“Ada jiwa-jiwa yang mengetuk lewat mimpi, ketika dunia nyata terlalu bising untuk mendengar.”
***
Aku mencoba menjalani hari-hari liburan seperti biasa.
Membantu Ibu merapikan lemari, menata ulang koleksi taplak dan kain batik yang sudah bertahun-tahun tak tersentuh. Menemani Ayah belanja ke toko bangunan, memilih cat untuk tembok pagar yang mulai mengelupas. Bahkan ikut nenek ke kelas merajut, duduk di antara para ibu-ibu yang membicarakan cuaca, resep kue, dan harga benang wol yang katanya “naik terus.”
Aku juga ikut dalam kegiatan karang taruna. Membersihkan lapangan yang akan digunakan untuk acara 17-an, mengecat ulang tiang bendera, mengatur kursi plastik yang berdebu. Tertawa dengan anak-anak muda yang kebanyakan seumuran denganku—semuanya tampak normal.
Di permukaan, aku tampak seperti warga desa yang pulang dan kembali melebur ke kehidupan sederhana. Tapi di sela-sela kegiatan itu, ada bayangan samar yang terus mengikuti.
Suara anak laki-laki itu.
Wajahnya yang mirip Ethan, tapi tak sepenuhnya sama.
Dan kata-katanya… menusuk seperti sembilu.
“Kamu lupa lagi.”
Suara itu menyusup di antara riuh tawa, di balik suara mesin motor tetangga, bahkan saat sendok menabrak piring makan malam.
***
Belakangan ini, mimpi-mimpi tentang anak laki-laki itu semakin intens.
Semakin sering, semakin nyata. Setiap malam, aku melihat wajahnya lebih jelas. Matanya penuh pertanyaan, bukan kemarahan, tapi sesuatu yang… seolah meminta tolong. Seolah ia menunggu sesuatu yang seharusnya kukatakan, atau kulakukan.
Kadang ia berdiri di balik jendela, kadang di ujung koridor rumahku, kadang ia duduk di bangku taman belakang dengan kaki menggantung tanpa suara. Aku mulai takut untuk tidur. Tapi lebih takut kalau tidak tidur—karena kadang aku merasa ia mulai muncul bahkan saat aku terjaga.
Rasanya seperti ada suara dari balik dunia yang tak bisa dijangkau, memanggilku, mendesakku untuk mendengar.
Hatiku campur aduk antara penasaran dan takut, antara harapan dan kecemasan. Aku tahu aku tidak bisa terus mengabaikan perasaan ini, meski aku tak yakin apa yang akan kutemukan di ujung pencarian ini.
***
Di malam kedelapan, aku memutuskan membuka kembali seluruh catatan dan foto dari perjalanan di Italia. Aku duduk di lantai kamar, menyalakan lampu belajar, lalu menyusun semuanya di depan mataku: peta silsilah keluarga, salinan surat Ethan, buku catatan Ayunda, hasil wawancara dengan Dr. Sora, juga foto-foto hitam putih yang sebagian tak pernah kami tampilkan dalam laporan.
Satu hal mulai mengganggu: ada seorang anak kecil dalam beberapa foto, berdiri di kejauhan. Terlalu jauh untuk dikenali, terlalu sering muncul untuk diabaikan.
Aku memperbesar salah satu fotonya—dari halaman rumah keluarga Alviano. Di pojok kiri bawah, di antara bayangan pohon apel, tampak sosok kecil mengenakan baju putih lusuh, berdiri sendiri. Aku tidak ingat melihatnya saat kami memotret tempat itu.
Aku mengabari Lintang dan Dira lewat pesan, lalu mengirimkan fotonya. Beberapa menit kemudian, mereka membalas:
D: Loh… itu siapa?
L: Aku gak sadar ada orang di sana waktu itu.
Bulan, jangan-jangan itu ... Ethan?
D: Serius?!
L: Katanya makhluk sejenis itu memang bisa terekam kamera, kan?
Mereka berdua justru ribut sendiri. Tapi itu artinya tidak ada satu pun dari kami yang sadar akan foto-foto ini, padahal kami sudah berkali-kali melihatnya. Atau, dia baru terlihat?
Aku terlalu larut dalam pikiranku sendiri hingga lupa membalas pesan dari teman-temanku, suara notifikasi chat yang berisik menyadarkanku.
L: Bulan, serius itu siapa?
D: Ethan? Ganteng juga kelihatannya :D
L: Diraaa ... jangan genit.
R: Aku nggak tahu ... tapi dia bukan Ethan. Bukan Daniel juga.
D: Bulan, kamu yakin ini bukan cuma efek stres?
L: Coba deh nanti aku cek di salinan punyaku juga. Jangan terlalu dipikirin Bulan. Liburan.
Aku menatap lama gambar itu. Bukan Ethan. Tapi seseorang yang ingin terlihat seperti Ethan. Atau pernah menjadi bagian dari ceritanya, tapi tidak pernah disebut dalam surat-surat atau kisah siapa pun.
