Malam itu, aku duduk bersila di lantai kamar.
Di depan jendela terbuka, cahaya bulan menetes pelan ke atas surat dari Mak Midah yang kini terbentang di pangkuanku. Tinta yang luntur, huruf-huruf miring, semuanya terasa seperti bisikan terakhir dari masa lalu yang tak rela dilupakan.
Ditrik Eden Solita.
Aku mengucapkannya berulang-ulang, nyaris tanpa suara.
Nama itu kini hidup di mulutku, tapi wajahnya… masih kabur.
Seperti seseorang yang berdiri di balik kaca berembun.
Lalu aku teringat satu hal.
Potongan kecil dari ingatan yang sempat kulewati.
Aku berdiri. Menggali laci catatan lamaku. Di antara tumpukan foto, kertas tempel, dan tulisan tangan yang pernah kupikir tak penting, aku menemukan satu potret lama. Foto lukisan Daniel yang pernah tergantung di ruang utama rumah Van Der Maes. Di belakang kanvas potret itu, dulu kutemukan secarik catatan aneh.
Saat itu aku mengira... itu tentang Ethan.
Tapi malam ini, aku tahu pasti.
“Kau lihat? Di balik wajah yang mereka banggakan... tersembunyi anak yang tak pernah mereka akui.”
Itu bukan tentang Ethan.
Itu tentang Eden.
Tentang anak yang hidup dalam bayangan, tapi tak pernah mendapat tempat di terang.
Tubuhku gemetar pelan.
Kalung giok di leherku terasa hangat. Hangat yang bukan sekadar suhu, tapi semacam isyarat—seperti tangan yang memegang tanganku dari dalam ingatan.
Dan di dalam keheningan itu, aku mendengar kembali bisikan Mari. Bukan dengan telinga, tapi dengan hati:
"...di bawah tugu kecil dari batu bata..."
Aku menutup mata, dan bayangan tugu itu muncul perlahan. Bukan tugu resmi. Bukan penanda kematian. Tapi pondasi setengah jadi di halaman belakang rumahku yang lama. Sebongkah bangunan kecil yang dulu kupikir adalah sisa proyek lama.
Tugu kecil yang selalu dibersihkan ayah setiap hari jumat.
Kini aku tahu... di sanalah tempatnya.
Tempat terakhir di mana Mari menyimpan sesuatu untuk anaknya.
Dan besok pagi, aku akan ke sana.
Bukan untuk mencari.
Tapi untuk menjemput.
Karena sekarang aku tahu, tugas ini bukan untuk membuka rahasia.
Tapi untuk mengangkat satu nama... dari dalam tanah sunyi yang terlalu lama tidak dipanggil.
Eden.
Kau tak akan sendiri lagi.
***
Paginya, aku bangun lebih awal dari biasanya.
Langit masih kelabu, dan udara pagi membawa bau embun yang basah. Tapi tubuhku sudah tidak sabar. Ada sesuatu yang harus aku lakukan. Sesuatu yang menunggu terlalu lama untuk disambut.
Surat dari Mak Midah masih tergeletak di meja kecil di samping tempat tidur, dikelilingi cahaya samar dari lampu yang belum kupadamkan. Aku meraihnya pelan, seperti meraih napas terakhir dari malam yang masih enggan berlalu.
Hari ini, aku akan ke halaman belakang.
Aku tahu tempatnya. Tugu kecil dari batu bata.
Yang selama ini kupikir hanyalah pondasi bangunan yang gagal dibangun, atau peninggalan masa kecil yang tak penting. Tapi kini, setiap batu bata itu seperti menyimpan rahasia. Dan aku sudah siap mendengarnya.
Langkahku menyusuri lorong rumah terasa berat tapi pasti.
Setiap papan kayu yang berderit seperti menyambutku kembali, seolah tahu bahwa hari ini bukan hari biasa. Hari ini bukan untuk mengenang. Tapi untuk mengangkat kembali sesuatu yang pernah ditenggelamkan.
Aku tiba di halaman belakang.
Rumputnya tinggi. Embun pagi membasahi ujung sepatuku.
Dan di sanalah ia berdiri—tugu kecil itu.
Setinggi lutut, tersusun dari batu bata merah yang mulai retak dan berlumut. Tak ada tulisan. Tak ada penanda. Tapi di dalamnya... aku tahu, ada sesuatu.
Aku berlutut perlahan.
Tanganku gemetar saat menyentuh permukaan dingin batu bata.
Kalung giok di leherku bergetar halus, seolah merespons sesuatu di bawah tanah.
Dan untuk pertama kalinya, aku bertanya dengan suara:
"Apa yang kau tinggalkan di sini, Mari?"
