Loading...
Logo TinLit
Read Story - Rumah Tanpa Dede
MENU
About Us  

Ratih Anggraeni---nama yang cantik, bukan?

Tapi hidupku tak seindah namaku. Hari itu, aku menanak nasi sambil menakar lauk seadanya.

Hanya tiga potong tahu dan tempe. Juga satu telur yang dibagi jadi empat, tak lupa sayur bayam sebagai pelengkap nutrisi. 

Dengan dana terbatas, itu harus cukup untuk makan malam. Karena sudah seminggu lebih, aku hanya mengandalkan pemasukan warung yang berbagi dengan modal.

Semua karena suamiku belum menunjukan batang hidungnya. Padahal sudah lewat sepuluh hari, tapi dia tak kunjung pulang. Bagai lenyap di telan bumi.

Aku sendirian ... dengan isi kepala penuh angka: Harga sayur, uang studi tour, hutang, dan biaya kontrol ke rumah sakit.

Apalagi terapi yang semula dua minggu sekali, menjadi rutin seminggu sekali. Mungkin nanti, akan seminggu dua kali.

Rujukan dari Faskes 1 pun terus diperbaharui, kadang jika kondisi putriku tak stabil, harus dibawa ke UGD dan rawat inap.

Aku menghitung semuanya secara rinci. Tapi tidak ada solusi, hanya ada kekhawatiran, takut uang tabungan habis tanpa hasil berarti.

Tapi sebagai Ibu, aku tidak bisa membiarkannya hidup dalam gelap. Tidak akan mudah mengambil jalan sebagai penyandang disabilitas. Jadi aku tetap berjuang, meski dibayangi kemiskinan.

Aku ingat, dulu ...

Saat Esya masih bayi, aku sudah curiga bahwa dia berbeda. Esya rewel---kerap kali menangis tengah malam, saat aku mencari penyebabnya, benjolan tumor ganas itu memerah dan panas, seperti demam.

Aku sudah mengeluhkan ini pada A Galuh, tapi dia dan mertuaku menganggap remeh kondisi putri kami. Seakan itu tidak penting---tidak berefek jangka panjang.

Perdebatan malam itu menjadi saksi, saat hujan deras mengguyur mengiringi bentakan sengit dari dalam rumah sempit, yang berisi dua keluarga---Aku dan Uwak Niar.

“Dokter bilang benjolannya harus di operasi, takut merembet ke syaraf kaki. Nanti kalau Dede enggak bisa jalan gimana, A?" keluhku merengek bak anak kecil.

"Kamu tuh jangan do'ain yang enggak-enggak sama anak sendiri. Pamali!"

Tapi justru dibalas dengan kata yang menghakimi.

"Bukannya do'ain, tapi kenyataan," balasku. "Aa mana tahu kalau Dede sering nangis, pasti karena tumornya. Aa sih, setiap dibangunin tidur terus."

"Namanya bayi ya pasti nangis, Ratih. Kalau udah segede Saga dan Syakira, pasti anteng," ujarnya.

Saat itu, aku tidak bisa melawan, apalagi saat A Galuh mulai membela diri dengan membawa nama mertuaku.

“Udahlah, Ratih. Mak kan udah bilang, kalau benjolan di punggung Dede, tanda lahir biasa. Nanti juga kempes sendiri. Kamu tuh suka lebay!”

Dengan pilu, aku hanya bisa pasrah. Meski tubuh jelas gemetar, bukan karena dingin. Tapi amarah yang membuncah saat kutahu, suamiku lebih percaya perkataan ibunya ketimbang aku---istrinya.

Tapi apalah daya? Aku tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Karena aku ibu rumah tangga biasa. Yang tak memiliki penghasilan, yang hanya bisa mengemis uang belanja pada suami.

Jadi aku ... Aku tidak memiliki suara di rumah ini.

***

Maaf, Dek. Seharusnya Mama memperjuangkan hakmu!

Sesal tiada guna. Saat Esya akhirnya di vonis mengalami kelemahan syaraf, akibat telat mendapat penanganan tumor ganasnya.

Sejak itu, aku tidak ingin terjatuh ke lubang yang sama, sehingga tanpa sepengetahuan orang rumah, aku meminjam uang pada Bu Afnah untuk menjalani pemeriksaan MRI, yang tidak ditanggung asuransi kesehatan.

Aku ingat, menghitung sejumlah uang lima juta rupiah itu dengan gemetar. Takut tak bisa membayar kembali, karena warung sepi, karena upah kerja serabutan suami tak tentu, dan takut menjadi gunjingan warga saat telat bayar.

Sampai sekarang---saat Bu Afnah nekat menagih ke rumah, aku belum bisa melunasi semuanya, tinggal satu juta lima ratus lagi.

Mungkin bagi istri aparat desa, itu sekadar uang arisan, tapi bagiku bisa dipakai untuk berbagai keperluan, termasuk biaya cek up ke poli syaraf.

