu cukup nyaman buat lari sejauh itu.”
Ia menutup laptop, lalu menatap langit-langit kamarnya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa tidak sepenuhnya sendirian. Mungkin karena kata-kata Alex, atau mungkin karena ia mulai percaya, bahwa dirinya—dengan segala kekosongan dan lukanya—layak untuk dicintai, bahkan oleh dirinya sendiri.
---
"UGM atau UI, Karina" Suara ayah terdengar tegas di meja makan malam itu. "Jangan buang masa depan kamu cuma untuk mimpi kosong. Minimal kamu harus masuk jurusan kedokteran, hukum, atau apapun itu yang bisa bikin kamu sukses kalau memang kamu gak mau meneruskan perusahaan Papa."
Karina menatap sup di hadapannya yang kini sudah dingin. "Karina... Pengen masuk jurusan psikologi, Pa." Suaranya kecil, nyaris tak terdengar.
Ayah menatapnya tajam. "Psikologi? Kamu pikir kamu bisa hidup nantinya kalau cuma jadi psikolog?"
Belum sempat Karina menjawab, ibunya ikut bersuara. "Sekedar dengerin orang curhat juga semua orang bisa, Karina. Gak harus jadi psikolog. Memang kamu mau nantinya cuma jadi motivator sedangkan orang tua kamu ini terpandang?"
"Bukan gitu, Ma... Tapi Karina tertarik sama manusia, cara berpikirnya mereka, atau setidaknya dengerin beban hidup mereka yang gak bisa mereka ceritakan sama orang lain."
Ayah mengangkat telapak tangannya. "Cukup, Karina. Ini bukan soal ketertarikan, tapi ini soal masa depan kamu. Papa sama Mama gak mau kalau kamu menghabiskan hidup kamu cuma buat mimpi-mimpi gak jelas kayak gitu."
"Benar yang dikatakan Papa, Karina. Kamu itu harapan kami satu-satunya sekarang." Ibu berbicara dengan nada lebih halus. "Kami cuma mau kamu punya masa depan yang pasti. Jangan kayak Mama dan Papa yang baru sukses di usia tiga puluhan. Mama tahu kamu bisa lebih dari itu."
Kalimat itu seperti pisau tumpul. Karina menarik napas panjang. "Kalau aku masuk jurusan yang gak aku suka, aku juga gak akan bahagia dan menikmati peranku nanti."
"Bahagia atau menikmati peran itu bonus, Karina. Hidup kita itu harus realistis, bukan cuma sekedar bahagia atau menikmati peran, tapi juga soal aman." Sahut ayah dingin.
Ibu memijat pelipis tanda frustasi. "Udah, besok kamu harus ikut tes minat bakat di bimbel, dan daftar di semua jurusan yang kami minta. Titik."
Karina tak menjawab. Ia hanya bangkit dari meja, meninggalkan sup yang makin dingin, dan masuk ke kamarnya dengan kepala penuh gema kata-kata yang tak bisa ia lawan.
---
Di kamar, ia tangannya mulai bergerak dan menulis di atas secarik kertas:
“Mereka bilang masa depan harus aman. Tapi kenapa rasanya kayak dikunci dari dalam? Kenapa aku merasa hidup ini milik semua orang, kecuali aku?”
Karina membuka handphone. Jari-jarinya hampir mengetik pesan ke Alex, tapi ia urungkan. Ia menatap pantulan wajahnya di cermin—wajahnya yang terlihat semakin dewasa, tapi matanya yang lelah tak bisa menutupi beban yang ia bawa seorang diri.
Ia teringat kakaknya. Juna juga dulu pernah berdebat soal pilihan hidup. Dulu, Karina hanya jadi penonton. Sekarang ia jadi pemeran utama di sandiwara yang sama.
---
Di sekolah, Karina makin sering menyendiri. Hingga Anya menyadarinya. “Lo baik-baik aja, Na?”
Karina menggeleng. “Mereka nggak dengerin gue, Nya. Mereka pengen gue jadi versi ideal yang nggak ada di kepala gue sendiri.”
Anya menghela napas lalu menarik Karina ke pelukannya. “Lo nggak harus nyenengin semua orang, Na. Apalagi kalau itu berarti lo nyakitin diri sendiri.” Bisiknya lembut.
“Tapi mereka orang tua gue, Nya. Gue... nggak mau jadi anak yang gagal lagi.” Ucapan itu keluar sebelum Karina sempat menahannya. Anya tak bertanya apa-apa, hanya menepuk punggungnya lembut seolah memberikan kekuatan tanpa kata-kata.
---
Di rumah, tekanan tak mereda. Ayah mulai menyuruhnya ikut les tambahan dan meninggalkan les yang kini sudah tak terlalu penting, membuat jadwal belajar yang padat, hingga mengecek setiap hasil try out-nya. Jika nilainya tidak naik, ia akan diam seharian. Ibu pun ikut dingin, seolah kecewa.
“Papa Mama percaya kamu bisa lebih dari ini. Jangan bikin kami malu.”
Ibu mengangguk setuju. "Meski kami baru bisa sukses setelah menikah, tapi dulu di sekolah kami bisa dapat nilai yang lebih dari yang kamu spat, Karina."
Kalimat itu menghantam Karina seperti palu. Ia mulai tidur larut, bangun dengan lingkaran hitam di bawah mata, menghafal tanpa makna. Ia menjauh dari jurnalnya, dari lagu-lagu Seventeen yang dulu menenangkannya. Bahkan, pesan dari Alex mulai tak dibalas lagi.
---
Suatu malam, saat Karina hendak tidur, handphone-nya berbunyi. Video dari Alex. Ia ragu membuka, tapi akhirnya melakukannya.
Di layar, Alex duduk di taman kampus, memainkan ukulele.
“Buat Karina yang lagi capek, gue tahu lo lagi perang dengan pilihan antara keinginan dan bakti terhadap orang tua. Gue nggak bisa bantu banyak, tapi kalau lo butuh alasan buat tetap jadi diri sendiri... semoga ini cukup.”
Lalu Alex mulai menyanyikan lagu pelan, suaranya lirih namun tulus. Lagu itu tentang rumah, tentang keberanian menjadi diri sendiri, tentang orang-orang yang tak selalu mengerti, tapi kamu memilih untuk tetap bisa bertahan.
Karina menangis malam itu. Bukan karena sedih. Tapi karena akhirnya ia merasa dilihat, tanpa harus jadi apa-apa. Setelah sekian lama sejak kakaknya meninggal, Karina akhirnya merasa lebih ringan.