Hujan selalu punya cara sendiri untuk membawa ingatan kembali. Rintiknya yang lembut atau derasnya yang membentak langit—semuanya mampu menghidupkan kembali luka yang belum sempat sembuh.
Hari itu juga hujan. Langit menggantung rendah, seolah tahu bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Karina masih bisa mengingat aroma tanah basah, suara gemuruh petir yang jauh, dan bayangan mobil putih yang mendekatinya perlahan.
Juna. Kakak Karina. Orang yang paling memahami Karina, bahkan saat ia tak pernah benar-benar mengerti dirinya sendiri.
Juna pergi di bawah hujan untuk menjemputnya—dan tak pernah kembali.
Sejak hari itu, tidak ada lagi hangat dalam pelukan Ibu. Tidak ada lagi tawa renyah Ayah. Hanya sunyi yang menggema di setiap sudut rumah, dan tatapan dingin yang seolah menyayat, meski tak pernah benar-benar berkata.
Kini, Karina hidup. Tapi bagian dari diri Karina ikut mati bersama kepergian Juna, di tengah jalan yang basah dan dingin itu.
---
Sebelum malam itu, hidup Karina terasa lengkap. Ia memang bukan anak yang populer di sekolah, nilainya juga biasa-biasa saja, tapi ia punya satu hal yang membuatnya merasa beruntung: Juna.
Kakaknya itu seperti rumah bagi Karina. Tempat di mana ia bisa pulang kapan pun tanpa takut dihakimi. Juna bukan hanya kakak, tapi sahabat terbaiknya, pelindungnya, dan kadang—bahkan seperti ayah kedua yang selalu punya waktu untuknya, tak peduli sesibuk apa pun.
Karina masih ingat saat ia menangis karena nilai matematikanya merah. Ia pulang dengan wajah tertunduk, membayangkan betapa kecewanya Ibu nanti. Tapi yang pertama kali menemuinya di ruang tamu adalah Juna, duduk dengan laptop terbuka dan wajah lelah—baru pulang dari kuliah.
“Eh, Adek kenapa?” tanyanya, sambil menutup laptop.
Karina tidak menjawab. Ia langsung melempar tas ke sofa dan berjalan ke kamarnya, tapi Juna mengejarnya. Lima menit kemudian, ia duduk di lantai kamar Karina, mendengarkan adiknya bercerita dengan isak tertahan.
“Adek bodoh ya, Kak? Semua orang bisa ngerti logaritma, kenapa Adek nggak?”
Juna menggeleng dan menepuk kepala Karina. “Dengar ya… Nilai itu bukan ukuran Adek pintar atau enggak. Kakak lebih peduli Adek bahagia atau enggak. Logaritma itu urusan belakang. Yang penting sekarang, Adek udah makan belum?”
Karina menggeleng pelan.
“Udah, ayo kita beli nasi goreng. Yang abang langganan Adek itu, ya?”
Karina tersenyum kecil. Entah bagaimana, Juna selalu tahu apa yang bisa mengobati luka-luka kecil dalam hatinya.
---
Hari-hari bersama Juna selalu terasa ringan. Saat ulang tahun Karina yang keempat belas, Juna membuatkan video berisi klip sejak Karina kecil—dari pertama kali bisa berjalan, menangis saat masuk TK, sampai fotonya saat tersenyum di depan rak buku di toko favorit mereka.
“Selamat ulang tahun, Adek,” ucap Juna dalam video itu. “Semoga kamu selalu jadi kamu. Karena Adek yang sekarang aja, udah luar biasa banget buat Kakak.”
Karina menangis malam itu. Tapi itu air mata bahagia—salah satu dari sedikit momen di mana ia merasa dicintai sepenuhnya.
---
Sore sebelum hari itu, Karina duduk bersama Juna di ruang TV.
“Kak,” katanya pelan, “kalau nanti Kakak kuliah di luar negeri, Adek harus gimana?”
Juna menoleh sambil menggoyang-goyangkan kaki.
“Kenapa emangnya?”
