Malam itu, aku bermimpi lagi.
Tapi tidak seperti biasanya—tidak seperti mimpi-mimpi aneh yang terasa seperti pantulan bayangan atau serpihan dunia yang tidak utuh. Kali ini, aku tahu itu Ethan. Utuh. Jelas. Dan menatapku langsung.
Kami duduk berdua di bawah pohon flamboyan, di taman yang sepi dan tak bernama. Tidak ada angin. Tidak ada suara. Tapi mata Ethan memantulkan cahaya bulan yang sama dengan malam waktu kami pertama kali bertemu sebagai dua anak kecil yang belum tahu apa itu kehilangan.
"Apa yang harus aku lakukan?" tanyaku.
Ethan tidak langsung menjawab. Ia menatap ke langit yang kosong, lalu kembali padaku. Sorot matanya tenang—bukan seperti anak-anak, bukan juga seperti arwah. Tapi seperti seseorang yang sudah melewati terlalu banyak waktu.
“Kamu sudah punya kuncinya, Bulan.”
“Pertanyaannya cuma… apakah kamu sudah siap menghadapinya?”
“Apakah kamu sudah mampu menerima apa yang akan kamu temukan nanti?”
Aku ingin bertanya lagi, tapi suaraku hilang. Seolah mimpi itu hanya membolehkan satu pertanyaan dan satu jawaban. Dan sebelum aku bisa menyentuh lengannya, Ethan sudah perlahan berjalan mundur, terserap kembali ke dalam kabut putih di balik taman.
***
Aku terbangun dengan keringat dingin di pelipis, tapi perasaan yang anehnya… tenang.
Aku masih memegang kalung giok di leherku, dan di samping bantal—entah sejak kapan—amplop tua bersegel lilin merah itu kembali muncul. Amplop yang dulu kutemukan di antara binder milik Ethan. Surat yang belum pernah kubuka.
Aku menatap tulisan tangan Ethan di depannya:
“Untuk hari ketika kamu benar-benar tahu siapa dirimu.”
Tanganku gemetar saat membuka segelnya. Lilin keras itu pecah dengan bunyi kecil, seperti retakan terakhir pada jendela yang lama tertutup.
Di dalamnya, ada dua lembar surat.
***
Lembar pertama bukan tulisan tangan Ethan.
Tulisan itu melengkung, rapi, dan terasa sangat... ibu.
“Ethan, anakku,”
“Jika kau membaca surat ini, berarti waktu telah berjalan jauh dari saat aku menulisnya. Kau adalah anugerah yang lahir dari luka, tapi bukan untuk mengulang luka itu. Kau lahir bukan untuk menyimpan kutukan, tapi untuk memutusnya.”
“Tumbuhlah menjadi seseorang yang tahu siapa dirinya. Bukan pewaris darah siapa, bukan pemegang rahasia siapa. Tapi manusia. Manusia utuh, dengan pilihan dan keberanian untuk menghentikan yang seharusnya tidak diteruskan.”
“Aku tahu... mungkin beban ini terlalu besar. Tapi percayalah, kebenaran—walau menyakitkan—adalah satu-satunya jalan keluar dari pusaran ini.”
“Jangan biarkan luka mereka menjadi pusaka yang kamu bawa.”
“Dengan cinta yang tak pernah habis,
Ayunda.”
***
Tangisku pecah di tengah keheningan kamar.
Tapi sebelum air mataku benar-benar jatuh ke kertas itu, aku membaca lembar kedua.
Tulisan tangan Ethan. Lebih gelap, sedikit bergetar.
“Ibu… maafkan aku.”
“Aku tidak bisa memenuhi keinginanmu. Tubuhku terlalu lemah. Waktuku terlalu sempit. Tapi aku tahu... aku tidak sendirian.”
“Aku punya seorang sahabat. Rembulan. Dia… dia melihat dunia dengan cara yang tidak bisa dijelaskan. Dengan hati. Dengan keberanian yang bahkan aku sendiri tidak punya.”
“Aku percaya padanya. Karena dia tidak mencari jawaban untuk dirinya sendiri, tapi untuk orang-orang yang bahkan tidak bisa bicara. Untuk mereka yang dilupakan. Untuk aku.”
“Jadi, Ibu… jika hari itu datang, jika surat ini sampai padanya, maka… aku menyerahkan ini padanya.”
“Kebenaran itu kini miliknya. Dan aku tahu, dia tidak akan lari.”
“Terima kasih karena dulu Ibu pernah bernyanyi untuk kami.”
“Kami tidak pernah lupa.”
“Salam sayang,
Ethan.”
***
Di dasar amplop, tersembunyi di balik lipatan kertas, ada sebuah kunci kecil.