Semakin kupikirkan, semakin jelas perasaan aneh itu—seperti ada satu keping puzzle yang sengaja disembunyikan, bukan terjatuh, tapi disembunyikan oleh tangan yang tahu betul apa yang dilakukannya.
Seseorang yang tidak pernah disebut.
Seseorang yang sengaja dilupakan.
***
Malam berikutnya, mimpi datang lagi. Kali ini lebih terang. Aku berada di ruang bayi. Ada puluhan ranjang—satu bertuliskan "Daniel", yang lainnya kosong. Anak laki-laki itu berdiri di antaranya.
“Kamu cuma lihat yang punya nama.” katanya.
Aku ingin menjawab, tapi suaraku hilang ditelan malam. Di belakang anak itu, terlihat halaman luas rumah megah di atas bukit Cisarua dan Ethan berdiri di sana, diam, tangannya menggenggam sesuatu—seperti kunci. Tapi ia tidak maju. Hanya menatapku dan anak laki-laki itu.
“Aku nggak bisa buka ini sendirian,” Ethan berkata pelan. “Tapi kamu bisa.”
Seketika semua cahaya padam. Ruangan berubah gelap. Tapi suara mereka tetap tinggal.
Aku terbangun dengan napas terputus-putus, peluh dingin di leher dan kening. Tapi tidak ada rasa takut kali ini.
Hanya…
pemahaman.
Bahwa ini bukan sekadar bunga tidur.
Bukan sekadar trauma.
Anak laki-laki itu bukan bayangan. Bukan simbol luka batin semata.
Ia nyata, dalam cara yang belum bisa didefinisikan.
Sesuatu yang disembunyikan terlalu dalam sampai alam bawah sadar harus bicara lebih dulu.
Ia adalah pesan.
Bahwa ada seseorang lagi.
Seseorang yang lahir, tapi tidak diberi tempat dalam sejarah.
Ia adalah pintu yang belum kubuka.
Dan Ethan memberiku kuncinya.
***
Akhirnya, saat pagi datang, aku tak tahan lagi. Aku merekam pesan suara dan mengirimkannya ke grup kami bertiga. Tentang dua Ethan. Tentang mimpi. Tentang ketakutanku yang dulu tak bisa kujelaskan.
R: "Aku harus cerita sesuatu. Tentang mimpi. Tentang Ethan. Tapi... bukan cuma Ethan. Ada anak lain. Wajahnya mirip, tapi bukan dia. Dalam mimpi terakhir, dia bilang: ‘Namaku bukan Daniel.’ Kurasa... ini bukan cuma mimpi," kataku. "Mungkin dia benar-benar ada. Tapi cuma bisa bicara lewat mimpi."
Hening beberapa menit. Lalu suara Dira muncul.
D: "Rembulan... kamu yakin kamu baik-baik saja? Itu cuma mimpi. Kita semua masih kelelahan. Lagi pula, penyelidikan kita udah selesai, kan?"
R: "Dira, dengar dulu. Ini lebih dari mimpi. Dia muncul terus. Dia tahu hal-hal yang bahkan aku nggak tahu sebelumnya. Aku rasa dia nyata. Terjebak. Dan dia butuh kita."
Selang beberapa menit, suara Lintang menyusul. Kali ini nadanya serius.
L: "Jadi... kamu percaya ada ‘Ethan kedua’? Dan dia mau bicara lewat mimpi? Ini makin berat, Bulan. Kamu yakin ini bukan karena kamu terlalu larut?"
B: "Aku nggak gila, Lintang. Aku tahu bedanya mimpi biasa dan ini. Anak itu ada. Mungkin dia bagian dari sejarah yang dihapus."
L: "Atau mungkin... kamu belum selesai sama kehilanganmu. Dan sekarang, kamu pakai semua ini buat cari makna. Tapi sampai kapan?"
D: "Aku setuju. Kita harus berhenti. Kita datang ke Italia buat penelitian, bukan jadi paranormal. Kita udah bantu Ethan. Dia udah tenang. Tugas kita selesai sampai di sini."
R: "Tapi anak itu belum! Dia belum pernah dikenal. Nggak ada yang tahu dia pernah hidup. Aku nggak bisa tinggal diam."
Tak ada balasan selama beberapa jam. Notifikasi sunyi seperti heningnya jarak yang tiba-tiba membentang jauh.
Sore harinya, Lintang mengirim satu pesan terakhir.
L: "Kalau kamu mau lanjut, itu keputusanmu. Tapi aku harus tahu... ini demi kebenaran? Atau demi dirimu sendiri? Karena rasanya, kamu makin tenggelam. Lagi pula yang bisa melihat ‘mereka’ cuma kamu. Imajinasiku belum sampai."
Setelah itu, grup diam. Tak ada lagi sahutan. Dan untuk pertama kalinya sejak perjalanan kami dimulai, aku merasa berjalan sendirian.
***
“Musim semi menelanjangi semua rahasia, termasuk yang datang lewat mimpi.”
Mungkin, ini belum selesai. Atau justru baru benar-benar dimulai.