“Nggak tahu... nanti nggak ada yang jemput Adek, nggak ada yang nemenin ngobrol, nggak ada yang bikin Adek ketawa kalau Adek lagi ngerasa sendirian.”
Juna terdiam sebentar. Lalu dia berkata, “Kalau suatu saat Kakak nggak ada, Adek harus janji tetap jaga diri. Jangan jadi orang yang nyalahin diri sendiri kalau Kakak gak bisa jagain Adek terus, ya?”
Karina mengerutkan dahi. “Apaan sih, Kak. Ngomongnya kayak mau pergi jauh banget.”
Juna hanya tertawa. “Namanya juga buat jaga-jaga. Kan umur gak akan ada yang tahu, Dek"
Karina memukul lengan kakaknya. "Enak aja! Kakak harus nganterin Adek di altar nanti."
Waktu itu Karina tidak mengerti. Tapi kini kata-kata itu terus menggema di benaknya seperti kutukan yang diam-diam diturunkan kepadanya.
***
Hujan mengguyur kota Jakarta malam itu, begitu deras seolah langit sedang menangis. Petir menyambar, menerangi langit gelap sesekali. Karina yang saat itu masih SMP duduk sendirian di depan tempat lesnya, menunggu seseorang.
[Karina, kamu pulang sendiri aja, ya? Kasihan kakak kamu baru pulang dari Amsterdam tadi siang.] Pesan itu disampaikan oleh ibunya di grup keluarga mereka.
[Gak mau, Ma. Tadi kak Juna bilang kalau dia mau jemput Rina, kok.] Balasnya
[Karina! Kasihan kak Juna.] Kali ini Ayahnya yang memberi pesan dengan nada tajam. [Naik ojek online aja.]
Karina tetap kukuh. [Gak mau! Rina takut kalau naik ojek online sendirian malam-malam dan Rina juga gak mau kalau dijemput sama Pak Asep.]
[Udah Ma, Pa, gak apa-apa. Lagian Juna juga udah janji tadi siang sama Adek.] Juna memberikan pesan final.
Juna tidak pernah ingkar janji. Itu yang selalu Karina percaya. Maka ketika pesan itu muncul—pesan terakhir yang ia baca darinya—Karina tersenyum kecil, menggenggam erat ponselnya, seolah bisa merasakan kehangatan kakaknya lewat layar dingin itu.
Hujan makin deras, seperti langit menumpahkan segala beban yang dipikulnya. Karina berdiri di bawah atap depan tempat les, tasnya sudah berat oleh buku-buku, dan tubuhnya mulai menggigil. Tapi dia tetap menolak masuk ke ojek online yang hilir mudik di pinggir jalan. Ia tahu, Juna akan datang.
Lima belas menit berlalu.
Kemudian dua puluh.
Lampu-lampu mobil sesekali menyilaukan matanya, tapi bukan milik Juna. Lalu—akhirnya—ia melihatnya: sedan hitam milik kakaknya berhenti di seberang jalan, lampu hazard menyala. Wiper mobil bergerak cepat, membelah butir hujan.
Karina bangkit, tas ranselnya ia jadikan sebagai penutup kepala, siap menyeberang. Tapi saat itu juga, sebuah truk dari arah berlawanan datang melaju kencang. Karina belum sempat melangkah ketika suara klakson panjang terdengar, keras dan mendadak.
Dia melihatnya dalam gerak lambat—mobil Juna mencoba maju sedikit agar lebih dekat ke trotoar, mungkin agar Karina tak perlu menyeberang jauh. Tapi truk itu tergelincir. Aspal licin. Kendalinya hilang. Dan detik berikutnya…
Braak!
Tubuh mobil itu terpental ke samping, menghantam pembatas jalan. Kaca depan pecah. Lampu depan padam. Karina menjerit.
Orang-orang mulai berkumpul. Karina berlari menerobos hujan, tak peduli teriakan orang yang mencoba menghentikannya. Ia melihat sisi kanan mobil penyok parah. Pintu kemudi remuk.
"Kak Juna!" Suaranya pecah, terdengar panik.
