Hujan mengantarkan ku padanya, seseorang dengan rambut cepak, mata cekung yang disamarkan oleh bingkai kacamata hitam, hidung mancung dengan rona kemerahan, dingin membuatnya berkali-kali memencet hidung menimbulkan rona kemerahan yang manis.
Tahi lalat di atas bibir, dengan senyum tipis yang menambah karismanya semakin tajam.
"Bisa tidak jadi anak jangan bandel, kalo hujan neduh bukan- main- air!!" Suaranya berat, namun halus ditelinga, tatapanya tak setajam ayahku, tapi cukup membuatku mengangguk patuh pada setiap kata yang keluar dari bibirnya.
"Iya, Pak" Aku mengangguk patuh, mengambil payung hitam yang sedari tadi - ia - ulurkan.
"Makasihnya mana Piyanika??" Teriaknya, aku memang setidak tahu diri itu, bukannya berterimakasih atas bantuanya, aku justru bersikap impulsif pada keadaan.
Jantungku berdebar, aku tak berani berbalik, diam-diam aku memelankan lariku, berhenti sejenak saat kudengar derap langkah kakinya semakin pergi menjauh.
Pipiku merona, dari balik jendela aku mengintip kepergiannya.
Diam-diam tersenyum, sembari menulis kalimat indah pada secarik kertas yang kelak akan ku kirim kisah ini padanya, kisah yang hanya berani kutulis lewat surat, dan ku arsipkan lewat doa.
Dia, adalah ketidak mungkinan yang selalu kusemogakan.
"Tunggu, 10 tahun lagi ya Pak, semoga saya sudah menjadi dosen sehebat anda"
....
~RUANGKASA (when I was nothing)~
Katanya, cinta datang diwaktu yang tepat.
Katanya, sayang bisa bertumbuh seiring dengan kedekatan dan interaksi seseorang satu sama lain.
Seperti kita,
Tapi, kenapa aku merasa sebaliknya ya?
Aku dan dia bertemu di waktu yang tak tepat, di situasi yang tak sehat dan ditengah gempuran hujan lebat.
Dia, seperti embun di tengah derasnya badai,
Seperti lilin, ditengah padang pasir.
Dan seperti angin, didalam tempayan dekat perapian.
Entah apa maksud kedatangannya, yang aku tahu, dia Angkasa raya, mahasiswa Pak Probo yang semester lalu pernah bersamaku dalam satu waktu, berhasil mencuri sebagian perhatian yang aku sendiri tak pernah mengijinkannya.
Dia, dengan segala tanda- tanyanya berhasil membawa sebagian kotak kosong, yang ia isi dengan puluhan kunang-kunang, dengan sinar terangnya.
Dan ia kembalikan lagi padaku kotak yang semula kosong, menjadi begitu indah terisi.
Alangkah kasihannya kunang-kunang ini, berada di atas jiwa perempuan yang hidupnya hampir saja mati.
"Kak Piyanika, saya jemput ya?" Katanya melalui dering telfon disetiam jam 6 sore, 10 menit sebelum kelas filsafat itu usai.
"Gak usah dek, saya ada bimbingan tesis selanjutnya dengan Bu, Ambar. Kamu..." Aku tampak ragu, mengingat satu semester ini dia begitu baik dan peduli padaku.
".. Kamu ada praktikum kan? Selesaikan saja tugasnya, saya masih lama" Selalu saja begini akhirnya, aku menolak dia dengan sangat halus, tapi..
"Saya tungguin di Kafetamala kak, saya free kok, untuk kak Piyanika" Dari sebrang telfon, dia nampak menarik nafas "..selalu" sambungnya lagi.
Dan bersamaan dengan itu, kunang-kunang menari indah di hatiku. Aku tersenyum, tanpa sadar panas mulai menjalari seluruh permukan pipiku, meninggakan jejak merah yang langsung kututupi dengan riasan tebal, eyerliner cetar dan senyum cantik yang justru terlihat angkuh.
"Mau ketemu brondong ya bu?" Ledek Aluna, sahabatku, satu jurusan kuliah, juga satu kamar kost yang jiwa pengamatnya sungguh tajam apabila diri ini berhadapan dengan cinta.
"Inget, jatuh cinta di umur 25 keatas gak lucu kalo mau makan cintaaa, be realistic ya bu Piya" Ledek Aluna lagi, mataku sudah keluar, namun yang bersangkutan justru tertawa tanpa tedeng aling-aling.
"Diem atau gue diemin lo se-abad?" Tentu ini hanya gertakan, aku mana tahan tidak mentrasnfer sebagian pengetahuan sosial sekitar berasama Aluna, tapi sesekali menggertak manusia cerewet berkedok introvert eksternal ini mengerti.
"Tidak mempan Piya, sudah sana, gue yakin anak itu sudah kesemutan menunggu perempuan galak seperti lo ini" Jawabnya begitu enteng, tas Hermes KW yang kemarin baru saja aku beli di pasar minggu rasanya ingin kulempar saja pada kepala anak itu,tapi sayang meskipun KW harganya juga terbilang mahal.
"Awas yaaa, abis nanti malam lo ama gue" Deliku tajam.
----
Waktu menunjukan pukul 18.30Wib, lelaki muda dengan hoodie hijau army nampak gelisah ditempat duduknya, pods yang ia genggam, ia letakan kembali di atas meja, persis sebelah cangkir kopi hitam beraroma arabika dengan asap tipis yang mengepul dari dalam cangkir.
Setiap 2 menit sekali ia meraih ponselnya, membuka kunci layar, melihat jam sekaligus notif balasan dari perempuan yang belakangan ini berhasil menarik perhatian juga hatinya.
Perempuan bermata tajam, dengan senyum tipis yang dibalut dengan intonasi rendah namun menusuk.
Perempuan yang jarak usianya terpaut jauh darinya, namun terkesan kekanakan bila sedang membicarakan kertas-kertasnya.
"Hallo, Angkasa Raya.." Piyanika menepuk pundak lelaki yang tak lain adalah Angkasa sedikit keras, Angkasa yang tengah melamunkan Piyanikapun terkejut dibuatnya.
"...ehhh sorry, gak maksud ngagetin, anywhy terimakasih ya sudah bersedi menunggu lama" Kata Piyanika sungkan.
"Baru nunggu 20menit kok kak, kakak sudah makan?" Angkasa bertanya, bukannya dapat jawaban Piyanik justru terkekeh.
"Boleh saya duduk disini" Tanya Piyanika sembari menggeser punggung kursi didepan Angkasa dan diam menunggu dipersilahkan.
"Silahkan kak" Jawab Angkasa, ingin sekali ia bersikap berisik pada perempuan didepannya, namun asisten dosen ini sangat anti pada basa-basi yang beneran basi katanya.
"Saya belum makan, enaknya makan apa ya dek?"
"Makan nasi kak, nyemil burger juga boleh" Tawar Angkasa, dengan sigap ia membukakan buku menu yang ada didepan Piyanika, meskipun terlihat gemetar, Piyanika berusaha untuk pura-pura tak melihat.
Dalam hati, Piyanika mengapresiasi segala bentuk manis Angkasa.
Namun, belum sempat menyantap makan sorenya ponsel Piyanika berdering.
"Pi, lo dari cariin pak Bion, ditunggu di kantornya sekarang katanya" Aluna mengirim rentetasan chat, mamun aku tak mempercayai kata-katanya, Aluna suka membuay lelucon.
"Aku tidak akan tertipu lagi" Jawab Piyanika yakin.
"Gue serius? Pak Bion sakit"