“Halo perkenalkan nama saya Athalariq Mahendra-” Ucapanya terpotong karena ada dering telepon.
“Iya halo Anne? Oh tempat kerja ini? oke nanti gue kabarin ya.” Athala menutup telepon itu dengan cepat. Memasukkannya ke dalam saku celana. Kembali terpaku kepada kertas yang dia genggam sedari tadi. Kertas pengenalan diri, hari ini wawancara kesepuluh yang dia lakukan dalam sebulan ini. Ada banyak harapan yang disimpan pada hari ini, semoga akhirnya dia bisa diterima.
Athala menatap kertas di tangan nya. Panjang dan penuh pencapaian, namun tidak pernah merasa puas dengan segala pencapaian nya. Pengalaman kerja, pengalaman organisasi, juara lomba, juara akademik, semua sudah dicapai tapi kenapa masih ada lubang di hati nya yang merasa semua hal ini tidak pernah cukup? merasa bahwa dia masih kurang untuk mencapai semua ini. Sebenarnya nilai dari hidup ini apa? berlomba - lomba untuk mencapai jabatan? pekerjaan? status sosial? jika sudah ada di posisi itu apakah akan menjamin sebuah kebahagian?.
“Padahal gue baru posting gedung nya doang bukan gue lagi kerja, orang orang udah salah sangka. menyedihkan memang.” Ucap Athala dengan lirih.
“Atas nama Athalariq Mahendra, silahkan masuk.” Athala berdiri dengan cepat, merapikan jas nya, berusaha untuk tampil dengan baik. Kembali di lihat nya tulisan tulisan dalam kertas yang hampir lecek itu, berusaha mengingat dan berjalan masuk.
—-
“Sudah dapat email penerimaan? Papah udah tanya ke HRD katanya hari ini.” Tanya laki-laki paruh baya dalam telepon.
Athala yang sedang menonton televisi tiba tiba kehilangan semangat. Diraihnya Handphone lain miliknya, ada sebuah notifikasi email. Mata nya terbelalak, melihat tawaran pertamanya. Namun entah kenapa hati ini tidak bahagia, harus nya Athala merayakan hari dimana dia akhirnya diterima. Tapi kenapa tidak ada rasa bahagia itu? kemana semua harapan kebahagian itu?.
“Athala gak lolos lagi, Pah. Sorry.” Jawab Athala bohong.
Suasana terdiam seketika. “Lagi? kan Papah sudah bilang, urus semua paspor mu, urus semua berkas dan pindah bersama Papah disini. Ini sudah kesekian kali nya, kamu merasa baik baik saja?.” Nada nya meninggi.
Athala terdiam. “Athala merasa kerja di perusahan itu bukan kemauan Athala, mungkin Athala akan mencari karir lain.”
“Mau kapan? Ingat umur kamu sudah berapa?! kamu ini laki-laki, persiapkan diri, persiapkan karir dengan matang. Jangan lama lama kamu seperti ini, pusing Papah harus terus seperti ini. Anak laki-laki nya linglung gak tahu arah tujuan.”
“Athala cuman bilang gak cocok sama perusahaan itu bukan berarti Athala tidak tahu arah hidup.” Nada Athala mulai meningkat namun berusaha untuk menahan.
Papah menghela nafas panjang. “Sekarang kamu mau jadi artis teater itu? cukup dengan uang segitu untuk masa depan kamu? kita ini harus realistis Athala!”
Athala terdiam. “Ini hidup Athala, selama ini Athala sudah hidup untuk Papah, inilah hasil dari buatan Papah. Mulai sekarang Athala akan mengikuti apa yang Athala suka, dan Papah tidak punya wewenang untuk mengatur hidup Athala.” Detik itu juga, dengan emosi yang memuncak Athala menutup telepon.
Nafasnya berat, matanya mulai berair menahan amarah. Mungkin sikap nya di depan Papah akan terkesan kekanak-kanakan dan tidak dewasa. Tapi apa yang bisa dia lakukan? selama hidup nya untuk memenuhi ekspektasi orang lain tanpa tahu jika dirinya sendiri enggan. Jika dirinya tak nyaman jalani itu, ingin protes namun rasanya tidak mungkin. Keadaan mengatakan jika hal itu mustahil dan hidup nya harus di bawah angan-angan orang lain.
Athala lelah. Lelah menjadi anak laki-laki tangguh yang dipaksa untuk bisa ada di semua posisi. Jarak antara dirinya dengan orang tua ternyata sebuah keputusan yang baik untuk dirinya. Tak pernah ada ruang untuk menjadi diri sendiri. Anak tunggal yang menanggung beban dan harapan orang tua nya. Sejak dulu Athala tak pernah memilih hidup nya. Tak pernah merasakan kebahagian yang sebenarnya. Semua yang dia rasakan hanya lah sebuah rasa fana nan hampa.