Juna tak merespon
Dari balik kaca yang retak, Matanya tertutup rapat. Darah segar tampak mengalir dari dahinya. Bibirnya membiru. Napas Karina tercekat.
Sirene ambulans mulai terdengar beberapa menit kemudian, tapi waktu sudah mati bagi Karina sejak detik suara tabrakan itu bergema. Dalam hujan, dalam dingin, dalam benak Karina yang masih bingung, dengan baju seragamnya yang basah kuyup, dan tubuhnya yang gemetar hebat, satu kenyataan pahit mulai menancap: kakaknya tidak akan pernah lagi membalas pesannya. Tidak akan lagi memanggilnya "Adek" dengan suara lembut itu.
ia berdiri kaku, menatap kakaknya yang tak lagi bergerak, dan menyadari bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Dan semua itu... karena ia memaksa Juna untuk menjemputnya malam itu.
***
Langit mendung menggantung berat di hari pemakaman Juna, seolah semesta ikut berduka. Hujan rintik-rintik membasahi halaman rumah duka, dan aroma dupa bercampur tanah basah menyelimuti udara.
Karina berdiri di pojok ruangan, mengenakan pakaian hitam yang terasa terlalu besar di tubuhnya yang mungil. Matanya sembab, kulit di bawahnya menghitam karena semalaman tidak tidur. Ia tak menangis lagi, hanya menatap kosong ke arah peti jenazah yang kini tertutup rapat dengan kain putih bersih.
Ibu duduk di kursi paling depan, tak mengeluarkan suara. Kepalanya tertunduk, tangannya menggenggam tisu yang basah karena air mata. Ayah berdiri di sampingnya, wajahnya kaku seperti topeng batu, menyalami para tamu dengan anggukan singkat.
Beberapa orang datang menghampiri Karina. Ada yang memeluknya, ada yang mengusap punggungnya sambil berkata, “Sabar ya, Rina.” Tapi semua kata itu hanya melayang seperti suara di balik air. Tidak ada yang benar-benar sampai padanya.
Yang Karina tahu, dunianya sudah runtuh.
---
Ketika peti jenazah diturunkan ke dalam tanah, Karina meremas lengan bajunya sendiri, mencoba menahan desakan tangis yang kembali menggerogoti dadanya.
"Maafin Adek, Kak..." Lirihnya dalam hati.
Ia ingin berteriak, ingin menghentikan semua ini, ingin memutar waktu dan mencegah Juna keluar rumah malam itu. Tapi ia hanya bisa berdiri diam, dengan sepatu yang berlumpur dan tubuh yang menggigil, menyaksikan gundukan tanah perlahan menutupi orang yang paling mencintainya di dunia.
---
Setelah hari pemakaman itu, orang tua Karina tak pernah berhenti menyalahkannya atas kejadian yang menimpa kakaknya. Dan bahkan menjadikan Karina pelampiasan atas semua emosi yang mereka rasakan. Dan sejak itu pula, Karina berhenti menjadi anak kecil yang ceria.
Hingga tak pernah ada lagi anak kecil bernama Karina Nadila Ernesta yang dikenal banyak orang karena selalu memancarkan energi positif pada orang di sekitarnya.
Setelah hari pemakaman, rumah menjadi sunyi. Bukan sunyi biasa, tapi jenis sunyi yang menusuk. Tidak ada lagi suara Juna yang bersenandung di kamar mandi, atau dering tawa di meja makan saat mereka menonton video lucu.
Ibu lebih sering menghabiskan waktu di kamarnya. Bahkan saat Karina pulang sekolah, tak ada lagi pertanyaan, “Gimana hari ini, Nak?”
Ayah menjadi lebih sibuk dari biasanya. Pulang larut malam, jarang berbicara, dan ketika bicara pun hanya seperlunya.
Dan Karina... Ia berusaha tetap tersenyum. Ia menyapa Ibu, ia mengucapkan selamat pagi pada Ayah, ia bahkan berusaha bercerita tentang sekolah seperti biasa. Tapi responsnya hambar, dingin.