Lalu, aku mulai menggali.
Satu demi satu batu kulepas dengan hati-hati.
Tanahnya lembap, seperti baru saja menangis.
Dan setelah beberapa lapisan, jemariku menyentuh sesuatu yang bukan batu, bukan tanah.
Sebuah kotak kayu.
Kecil. Tertutup rapat. Warnanya telah pudar, tapi masih utuh.
Aku mengangkatnya perlahan, membersihkannya dari debu dan akar yang menjalar seperti benang kenangan.
Lalu membukanya.
Di dalamnya... ada benda-benda kecil: Sepasang jepit rambut berbentuk bulan sabit—mungkin milik Mari saat masih muda. Potongan kain putih yang dulu membungkus bayi itu. Foto hitam putih yang mulai pudar—seorang perempuan muda berkulit legam, menatap kamera dengan mata yang menyimpan ribuan pertanyaan. Dan kotak kayu.
Kotak itu kecil, terbuat dari kayu tua dengan pahatan bunga-bunga melingkar di tutupnya. Rembulan menemukannya di balik tumpukan tanah dan serpihan batu bata, tersembunyi dalam relung rahasia di bawah fondasi tempat itu berdiri. Saat dibuka, debu halus melayang perlahan ke udara, seolah menyambut siapa pun yang cukup berani untuk mengungkit masa lalu.
Di dalamnya: selembar kertas yang dilipat rapi, dan sebuah liontin giok berwarna hazel, coklat keemasan—warna yang sama dengan mata Eden yang selalu ia ingat, meski samar dan tak pernah utuh.
Aku mengangkat liontin itu pelan-pelan. Dingin. Berat. Bentuknya oval, terukir halus, dan ada bekas jari di permukaannya, seolah sering digenggam dalam doa yang tak selesai. Ia menggenggamnya erat, seakan bisa mendengar detak waktu dari masa lalu yang masih berdenyut di dalamnya.
Di bawah semuanya, ada surat, ditulis tangan:
To whomever finds this,
If you are reading this, then my voice—quiet and long buried—has somehow reached your hands. I have little hope for justice, but I write this as a final act of truth.
My son was born not for love, nor for joy, but for purpose—a purpose not of his choosing. He was the only one who lived, the only one who breathed without being broken. For that, he was hidden. Sheltered. Forgotten.
They took him from me before I could hold him long. He was perfect. He cried only once, then looked at me as though he already knew he wouldn't stay.
They called him a donor. A shadow. An asset. But I gave him a name:
**Dietrich Erthen Solita**
That is all I could give. A name is the only armor I had left to wrap him in. I do not know what became of him. If you find him—if something of him still exists—please tell him: he was wanted, not by them, but by me.
“Anakku bernama Dietrich Eden Solita. Jangan biarkan dunia mengurungnya tanpa nama. Ia bukan cadangan. Ia hidup. Ia milik langit dan tanah. Dan hatiku, masih berdetak untuknya.”
-Merilyn Dianne Solita
Aku menutup mataku.
Air mata jatuh sebelum aku bisa menahannya, membasahi huruf-huruf terakhir yang ditulis dengan tinta nyaris pudar.
Tak ada tangisan keras, hanya aliran hangat dari dada yang akhirnya menemukan jalan keluar.
Aku menggenggam liontin itu sekuat mungkin, hingga ujungnya menekan telapak tanganku dan meninggalkan bekas.
Dietrich Eden Solita. Nama itu terasa suci, seakan menghidupkan kembali sesuatu yang telah lama dikubur. Ia bukan lagi “anak yang tak disebut”, bukan “cadangan”, bukan “tubuh pengganti”.
Ia adalah Eden. Anak yang hidup. Anak yang dimiliki langit dan tanah.
Anak yang kini punya nama.
Dalam diam yang penuh makna, Aku menggantungkan liontin itu di leherku. aku tahu, ini bukan milikku. Tapi sampai Eden bisa memakainya sendiri—jika saat itu datang—aku akan menjaganya.
Bukan sebagai benda, tapi sebagai janji.
Aku menatap langit yang mulai biru.
Dan untuk pertama kalinya, aku merasa Eden benar-benar ada—bukan sebagai bayangan, bukan sebagai luka, tapi sebagai seseorang yang pantas dipanggil dengan namanya sendiri.
Aku menaruh kembali semua benda itu ke dalam kotak.
Tapi kali ini, bukan untuk dikubur.
Aku akan menyimpannya.
Agar kisah ini tidak lagi dikubur oleh waktu.
Dan saat aku berdiri, angin pagi berhembus pelan.
Seolah menyampaikan salam dari seseorang yang pernah tenggelam, tapi kini...
sudah didengar.