“Langit Putra Adelard! ayo cepat kita makan malam!” Teriak melengking dari lantai bawah.
Langit cukup terganggu. “Iya kak, duluan aja! lagi males makan.” Teriak Langit dari kamar nya.
“Awas kalo malem malem ngendus-ngendus dapur mau makanan.” Ancam kakak perempuan nya. Langit acuh dan kembali berbaring.
Dirinya merasa bodoh sekali mengingat topik pembicaraan nya dengan Anne tadi. Langit masih mengingat raut muka kecewa itu, dan rasa kesal yang menggeluti Anne. “Kenapa juga gue harus membahas hal itu? gue merusak first impression nih. Apa gue chat aja kali ya? buat minta maaf.” Langit terbangun dan meraih nya handphone milik nya.
“Tapi nomor WhatsApp masih sama kan? atau gue coba chat di Instagram aja.”
@langitldrp : Hi Anne! sorry, maksud gue tadi bukan mau mengungkit masa lalu lo. Gue cuman cari topik, tapi kayaknya salah topik deh. sekali lagi gue minta maaf ya.
@Annemrbell : Hahaha. Santai aja kok! lagian itu kan udah berlalu.
@langitldrp : hehehe okay!
Pesan singkat itu selesai dan Langit bisa merasakan lega dalam hati nya. Setidaknya kehadiran Langit tidak membawa aura negatif di kehidupan Anne karena hubungan itu. Langit merebahkan kembali badan nya dan menatap langit kamar nya dengan pandangan kosong. Hampa dan kosong seperti hati nya, sudah hampir satu tahun dan ternyata luka itu masih belum sembuh. Perasaan kacau dan kalut yang pernah menimpa nya, namun ternyata sampai hari ini masih ada terkurung di dalam hati nya.
Langit mendengar suara ketukan pintu, dan tak lama sosok perempuan muda memasuki kamar nya dan duduk tepat di sebelah Langit.
“Tiba tiba nyampe, dan gak nyapa sama sekali. Sombong sekali kamu dek!” Ucap perempuan muda itu sambil memukul pelan paha Langit.
Langit terbangun. Lalu menyalami perempuan itu, “Langit kira Kakak belum pulang dari Malang, kata mamah kan masih ada kerjaan.”
“Engga, Kakak pulang lebih awal karena ga enak badan nih. Jadi minta cuti aja dulu sehari.” Ucap Erika, tak lama merebahkan badan nya di sebelah Langit.
Langit menatap Erika, tak terasa waktu mereka berdua sudah tumbuh dewasa. Bukan anak anak yang berharap mendapat permen di hari Minggu.
“Langit pulang ke sini karena Mamah nyuruh Langit buat ikut andil di teater. Mau gimana lagi, Langit gak bisa nolak.” Langit merebahkan badan ya mengikuti Erika. Kini ada dua manusia yang menatap atap kosong itu.
Terdiam sejenak. “Terus kerjaan di sana gimana? bukan nya lagi sibuk ya?”
Langit membuang nafas pelan, mata nya terpejam berusaha menghadirkan ketenangan dalam jiwa nya. “Iya, Langit dapat dua proyek besar tahun ini tapi terpaksa resign karena harus nemenin Mamah disini.” Ucapan Langit melemas. Rasa nya sulit untuk mengatakan itu.
Erika menyentuh tangan Langit, memberikan semangat dalam sentuhan itu, “Mungkin berat buat kamu, tapi pasti ada hal baik nya. Jalanin aja ya? kalo mau cerita apapun, I’m all ears.”
Beban Langit seolah menyusut setelah Erika mengatakan hal itu. Sebuah hal kecil yang mampu menyulap sang rapuh menjadi kuat untuk sementara waktu. Bukan hal yang mudah untuk memutuskan perkara ini. Sebuah pekerjaan yang sudah digeluti nya beberapa tahun ini, namun harus melupakannya begitu saja. Langit merasa orang tua nya egois karena harus melibatkan dirinya dalam hal ini, tapi semua pandangan itu musnah saat dimana Langit melihat Ibunya menangis dalam jangka yang lama. Seolah luka itu tak akan pernah sembuh, luka di tinggalkan oleh belahan jiwa yang pernah menjadi bagian penting dari seluruh hidup nya.
“Semenjak itu, Kakak juga gak pernah lama lama ninggalin Mamah. Kakak mulai merasa hal yang kita punya satu satu nya sekarang Mamah. Mungkin akan sulit di awal, tapi ini untuk kebaikan kita semua.” Ucap Erika. Langit masih terdiam, pikiran nya masih berusaha mencerna makna dari hidup ini.
“Iya Kak, Langit lagi berusaha jalanin semua ini dengan ikhlas. Apapun yang penting keluarga kita bahagia.” Ucap Langit.
Tak ada kalimat lagi setelah itu hanya sunyi dengan pikiran masing masing. Dua anak yang selalu siap untuk berkorban agar keluarga nya tetap utuh. Tak mudah untuk menjalani hal itu. Bahkan semua kehidupan itu memang sengaja dibuat mempermainkan perasaan manusia. Tak akan ada yang mau untuk menjalani kehidupan yang penuh dengan derita, pengorbanan dan kekecewaan. Pergi sejauh mana pun masalah itu akan hadir di tempat masing-masing menyambut para insan. Maka nilai dari kehidupan ini memang bukan untuk meraih kehidupan tanpa kekecewaan, luka dan pengorbanan, tapi nilai penting nya adalah tetap menjalani nya seburuk apapun itu. Bagaimana kita memandang masalah itu dan berusaha merespon dengan baik dan positif.
Sama seperti yang dilakukan oleh Langit dalam menghadapi masalah hidup nya. Mungkin dia bisa saja mengamuk, menangis dan marah karena tidak sesuai dengan apa yang dia harapkan. Tapi Langit memilih untuk tetap menjalani dan melihat hal hal baik yang akan datang. Satu harapan yang dimiliki oleh Langit, semoga langkah berani dari sang rapuh ini dapat membawa nya memahami banyak hal dalam kehidupan nya. Tak hanya kebaikan saja namun hal penting dalam hidup nya yang membangun jati diri dia sebenarnya. Akan ada alasan masuk akal setelah kita menghadapi hal ini, dan itu lah yang Langit yakini. Setiap garis interaksi yang ditakdirkan Tuhan akan menciptakan sebuah cerita baru yang menghadirkan setiap diri untuk terlibat.