Ia memang masih berangkat ke sekolah, masih menjawab saat ditanya, masih menuruti perintah Ibu dan Ayah—tapi tidak pernah lagi benar-benar hidup di dalamnya. Senyumnya menjadi tipis, tawanya selalu setengah hati. Ia belajar menjadi sunyi di tengah keramaian.
Dia menyimpan semuanya sendiri. Tangis yang tak tuntas. Penyesalan yang membusuk. Rasa bersalah yang tumbuh seperti akar pohon di dadanya—menjalar, menusuk, menghimpit setiap helaan napasnya.
Setiap kali hujan turun, Karina kembali menjadi gadis kecil berseragam SMP, duduk di bawah atap, menanti mobil hitam dengan lampu hazard menyala. Setiap denting rintik di jendela, setiap kilat cahaya, membawa kembali suara klakson panjang dan... braak!.
Seolah Tuhan sengaja menyematkan ulang-ulang kenangan itu di kepalanya. Seolah semesta ingin memastikan bahwa Karina tidak akan pernah lupa.
Bukan hanya kehilangan yang menyakitkan, tapi keyakinan bahwa itu semua salahnya.
Ia menolak untuk naik ojek online. Ia bersikeras Juna menjemputnya. Ia memaksa, dan kini... Juna telah tiada.
Dan tak ada satu pun orang yang mencoba membantah atau menghiburnya. Mungkin karena mereka juga menyalahkan dirinya, sama seperti ia menyalahkan dirinya sendiri.
---
Malam-malam Karina sering diisi tangis pelan di balik selimut. Permintaan minta maaf yang tak pernah dijawab. Mimpi buruk yang membuatnya terbangun dengan dada sesak. Ia bahkan sempat berharap bisa menukar hidupnya dengan Juna, andai itu memungkinkan.
Namun hidup tak pernah menawarkan pilihan seperti itu.
Jadi Karina tumbuh, bukan karena ia kuat, tapi karena waktu memaksanya terus berjalan. Ia belajar tersenyum saat hati hancur, berbicara saat pikirannya kosong, dan bernapas meski jiwanya terasa kosong.
Semua orang bilang padanya bahwa waktu akan bisa menyembuhkan luka. Tapi Karina tahu, ada luka yang tidak bisa sembuh—hanya bisa diajak berdamai, perlahan, sambil terus berusaha untuk tidak hancur setiap kali hujan turun.
Karena hujan bukan lagi sekadar air yang jatuh dari langit.
Bagi Karina, hujan adalah penanda kehilangan.
Dan malam itu... adalah hujan terakhir kakaknya.
---
Suatu hari, saat Karina hendak menunjukkan nilai ulangannya—nilai bagus pertama setelah sekian lama—Ia menemukan Ibu sedang duduk di ruang tengah, memandangi foto Juna yang tergantung di dinding.
“Mama...” panggilnya pelan, memperlihatkan kertas ulangan.
Ibu menoleh. Sekilas. Lalu matanya kembali pada foto Juna.
“Kalau kakakmu yang ngerjain soal itu, pasti nilainya sempurna,” ujarnya pelan, nyaris seperti gumaman.
Karina diam. Kertas itu terasa berat di tangannya. Seperti beban, bukan prestasi.
Ia masuk ke kamar, merobek kertas ulangan itu perlahan, lalu membuangnya ke tempat sampah.
---
“Rina nggak akan pernah cukup baik, ya, Ma?”
"Rina emang gak bisa jadi anak yang selalu Mama banggakan kayak Kak Juna"
Kalimat itu tak pernah keluar dari mulut Karina. Tapi ia mengulangnya berkali-kali dalam hati, sampai kalimat itu tumbuh menjadi keyakinan.
---
Waktu berlalu. Tiga bulan. Enam bulan. Satu tahun.
Tapi rumah itu tak pernah benar-benar pulih.