Bentuknya klasik, dari logam berwarna hitam tua. Tapi di ujung gagangnya, terukir lambang kecil—kelopak flamboyan. Sama persis seperti stempel lilin surat ini. Dan sama persis dengan ukiran kecil di sisi belakang kalung giok yang kini menggantung di leherku.
Aku menatap kunci itu lama.
Bukan hanya kunci pintu. Bukan kunci ruangan.
Tapi mungkin… kunci dari pertanyaan terbesar yang belum pernah benar-benar kutanyakan: siapa aku sebenarnya dalam semua ini?
***
Esok, aku akan menemui tempat di mana kunci ini seharusnya berada.
Dan kalau pintunya benar-benar ada...
Aku akan membukanya.
Apa pun yang ada di baliknya.
***
Aku memandangi kunci itu selama berjam-jam. Letaknya kini di atas meja kayu, tepat di samping kalung giok yang sinarnya meredup seiring pagi merangkak naik.
Kunci ini… bukan sembarang kunci.
Bentuknya kecil, tapi presisi. Ujungnya melengkung seperti kunci lemari antik, tapi ukiran flamboyan di pangkal gagangnya… bukan sekadar ornamen. Lambang itu muncul lagi dan lagi—di surat, di mimpi, di gaun wanita itu. Aku yakin, ini bukan kunci ruangan biasa. Ini... simbol warisan.
Aku mulai memikirkan berbagai kemungkinan. Gudang arsip rumah sakit? Ruang bawah tanah rumah keluarga Van Der Maes? Laci tersembunyi di kantor ayah Daniel?
Tapi semakin kupikirkan, jawabannya justru muncul dari tempat yang selama ini terlalu dekat:
Rumah tua di atas bukit.
Tempat pertama aku bertemu Ethan. Tempat pertama bayangan anak laki-laki itu muncul. Dan tempat terakhir di mana segala jejak masa lalu berkumpul—sebelum semuanya lenyap.
Aku tahu, aku harus kembali ke sana.
***
Sore itu, aku menemui Ibu Rita, satu-satunya orang yang masih mengurus akses ke rumah itu. Rumah tua keluarga Van Der Maes yang kini dibiarkan setengah kosong. Ia duduk di ruang tamu rumahnya, mengenakan kain batik dan sweater lusuh, membaca koran sambil minum teh tubruk dari cangkir berwarna pudar.
“Bulan?” katanya begitu aku masuk. “Kamu kelihatan... pucat.”
Aku tersenyum kecil, duduk perlahan di seberangnya. “Boleh minta tolong satu hal, Bu?”
“Selama bukan pinjam uang,” katanya sambil terkekeh. “Tentu boleh.”
Aku menatap tanganku sendiri, lalu mengangkat wajah. “Aku mau ke rumah tua itu lagi. Rumah yang di bukit. Aku... aku merasa ada sesuatu di sana yang belum sempat kulihat.”
Wajah Ibu Rita langsung berubah sedikit serius. “Kenapa, sayang? Kamu nemu apa waktu itu?”
Aku sempat ingin jujur. Ingin menceritakan soal kalung, surat, kunci, dan surat pengakuan dari masa lalu. Ingin berbagi bahwa mungkin di balik ruangan itu, ada sesuatu yang akan menyambungkan potongan-potongan yang tak selesai. Tapi tepat saat aku hendak membuka mulut...
Aku melihatnya.
Bayangan anak laki-laki itu.
Ia berdiri di luar jendela rumah Ibu Rita, hanya setengah terlihat oleh cahaya senja. Matanya menatapku langsung. Dan kemudian, ia menggeleng pelan.
Satu gerakan. Tapi cukup untuk membuatku membatalkan semua niat.
Ia tidak marah. Tapi aku tahu: belum waktunya.
Aku menelan ludah, dan mengubah nada suaraku.
“Aku cuma pengin lihat-lihat lagi, Bu. Nostalgia. Banyak kenangan di sana waktu aku sama Ethan... rasanya kayak butuh satu kesempatan lagi untuk bilang selamat tinggal.”
Ibu Rita menatapku beberapa detik. Aku bisa melihat ada tanya di matanya, tapi ia tidak mendesak. Ia hanya mengangguk pelan.
“Kuncinya masih disimpan di laci dapur. Kalau kamu mau ke sana, bawa sajalah. Tapi hati-hati, ya. Rumah itu makin tua. Jangan buka lantai bawah kalau sendirian.”
Aku mengangguk. “Terima kasih, Bu.”
Dan dalam hatiku, aku berjanji: aku tidak akan membuka apa pun yang tidak boleh dibuka. Tapi untuk pintu yang menungguku… aku akan mencobanya. Sendiri.
***
Malam nanti, aku akan kembali ke rumah itu.
Dan kalau benar di sana tempatnya...
Maka untuk pertama kalinya, kunci ini akan tahu di mana ia seharusnya berada.