Meski ditanggung pemerintah dari surat keterangan tidak mampu. Tapi terkadang ada obat yang harus beli di luar apotek. Belum biaya transportasi dan konsumsi selama bolak-balik ke rumah sakit.

Untuk itu, hatiku hancur saat Syakira---putri keduaku datang dengan mata yang berkaca-kaca.

“Ma, teteh butuh uang buat beli buku panduan tugas sekolah," pintanya.

"Emang wajib beli, Teh?" tanyaku.

Bukan maksud perhitungan, tapi memang harus dihitung agar tidak ada yang dikorbankan. Agar semua tercukupi sampai ekonomi pulih.

"Enggak. Tapi semua temen Teteh punya bukunya, Mah," ungkap Syakira. "Teteh malu kalau terus pinjem, enggak enak. Selalu dituduh nyontek juga."

Lara itu kian menghimpit, saat kutahu kehidupan sekolah putri keduaku pun sulit oleh garis kemiskinan. Tapi apa dayaku?

Memang simpanan uang ada, tapi itu untuk Esya---Anak bungsuku lebih memerlukannya. Karena jika serangkaian terapi terhenti di tengah jalan, kesempatan lepas dari kruk akan lenyap.

Ini pertarungan terakhir ... seperti kata Dokter Sopian.

Jadi aku hanya bisa mengusap rambut ikal putri keduaku dengan lembut, mencoba memberi pengertian secara halus, agar dia tidak semakin salah paham pada adiknya.

“Nanti ya, Teh. Sabar dulu. Mama janji ... kalau udah ada uangnya, pasti Mama beliin."

Syakira memang mengangguk, seakan mengerti kondisi rumah. Tapi aku tahu dia kecewa. Aku tahu dia merasa tak dianggap---merasa di pinggirkan.

Dan aku tahu … ada masa saat dia menyalahkan Esya, atas kemelut duka yang menimpa keluarga kami.

Tapi aku tidak bisa menyalahkannya jika berpikir demikian. Syakira hanya belum mengerti, yang mana prioritas, yang mana yang bisa ditunda.

Bukan mengesampingkan posisinya, melainkan diburu waktu agar penyesalan tak terulang. Agar di masa depan kelak, Esya---adik bungsunya bisa diandalkan seperti Saga.

Karena aku takut, 'Dede' akan terus merepotkan kakaknya sampai tua nanti. Mending jika pasangan mereka kelak, bisa mengerti.

Jika tidak, maka Esya bisa menjadi duri dalam rumah. Jadi aku ingin, putri bungsuku, kuat berdiri di atas kaki sendiri.

Dan itu semua bisa terwujud dengan terapi, agar Esya bisa berjalan seperti sedia kala. Tidak salah memang jika Syakira mengira:

"Kita miskin karena biaya pengobatan Dede, Mah!"

Memang kenyataan. Semua bermula saat penyakit bawaan lahir itu kambuh. Tapi kembali, itu bukan salah Esya.

'Dede' ku tidak bisa memilih terlahir dengan kondisi membawa penyakit. Takdir itu juga dibenci olehnya, kala dia selalu mengeluh setiap sesi terapi.

Saat sarapan di amben warung, aku mengamati satu-persatu anakku dan A Galuh. Saga, yang makan sambil bolak-balik melayani pembeli, kadang pun makan sambil berdiri.

Lalu, ada Syakira yang makan dengan porsi sedikit. Mungkin masih kepikiran perihal biaya studi tour yang membuat nafsu makan tak hilang, seperti tak berselera.

Kemudian putri bungsuku---Esya, yang menu makanannya banyak dipantangi. Dia lebih banyak mengkonsumsi putih telur kaya akan protein. Demi menunjang pengobatan agar lebih maksimal.

Aku menatap sendu ketiganya. Apalagi saat ingat bahwa posisi di sampingku sunyi. Tidak ada lagi sosok hangat yang merangkul bahuku erat---menguatkan.

Kini, akulah yang harus kuat, demi ketiganya. Dalam sendu, aku berbisik lirih, mungkin nyaris tak terdengar. "Maafin Mama dan Bapak yang kurang ini, ya."

Aku ingin menjerit---menangisi penderitaan ini. Tapi sepertinya air mataku telah kering. Aku hanya bisa melewati hari demi hari, dalam kalut.