Ibu masih menjalani hari dengan wajah kosong. Tugas-tugas rumah tangga tetap berjalan, tapi tak ada lagi sapaan hangat saat Karina pulang. Tidak ada lagi nasi goreng kesukaannya di hari Senin pagi. Tidak ada pertanyaan, “Gimana lesnya, Nak?” atau sekadar belaian ringan di kepala seperti dulu.
Ayah semakin jarang berbicara. Kalau pun bicara, nadanya dingin dan cepat naik. Seolah segala hal yang Karina lakukan—selalu saja kurang tepat.
Bagi orang luar, keluarga Karina masih utuh. Rumah mewah, mobil di garasi, pakaian rapi, nilai-nilai bagus. Tapi hanya Karina yang tahu: rumahnya sudah lama tidak lagi menjadi rumah.
Luka pertamanya bukan berasal dari teriakan, bukan dari tamparan. Tapi dari keheningan. Dari cara Ibu tak lagi memandang matanya. Dari cara Ayah tak pernah menanyakan kabarnya. Dari meja makan yang kini selalu diisi tiga piring, tapi hanya dua suara.
---
Kadang Karina berharap dan meminta pada Tuhan agar waktu bisa kembali diputar. Dan jika itu terjadi, apakah ia akan tetap memaksa Juna menjemput? Apakah ia akan lebih berani untuk naik ojek online malam itu, meski takut? Tapi kenyataannya, waktu hanya berjalan ke depan. Tidak peduli seberapa keras seseorang berharap atau menyesal, yang telah berlalu tak akan bisa terulang kembali.
Setahun berjalan begitu cepat sejak kepergian Juna, dan Karina mulai terbiasa dengan kehilangan. Bukan karena luka itu menghilang—justru karena luka itu telah menjadi bagian dari dirinya. Ia belajar menjalani hari tanpa menunggu pelukan hangat dari Ibu. Belajar memendam cerita, tanpa berharap Ayah akan mendengarkan.
Ia bangun, sekolah, pulang, belajar, tidur. Seperti mesin. Dan meski teman-temannya kadang bertanya, “Rina, kamu baik-baik aja, kan?”, Karina selalu mengangguk. Ia tersenyum tipis dan menjawab, “Aku baik.”
Padahal tidak.
Di dalam dirinya, ada lautan duka yang tak berhenti bergelombang. Tapi Karina tak tahu bagaimana caranya meminta tolong—karena sejak malam itu, ia percaya satu hal: bahwa ia tidak layak ditolong.
---
Malam-malam terasa lebih panjang sejak Juna tiada. Karina sering terjaga di atas ranjang, memandangi langit-langit kamar, mendengarkan suara angin dari sela jendela. Kadang ia berbicara dalam hati, pura-pura Juna masih di sana.
“Kak, Adek dapet ranking tiga. Lumayan, ya?”
“Kak, Adek nulis puisi tentang hujan. Tapi enggak Adek kasih ke siapa-siapa.”
"Kak, Adek juara lomba piano, tapi Mama sama Papa lagi pergi ke Jerman"
“Kak... Adek kangen.”
Dan jawaban itu tak pernah datang.
---
Kini, sudah dua tahun berlalu sejak kepergian Juna. Hari-hari berjalan seperti kabut yang tak kunjung reda. Tangis Ibu sudah tak terdengar lagi, bukan karena luka itu sembuh, tapi karena air matanya telah habis. Ayah makin sering pulang larut, kadang tak pulang sama sekali. Dan Karina... Karina belajar membungkam seluruh perasaannya.
Seharusnya ini menjadi hari yang ditunggu-tunggu. Hari pertama masuk SMA—masa di mana banyak anak mencari jati diri, teman baru, dan semangat yang katanya membara. Tapi tidak bagi Karina.
Pagi itu, ia berdiri diam di depan cermin. Seragam putih abu-abu membalut tubuhnya yang kini tampak lebih kurus. Rambutnya dikuncir rapi, seperti yang Juna biasa bantu tiap pagi. Tapi kali ini, ia melakukannya sendiri. Tanpa tawa. Tanpa protes kecil dari sang kakak yang biasanya berkata, “Aduh, rambut kamu kusut banget sih, Dek!”
