Hidup adalah tentang sebuah perjalanan menuju tujuan, melewati persinggahan, dan menepi. Hidup itu penuh tuntutan, penuh dengan kelelahan, padahal kita manusia yang serba terbatas. Anne tidak pernah menyangka bahwa perjalanan hidup nya berputar cukup jauh. Latar belakang pendidikan seolah tidak relevan lagi menurut Anne menuju impian. Kadang akan berbeda sekali, kadang akan membuat kita terkejut karena tidak ada hubungan nya sama sekali.
Tiga minggu berlalu setelah diri nya memutuskan untuk bergabung dalam teater dan menjadi penulis naskah. Tak pernah ada bayangan diri nya akan ada di posisi ini. Hidup itu begitu lucu, dapat membawa kita kemana saja.
Anne kembali mencerna apa yang Ayah sampaikan waktu itu, mengenai kemampuan tersembunyi dari Anne. Ada rasa yang berbeda setelah Ayah mendorong Anne dari lubang itu. Ternyata selama ini Anne hanya menumpang untuk menjalani hidup tanpa benar benar memaknai.
Kembali memetakan arah tujuan agar tidak selama nya tersesat, agar tidak selalu hidup dalam kebingungan dan kehampaan. Selalu ada cara berani untuk menemukan sosok tersembunyi dari diri kita.
Anne duduk di lantai tanpa alas. Tangan nya sibuk membuka halaman tiap halaman dari naskah yang dia pegang. Sudah selesai, dan sudah di print untuk kebutuhan latihan. Anne menatap lamat lamat setiap bait dalam tulisan kertas itu, Anne menyadari itu adalah karya nya. Pencapaian yang memberikan hangat dan kepuasan dalam relung hati nya.
“Anne? gue kira udah pulang.” Langit memasuki ruangan dan duduk di sebelah.
“Baru selesai print, nanti habis ini mau pulang.”
Langit hanya mengangguk pelan. Lengang tak ada suara.
“Terakhir ketemu kapan ya? hampir 6 tahun yang lalu ya?” tanya Langit kepada Anne yang masih sibuk merapihkan kertas kertas di depan nya.
“Seinget gue sih iya, kalo sama Thala terakhir 2 tahun lalu. Waktu acara bukber angkatan.”
“fomo gak sih ikut acara angkatan gitu? katanya banyak orang flexing ini itu.”
Langit berusaha membantu Anne merapikan dan memberi staples pada kertas tersebut.
Anne tersenyum sedikit, faktanya memang begitu. “Bener banget, lo masih inget khaidar? yang culun itu, yang wibu angkatan itu?”
“oh khaidar!, kenapa emang dia?” Langit mulai tertarik.
Anne sudah selesai dan menumpuk naskah itu menjadi satu bagian.
“Dia tiba tiba nyaleg jadi bupati. Bayangin, perbedaan nya jauh banget.”
Langit sedikit terkejut. “Beneran? setau gue, dia kan ambil jurusan Teknik Informatika. Kok tiba tiba nyaleg”
“Hahaha, ya, gue gatau. Mungkin emang ada passion dia menjadi bupati.”
Langit masih penasaran dengan obrolannya dengan Anne barusan, sesekali Langi memperagakan tingkah lucu dari sosok teman nya sewaktu masih di SMA.
“Namanya juga hidup, pasti ada aja jalan nya” ungkap Anne pada Langit.
Langit seolah setuju dengan ungkapan Anne. Siapa yang tahu jika dirinya seorang arsitek yang sekarang tiba tiba menjadi aktor teater.
“Tapi kalo dipikir-pikir, mirip juga sama gue” Ucap Langit.
Anne menoleh pada Langit. “Iya mungkin, emang bukan lo doang yang merasa begitu.”
Langit terhenti sejenak sebelum melanjutkan. “Karir gue di 3 tahun ini cukup dibilang lagi stabil. Tapi semenjak Papah pergi, gue rela mengorbankan semua itu demi menjaga keluarga gue. Demi buat ikut dalam teater terakhir Mamah, dan ada buat dia.” Langit mulai terbuka pada Anne mengenai masalah nya.
“Setidaknya lo tau arah hidup lo dimana dan kemana, tapi gue? gue bener bener bingung dan baru merasa menemukan.”
“Jurusan gue itu akuntan, kerjaan gak jauh jauh dari auditor dan memang yang Papah mau. Tapi gaada yang klop buat gue jalanin. Hingga akhirnya jadi penulis naskah teater.” Lanjut Anne dari ungkapan sebelum nya.
Langit tersenyum lirih, “Namanya juga hidup, kita gak akan pernah tahu apa yang akan datang.”
“Setelah teater mau ngapain?” tanya Langit.
Anne berfikir sejenak, “cari kerjaan lagi yang gue sukai.”
“Nulis lah, nerbitin buku. Nanti gue jadi orang pertama yang beli buku lo.”
“Mau nya begitu, tapi ternyata nulis itu susah.”
“susah bukan berarti gak mungkin kan? kalo di kerjain, di jalanin, di cintai, pasti selesai kok.”
“Hahaha bener sih. Mau tanda tangan gue? nanti kalo gue jadi penulis terkenal susah loh dapet nya.” Anne bercanda.
Langit antusias mengambil kertas kosong dan pulpen di dekat nya. “Ayo cepet tanda tangan disini. Bu penulis, kalo aku jual tanda tangan nya marah gak?”
Mereka berdua tertawa kecil. “Gak papa, nanti profit nya bagi dua ya.”
“Kalo lo? setelah selesai teater ngapain?” Anne berbalik bertanya.
“Balik ke Sydney. Kemana lagi? kerjaan gue disana, tujuan gue disana.”
“Okay. Nanti kalo gue ada rencana ke Sydney, lo yang jadi tour guide nya ya.”
“Anything for you.”
—-
Anne dan Langit keluar dari mobil dan berjalan menuju rumah pekarangan rumah. Mereka menghabiskan waktu di mobil dengan bercerita, bersenda gurau hingga tak terasa 1 jam terlewati dengan cepat.
“Selasa, jam 2 pakai kaos putih.”
“Ada apa?” tanya Anne pada Langit tak mengerti.
“Latihan, gue jemput.”
“Hah?”
“Lo bosen ketemu gue?” Tanya Langit.
“Engga, maksud gue-”
“I’ll take it as an answer. Dadah, selamat istirahat Anne.”
Anne masih belum sepenuhnya mencerna tapi langit sudah berjalan sambil melambai ke arah nya. Apa maksud Langit barusan? Anne harus setuju untuk di jemput Langit? kenapa dia tidak bisa menolak nya? kenapa seolah memberi ruang itu? kemungkinan besar, Anne juga tidak akan menolak ajakan itu. Ada daya tarik aneh yang Anne rasakan dan justru dia biarkan itu ada. Anne membuka pintu dan masuk ke rumah nya sambil menahan senyum. Entah darimana senyum ini bisa muncul? tiba tiba ada energi aneh yang membuat dia bersemangat dan bahagia. Ada harapan tapi selalu dia tepis, tak ingin terlalu terbuai.