Oh Tuhan ... tolong bantu keluargaku. 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
To the Bone S2
390      283     1     
Romance
Jangan lupa baca S1 nya yah.. Udah aku upload juga .... To the Bone (untuk yang penah menjadi segalanya) > Kita tidak salah, Chris. Kita hanya salah waktu. Salah takdir. Tapi cintamu, bukan sesuatu yang ingin aku lupakan. Aku hanya ingin menyimpannya. Di tempat yang tidak mengganggu langkahku ke depan. Christian menatap mata Nafa, yang dulu selalu membuatnya merasa pulang. > Kau ...
Mengejar Cinta Amanda
2083      1161     0     
Romance
Amanda, gadis yang masih bersekolah di SMA Garuda yang merupakan anak dari seorang ayah yang berprofesi sebagai karyawan pabrik dan mempunyai ibu yang merupakan seorang penjual asinan buah. Semasa bersekolah memang kerap dibully oleh teman-teman yang tidak menyukai dirinya. Namun, Amanda mempunyai sahabat yang selalu membela dirinya yang bernama Lina. Selang beberapa lama, lalu kedatangan seora...
Cinta di Sepertiga Malam Terakhir
6977      1607     1     
Romance
Seorang wanita berdarah Sunda memiliki wajah yang memikat siapapun yang melihatnya. Ia harus menerima banyak kenyataan yang mau tak mau harus diterimanya. Mulai dari pesantren, pengorbanan, dan lain hal tak terduga lainnya. Banyak pria yang datang melamarnya, namun semuanya ditolak. Bukan karena ia penyuka sesama jenis! Tetapi karena ia sedang menunggu orang yang namanya sudah terlukis indah diha...
Dear Future Me: To The Me I'm Yet To Be
353      259     2     
Inspirational
Bagaimana rasanya jika satu-satunya tempat pulang adalah dirimu sendiri—yang belum lahir? Inara, mahasiswi Psikologi berusia 19 tahun, hidup di antara luka yang diwariskan dan harapan yang nyaris padam. Ayahnya meninggal, ibunya diam terhadap kekerasan, dan dunia serasa sunyi meski riuh. Dalam keputusasaan, ia menemukan satu cara untuk tetap bernapas—menulis email ke dirinya di masa dep...
Nuraga Kika
32      29     0     
Inspirational
Seorang idola sekolah menembak fangirlnya. Tazkia awalnya tidak ingin melibatkan diri dengan kasus semacam itu. Namun, karena fangirl kali ini adalah Trika—sahabatnya, dan si idola adalah Harsa—orang dari masa lalunya, Tazkia merasa harus menyelamatkan Trika. Dalam usaha penyelamatan itu, Tazkia menemukan fakta tentang luka-luka yang ditelan Harsa, yang salah satunya adalah karena dia. Taz...
XIII-A
725      539     4     
Inspirational
Mereka bukan anak-anak nakal. Mereka hanya pernah disakiti terlalu dalam dan tidak pernah diberi ruang untuk sembuh. Athariel Pradana, pernah menjadi siswa jeniushingga satu kesalahan yang bukan miliknya membuat semua runtuh. Terbuang dan bertemu dengan mereka yang sama-sama dianggap gagal. Ini adalah kisah tentang sebuah kelas yang dibuang, dan bagaimana mereka menolak menjadi sampah sejar...
Finding the Star
1145      864     9     
Inspirational
"Kamu sangat berharga. Kamu istimewa. Hanya saja, mungkin kamu belum menyadarinya." --- Nilam tak pernah bisa menolak permintaan orang lain, apalagi yang butuh bantuan. Ia percaya kalau hidupnya akan tenang jika menuruti semua orang dan tak membuat orang lain marah. Namun, untuk pertama kali, ia ingin menolak ajakan Naura, sahabatnya, untuk ikut OSIS. Ia terlalu malu dan tak bisa bergaul ...
Aku Ibu Bipolar
46      39     1     
True Story
Indah Larasati, 30 tahun. Seorang penulis, ibu, istri, dan penyintas gangguan bipolar. Di balik namanya yang indah, tersimpan pergulatan batin yang penuh luka dan air mata. Hari-harinya dipenuhi amarah yang meledak tiba-tiba, lalu berubah menjadi tangis dan penyesalan yang mengguncang. Depresi menjadi teman akrab, sementara fase mania menjerumuskannya dalam euforia semu yang melelahkan. Namun...
Yakini Hatiku
22      17     1     
Romance
Setelah kecelakaan yang menimpa Fathur dan dinyatakan mengidap amnesia pasca trauma, Fathur mulai mencoba untuk mengingat segala hal seperti semula. Dalam proses mengingatnya, Fathur yang kembali mengajar di pesantren Al-Ikhlas... hatinya tertambat oleh rasa kagum terhadap putri dari pemilik pesantren tersebut yang bernama Tsania. Namun, Tsania begitu membenci Fathur karena suatu alasan dan...
Sebelah Hati
821      594     0     
Romance
Sudah bertahun-tahun Kanaya memendam perasaan pada Praja. Sejak masih berseragam biru-putih, hingga kini, yah sudah terlalu lama berkubang dengan penantian yang tak tentu. Kini saat Praja tiba-tiba muncul, membutuhkan bantuan Kanaya, akankah Kanaya kembali membuka hatinya yang sudah babak belur oleh perasaan bertepuk sebelah tangannya pada Praja?