Ia turun ke dapur yang sepi. Tidak ada aroma roti bakar seperti dulu. Tidak ada suara lembut Ibu yang menyuruhnya sarapan. Di atas meja, hanya ada sepiring omelette keju dan selembar uang lima puluh ribu. Tanpa catatan. Tanpa sapaan.
Karina duduk, memasukkan omelette itu perlahan ke mulutnya. Ia tidak lapar. Tapi ia tahu tubuhnya perlu sesuatu untuk bertahan. Jadi ia makan—bukan karena ingin, tapi karena harus.
Sebelum berangkat, ia berdiri sejenak di depan bingkai foto Juna yang tergantung di ruang tengah. Foto yang sama sejak hari pemakaman: Juna dengan jubah wisudanya dari University Of Amsterdam. Tersenyum cerah, seolah hidupnya masih panjang.
"Adek berangkat sekolah dulu ya, Kak," bisiknya lirih.
Tidak ada jawaban. Tapi Karina tetap melangkah, membawa tubuh dan jiwanya yang setengah hampa keluar rumah. Ke SMA barunya. Ke dunia yang asing dan penuh harapan bagi banyak orang—tapi bukan bagi dirinya.
---
Langkah-langkah kaki beradu dengan lantai koridor yang dipenuhi suara riuh para siswa baru. Spanduk besar bertuliskan Selamat Datang Siswa Baru! tergantung di gerbang sekolah. Balon warna-warni dan musik semangat mengiringi suasana pagi itu, tapi Karina tidak merasa disambut. Ia hanya merasa asing.
Di lapangan, para siswa berkumpul mengenakan seragam rapi dan name tag yang sudah diberikan. Sebagian besar tersenyum, tertawa, dan saling memperkenalkan diri. Karina berdiri di tepi kerumunan, memeluk tasnya erat-erat, seolah itu satu-satunya yang bisa ia pegang di dunia yang terasa kosong.
"Hei, Kamu Karina, ya? Namamu ada di daftar kelompokku." Ujar seorang siswi berambut pendek yang datang dari belakang. Senyumnya ramah, matanya jernih. "Aku Anya." Gadis itu memberikan tangannya untuk berjabat tangan.
Karina memaksakan senyum kecil dan membalas jabatan tangannya. “Iya, salam kenal.”
Anya tampaknya tipe orang yang mudah akrab. Ia mulai bercerita tentang kakaknya yang juga sekolah di sini, tentang kakak kelas yang katanya galak waktu ospek, bahkan tentang tukang kantin yang suka kasih porsi lebih kalau kita senyum manis.
Karina hanya menanggapi dengan anggukan kecil atau senyum tipis. Setiap kata yang keluar dari mulut Anya terasa jauh. Ia ingin mendengarkan, sungguh. Tapi pikirannya terus kembali ke kamar kosong di rumahnya, ke suara tawa kakaknya yang tak akan pernah kembali.
Sesi perkenalan kelompok dimulai. Setiap siswa diminta menyebutkan nama, hobi, dan cita-cita. Ketika giliran Karina tiba, suaranya nyaris tenggelam.
"Namaku Karina... aku suka menulis. Cita-citanya... belum tahu."
Beberapa teman tersenyum simpati. Anya menepuk pundaknya pelan. “Tenang aja, aku juga belum yakin banget kok mau jadi apa.”
Karina menatapnya sekilas. Ada sesuatu dalam sikap Anya yang hangat, seperti cahaya kecil di sudut ruangan gelap. Tapi cahaya itu belum cukup kuat menembus dinding tebal yang telah Karina bangun di dalam dirinya.
Sampai siang hari, ia melewati berbagai kegiatan pengenalan sekolah. Tapi yang benar-benar membekas hanya satu hal—langit yang tiba-tiba mendung. Awan kelabu menggantung seperti rasa duka yang belum selesai. Dan ketika gerimis pertama turun, Karina terdiam di sudut halaman, menatap ke langit.
Hujan pertama di SMA-nya, ternyata menjadi bagian dari hujan yang kesekian kalinya tanpa Kak Juna.