“Kenapa Papah bisa tahu aku ikut audisi teater?, Oh iya! TikTok!” Athala teringat jika dirinya memposting sebuah video sebagai syarat audisi. Rasanya malu bercampur panik karena ternyata Papah bisa tahu. Entah alasan apa jika dirinya ditanya kenapa mau mengikuti audisi itu. Atau mungkin ini sebuah jawaban doa yang perlahan mengarahkan dia kepada hal baik.
—
Hari pertama kumpul teater. Dirinya masih tidak menyangka akan ada di bagian cerita ini. Ditatap nya layar handphone, sebuah undangan untuk latihan dari tante Mirna. Tak lama sosok itu menyambut dan seolah membawa energi baru yang lebih berwarna.
“Athala, tante tahu potensi kamu dan tante lega saat melihat salah satu video kamu untuk ikut audisi. Dulu pernah main FTV kan? berapa judul yang kamu bintangi?.”
Athala tertawa malu. “hahaha makasih tante, Athala gabung sambil cari nunggu keterima kerja. Waktu itu cuman satu judul aja tante, itupun jadi peran cadangan aja.” Ucap Athala merendah.
Tante Mirna tersenyum lebar. “Mau main cuman satu judul tapi kamu punya potensi. Lihat teman mu, Nicholas Saputra dia jadi aktor terkenal padahal kalian kan satu generasi ajaran tante.”
Ucapan itu cukup membekas. “Iya tante, seandainya Thala bisa pilih karir yang thala suka.”
Tante Mirna menepuk punggung Athala mentransfer semangat. “Gak apa apa, yang penting kita masih punya waktu untuk menjalani itu. Ayok sini! tante kenalin sama anak anak lain.” Tante Mirna sedikit menarik tangan Athala untuk mengikuti langkah nya.
Perkenalan nya dengan orang orang baru dan juga orang lama sedikit membawa kebahagian untuk Athala. Ruang dalam hati nya kembali terisi dan terasa hangat setelah sekian lama. Tak menyangka pertemuannya dengan Anne, teman lama semasa sekolah. Gadis ceria namun pemalu, tak banyak interaksi saat semasa itu tapi Anne punya ruang sendiri. Dia juga berjumpa dengan Langit, teman dekat pada masa itu dan hubungannya mulai renggang karena berpisah jarak. Langit cukup dekat dengan nya, masa masa indah sekolah lumayan banyak dihabiskan bersama. Sekarang bertemu lagi rasanya menghidupkan nostalgia indah itu.
Acara sudah selesai, Athala menemui Langit di depan rumah. “Mau kemana Bro? buru buru amat.” Tanya Athala menghampiri Langit yang sedang merokok dan menyandarkan badannya pada mobil sedan hitam miliknya.
“Biasa, disuruh my mom buat nganterin Anne. Mau bareng? lo searah kan?”
Athala menggeleng cepat. “Gak usah, gue bawa mobil sekalian gue ada urusan lain.”
Langit mengangguk pelan. “Urusan sama cewe yang mana? hahaha.” Ledek Langit pada Athala. Sifat nya masih sama seperti dulu.
“Gak ada cewek. Otak lo yang urusan nya cewe mulu tuh!” Ucap Athala membela diri.
Mereka berdua terkekeh. “Yaudah kalo gitu, gue cabut ya.” Athala pamit dan meninggalkan Langit untuk menuju mobilnya terparkir tak jauh dari milik Langit.
Athala duduk terdiam dan melihat Anne mengetuk jendela mobil Langit, tak salah dia begitu karena mobil Langit dan Athala identik sama. Anne masuk dan mobil itu melaju hingga hilang dari pandangan. Tak lama Athala juga ikut menyusul. pergi meninggalkan pekarangan rumah itu.
Garis yang Tuhan atur untuk mempertemukan semua orang di lingkungan nya. Tuhan mempunyai caranya sendiri untuk menghadirkan, menghilangkan seseorang. Tapi kenapa perasaan ini tetap sama? bahkan setelah belasan tahun yang lalu saat cinta nya tak terbalas. Seolah ini adalah waktu nya, waktu dimana tuhan mengizinkan nya untuk mencoba.
Diri ini tak kuasa menahan sebuah perasaan yang sudah terlalu lama. Hingga perlu mengenalkan lagi, memulai lagi, dan menunjukan kembali. Apakah rasa penolakan itu tak berarti apa apa? apakah ini saatnya untuk kembali jatuh cinta? hanya pada pertemuan ini? apakah akan ada keberanian yang tersisa untuk menjalani itu?. Athala menyeringai kecil, mengingat bahwa Tuhan membawa nya ke jalan yang dia harapkan. Tak hanya sebuah cerita namun perjuangan baru yang membara. Sebuah semangat dan ambisi yang sudah lama hilang kini muncul kembali.