---
Minggu-minggu pertama di SMA berlalu perlahan bagi Karina. Ia mulai terbiasa dengan suara lonceng yang nyaring, kantin yang selalu ramai, dan guru-guru yang bicara cepat. Tapi yang paling membantu, mungkin, adalah kehadiran Anya.
Anya tak pernah menyerah menemaninya. Meski Karina tak banyak bicara, Anya tetap hadir—menawarkan bekal, meminjamkan pulpen, atau hanya duduk di sebelahnya saat istirahat. Perlahan, Karina mulai merespons. Terkadang ia ikut tertawa kecil, atau menjawab lebih dari satu kalimat.
“Rin, kamu ikut ekskul apa? Aku mau coba ikut jurnalis atau teater. Seru kayaknya,” tanya Anya suatu hari saat mereka duduk di tangga dekat lapangan.
Karina menunduk. “Nggak tahu… Mungkin nggak ikut dulu.”
“Kenapa? Kamu suka nulis kan?” Anya memiringkan kepala, penasaran.
Karina ragu. Lalu dengan suara pelan, ia menjawab, “Papa kayaknya nggak setuju kalau aku ikut macam-macam. Harus fokus belajar, katanya.”
Anya mengangguk, tapi sorot matanya mengendur. “Tapi kamu juga butuh bahagia, Rin. Atau setidaknya kamu harus menikmati masa remaja kamu, bukan cuma belajar doang."
Karina hanya tersenyum samar. Ia tahu Anya benar. Tapi di rumah, segalanya terasa berbeda.
Setiap pulang sekolah, Karina merasa seperti masuk dunia lain. Suara televisi hampir tak pernah dinyalakan. Ibunya selalu sibuk pergi bersama teman-temannya, dan kalaupun ada di rumah, ia tak pernah benar-benar hadir. Ayahnya selalu duduk di ruang kerja setiap malam, dikelilingi tumpukan berkas, dan begitu Karina lewat, yang terdengar hanya satu kalimat:
“Rapor semester ini harus sempurna.”
Dan ketika nilai ulangan pertamanya kembali dengan angka 86, ayahnya bahkan tak menoleh dari laptop.
“Kenapa gak 90?”
Pertanyaan itu menancap seperti paku di dada. Karina ingin menjawab, ingin menjelaskan bahwa ia masih menyesuaikan diri, bahwa ia sedang belajar menerima hidup tanpa kakaknya. Tapi bibirnya terkunci.
Di kamar, ia menatap langit-langit, mendengar detak jarum jam seperti gema dari hati yang lelah. Ia merindukan pelukan hangat Kak Juna, suara yang selalu berkata, “Kamu udah hebat, Dek. Banget. Kakak bangga punya Adek kayak kamu"
Tapi kini yang ada hanya dirinya. Sendiri.
---
Sejak kejadian nilai 86 itu, Karina mengubah caranya menjalani hari. Ia mulai duduk di bangku paling depan, mencatat semua yang guru ucapkan, dan mengulang pelajaran hingga larut malam. Bahkan saat mata lelah dan kepala berat, ia tetap memaksa. Ia ingin mendengar satu kalimat dari ayahnya: “Kamu membanggakan.”
Tapi kalimat itu tak pernah datang.
Yang datang justru komentar-komentar dingin dan to-do list yang makin panjang: ikut les tambahan, target minimal 95 untuk semua mapel, dan jangan buang waktu untuk hal tak penting.
Ia mulai jarang bersama dengan Anya. Mulai makan siang lebih cepat agar bisa langsung ke perpustakaan. Sesekali Anya mencoba mengejar dan mengikuti Karina ke perpustakaan, tapi Karina selalu berkata, “Aku harus belajar.”
Namun, di balik rutinitas sempurna itu, Karina menyimpan satu pelanggaran kecil.
Setiap malam, setelah semua lampu padam, ia menyalakan lampu meja kecil, mengeluarkan buku berwarna biru laut dari bawah tumpukan diktat, dan mulai menulis.
"Dear Kak Juna,
Hari ini Adek dapat nilai 92 untuk Matematika. Tapi Papa tetap diam.
Adek juga dapat pujian dari Bu Wulan. Tapi Adek nggak bisa cerita ke siapa-siapa.
Kadang Adek iri sama Anya. Dia bebas tertawa. Sementara Adek takut salah napas."
Di jurnal itu, Karina menumpahkan semuanya—rasa lelah, sunyi, dan rindunya. Menulis menjadi satu-satunya tempat ia bisa jujur, tanpa takut salah.
"Adek kangen banget sama Kakak. Kalau Kakak masih ada, mungkin Adek bisa bilang kalau Adek capek. Tapi sekarang Adek cuma bisa menulis. Ini satu-satunya tempat Adek jadi diriku sendiri."
Setiap halaman menjadi saksi bisu dari perang yang tak terlihat: antara harapan orang tua dan suara kecil dalam hatinya yang nyaris padam.
---
Pernah suatu malam, Karina menyusun keberanian untuk bertanya. Suaranya pelan, hampir seperti bisikan.
“Papa... kalau Rina nggak juara satu lagi, Papa masih sayang Rina nggak?”
Ayahnya tak langsung menjawab. Hanya lirih menarik napas panjang dan terus menatap layar laptopnya. Lama. Hening. Lalu kalimat itu meluncur, seperti palu menghantam dinding rapuh di dalam dada Karina.
“Jangan pikirin itu. Fokus aja dulu sama prestasimu.”
Tidak ada “Jelas Papa tetap sayang.” Tidak ada pelukan. Tidak ada tatapan hangat.
Dan sejak malam itu, Karina berhenti bertanya.
Ia mulai percaya bahwa cinta itu bersyarat. Bahwa untuk layak dicintai, ia harus sempurna. Tidak boleh lelah. Tidak boleh salah. Tidak boleh kecewa.
Ia mulai menilai dirinya dengan angka-angka. Nilai rapor. Peringkat kelas. Berat badan. Waktu tidur yang ditekan. Setiap detik yang ia habiskan untuk hal "tidak produktif" membuatnya merasa bersalah.
Sejak itu, Ia menganggap bahwa dirinya adalah sebuah alat. Mesin. Bukan sesuatu yang perlu dipedulikan—asal berfungsi dan tidak memberontak.
Pelan-pelan, Karina merasa kosong.
Seakan ada ruang hampa yang terus tumbuh dalam dirinya. Ia mulai membungkus dirinya dengan senyum palsu. Di sekolah ia tetap tampak ramah, tetap menjawab setiap panggilan, tetap ikut diskusi. Tapi setiap pujian yang datang justru menyakitkan. Karena dalam hati, ia merasa semua itu bukan untuk dirinya. Itu untuk citra yang ia bangun. Topeng.
“Kalau mereka tahu aslinya aku, mungkin mereka nggak akan suka lagi.”
Ia bahkan mulai merasa tidak pantas dicintai oleh Anya, satu-satunya orang yang masih memeluknya tanpa syarat meski ia kadang berusaha menjauh.
Setiap kali Anya mengulurkan tangan, Karina mundur sedikit. Takut. Karena ia merasa tak layak disentuh. Tak layak diberi perhatian.
“Aku bukan temen yang baik. Aku palsu. Aku capek. Tapi aku nggak bisa berhenti. Kalau aku berhenti, Papa pasti pergi. Semua orang pasti kecewa. Dan aku pasti akan berakhir sendirian.”
Tulis Karina di buku diarynya malam itu. Meski malam tampak cerah, hati Karina tetap mendung. Layaknya langit yang siap menumpahkan bebannya dengan air hujan.
Earphone yang menggantung di telinga Karina masih memutarkan lagu-lagu Seventeen dengan volume kecil.
Perlahan tanpa Karina sadari, semua rasa takut itu—takut ditinggalkan, takut gagal, takut mengecewakan—pelan-pelan menjelma menjadi trauma.
Trauma yang disebabkan oleh orang tuanya sendiri